Share

Pernikahan Kontrak Satu Milyar
Pernikahan Kontrak Satu Milyar
Author: This is Stralin

Menghabiskan Malam Bersama Pria Asing

“Ahh, nikmat sekali, Sean!”

Yuna baru saja melangkah ke dalam kamar hotelnya dan samar-samar mendengar suara seorang wanita. Terdengar juga deru napas yang beradu dari balik dinding di depannya.

Gadis itu mengerutkan alis. Seingatnya, baru Sean, kekasihnya, yang tiba di kamar ini. Mengapa bisa ada seorang wanita?

Yuna memberanikan diri melangkah lebih jauh.

Deg

Jantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat Sean bersama seorang wanita. Keduanya tidak mengenakan busana apa pun dan asyik bermain di atas ranjang. Begitu larut dalam permainan hingga tidak menyadari kehadiran Yuna di sana.

“Kau benar-benar seksi, Sayang.” Sean memuji wanita yang berada di bawahnya.

Wanita yang ia kenal sebagai Aubrey, atasan Sean, itu terkikik malu.

“Tentu saja. Aku lebih baik daripada pacarmu yang culun itu, 'kan?” tanya wanita itu dengan percaya diri.

“Sudah pasti.” Sean menjawab dan kembali melabuhkan kecupan manja pada bahu Aubrey yang terbuka.

Hati Yuna seakan tersayat mendengar pengkhianatan kekasihnya sendiri. Ia memicingkan mata dengan penuh kebencian.

“Apa yang kalian lakukan?” tanya Yuna dengan suara gemetar. Kakinya seakan tertanam ke tanah, tak dapat bergerak sedikit pun.

Keduanya seketika menoleh. Secepat itu pula Aubrey menyembunyikan dirinya di bawah selimut.

“Yu—Yuna,” Sean berkata gugup, “Sejak kapan kau datang? Mengapa kau bisa masuk kemari?”

Kamar itu memang dipesan atas nama Yuna. Namun, karena harus menyelesaikan pekerjaannya, Yuna datang belakangan. Ia membiarkan Sean mengambil kunci kamar itu lebih dahulu. Yuna tak menyangka justru pemandangan seperti ini yang ia dapatkan.

“Apa yang kalian lakukan di kamarku? Mengapa ada wanita ini, Sean?!” sergah Yuna dengan suara tegas.

“Tidak perlu berteriak. Kau menakutinya, Yuna. Seharusnya, kau datang lebih siang agar tak melihat ini,” jawab Sean seraya melirik cemas ke arah Aubrey.

Mata Yuna membelalak. Tak percaya dengan kata-kata yang lolos dari bibir sang kekasih.

“Pria berengsek!” Gadis itu mengumpat.

Sean menyipitkan mata seakan terganggu dengan umpatan Yuna.

“Jangan seperti ini, Yuna. Kamu juga selalu mementingkan pekerjaanmu, bukan?” tanya pria itu. Bibirnya setengah menyeringai dengan kesal.

Aubrey terkekeh mengejek dan mendelik tak senang. “Padahal dia hanya seorang pelayan di restoran, tapi gayanya seperti wanita karir dengan gaji puluhan juta,” ejeknya.

Yuna mengepalkan tangan. Ingin sekali ia menampar pipi wanita itu. Namun, ia mengabaikannya dan memusatkan perhatian pada Sean.

“Aku sangat senang karena berhasil menenangkan undian itu. Salah satu impian kita adalah berlibur bersama, Sean. Akhirnya kita bisa mendapatkan ini. Mengapa kau justru melakukan ini? Apakah empat tahun hubungan kita tidak berarti apa-apa bagimu?” tanya Yuna dengan mata memerah.

“Tidak.” Sean menjawab. “Menjalin hubungan denganmu sangat hambar. Aku tidak bisa mendapatkan hal seperti ini darimu, bukan?”

Yuna memicingkan mata dengan tak percaya.

“A—apa?”

“Empat tahun ini seperti penyiksaan bagiku. Bertahan dengan kau yang polos dan bodoh. Kau tidak tahu apa yang aku inginkan dan tidak bisa memuaskanku. Kau benar-benar tidak menarik di mata pria, Yuna,” ucap Sean dengan dingin. Ucapan itu disambut kekehan oleh Aubrey.

“Aku kasihan padamu. Tapi, sekarang kita sudah tidak bisa bersama. Aku akan menjadi supervisor di perusahaan, sementara kau hanya pelayan tidak tetap.” Sean melanjutkan. Seringai meremehkan timbul di wajahnya.

Kekecewaan Yuna semakin bertambah. Bahkan, kini mulai berubah menjadi amarah.

Tanpa ragu, gadis itu melangkah mendekati ranjang.

