“Ahh, nikmat sekali, Sean!”
Yuna baru saja melangkah ke dalam kamar hotelnya dan samar-samar mendengar suara seorang wanita. Terdengar juga deru napas yang beradu dari balik dinding di depannya.Gadis itu mengerutkan alis. Seingatnya, baru Sean, kekasihnya, yang tiba di kamar ini. Mengapa bisa ada seorang wanita?Yuna memberanikan diri melangkah lebih jauh.DegJantungnya seakan berhenti berdetak saat melihat Sean bersama seorang wanita. Keduanya tidak mengenakan busana apa pun dan asyik bermain di atas ranjang. Begitu larut dalam permainan hingga tidak menyadari kehadiran Yuna di sana.“Kau benar-benar seksi, Sayang.” Sean memuji wanita yang berada di bawahnya.Wanita yang ia kenal sebagai Aubrey, atasan Sean, itu terkikik malu.“Tentu saja. Aku lebih baik daripada pacarmu yang culun itu, 'kan?” tanya wanita itu dengan percaya diri.“Sudah pasti.” Sean menjawab dan kembali melabuhkan kecupan manja pada bahu Aubrey yang terbuka.Hati Yuna seakan tersayat mendengar pengkhianatan kekasihnya sendiri. Ia memicingkan mata dengan penuh kebencian.“Apa yang kalian lakukan?” tanya Yuna dengan suara gemetar. Kakinya seakan tertanam ke tanah, tak dapat bergerak sedikit pun.Keduanya seketika menoleh. Secepat itu pula Aubrey menyembunyikan dirinya di bawah selimut.“Yu—Yuna,” Sean berkata gugup, “Sejak kapan kau datang? Mengapa kau bisa masuk kemari?”Kamar itu memang dipesan atas nama Yuna. Namun, karena harus menyelesaikan pekerjaannya, Yuna datang belakangan. Ia membiarkan Sean mengambil kunci kamar itu lebih dahulu. Yuna tak menyangka justru pemandangan seperti ini yang ia dapatkan.“Apa yang kalian lakukan di kamarku? Mengapa ada wanita ini, Sean?!” sergah Yuna dengan suara tegas.“Tidak perlu berteriak. Kau menakutinya, Yuna. Seharusnya, kau datang lebih siang agar tak melihat ini,” jawab Sean seraya melirik cemas ke arah Aubrey.Mata Yuna membelalak. Tak percaya dengan kata-kata yang lolos dari bibir sang kekasih.“Pria berengsek!” Gadis itu mengumpat.Sean menyipitkan mata seakan terganggu dengan umpatan Yuna.“Jangan seperti ini, Yuna. Kamu juga selalu mementingkan pekerjaanmu, bukan?” tanya pria itu. Bibirnya setengah menyeringai dengan kesal.Aubrey terkekeh mengejek dan mendelik tak senang. “Padahal dia hanya seorang pelayan di restoran, tapi gayanya seperti wanita karir dengan gaji puluhan juta,” ejeknya.Yuna mengepalkan tangan. Ingin sekali ia menampar pipi wanita itu. Namun, ia mengabaikannya dan memusatkan perhatian pada Sean.“Aku sangat senang karena berhasil menenangkan undian itu. Salah satu impian kita adalah berlibur bersama, Sean. Akhirnya kita bisa mendapatkan ini. Mengapa kau justru melakukan ini? Apakah empat tahun hubungan kita tidak berarti apa-apa bagimu?” tanya Yuna dengan mata memerah.“Tidak.” Sean menjawab. “Menjalin hubungan denganmu sangat hambar. Aku tidak bisa mendapatkan hal seperti ini darimu, bukan?”Yuna memicingkan mata dengan tak percaya.“A—apa?”“Empat tahun ini seperti penyiksaan bagiku. Bertahan dengan kau yang polos dan bodoh. Kau tidak tahu apa yang aku inginkan dan tidak bisa memuaskanku. Kau benar-benar tidak menarik di mata pria, Yuna,” ucap Sean dengan dingin. Ucapan itu disambut kekehan oleh Aubrey.“Aku kasihan padamu. Tapi, sekarang kita sudah tidak bisa bersama. Aku akan menjadi supervisor di perusahaan, sementara kau hanya pelayan tidak tetap.” Sean melanjutkan. Seringai meremehkan timbul di wajahnya.Kekecewaan Yuna semakin bertambah. Bahkan, kini mulai berubah menjadi amarah.Tanpa ragu, gadis itu melangkah mendekati ranjang.