Share

Dari Tiga Juta Sampai Tiga Milyar

Mata Yuna mengerjap terbuka saat secercah cahaya matahari memasuki kamar itu. 

Ia beringsut membalikkan tubuhnya dan samar-samar melihat siluet orang lain. Lebih tepatnya, siluet seorang pria. 

“Apakah kau menikmati permainan semalam, Nona?” tanya suara serak itu. 

Mata Yuna seketika membelalak terbuka. Ia benar-benar mendapati seorang pria di sisinya. Tanpa busana. Ia pun menunduk pada tubuhnya sendiri yang juga tanpa busana. 

Seketika Yuna berteriak kencang. 

Morgan memicingkan mata dengan risi. 

“Berisik sekali. Mengapa kau berteriak? Aku sudah melihat semuanya tadi malam,” tutur pria itu. 

Ucapannya membuat Yuna semakin panik. 

“Kau—pria berengsek!” sergahnya. “Pergi! Pergi dari kamarku!” Yuna mulai memukuli tubuh atletis Morgan dengan bantal. Memaksa pria itu untuk ikut bangun.

“Kamarmu? Ini adalah kamarku!” bantah pria itu. 

Yuna seketika terdiam. Sekali lagi, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar yang ia tempati memang terlihat sangat mewah. Bahkan ranjangnya pun king size. 

Tak mungkin Nara mampu menyewa kamar hotel semewah ini. 

Deg 

Mata Yuna membelalak. 

“Ma—maksudmu ..., akulah penyebab semua kesalahan ini?” sentaknya. 

***

***

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu jika aku ternyata salah memasuki kamar,” ucap Yuna. 

Kini, keduanya sudah berpakaian dan Yuna tengah berlutut di lantai. Tidak ada yang memintanya untuk melakukan itu. Namun, Yuna merasa amat bersalah hingga secara naluriah meminta permohonan dengan cara itu. 

Di depannya, pria tak dikenal itu tampak sudah rapi dalam balutan jas. Wajahnya tampan dan tubuhnya atletis. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sempurna.

Dia menatap Yuna dengan dingin. 

“Bagaimana kau bisa masuk kemari?” 

Yuna menggelengkan kepala. 

“Aku tidak tahu. Aku langsung masuk saja.” 

“Kau pikir aku akan mempercayainya?” sergah Morgan.

Pria itu memejamkan mata sejenak. Dalam hati merasa amat menyesal dengan tindakannya. Kepalanya masih terasa pening dan ia tidak ingat sejauh mana mereka melakukannya tadi malam. 

“Lupakan saja, bicaralah pada sekretarisku. Dia yang akan menyelidikimu,” ucap Morgan.

Yuna seketika mendongak dan menatap Morgan dengan sorot membelalak. 

“Me—menyelidiki?” Dia terlihat ketakutan. “Ini ... ini adalah kesalahan yang bisa kita selesaikan dengan cepat dengan permintaan maaf, Tuan.” 

Morgan menyeringai dan mendengkus kasar. Tadi malam, ia mungkin kehilangan pikirannya. Namun, sekarang pria itu sudah sadar dan baru menyadari betapa serius masalah mereka. 

“Ini adalah tindak kriminal. Wanita asing tiba-tiba memasuki kamarku. Siapa yang menjamin kau tidak melakukannya untuk menjebakku?” tuduh Morgan. 

“Menjebak?” 

Wajah Yuna bertambah pucat mendengar tuduhan itu. Ia sangat takut Morgan akan membawanya ke polisi. Jika ibunya tahu ia membuat keributan hingga masuk kantor polisi, tak diragukan lagi Yuna akan habis di tangannya. 

“Demi Tuhan aku tidak pernah terpikir untuk melakukannya!” ucap gadis itu dengan panik. 

Bibir Morgan terbuka untuk mengeluarkan tuduhan lain, tetapi terhenti saat Benny melangkah masuk. Pria itu menghampiri Morgan dan berbisik di dekatnya. 

“Dia benar-benar menyewa kamar di hotel ini, Tuan. Kamar 306. Sepertinya, dia salah memasuki kamar.” Benny memberitahu. 

Morgan membungkam. 306 dan 309. 

Jadi, gadis itu tidak berbohong? Dia benar-benar salah memasuki kamar? Namun, bagaimana bisa? Seharusnya kunci kamar hotel itu hanya bisa diakses oleh penyewa. 

Pria itu mengembuskan napas panjang. 

“Kalau begitu, ini kesalahan kita berdua.” Dia menyimpulkan. “Ayo kita selesaikan ini dengan cepat.” 

“Sebelum itu ..., aku ingin bertanya,” ucap Yuna.

Raut pucatnya kini digantikan oleh perasaan gugup yang tergambar jelas di wajahnya. 

“Katakan.”

 Yuna menelan saliva kelat, kemudian menatap lurus-lurus pada Morgan yang berdiri di hadapannya. 

