Rhea duduk di meja belajarnya dengan wajah penuh konsentrasi. Cahaya lampu belajar menerangi tumpukan buku dan laptop yang terbuka, menampilkan tugas kuliahnya yang masih setengah jadi. Ia menghela napas panjang, mencoba mencari kalimat yang tepat untuk menyelesaikan esainya.
Baru saja ia mulai mengetik, ponselnya bergetar di sampingnya. Nama yang muncul di layar langsung membuatnya mengerutkan kening. Kyle.
"Ada apa, Kyle?" Rhea mengangkat teleponnya sambil tetap fokus pada layar laptop.
"Hei, Rhe! Kamu sibuk?" Suara Kyle terdengar riang seperti biasa.
"Banget. Aku lagi ngerjain tugas," jawab Rhea tanpa basa-basi.
"Bagus, bagus. Tapi kamu bisa istirahat sebentar, kan?"
"Kyle, kalau kamu butuh sesuatu, langsung aja. Aku harus menyelesaikan ini sebelum deadline," kata Rhea setengah mengeluh.
"Oke, oke! Jadi begini, besok malam aku mau ngajak kamu nonton show musik," ujar Kyle antusias.
Rhea la
Michael membuka pintu apartemen dengan sedikit mendesah. Perjalanan pulangnya kali ini terasa lebih panjang dari yang seharusnya. Ia memang berencana kembali sehari lebih awal, tapi keadaan di luar kota membuatnya harus menunda kepulangannya.Begitu masuk, ia melepas sepatu dan merenggangkan tubuhnya. Suasana apartemen terasa sunyi. Ia melirik ke rak sepatu di depan pintu. Sepatu Rhea ada di sana."Berarti dia nggak pergi," gumamnya.Matanya tertuju pada meja di ruang tengah. Laptop Rhea masih terbuka, beberapa buku berserakan di sampingnya, menandakan kalau gadis itu masih sibuk dengan tugas kuliahnya sebelum akhirnya meninggalkan meja."Rhea?" panggil Michael sambil meletakkan tasnya di sofa.Tidak ada jawaban.Michael mengernyit. Biasanya Rhea akan langsung keluar dari kamar atau setidaknya bersuara jika mendengar namanya dipanggil.Perasaan aneh mulai mengusiknya. Ia berjalan menuju kamar Rhea dengan langkah lebih cepat. Saat pint
Hari itu, Rhea sedang duduk di sofa sambil membaca catatan kuliah ketika Michael keluar dari ruang kerjanya dan mengatakan sesuatu."Minggu depan, Papa dan Mama mengadakan pesta ulang tahun pernikahan mereka," katanya. "Mereka mengundang kita untuk datang."Rhea terdiam sejenak sebelum menatap Michael dengan mata membesar. "Kita?"Michael mengangguk santai. "Tentu saja, Babe. Kamu itu istriku, jadi kamu bagian dari keluarga mereka juga."Rhea merasa dadanya sedikit sesak. Kali terakhir Rhea bertemu orang tua Michael dalam pesta pernikahan. Setelah itu, Rhea maupun Michael belum bertemu dengan mereka lagi."Apa mereka benar-benar mengundangku?" tanyanya ragu.Michael menatapnya dengan bingung. "Tentu saja. Kenapa tidak?"Rhea menggigit bibirnya. "Aku hanya... agak canggung."Michael menghela napas pelan. "Rhea, mereka tahunya kamu merupakan menantu mereka, jadi faktanya bahwa kamu adalah bagian dari keluarga mereka sekarang."
Di pagi yang cerah, Rhea sedang bersiap-siap untuk pergi ke kampus saat Michael keluar dari kamar dengan rambut masih sedikit acak-acakan. Ia baru saja selesai mandi dan masih mengenakan kaus putih serta celana pendek, tampak santai seperti biasanya saat di rumah.Rhea yang sedang memasukkan buku ke dalam tasnya melirik sekilas ke arah suaminya sebelum akhirnya membuka suara."Michael," panggilnya dengan nada hati-hati.Michael yang sedang menuang kopi menoleh. "Hmm?"Rhea menggigit bibirnya ragu. "Mungkin selama beberapa hari ke depan, aku akan sering pulang agak malam."Michael meletakkan cangkirnya dan menatapnya dengan alis sedikit terangkat. "Kenapa?""Ada sesuatu yang harus kukerjakan di apartemen Kyle," jawab Rhea cepat.Michael mengerutkan kening. "Di apartemen Kyle?"Rhea mengangguk. "Iya, dia butuh bantuanku untuk sesuatu."Michael melipat tangannya di dada, ekspresinya penuh selidik. "Kenapa tidak di apartemen
Rhea menatap koper kecilnya dengan perasaan campur aduk. Ini akan menjadi perjalanan pertamanya ke luar kota sejak menikah dengan Michael. Perjalanan studi banding ini memang hanya tiga hari dua malam, tetapi entah kenapa, rasanya seperti akan pergi jauh lebih lama.Di sofa, Michael duduk dengan laptop di pangkuannya, sesekali melirik ke arah Rhea yang sibuk mengepak barang."Sudah siap?" tanyanya santai.Rhea menoleh dan mengangguk. "Sepertinya, iya. Aku nggak butuh banyak barang."Michael menutup laptopnya dan bersandar. "Kamu yakin bisa tidur di hotel tanpa kebiasaanmu menggulung selimut sampai mirip kepompong?"Rhea memutar mata. "Miki, aku bukan anak kecil."Michael hanya terkekeh. "Baiklah, baiklah. Tapi tetap hati-hati di sana, ya? Jakarta nggak seaman yang kamu kira."Rhea mengernyit. "Kamu terdengar seperti seorang ayah yang mengantar anaknya pergi karyawisata."Michael mengangkat bahu. "Aku hanya mengingatkan. Lagipul