“Keluar dari kamar ini. Jangan kotori ranjang ini dengan hubungan hina kalian!” sergah gadis itu.Ia berusaha menarik selimut yang menutupi tubuh polos keduanya.Mendengar itu, Aubrey menatap heran pada Sean.“Tunggu, jadi ini bukan kamar yang kamu pesan untuk kita berdua, Sean?”Sean membuka bibir untuk menjawab, tetapi Yuna menyambar lebih dahulu.“Ini adalah kamarku!” tegasnya, “Cepat angkat kaki kalian dari sini! Pergi!” Yuna bersikeras meski sudah bercucuran air mata. Sekuat tenaga ia berusaha menarik selimut itu.Hingga tiba-tiba ….PLAAAKKSebuah tamparan dari Sean sukses mendarat di pipi Yuna.“Cukup, Yuna!” hardik Sean dengan wajah kesal.“Akulah yang pertama menginjakkan kaki di sini! Pergi dari sini! Atau aku akan memanggil petugas!” Sean mengancam.Yuna masih syok di tempatnya. Ia memegang pipinya yang terasa panas dan berdenyut seraya memandang Sean. Matanya berkaca-kaca.“Kau … kau benar-benar berengsek, Sean!” sergah gadis itu.******Pada akhirnya, Yuna kalah oleh kedua pasangan hina itu. Ia diusir keluar dan Sean menguasai kamar hotel yang seharusnya menjadi miliknya.Penampilan Yuna benar-benar kacau. Gadis itu harus kembali menyeret kopernya dengan pipi yang memerah bekas tamparan dan mata sembab.“Lalu, apa yang akan kau lakukan, Yuna?” tanya Nara, sahabatnya itu melalui sambungan telepon.Yuna sudah berada di bar hotel tersebut. Biasanya, ia tak meminum minuman seperti ini. Namun, sekarang kepalanya terasa sangat pening hingga Yuna tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya.Ia tak punya kamar dan tak punya uang cukup untuk kembali.“Aku tidak tahu,” jawab Yuna dengan putus asa, “Aku hanya ingin minum sampai pikiran itu hilang dariku.”Tidak seharusnya ia bersedih atas pengkhianatan Sean. Namun, Yuna tulus mencintainya hingga hatinya ikut berantakan atas peristiwa ini.“Ini tidak bisa dibiarkan. Kau juga harus bersenang-senang, Yuna! Aku akan memesan seorang gigolo untukmu!” Nara mengusulkan sebuah ide.Mata Yuna yang semula sayu karena setengah mabuk, kini membelalak lebar.“Jangan gila! Aku tidak akan menyerahkan milikku semudah itu.”Namun, panggilan sudah lebih dahulu ditutup.Yuna mengembuskan napas panjang, kemudian menenggak satu gelas minuman lagi. Berharap hal itu akan menghapus kenangan pahitnya.TingSebuah pesan masuk ke dalam ponsel Yuna. Asalnya dari Nara.“Aku sudah memesan sebuah kamar untukmu. Nomor 306.”Dengan sedikit kesadaran yang tersisa, Yuna mengembangkan senyum. Paling tidak ia memiliki kamar untuk menginap malam ini.******Seorang pria terlihat baru saja memasuki kamar hotel bernomor 309.“Urusan di sini hampir selesai. Anda bisa kembali besok, Tuan,” ucap sekretarisnya dari seberang telepon.“Baik,” jawab pria itu.“Ah, apakah Anda sudah meminum ramuan yang diberikan Nyonya Besar?” Sekretaris bernama Benny itu bertanya lagi.Tatapan Morgan seketika melirik pada cairan berwarna biru dalam kemasan botol beling yang dititipkan sang ibu.“Apakah kau gila? Aku tidak akan meminum ramuan bodoh itu!” jawabnya.“Siapa yang tahu, Tuan. Kali ini mungkin berhasil. Nyonya Besar sudah berusaha agar Tuan bisa sembuh dan memiliki keturunan. Ini adalah balasan yang bisa Tuan lakukan.” Benny mencoba membujuk.“Apakah kau sudah selesai? Aku ingin istirahat.” Morgan memotong seraya memijit celah di antara matanya.“Satu lagi. Anda memiliki jadwal sarapan dengan Aubrey besok, Tuan.” Benny memberitahu.