Yuna merasa mual sejak pagi.
Semakin hari, tanda-tanda kehamilan semakin jelas Yuna rasakan. Hingga saat ia terbangun pagi ini, Yuna langsung memuntahkan isi perutnya. Meski demikian, Nara terus mendesaknya untuk bersiap-siap. Kali ini pun, Yuna masih duduk di depan meja rias. Nara merombak total penampilannya. Rambut Yuna yang biasa diikat kini dibiarkan tergerai. Nara memberikan riasan tipis dan Yuna pikir itu semua sudah cukup, tetapi Nara mendesak untuk memperbaiki penampilannya. "Ini dia. Aku menemukannya." Nara berseru dari arah kamarnya. Dia kembali dan membawa sebuah kotak. "Apa yang kau lakukan—""Sudah, percayakan saja padaku," ucap Nara. Dia melepas kacamata yang bertengger di hidung Yuna dan menggantinya dengan lensa kontak. Dalam waktu kurang dari dua jam, penampilan gadis itu sudah berubah total. "Ini dia. Kau harus memberi pelajaran kepada Sean. Enak saja dia berpaling begitu saja, padahal kau yang menemaninya dari nol, bahkan membantunya mendapatkan pekerjaan itu!" Nara terus menggerutu. Yuna hanya tersenyum canggung. Sejujurnya, dia sudah mengikhlaskan Sean. Pikirannya kini terpusat pada janin dalam kandungannya. Rasa mual yang semakin menjadi membuat Yuna merasa yakin janin itu benar hidup dalam perutnya. "Sepertinya, lebih baik aku tidak datang," ucap Yuna, khawatir ia mual-mual di tempat pernikahan. "Tidak bisa!" Nara mendesak. "Kau harus datang dan menyelamatkan nama baikmu. Ngomong-ngomong, sepertinya perutmu bertambah besar." Nara berkomentar. Dia berdiri dan memperhatikan area perut Yuna dengan saksama. Gadis itu cepat-cepat menyembunyikan dengan tangannya. "Jangan bercanda," ucap Yuna, mencoba mengalihkan pembicaraan. "Tunggu, sejak kemarin juga kamu terus memperhatikannya. Jangan-jangan …" Nara memicingkan mata dengan curiga dan Yuna semakin gugup. Dia mengerjap cepat. "A—apa?" "Jangan-jangan berat badan kamu bertambah, Yuna!" Nara berseru. "Sudah kubilang, kamu harus berhenti makan malam mulai sekarang." Sahabatnya itu mulai mengomel. Yuna mengembuskan napas lega mendengarnya. Ia khawatir Nara mungkin menyadari perubahan signifikan di tubuhnya. "Setelah pulang, aku akan mengajakmu berjalan-jalan agar berat badanmu turun," tutur Nara. Yuna ingin menyetujui, tetapi suara Morgan tiba-tiba kembali mengiang di kepalanya. "Tidak bisa," jawab Yuna, "Aku … aku memiliki janji dengan seseorang sore ini." Nara mengerutkan alis. Selama ini, lingkup pertemanan Yuna tidak terlalu luas. Gadis itu hanya memiliki Nara dan Sean. "Siapa?" Nara bertanya. Yuna mereguk saliva dengan gugup. "Kau tidak mengenalnya. Ini … ini hanya urusan bisnis." Dia mencoba berkilah. "Ya sudah. Tunggu di sini, aku akan bersiap-siap," ucap Nara, kemudian beranjak pergi ke kamarnya. Yuna memandang pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat jauh lebih cantik. Akan tetapi, itu semua percuma sebab dia telah melihat Aubrey dan gadis itu jauh lebih cantik dari dirinya. ******Nara benar-benar menemani Yuna dan gadis itu tercengang melihat mempelai pengantin. "Dia … dia adalah kekasih Sean?" tanya gadis itu dengan terbata. Jelas Nara kaget, sebab Aubrey memang sangat cantik layaknya model. Jika dibandingkan dengan mereka, jelas keduanya kalah jauh. Yuna hanya tersenyum canggung. "Sudah kubilang, lebih baik kita tidak datang," ucapnya. "Tunggu sebentar." Nara masih terlihat syok. "Aku akan mengambil minuman. Tunggu di sini," ucap