Mata Yuna mengerjap terbuka saat secercah cahaya matahari memasuki kamar itu.
Ia beringsut membalikkan tubuhnya dan samar-samar melihat siluet orang lain. Lebih tepatnya, siluet seorang pria. “Apakah kau menikmati permainan semalam, Nona?” tanya suara serak itu. Mata Yuna seketika membelalak terbuka. Ia benar-benar mendapati seorang pria di sisinya. Tanpa busana. Ia pun menunduk pada tubuhnya sendiri yang juga tanpa busana. Seketika Yuna berteriak kencang. Morgan memicingkan mata dengan risi. “Berisik sekali. Mengapa kau berteriak? Aku sudah melihat semuanya tadi malam,” tutur pria itu. Ucapannya membuat Yuna semakin panik. “Kau—pria berengsek!” sergahnya. “Pergi! Pergi dari kamarku!” Yuna mulai memukuli tubuh atletis Morgan dengan bantal. Memaksa pria itu untuk ikut bangun.“Kamarmu? Ini adalah kamarku!” bantah pria itu. Yuna seketika terdiam. Sekali lagi, ia mengedarkan pandangan ke sekitar. Kamar yang ia tempati memang terlihat sangat mewah. Bahkan ranjangnya pun king size. Tak mungkin Nara mampu menyewa kamar hotel semewah ini. Deg Mata Yuna membelalak. “Ma—maksudmu ..., akulah penyebab semua kesalahan ini?” sentaknya. ******“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu jika aku ternyata salah memasuki kamar,” ucap Yuna. Kini, keduanya sudah berpakaian dan Yuna tengah berlutut di lantai. Tidak ada yang memintanya untuk melakukan itu. Namun, Yuna merasa amat bersalah hingga secara naluriah meminta permohonan dengan cara itu. Di depannya, pria tak dikenal itu tampak sudah rapi dalam balutan jas. Wajahnya tampan dan tubuhnya atletis. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sempurna.Dia menatap Yuna dengan dingin. “Bagaimana kau bisa masuk kemari?” Yuna menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Aku langsung masuk saja.” “Kau pikir aku akan mempercayainya?” sergah Morgan.Pria itu memejamkan mata sejenak. Dalam hati merasa amat menyesal dengan tindakannya. Kepalanya masih terasa pening dan ia tidak ingat sejauh mana mereka melakukannya tadi malam. “Lupakan saja, bicaralah pada sekretarisku. Dia yang akan menyelidikimu,” ucap Morgan.Yuna seketika mendongak dan menatap Morgan dengan sorot membelalak. “Me—menyelidiki?” Dia terlihat ketakutan. “Ini ... ini adalah kesalahan yang bisa kita selesaikan dengan cepat dengan permintaan maaf, Tuan.” Morgan menyeringai dan mendengkus kasar. Tadi malam, ia mungkin kehilangan pikirannya. Namun, sekarang pria itu sudah sadar dan baru menyadari betapa serius masalah mereka. “Ini adalah tindak kriminal. Wanita asing tiba-tiba memasuki kamarku. Siapa yang menjamin kau tidak melakukannya untuk menjebakku?” tuduh Morgan. “Menjebak?” Wajah Yuna bertambah pucat mendengar tuduhan itu. Ia sangat takut Morgan akan membawanya ke polisi. Jika ibunya tahu ia membuat keributan hingga masuk kantor polisi, tak diragukan lagi Yuna akan habis di tangannya. “Demi Tuhan aku tidak pernah terpikir untuk melakukannya!” ucap gadis itu dengan panik. Bibir Morgan terbuka untuk mengeluarkan tuduhan lain, tetapi terhenti saat Benny melangkah masuk. Pria itu menghampiri Morgan dan berbisik di dekatnya. “Dia benar-benar menyewa kamar di hotel ini, Tuan. Kamar 306. Sepertinya, dia salah memasuki kamar.” Benny memberitahu. Morgan membungkam. 306 dan 309. Jadi, gadis itu tidak berbohong? Dia benar-benar salah memasuki kamar? Namun, bagaimana bisa? Seharusnya kunci kamar hotel itu hanya bisa diakses oleh penyewa. Pria itu mengembuskan napas panjang. “Kalau begitu, ini kesalahan kita berdua.” Dia menyimpulkan. “Ayo kita selesaikan ini dengan cepat.” “Sebelum itu ..., aku ingin bertanya,” ucap Yuna.Raut pucatnya kini digantikan oleh perasaan gugup yang tergambar jelas di wajahnya. “Katakan.” Yuna menelan saliva kelat, kemudian menatap lurus-lurus pada Morgan yang berdiri di hadapannya. “Anda ... tadi malam Anda memakai pengaman, 'kan?” tanya gadis itu. Hanya untuk