“Hm. Baiklah.”Dan, panggilan itu terputus.Pandangan Morgan kembali tertuju pada ramuan itu.Semenjak Morgan didiagnosis tak bisa memiliki keturunan, sang ibu memang selalu berusaha.Entah sudah berapa puluh botol ramuan yang dikirimkan ibunya dan diminum olehnya. Rasanya Morgan muak dan tak ingin mencobanya lagi.“Argh!” Pria itu berdecak geram. Pada akhirnya, dia membuka penutup botol itu dengan kasar dan meminumnya hingga tak bersisa.Tepat setelah ia menghabiskannya, tiba-tiba seorang wanita berjalan sempoyongan memasuki kamarnya. Dia tak lain adalah Yuna.Alis Morgan menukik seketika.“Apa-apaan ini? Siapa kau?” tanya Morgan dengan nada tak ramah.***Pada akhirnya, Yuna tak bisa kembali saat itu juga. Dengan langkah goyah, dia berjalan di koridor hotel. Mencari-cari kamar bernomor 309. Beberapa kali, gadis itu bertumpu pada dinding untuk menyeimbangkan tubuhnya.Dunia serasa berputar di sekelilingnya. Berulang kali, Yuna mengedipkan mata hingga samar-samar ia melihat kamar yang dicari. Nomor 309.Yuna bisa masuk dengan mudah. Penampilan gadis itu sudah berantakan. Wajahnya memerah dan mata sayu karena mabuk.Tiba-tiba ia melihat sesosok pria tegap di tengah kamarnya. Dia mendongak dan menatap Morgan dengan mata sayu karena mabuk.Di matanya, wajah Morgan tampak kabur. Berulang kali Yuna harus menggelengkan kepala dan berkedip. Hingga ia dapat melihat wajah tampan pria itu yang kemudian kembali menjadi kabur dalam pandangannya.“Apa? Jadi, Nara benar-benar memesan seorang gigolo untukku?” gumam gadis itu dengan nada tak jelas.“Gigolo—” Morgan memejamkan mata, tampak terganggu dengan kehadiran wanita itu. “Kau salah paham, Nona,” ucapnya.Yuna tersenyum miring, kemudian melangkah mendekati Morgan. Jalannya sedikit tak seimbang.“Mengapa?” Yuna bertanya dengan setengah mabuk dan bibirnya mengukir senyum pahit. “Apakah kau juga ingin menolakku? Apakah aku juga tidak menarik di matamu?”Morgan menatapnya dengan sorot heran.“Wanita gila,” komentarnya, “Kau sedang mabuk, Nona. Aku akan memanggil petugas.”Morgan membalikkan tubuh dan berniat menghampiri telepon yang tersedia, tetapi Yuna lebih cepat mencekal tangannya.Wanita itu menggeleng lemah. Ia sudah mencoba melupakan kejadian hari ini, tetapi dalam keadaan mabuk pun ingatan tentang Sean kembali muncul. Tanpa sadar membuat dada Yuna terasa berat untuk bernapas.“Tidak, aku tidak membutuhkan petugas. Aku adalah seseorang yang sudah menyewamu, jadi kau harus memuaskanku,” ucap Yuna.Wajahnya masih memerah karena mabuk. Ia mulai terisak.“Biasanya, aku tidak pernah membiarkan orang melakukan ini, tapi sekarang hatiku benar-benar sakit.” Gadis itu memukul dadanya yang terasa sesak. “Kekasihku baru saja mengkhianatiku. Apakah ini benar-benar bisa menyembuhkan rasa sakit di hatiku?” tanya Yuna. Matanya berkaca-kaca dan menunjukkan sorot penuh permohonan.Gadis itu tak bercanda. Perbuatan Sean benar-benar meninggalkan sayatan di hatinya.Namun, jelas Morgan tak peduli.“Aku tidak mengerti apa yang kau katakan. Cepat keluar sebelum aku memanggil petugas—”CupPerkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba Yuna menyatukan bibir mereka. Hanya menempel, tetapi berhasil membuat Morgan membelalakkan mata.Dua detik kemudian, Yuna menjauhkan wajahnya. Mata gadis itu sudah basah oleh air mata.