gadis itu, kemudian segera beranjak menuju prasmanan tempat minuman disajikan. Yuna mengembuskan napas panjang. Perutnya kembali terasa tidak enak. Dia berjalan mundur seraya mengedarkan pandangan ke sekitar dan tiba-tiba kakinya terasa membentur kaki orang lain. "Maafkan aku." Yuna cepat-cepat membungkuk. "Aku tidak sengaja melakukannya." "... kau." Tubuh Yuna seakan membeku di tempat mendengar suara itu. Suara dingin yang sudah tiga kali memanggilnya dengan cara yang sama.Perlahan, Yuna mengangkat wajah dan tubuhnya seketika bergidik mendapati pria di depannya adalah Morgan yang duduk di kursi roda. Pria itu menatap Yuna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia terlihat jauh berbeda. Alis Morgan langsung mengernyit. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Morgan. "Apakah … kau membuntutiku?"Yuna membelalakkan mata dan langsung menggeleng. "Tidak," jawabnya, "Tentu saja aku tidak—""Yuna?" Suara seorang pria kembali terdengar. Kali ini datangnya dari Sean. Jantung Yuna seakan berhenti berdetak. Pria itu berjalan mendekat bersama Aubrey. "Kalian—" Aubrey tercekat dan memandang keduanya bergantian. "Apakah kalian saling mengenal?" Alis Morgan menukik tajam. Ia memiliki otak yang cerdas, tetapi tiba-tiba tak bisa mencerna situasi di hadapannya. "Kau mengenal dia, Aubrey?" Morgan bertanya. Wanita dalam balutan gaun pengantin itu mengangguk. "Dia adalah mantan kekasih Sean yang sudah dicampakkan," jawabnya, kemudian melirik tak senang ke arah Yuna, "Aku tidak menyangka kau akan datang," sambungnya. Tidak. Tunggu. Morgan semakin sulit memahami situasinya. Dia memandang Yuna, kemudian Sean, dan Aubrey. Yuna dicampakkan oleh Sean yang kebetulan adalah selingkuhan Aubrey. Kemudian, Yuna mendatanginya dan mengaku hamil. Morgan menatap Yuna dengan sorot tajam. "Gadis licik," katanya, "Apakah kau sengaja menjebakku?" tuduh pria itu dengan suara pahit. Mendengarnya, Yuna yang sejak tadi menunduk seketika mendongak dan menggelengkan kepala. "Tidak," jawabnya seraya masih menggeleng, "Aku benar-benar tidak mengetahui hal ini." "Menjebak?" Sean mengerutkan kening. "Apa yang terjadi? Siapa yang dijebak?" Aubrey tak langsung berkomentar. Dia memandang Yuna dan Morgan bergantian, kemudian mendecih. "Aku tidak menyangka seleramu jatuh pada gadis seperti dia, Morgan," komentarnya. Morgan tidak menjawab. Dia masih membungkam. Hampir saja. Sejak semalam, dia terus teringat pada Yuna. Gadis itu terlihat polos, tetapi ternyata sangat licik. Ia benar-benar hampir jatuh pada tipu muslihatnya. Tidak heran jika selama ini Morgan merasa aneh. Ia yang didiagnosa tidak memiliki keturunan, tiba-tiba seorang gadis mendatanginya dan berkata hamil anak darah dagingnya. Yuna bahkan secara tidak langsung berharap agar Morgan menikahinya. Dan, tiba-tiba semuanya menjadi sempurna karena ternyata selingkuhannya adalah mantan Yuna?Mana mungkin takdir berjalan semulus ini? Sudah jelas semua ini adalah rencana, yang secara langsung dibuat oleh Yuna. Morgan menatap ke arah Yuna dengan sorot gelap dan kecewa. "Kau terlihat sangat polos dan tulus sampai aku hampir terbuai oleh air matamu. Tidak disangka, rupanya kau hanya gadis yang licik," ucap pria itu. Yuna menggelengkan kepala berulang kali. Matanya mulai berkaca-kaca. "Tidak, Morgan, ini tidak seperti yang kau pikirkan—akh." Tak hanya mual, tiba-tiba perut Yuna didera oleh rasa