memastikan. “Tidak.” Morgan menjawab enteng. “A—apa?!” sergah Yuna. Jantungnya seakan berhenti. Tubuhnya menjadi lemas seketika. “Lalu mengapa Anda melakukan itu?” Gadis itu memprotes. “Kau tiba-tiba memasuki kamar ini dan menggodaku. Mana mungkin aku memiliki stok untuk benda semacam itu,” jawab Morgan. Yuna tidak mengerti mengapa Morgan bisa bersikap setenang itu di tengah situasi genting. Ia menatap Morgan dengan resah. “Lalu, bagaimana jika aku hamil?” tanya Yuna, terang-terangan. “Kau tidak akan hamil.” Morgan menjawab datar. Yuna mengernyitkan alis. Ia memang tak ingat sedikit pun kenangan mereka malam tadi. Namun, area kewanitaannya masih terasa sakit, bahkan ia sempat melihat bercak darah, bukti bahwa pria itu benar-benar menembus pertahanannya tadi malam. “Mengapa Anda begitu yakin?” tanya Yuna. “Jika kau hamil, maka kau akan menjadi orang paling beruntung di dunia.” Morgan menjawab seraya melirik pada arlojinya. 07.45. Ia harus menemui Aubrey pukul 08.00. Tak ada waktu lagi. “Kita akan membereskan ini dengan cepat. Benny, berikan cek dan pulpen untuknya,” titah Morgan. Dia terlihat begitu tenang dan datar. Sedatar air di danau yang dalam. Sikapnya menunjukkan seolah konflik seperti ini adalah hal biasa untuknya. Benny pun memberikan Yuna secarik kertas serta sebuah pulpen. Gadis itu menatapnya dengan bingung. “Apa ini?”“Bayaran untukmu,” jawab Morgan, “Tuliskan saja nominalnya. Berapa pun. Dari tiga juta sampai tiga milyar. Aku akan membayarnya. Dengan syarat, kita tak boleh bertemu lagi setelah hari ini,” tutur pria itu. Morgan tak memiliki banyak waktu. Setiap detik amat berharga baginya sehingga ia dituntut untuk menyelesaikan masalah dengan cepat. Lagi pula, akan jauh lebih baik bagi mereka jika masalah ini selesai lebih cepat. “Tidak perlu melakukannya,” jawab Yuna. Dia menaruh cek dan pulpen itu di atas meja.Untuk pertama kalinya, ketenangan menghilang dari wajah Morgan. Dia menatap Yuna dengan sorot tak percaya. “Kenapa?”Sulit dipercaya. Padahal, para wanita di luar berusaha agar bisa satu ranjang dengan Morgan. Mereka tak akan segan mengeruk harta pria itu. Kali ini, dia justru menolaknya mentah-mentah. Yuna menatap Morgan dan tersenyum canggung. “Seperti yang kau katakan, ini adalah kesalahan kita bersama. Maka, aku tidak bisa menerima ini. Kita harus melupakan kejadian malam tadi. Aku akan langsung pergi sekarang,” ucapnya. Wanita itu mengangguk satu kali, kemudian beranjak bangkit. Dia mulai melangkah pergi meninggalkan ruangan. “Tunggu.” Suara Morgan terdengar lagi. Yuna berhenti. Perlahan, ia menoleh ke arah Morgan. Pria itu berjalan menghampirinya, kemudian memberikan secarik kertas. “Hubungi nomor ini jika kau benar-benar hamil,” katanya. Yuna menunduk untuk membacanya. Morgan Lewis Spencer. Direktur utama Ehited Airways. Gadis itu mengangguk dan langsung memasukkan kartu nama itu ke dalam saku. “Baiklah. Aku akan pergi sekarang,” katanya, kemudian berjalan menjauh. Ia berharap tak akan pernah menghubungi ataupun bertemu lagi dengan pria itu. “Apakah ada yang tertinggal, Tuan?” Benny bertanya. Sudah lewati bermenit-menit semenjak mereka berpisah. Kini, keduanya sudah berada di dalam lift menuju restoran di hotel bintang lima tersebut. Akan tetapi, wajah Morgan masih terlihat risau. Morgan menggeleng. Ia hanya merasa resah dengan reaksi Yuna. Setelah membaca kartu namanya, umumnya orang-orang akan berdecak kagum atau bahkan mengubah perlakukannya. Namun, gadis itu tak menunjukkan reaksi apa pun. Bahkan, ia langsung memasukkannya ke dalam saku seakan itu tidak berharga. “Benar-benar gadis aneh,” gumamnya.Dua bulan kemudian …. Dua garis merah. Yuna membelalakkan mata. Tangannya refleks menutup bibirnya dengan syok. Seluruh kekuatannya seakan hilang dan Yuna jatuh terduduk di atas toilet duduk di kamar mandinya. Sudah lebih dari dua bulan Yuna telat datang bulan. Awalnya, gadis