“Keluar dari kamar ini. Jangan kotori ranjang ini dengan hubungan hina kalian!” sergah gadis itu.

Ia berusaha menarik selimut yang menutupi tubuh polos keduanya.

Mendengar itu, Aubrey menatap heran pada Sean.

“Tunggu, jadi ini bukan kamar yang kamu pesan untuk kita berdua, Sean?”

Sean membuka bibir untuk menjawab, tetapi Yuna menyambar lebih dahulu.

“Ini adalah kamarku!” tegasnya, “Cepat angkat kaki kalian dari sini! Pergi!” Yuna bersikeras meski sudah bercucuran air mata. Sekuat tenaga ia berusaha menarik selimut itu.

Hingga tiba-tiba ….

PLAAAKK

Sebuah tamparan dari Sean sukses mendarat di pipi Yuna.

“Cukup, Yuna!” hardik Sean dengan wajah kesal.

“Akulah yang pertama menginjakkan kaki di sini! Pergi dari sini! Atau aku akan memanggil petugas!” Sean mengancam.

Yuna masih syok di tempatnya. Ia memegang pipinya yang terasa panas dan berdenyut seraya memandang Sean. Matanya berkaca-kaca.

“Kau … kau benar-benar berengsek, Sean!” sergah gadis itu.

***

***

Pada akhirnya, Yuna kalah oleh kedua pasangan hina itu. Ia diusir keluar dan Sean menguasai kamar hotel yang seharusnya menjadi miliknya.

Penampilan Yuna benar-benar kacau. Gadis itu harus kembali menyeret kopernya dengan pipi yang memerah bekas tamparan dan mata sembab.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan, Yuna?” tanya Nara, sahabatnya itu melalui sambungan telepon.

Yuna sudah berada di bar hotel tersebut. Biasanya, ia tak meminum minuman seperti ini. Namun, sekarang kepalanya terasa sangat pening hingga Yuna tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya.

Ia tak punya kamar dan tak punya uang cukup untuk kembali.

“Aku tidak tahu,” jawab Yuna dengan putus asa, “Aku hanya ingin minum sampai pikiran itu hilang dariku.”

Tidak seharusnya ia bersedih atas pengkhianatan Sean. Namun, Yuna tulus mencintainya hingga hatinya ikut berantakan atas peristiwa ini.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Kau juga harus bersenang-senang, Yuna! Aku akan memesan seorang gigolo untukmu!” Nara mengusulkan sebuah ide.

Mata Yuna yang semula sayu karena setengah mabuk, kini membelalak lebar.

“Jangan gila! Aku tidak akan menyerahkan milikku semudah itu.”

Namun, panggilan sudah lebih dahulu ditutup.

Yuna mengembuskan napas panjang, kemudian menenggak satu gelas minuman lagi. Berharap hal itu akan menghapus kenangan pahitnya.

Ting

Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Yuna. Asalnya dari Nara.

“Aku sudah memesan sebuah kamar untukmu. Nomor 306.”

Dengan sedikit kesadaran yang tersisa, Yuna mengembangkan senyum. Paling tidak ia memiliki kamar untuk menginap malam ini.

***

***

Seorang pria terlihat baru saja memasuki kamar hotel bernomor 309.

“Urusan di sini hampir selesai. Anda bisa kembali besok, Tuan,” ucap sekretarisnya dari seberang telepon.

“Baik,” jawab pria itu.

“Ah, apakah Anda sudah meminum ramuan yang diberikan Nyonya Besar?” Sekretaris bernama Benny itu bertanya lagi.

Tatapan Morgan seketika melirik pada cairan berwarna biru dalam kemasan botol beling yang dititipkan sang ibu.

“Apakah kau gila? Aku tidak akan meminum ramuan bodoh itu!” jawabnya.

“Siapa yang tahu, Tuan. Kali ini mungkin berhasil. Nyonya Besar sudah berusaha agar Tuan bisa sembuh dan memiliki keturunan. Ini adalah balasan yang bisa Tuan lakukan.” Benny mencoba membujuk.

“Apakah kau sudah selesai? Aku ingin istirahat.” Morgan memotong seraya memijit celah di antara matanya.

“Satu lagi. Anda memiliki jadwal sarapan dengan Aubrey besok, Tuan.” Benny memberitahu.

“Hm. Baiklah.”

Dan, panggilan itu terputus.

Pandangan Morgan kembali tertuju pada ramuan itu.

Semenjak Morgan didiagnosis tak bisa memiliki keturunan, sang ibu memang selalu berusaha.

Entah sudah berapa puluh botol ramuan yang dikirimkan ibunya dan diminum olehnya. Rasanya Morgan muak dan tak ingin mencobanya lagi.