sakit hebat hingga salivanya terasa pahit. Dunia seakan berputar dalam pandangannya dan tak tubuh waktu lama hingga pandangannya menjadi gelap gulita. ******"Dia hamil, Tuan." Itu adalah kata pertama yang diucapkan dokter setelah memeriksa Yuna. Gadis itu masih tak sadarkan diri dan dokter itu berbicara langsung kepada Morgan. Dia masih duduk di kursi roda, hingga dadanya seakan ditembus peluru saat mendengar diagnosa dokter. "Apakah janin itu bisa dites DNA, Dokter?" Morgan bertanya meski tenggorokannya sudah seperti disumbat jarum. "Karena plasentanya sudah terbentuk, bisa saja dilakukan. Apakah Anda ingin melakukannya?" Dokter itu bertanya. Leher Morgan terasa berat untuk mengangguk. Jauh dalam lubuk hatinya ia takut hasilnya benar cocok. "Ya, lakukanlah," perintahnya dengan suara tegas.“Apa yang terjadi padanya?” David bertanya seraya menghampiri Cindy dan Yuna. Pertanyaan itu ditujukan kepada Yuna yang sore ini terlihat begitu layu. Tak biasanya Yuna seperti ini. Bahkan setelah memeriksa puluhan pasien, wanita itu masih memiliki cukup stamina. “Sudah dua hari dia ditinggal suaminya.” Cindy menjelaskan. Menatap iba pada sahabatnya yang kini terlihat seperti zombie. “Bukankah seharusnya dia kembali kemarin?” tanya Cindy lagi. Terhitung sudah sebulan semenjak Yuna menikah dengan Morgan. Wanita itu masih diizinkan untuk bekerja. Namun, keduanya justru tidak sering bertemu. Tak seperti saat masa pendekatan dahulu, Morgan bisa memanggil Yuna sesuka hati. Kini, bahkan pria itu amat jarang terlihat di rumah sakit. Membuat Yuna hanya bisa bertemu dengannya saat malam dan pagi hari. Bahkan, kali ini terhitung sudah dua hari ia tak bertemu Morgan dan seluruh energinya seakan menghilang. Yuna tak pernah seperti ini sebelumnya. “Tiba-tiba dia harus mengadakan pertemu
Bunyi gerendel digeser menyambut masuknya seorang pria berompi dan berpakaian oranye. Kedua tangannya diborgol dan raut wajahnya terlihat lesu sekaligus tak terawat. Orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka jika pria berpakaian tahanan penjara itu pernah menjadi direktur utama perusahaan bergengsi. Morgan sudah menunggu di kursi dan begitu sang paman mengangkat kepala untuk melihatnya, pria itu bergegas menghampiri Morgan. “Kau datang untuk melepaskanku, ‘kan? Kau datang untuk mencabut tuntutan itu, ‘kan, Morgan?” sergah Dimas dengan penuh harap. Sudah genap lima hari dia dipenjara dan penampilan Dimas terlihat jauh lebih buruk. Tak ada lagi bekas perkelahian. Kumisnya tumbuh dengan cepat, matanya sayu, dan kulit wajahnya terlihat kusam. Dari apa yang dilaporkan oleh jaksa, Dimas dituntut lima belas tahun penjara atas tuduhan penggelapan dana dan penyuapan yang dia lakukan, ditambah tiga tahun lagi atas percobaan pembunuhan yang ia lakukan terhadap Yuna. Morgan sudah be
Sekujur tubuh Yuna seketika bereaksi mendengar suara Morgan. Ia menelan saliva dengan gugup. Bahkan lehernya terlihat kaku saat Yuna menoleh perlahan ke arah Morgan. “A … apa?” tanya wanita itu seraya berkedip canggung. Pria itu tersenyum tipis dan menegakkan tubuhnya. Satu tangannya masih berada di dalam saku, sementara sudut bibir Morgan tertarik membentuk senyum miring. “Kakek sudah menyiapkan ini semua. Hanya untuk kita. Tidak mungkin kita membuat dia kecewa, bukan?” tutur pria itu dengan nada lirih setengah berbisik. Seluruh bulu di tubuh Yuna seakan bergidik seketika. Belakangan, ia terlalu fokus menyiapkan diri untuk pernikahan hingga Yuna lupa ia masih memiliki kewajiban tepat setelah pernikahan itu berakhir. Kewajiban melalui malam pertama bersama Morgan. Pria itu tersenyum tipis melihat wajah Yuna yang mendadak gugup dan canggung. Cup Ia melabuhkan satu kecupan ringan pada salah satu pipi Yuna. “Aku akan membersihkan diri sebelum melakukannya,” ucap Morgan