itu berpikir mungkin karena stress setelah ditinggal Sean. Namun pagi ini, Yuna iseng mengeceknya dan tahu-tahu mendapat hasil yang mengejutkan. “Tidak mungkin!” gumam wanita itu dengan panik. Ia membasuh peluh di pelipisnya, kemudian cepat-cepat membuka kemasan alat tes kehamilan lainnya. Entah kebetulan atau apa, saat di apotek, Yuna memiliki firasat harus membeli dua. Cepat-cepat gadis itu kembali mengeceknya. Wajah Yuna menjadi pucat saat mendapatkan hasil dua garis merah yang sama. Tamatlah riwayatnya. Dok dok dok “Yuna! Apa yang kau lakukan di dalam?! Ibu mau ke kamar mandi!” Terdengar suara sang ibu dari luar. Wajah Yuna bertambah pucat. Ibunya pasti akan menghabisi Yuna di tempat jika mengetahu
Tuut tuut tuut “Halo? Siapa ini?” Suara di seberang menjawab. Suara itu tak terdengar seperti Morgan, melainkan sekretarisnya. Yuna seketika menjadi gelagapan. Tak tahu bagaimana harus merangkai kata-kata. “A—aku Yuna,” jawabnya, “Aku memiliki hal penting untuk dibicarakan dengan Morgan Lew … Morgan Lew—” Yuna tampak kesulitan mengeja nama itu. “Morgan Lewis Spencer.” “Tuan Morgan mengalami kecelakaan mobil parah tiga minggu lalu. Semua urusan yang berkaitan dengannya akan diserahkan kepada sekretarisnya untuk sementara.” Benny mengumumkan. ******Yuna pikir, masalah itu bukan hal yang seharusnya diserahkan kepada sekretaris Morgan, sekalipun dia adalah sekretaris pribadi. Yuna bersikeras untuk bicara kepada Morgan. Awalnya, Benny menolak. Namun, begitu mendengar nama Yuna, Morgan setuju untuk bicara. Dengan syarat gadis itu harus datang langsung menemuinya.Yuna pun menyanggupi. Kini, gadis itu ternganga di depan kediaman Morgan. Sejak awal, ia tahu Morgan adalah orang kaya.
“Kau yakin?” Morgan bertanya. Dia tidak terlihat goyah setelah mendengar kata-kata ‘menggugurkan’. Iris hitamnya masih memandang Yuna dengan dingin seolah janin dalam kandungannya bukanlah manusia yang harus dipertahankan. Justru Benny yang terlihat cemas. Tampaknya, sekretaris itu lebih bisa memahami makna nilai-nilai moral daripada bosnya. “Ya.” Yuna menjawab meski hatinya seakan tersayat saat membayangkannya. “Itu yang Anda inginkan, bukan?” “Kau—” Perkataan Morgan terhenti saat tiba-tiba terdengar dering ponsel menguar di ruangan. Benny cepat-cepat mengecek ponselnya dan berjalan ke sudut untuk menjawab. “Baik. Terima kasih,” tutur pria itu. Dan, panggilan telepon diakhiri. “Ada apa?” Morgan kembali bertanya. Dia melirik ke arah Yuna sekilas. Seolah ragu apakah hendak mengatakannya di depan gadis itu. “Nona Aubrey datang, Tuan, dan dia membawa seorang pria bersamanya.” Benny memberitahu. Yuna tak berkutik. Ia yakin Aubrey adalah tunangan Morgan. Alis Morgan berkerut pen
Yuna merasa mual sejak pagi. Semakin hari, tanda-tanda kehamilan semakin jelas Yuna rasakan. Hingga saat ia terbangun pagi ini, Yuna langsung memuntahkan isi perutnya. Meski demikian, Nara terus mendesaknya untuk bersiap-siap. Kali ini pun, Yuna masih duduk di depan meja rias. Nara merombak total penampilannya. Rambut Yuna yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai. Nara memberikan riasan tipis dan Yuna pikir itu semua sudah cukup, tetapi Nara mendesak untuk memperbaiki penampilannya. "Ini dia. Aku menemukannya." Nara berseru dari arah kamarnya. Dia kembali dan membawa sebuah kotak. "Apa yang kau lakukan—""Sudah, percayakan saja padaku," ucap Nara. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung Yuna dan menggantinya dengan lensa kontak. Dalam waktu kurang dari dua jam, penampilan gadis itu sudah berubah total. "Ini dia. Kau harus memberi pelajaran kepada Sean. Enak saja dia berpaling begitu saja, padahal kau yang menemaninya dari nol, bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan it