“Tolong hilangkan rasa sakit ini,” pinta wanita itu dengan sorot sendu.Morgan tak langsung mengusirnya. Pria itu menatap iris Yuna dalam-dalam. Merasa iba dengan gadis di hadapannya. Pada saat yang sama, suatu dorongan ikut bangkit dalam benaknya. Membuat libido Morgan seakan mencuat pesat.Ia tak lagi ingat dengan tunangan atau siapa pun.“Apakah kau serius akan melakukan ini, Nona?” tanya Morgan. Napasnya terdengar semakin berat.Yuna menjawab dengan dua anggukan.“Baiklah. Kau yang memintanya,” ucap Morgan.Detik berikutnya, ia sudah menarik tengkuk gadis itu dan kembali menyatukan bibir mereka.Mata Yuna mengerjap terbuka saat secercah cahaya matahari memasuki kamar itu. Ia beringsut membalikkan tubuhnya dan samar-samar melihat siluet orang lain. Lebih tepatnya, siluet seorang pria. “Apakah kau menikmati permainan semalam, Nona?” tanya suara serak itu. Mata Yuna seketika membelalak terbuka. Ia benar-benar mendapati seorang pria di sisinya. Tanpa busana. Ia pun menunduk pada tubuhnya sendiri yang juga tanpa busana. Seketika Yuna berteriak kencang. Morgan memicingkan mata dengan risi. “Berisik sekali. Mengapa kau berteriak? Aku sudah melihat semuanya tadi malam,” tutur pria itu. Ucapannya membuat Yuna semakin panik. “Kau—pria berengsek!” sergahnya. “Pergi! Pergi dari kamarku!” Yuna mulai memukuli tubuh atletis Morgan dengan bantal. Memaksa pria itu untuk ikut bangun.“Kamarmu? Ini adalah kamarku!” bantah pria itu. Yuna seketika terdiam. Sekali lagi, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar yang ia tempati memang terlihat sangat mewah. Bahkan ranjangnya pun king size
Dua bulan kemudian …. Dua garis merah. Yuna membelalakkan mata. Tangannya refleks menutup bibirnya dengan syok. Seluruh kekuatannya seakan hilang dan Yuna jatuh terduduk di atas toilet duduk di kamar mandinya. Sudah lebih dari dua bulan Yuna telat datang bulan. Awalnya, gadis itu berpikir mungkin karena stress setelah ditinggal Sean. Namun pagi ini, Yuna iseng mengeceknya dan tahu-tahu mendapat hasil yang mengejutkan. “Tidak mungkin!” gumam wanita itu dengan panik. Ia membasuh peluh di pelipisnya, kemudian cepat-cepat membuka kemasan alat tes kehamilan lainnya. Entah kebetulan atau apa, saat di apotek, Yuna memiliki firasat harus membeli dua. Cepat-cepat gadis itu kembali mengeceknya. Wajah Yuna menjadi pucat saat mendapatkan hasil dua garis merah yang sama. Tamatlah riwayatnya. Dok dok dok “Yuna! Apa yang kau lakukan di dalam?! Ibu mau ke kamar mandi!” Terdengar suara sang ibu dari luar. Wajah Yuna bertambah pucat. Ibunya pasti akan menghabisi Yuna di tempat jika mengetahu
Tuut tuut tuut “Halo? Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Suara itu tak terdengar seperti Morgan, melainkan sekretarisnya. Yuna seketika menjadi gelagapan. Tak tahu bagaimana harus merangkai kata-kata. “A—aku Yuna,” jawabnya, “Aku memiliki hal penting untuk dibicarakan dengan Morgan Lew … Morgan Lew—” Yuna tampak kesulitan mengeja nama itu. “Morgan Lewis Spencer.” “Tuan Morgan mengalami kecelakaan mobil parah tiga minggu lalu. Semua urusan yang berkaitan dengannya akan diserahkan kepada sekretarisnya untuk sementara.” Benny mengumumkan. ******Yuna pikir, masalah itu bukan hal yang seharusnya diserahkan kepada sekretaris Morgan, sekalipun dia adalah sekretaris pribadi. Yuna bersikeras untuk bicara kepada Morgan. Awalnya, Benny menolak. Namun, begitu mendengar nama Yuna, Morgan setuju untuk bicara. Dengan syarat gadis itu harus datang langsung menemuinya.Yuna pun menyanggupi. Kini, gadis itu ternganga di depan kediaman Morgan. Sejak awal, ia tahu Morgan adalah orang kaya.