“Maksudmu, Morgan akan menikah? Cucuku akan segera menikah!?” Kakek Morgan berseru tegas. Pria tua itu tengah membaca di ruang baca saat salah seorang pelayan datang dan membawakan surat undangan. Matanya nyaris terbelalak keluar saat melihat nama sang cucu di sana. “Itu benar, Tuan Besar. Sepertinya, Tuan Morgan merahasiakan hal ini dari keluarga besar.” Pelayan sekaligus asisten pribadinya itu menjelaskan. Mendengarnya, raut wajah pria itu itu menjadi campur aduk. Senang dengan kabar menggembirakan ini sekaligus setengah kesal karena dirahasiakan dari peristiwa penting seperti ini. “Bocah tengik!” umpatnya, “Berani-beraninya dia merencanakan pernikahan ini tanpa sepengetahuanku. Siapa pengantin wanitanya?” sergah pria tua itu. “Dia—” “Tentu saja calon istriku.” Satu suara menyela. Kakek Morgan, Louis, dan asistennya refleks menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, sudah berdiri Morgan dengan Yuna di sisinya. Raut wajah pria itu terlihat penuh semringah. “Tentu saja
“Morgan menemui Ibu?” Yuna bertanya dengan raut wajah penasaran. Sesuai janji, Morgan dan Yuna sepakat untuk bertemu setelah Yuna selesai bekerja. Kini, setelah Yuna datang ke ruangan pria itu, Morgan justru tidak ada di ruangannya. Benny mengangguk satu kali. “Benar, Nyonya. Setelah rapat selesai, tiba-tiba Nyonya Dewi mengajak Morgan untuk mengobrol,” tutur pria itu. Alis Yuna mengernyit bingung. Dewi tak mengatakan apa pun kepadanya. “Apakah kau tahu ke mana mereka pergi?” Yuna bertanya lagi. Sayangnya, Benny menggelengkan kepala. “Tuan Morgan tidak memberitahu apa pun kepada saya, Nyonya,” lanjut pria itu. Yuna mengangguk mengerti dan meminta Benny untuk melanjutkan pekerjaan sementara Yuna akan menunggu di ruangan Morgan. Wanita itu sudah mencoba menghubungi Morgan, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun. Hingga selang beberapa menit, pintu terbuka dan Yuna refleks berdiri. Akan tetapi, alih-alih Morgan, ia justru mendapati sosok Katherine yang berdiri di ambang pintu.
Morgan dan Yuna mempersiapkan dengan lebih matang kali ini. Tidak seperti pernikahan pertama mereka yang dilakukan secara mendadak, tertutup, dan setengah hati. Kali ini Morgan benar-benar mencurahkan pikirannya dengan maksimal. Di sela-sela kesibukan pria itu dalam menjalankan dua perusahaan sekaligus, Morgan masih mencicil keperluan dan menggali informasi untuk vendor pernikahan yang sesuai. Kemarin, Morgan dan Yuna telah memilih sebuah aula tempat pernikahan akan digelar. Tempatnya berada di luar ruangan di kawasan elite yang khusus untuk menggelar pernikahan. Awalnya, Yuna tampak ragu, khawatir perayaan itu akan terlalu banyak. Namun, Morgan berkata mereka hanya akan melakukannya satu kali dan tentu hal itu harus sempurna. Kali ini, pria itu baru selesai rapat dan berjalan beriringan dengan Benny menuju mobil. “Kau sudah membayar untuk tempat kemarin?” Morgan bertanya kepada sekretarisnya. Benny mengangguk satu kali. “Sudah lunas dan tanggal itu dipersiapkan hanya u