Umumnya, hasil tes bisa keluar satu hari setelah pengecekan. Namun, Morgan membayar mahal agar hasilnya bisa keluar dalam waktu dua jam. Dia membaca berkas di tangannya dan seluruh tubuhnya seakan membeku. "Hasilnya 98% cocok, Tuan." Dokter itu memberitahu. Dada Morgan seakan tenggelam. Itu berarti Yuna tidak berbohong. Dia benar-benar hamil setelah hubungan intim mereka malam itu. "Sekarang apa yang akan kita lakukan, Tuan?" Calvin yang bekerja sebagai pelayan pribadi Morgan bertanya. Ia bisa memahami kecemasan sang majikan. Pikiran Morgan seolah berkecamuk. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ini semua di luar prediksinya. Hingga suara yang aneh tiba-tiba terdengar di ruangan itu. “Bunyi apa ini?” Morgan bertanya, mencari-cari sumber suara. “Ini suara detak jantung bayi Anda, Tuan,” ucap dokter itu. Jawaban itu membuat Morgan semakin kesulitan untuk bernapas. Ia bisa mendengar dengan jelas detaknya. Lemah, tetapi teratur, menunjukkan adanya kehidupan. Suara lain dari p
Evelyn. Memanggil ….Morgan duduk di kursi roda dan memandangi layar ponselnya. Sejak tadi, benda itu mencoba menghubungi seseorang yang tak kunjung menjawab. Pria itu tampak sudah rapi dan siap dalam pakaian formalnya. Untuk hari penting ini, Morgan memilih mengenakan kemeja putih dengan tuksedo hitam yang terlihat berkelas. Dari ujung kepala hingga ujung kaki, pria itu terlihat sudah siap untuk menghadapi hari ini. Namun, pikirannya tertuju pada hal lain.Hanya tinggal menghitung jam hingga pernikahannya berlangsung, dan Morgan justru memikirkan orang lain. Seorang wanita yang mungkin tidak akan pernah kembali padanya.“Tuan, kita harus berangkat sekarang,” ucap Benny, sekretaris sekaligus pendamping Morgan hari ini. Sekali lagi, Morgan melirik pada ponselnya yang gagal menghubungi wanita itu. Dia mengembuskan napas panjang, kemudian mengangguk. “Ayo berangkat,” ucapnya dengan suara berat. ******“Apa-apaan ini?” Dewi memprotes saat berada di kamar Yuna. Kamar itu dipenuhi ole
"Terima kasih untuk kerja sama Anda hari ini," ucap Benny, mewakili suara Morgan yang berada di sisinya, "Kalau begitu, kami pamit pulang terlebih dahulu—""Pulang?" Dewi menyela dengan logat kampungnya. "Tidak perlu terburu-buru. Sudah menjadi tradisi kalau pengantin pria dan wanita harus menghabiskan malam bersama," ucap Dewi dengan bersemangat. Yuna membelalakkan mata dengan terkejut, begitu pula Benny dan Morgan yang bertukar pandang dengan canggung. "Soal itu, kami—""Jangan khawatir," Dewi kembali menyela, "Walaupun rumah kami kecil, aku sudah menyiapkan kamar khusus untuk kalian berdua," tambahnya. Kontras dengan sikap Yuna yang lebih banyak diam, karakter Dewi sangat keras, persis seorang ibu tunggal. Wajah Morgan menjadi semakin pucat mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika harus melakukan ritual itu juga. Senna tersenyum licik, sementara Yuna cepat-cepat mendekati sang ibu. "Apa yang Ibu katakan?" ucap Yuna, memberi isyarat agar sang ibu berhenti. Ia tahu Morgan mera
"Akan ada sopir yang menjemputmu siang ini. Segera bereskan barang-barangmu." Demikian pesan yang ditinggalkan Morgan sebelum pria itu pergi. Saat Yuna terbangun di atas tikar, ia melihat Morgan sudah bersiap pergi dan pria itu menyampaikan pesan tersebut. Yuna tak sempat mencegah kepergiannya. "Apakah Morgan sudah pergi?" Dewi bertanya. Wanita itu kembali ke rumah untuk memasak sarapan dan kini Yuna tengah berada di dapur, membantunya. Dewi bukannya wanita yang buta dan tak peka. Ia bisa langsung menyadari kejanggalan pada hubungan keduanya. Oleh sebab itu, ia sengaja mengurung mereka semalaman, dengan harapan sesuatu yang berbeda akan tercipta di antara keduanya. Yuna mengangguk. "Katanya, ada rapat pagi-pagi yang harus didatangi," ucapnya, setengah berbohong demi menutupi reputasi baik suaminya. Seakan bisa menyadari kebohongan dalam suara sang putri, Dewi berhenti memotong sayuran dan mengamati tubuh putri sulungnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kalian benar melaku