“Kau yakin?” Morgan bertanya. Dia tidak terlihat goyah setelah mendengar kata-kata ‘menggugurkan’. Iris hitamnya masih memandang Yuna dengan dingin seolah janin dalam kandungannya bukanlah manusia yang harus dipertahankan. Justru Benny yang terlihat cemas. Tampaknya, sekretaris itu lebih bisa memahami makna nilai-nilai moral daripada bosnya. “Ya.” Yuna menjawab meski hatinya seakan tersayat saat membayangkannya. “Itu yang Anda inginkan, bukan?” “Kau—” Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba terdengar dering ponsel menguar di ruangan. Benny cepat-cepat mengecek ponselnya dan berjalan ke sudut untuk menjawab. “Baik. Terima kasih,” tutur pria itu. Dan, panggilan telepon diakhiri. “Ada apa?” Morgan kembali bertanya. Dia melirik ke arah Yuna sekilas. Seolah ragu apakah hendak mengatakannya di depan gadis itu. “Nona Aubrey datang, Tuan, dan dia membawa seorang pria bersamanya.” Benny memberitahu. Yuna tak berkutik. Ia yakin Aubrey adalah tunangan Morgan. Alis Morgan berkerut pen
Yuna merasa mual sejak pagi. Semakin hari, tanda-tanda kehamilan semakin jelas Yuna rasakan. Hingga saat ia terbangun pagi ini, Yuna langsung memuntahkan isi perutnya. Meski demikian, Nara terus mendesaknya untuk bersiap-siap. Kali ini pun, Yuna masih duduk di depan meja rias. Nara merombak total penampilannya. Rambut Yuna yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai. Nara memberikan riasan tipis dan Yuna pikir itu semua sudah cukup, tetapi Nara mendesak untuk memperbaiki penampilannya. "Ini dia. Aku menemukannya." Nara berseru dari arah kamarnya. Dia kembali dan membawa sebuah kotak. "Apa yang kau lakukan—""Sudah, percayakan saja padaku," ucap Nara. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung Yuna dan menggantinya dengan lensa kontak. Dalam waktu kurang dari dua jam, penampilan gadis itu sudah berubah total. "Ini dia. Kau harus memberi pelajaran kepada Sean. Enak saja dia berpaling begitu saja, padahal kau yang menemaninya dari nol, bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan it
Umumnya, hasil tes bisa keluar satu hari setelah pengecekan. Namun, Morgan membayar mahal agar hasilnya bisa keluar dalam waktu dua jam. Dia membaca berkas di tangannya dan seluruh tubuhnya seakan membeku. "Hasilnya 98% cocok, Tuan." Dokter itu memberitahu. Dada Morgan seakan tenggelam. Itu berarti Yuna tidak berbohong. Dia benar-benar hamil setelah hubungan intim mereka malam itu. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan?" Calvin yang bekerja sebagai pelayan pribadi Morgan bertanya. Ia bisa memahami kecemasan sang majikan. Pikiran Morgan seolah berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini semua di luar prediksinya. Hingga suara yang aneh tiba-tiba terdengar di ruangan itu. “Bunyi apa ini?” Morgan bertanya, mencari-cari sumber suara. “Ini suara detak jantung bayi Anda, Tuan,” ucap dokter itu. Jawaban itu membuat Morgan semakin kesulitan untuk bernapas. Ia bisa mendengar dengan jelas detaknya. Lemah, tetapi teratur, menunjukkan adanya kehidupan. Suara lain dari p
Evelyn. Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi ole
"Terima kasih untuk kerja sama Anda hari ini," ucap Benny, mewakili suara Morgan yang berada di sisinya, "Kalau begitu, kami pamit pulang terlebih dahulu—""Pulang?" Dewi menyela dengan logat kampungnya. "Tidak perlu terburu-buru. Sudah menjadi tradisi kalau pengantin pria dan wanita harus menghabiskan malam bersama," ucap Dewi dengan bersemangat. Yuna membelalakkan mata dengan terkejut, begitu pula Benny dan Morgan yang bertukar pandang dengan canggung. "Soal itu, kami—""Jangan khawatir," Dewi kembali menyela, "Walaupun rumah kami kecil, aku sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua," tambahnya. Kontras dengan sikap Yuna yang lebih banyak diam, karakter Dewi sangat keras, persis seorang ibu tunggal. Wajah Morgan menjadi semakin pucat mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika harus melakukan ritual itu juga. Senna tersenyum licik, sementara Yuna cepat-cepat mendekati sang ibu. "Apa yang Ibu katakan?" ucap Yuna, memberi isyarat agar sang ibu berhenti. Ia tahu Morgan mera