“Anda ... tadi malam Anda memakai pengaman, 'kan?” tanya gadis itu. Hanya untuk memastikan. 

“Tidak.” Morgan menjawab enteng. 

“A—apa?!” sergah Yuna. Jantungnya seakan berhenti. Tubuhnya menjadi lemas seketika. 

“Lalu mengapa Anda melakukan itu?” Gadis itu memprotes. 

“Kau tiba-tiba memasuki kamar ini dan menggodaku. Mana mungkin aku memiliki stok untuk benda semacam itu,” jawab Morgan. 

Yuna tidak mengerti mengapa Morgan bisa bersikap setenang itu di tengah situasi genting. 

Ia menatap Morgan dengan resah. 

“Lalu, bagaimana jika aku hamil?” tanya Yuna, terang-terangan. 

“Kau tidak akan hamil.” Morgan menjawab datar. 

Yuna mengernyitkan alis. Ia memang tak ingat sedikit pun kenangan mereka malam tadi. Namun, area kewanitaannya masih terasa sakit, bahkan ia sempat melihat bercak darah, bukti bahwa pria itu benar-benar menembus pertahanannya tadi malam. 

“Mengapa Anda begitu yakin?” tanya Yuna. 

“Jika kau hamil, maka kau akan menjadi orang paling beruntung di dunia.” Morgan menjawab seraya melirik pada arlojinya. 

07.45. Ia harus menemui Aubrey pukul 08.00. Tak ada waktu lagi. 

“Kita akan membereskan ini dengan cepat. Benny, berikan cek dan pulpen untuknya,” titah Morgan. 

Dia terlihat begitu tenang dan datar. Sedatar air di danau yang dalam. Sikapnya menunjukkan seolah konflik seperti ini adalah hal biasa untuknya. 

Benny pun memberikan Yuna secarik kertas serta sebuah pulpen. Gadis itu menatapnya dengan bingung. 

“Apa ini?”

“Bayaran untukmu,” jawab Morgan, “Tuliskan saja nominalnya. Berapa pun. Dari tiga juta sampai tiga milyar. Aku akan membayarnya. Dengan syarat, kita tak boleh bertemu lagi setelah hari ini,” tutur pria itu. 

Morgan tak memiliki banyak waktu. Setiap detik amat berharga baginya sehingga ia dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan cepat. Lagi pula, akan jauh lebih baik bagi mereka jika masalah ini selesai lebih cepat. 

“Tidak perlu melakukannya,” jawab Yuna. Dia menaruh cek dan pulpen itu di atas meja.

Untuk pertama kalinya, ketenangan menghilang dari wajah Morgan. Dia menatap Yuna dengan sorot tak percaya. 

“Kenapa?”

Sulit dipercaya. 

Padahal, para wanita di luar berusaha agar bisa satu ranjang dengan Morgan. Mereka tak akan segan mengeruk harta pria itu. 

Kali ini, dia justru menolaknya mentah-mentah. 

Yuna menatap Morgan dan tersenyum canggung. 

“Seperti yang kau katakan, ini adalah kesalahan kita bersama. Maka, aku tidak bisa menerima ini. Kita harus melupakan kejadian malam tadi. Aku akan langsung pergi sekarang,” ucapnya. 

Wanita itu mengangguk satu kali, kemudian beranjak bangkit. Dia mulai melangkah pergi meninggalkan ruangan. 

“Tunggu.” Suara Morgan terdengar lagi. 

Yuna berhenti. Perlahan, ia menoleh ke arah Morgan. Pria itu berjalan menghampirinya, kemudian memberikan secarik kertas. 

“Hubungi nomor ini jika kau benar-benar hamil,” katanya. 

Yuna menunduk untuk membacanya. 

Morgan Lewis Spencer. Direktur utama Ehited Airways. 

Gadis itu mengangguk dan langsung  memasukkan kartu nama itu ke dalam saku. 

“Baiklah. Aku akan pergi sekarang,” katanya, kemudian berjalan menjauh. 

Ia berharap tak akan pernah menghubungi ataupun bertemu lagi dengan pria itu. 

“Apakah ada yang tertinggal, Tuan?” Benny bertanya. 

Sudah lewati bermenit-menit semenjak mereka berpisah. Kini, keduanya sudah berada di dalam lift menuju restoran di hotel bintang lima tersebut. Akan tetapi, wajah Morgan masih terlihat risau. 

Morgan menggeleng. Ia hanya merasa resah dengan reaksi Yuna. 

Setelah membaca kartu namanya, umumnya orang-orang akan berdecak kagum atau bahkan mengubah perlakukannya. Namun, gadis itu tak menunjukkan reaksi apa pun. Bahkan, ia langsung memasukkannya ke dalam saku seakan itu tidak berharga. 

“Benar-benar gadis aneh,” gumamnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status