“Argh!” Pria itu berdecak geram. Pada akhirnya, dia membuka penutup botol itu dengan kasar dan meminumnya hingga tak bersisa.

Tepat setelah ia menghabiskannya, tiba-tiba seorang wanita berjalan sempoyongan memasuki kamarnya. Dia tak lain adalah Yuna.

Alis Morgan menukik seketika.

“Apa-apaan ini? Siapa kau?” tanya Morgan dengan nada tak ramah.

***

Pada akhirnya, Yuna tak bisa kembali saat itu juga. Dengan langkah goyah, dia berjalan di koridor hotel. Mencari-cari kamar bernomor 309. Beberapa kali, gadis itu bertumpu pada dinding untuk menyeimbangkan tubuhnya.

Dunia serasa berputar di sekelilingnya. Berulang kali, Yuna mengedipkan mata hingga samar-samar ia melihat kamar yang dicari. Nomor 309.

Yuna bisa masuk dengan mudah. Penampilan gadis itu sudah berantakan. Wajahnya memerah dan mata sayu karena mabuk.

Tiba-tiba ia melihat sesosok pria tegap di tengah kamarnya. Dia mendongak dan menatap Morgan dengan mata sayu karena mabuk.

Di matanya, wajah Morgan tampak kabur. Berulang kali Yuna harus menggelengkan kepala dan berkedip. Hingga ia dapat melihat wajah tampan pria itu yang kemudian kembali menjadi kabur dalam pandangannya.

“Apa? Jadi, Nara benar-benar memesan seorang gigolo untukku?” gumam gadis itu dengan nada tak jelas.

“Gigolo—” Morgan memejamkan mata, tampak terganggu dengan kehadiran wanita itu. “Kau salah paham, Nona,” ucapnya.

Yuna tersenyum miring, kemudian melangkah mendekati Morgan. Jalannya sedikit tak seimbang.

“Mengapa?” Yuna bertanya dengan setengah mabuk dan bibirnya mengukir senyum pahit. “Apakah kau juga ingin menolakku? Apakah aku juga tidak menarik di matamu?”

Morgan menatapnya dengan sorot heran.

“Wanita gila,” komentarnya, “Kau sedang mabuk, Nona. Aku akan memanggil petugas.”

Morgan membalikkan tubuh dan berniat menghampiri telepon yang tersedia, tetapi Yuna lebih cepat mencekal tangannya.

Wanita itu menggeleng lemah. Ia sudah mencoba melupakan kejadian hari ini, tetapi dalam keadaan mabuk pun ingatan tentang Sean kembali muncul. Tanpa sadar membuat dada Yuna terasa berat untuk bernapas.

“Tidak, aku tidak membutuhkan petugas. Aku adalah seseorang yang sudah menyewamu, jadi kau harus memuaskanku,” ucap Yuna.

Wajahnya masih memerah karena mabuk. Ia mulai terisak.

“Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang melakukan ini, tapi sekarang hatiku benar-benar sakit.” Gadis itu memukul dadanya yang terasa sesak. “Kekasihku baru saja mengkhianatiku. Apakah ini benar-benar bisa menyembuhkan rasa sakit di hatiku?” tanya Yuna. Matanya berkaca-kaca dan menunjukkan sorot penuh permohonan.

Gadis itu tak bercanda. Perbuatan Sean benar-benar meninggalkan sayatan di hatinya.

Namun, jelas Morgan tak peduli.

“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Cepat keluar sebelum aku memanggil petugas—”

Cup

Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba Yuna menyatukan bibir mereka. Hanya menempel, tetapi berhasil membuat Morgan membelalakkan mata.

Dua detik kemudian, Yuna menjauhkan wajahnya. Mata gadis itu sudah basah oleh air mata.

“Tolong hilangkan rasa sakit ini,” pinta wanita itu dengan sorot sendu.

Morgan tak langsung mengusirnya. Pria itu menatap iris Yuna dalam-dalam. Merasa iba dengan gadis di hadapannya. Pada saat yang sama, suatu dorongan ikut bangkit dalam benaknya. Membuat libido Morgan seakan mencuat pesat.

Ia tak lagi ingat dengan tunangan atau siapa pun.

“Apakah kau serius akan melakukan ini, Nona?” tanya Morgan. Napasnya terdengar semakin berat.

Yuna menjawab dengan dua anggukan.

“Baiklah. Kau yang memintanya,” ucap Morgan.

Detik berikutnya, ia sudah menarik tengkuk gadis itu dan kembali menyatukan bibir mereka.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wanti Novitasari
bagus ih ceritanya... lanjutkan
goodnovel comment avatar
Nurul Indah Purnama Sari
ceritanya bagus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status