Rhea baru saja keluar dari ruang seminar ketika ia mendengar suara ribut dari salah satu sudut lobi. Ia menoleh dan melihat seorang pria berambut cokelat gelap dengan wajah penuh frustasi sedang mengomel sendiri sambil menatap laptopnya.Tak butuh waktu lama bagi Rhea untuk mengenali siapa itu.Kyle.Rhea mendekat dengan ekspresi geli. "Kyle? Ngapain kamu di sini? Bukannya kamu di kelompok lain?"Kyle mendongak dengan wajah tersiksa. "Rhea! Selamatkan aku!"Rhea tertawa kecil sebelum duduk di kursi kosong di sebelahnya. "Ada apa sih? Kamu kelihatan kayak baru saja ditindas sama dunia."Kyle mendesah keras, lalu menunjuk layar laptopnya dengan ekspresi putus asa. "Tugas. TUGAS ini yang bikin aku gila. Mereka bilang cuma tugas ringan, tapi ini nggak ada ringannya sama sekali!"Rhea melirik layar laptopnya dan membaca sekilas. "Hmm… ini kan cuma laporan observasi tentang strategi pemasaran perusahaan?"Kyle menatapnya seaka
Langit sore mulai meredup ketika Rhea akhirnya sampai di apartemen. Sepanjang perjalanan pulang dari Jakarta, ia harus bertahan di kereta selama lebih dari sepuluh jam. Tubuhnya terasa remuk, pikirannya lelah, dan satu-satunya hal yang ingin ia lakukan adalah tidur sepuasnya di kasur.Dengan sisa tenaga yang ada, Rhea menyeret kopernya melewati koridor apartemen. Setiap langkahnya terasa seperti beban berat yang menahan kakinya. Ia bahkan hampir kehilangan keseimbangan ketika akan membuka pintu apartemen."Aduh, berat banget sih koper ini," gumamnya pelan.Saat pintu terbuka, aroma khas apartemen yang sudah lama ia tinggalkan menyambutnya. Rasanya nyaman, seperti pulang ke tempat yang memang seharusnya.Namun sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, suara familiar menyambutnya."Akhirnya pulang juga."Rhea mendongak dan menemukan Michael berdiri di ruang tamu, bersandar di sofa dengan tangan terlipat di dada. Ia mengenakan kaus lengan panjang
Rhea menghela napas panjang saat ia melangkah keluar dari ruang ujian terakhirnya. Matanya terasa sedikit berat karena kurang tidur selama seminggu terakhir. Tangannya masih terasa pegal setelah menulis jawaban esai sepanjang tiga halaman."Akhirnya... selesai juga," gumamnya sambil meregangkan tubuh.Beberapa mahasiswa lain di sekitar juga tampak menghela napas lega, ada yang langsung pergi untuk merayakan selesainya ujian, ada juga yang memilih untuk pulang dan tidur seharian.Saat Rhea menuruni tangga kampus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Michael masuk.Michael: “Ujiannya sudah selesai”Rhea: "Udah, tapi Aku mau mampir sebentar ke tempat lain, baru nanti pulang."Michael: "Oke, hati-hati pulangnya. Aku mungkin agak sorean baru pulang. Ada perlu sebentar."Rhea: "Oke."Rhea memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Ia berjalan menuju toko kue yan
Matahari siang bersinar terik di luar, tetapi di dalam apartemen, Rhea masih nyaman bersantai di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya. Film yang ia putar di TV sudah berjalan cukup lama, tapi pikirannya mulai melayang ke arah lain.Sejak pagi, ia benar-benar menikmati kebebasan dari tugas kuliah. Tidak ada dosen, tidak ada deadline, tidak ada laporan yang harus dikumpulkan. Tapi ada sesuatu yang ia lupakan... sesuatu yang biasanya muncul setiap hari."Kenapa rasanya ada yang kurang ya?" gumamnya sambil mengerutkan kening.Ponselnya tiba-tiba bergetar di meja. Rhea mengambilnya dan melihat nama Kyle berkedip-kedip di layar."Uh-oh..."Rhea tahu pasti kenapa Kyle meneleponnya. Dan benar saja, begitu ia menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya, suara Kyle langsung meledak."RHÉA!"Rhea langsung menjauhkan ponsel dari telinganya."Astaga, Kyle! Volume suara kamu bisa dikecilin nggak?"
Senin pagi itu, ruang kerja tim branding Bellezza sudah seperti markas perang. Layar besar di ruangan utama menampilkan countdown peluncuran campaign Aurora secara live di situs resmi dan seluruh kanal media sosial. Wajah-wajah tegang memenuhi ruang, tapi ada juga sorot percaya diri yang tak bisa disembunyikan.Rhea duduk di sebelah Laila, jari-jarinya memainkan pulpen, napasnya dalam-dalam.“Deg-degan ya?” tanya Dimas dari seberang meja.“Aku bahkan belum sarapan,” jawab Rhea, tertawa kecil, tapi nada suaranya terdengar gugup.“Tenang aja,” ujar Felicia sambil menyeruput kopi. “Kita udah kerja mati-matian buat ini. Kalau nggak berhasil... ya tinggal resign bareng.”Rhea dan yang lain tertawa, sedikit meredakan ketegangan.Pak Arman masuk dengan ekspresi santai. Seperti biasa, ia membawa termos teh hijau dan notes kecil yang sudah usang.“Semua sudah siap?” tanyanya.
Pagi itu, Rhea berdiri di depan cermin apartemennya sambil merapikan blazer berwarna nude yang membingkai kemeja putih gadingnya. Rambutnya ia ikat rapi ke belakang, makeup tipis menonjolkan pancaran mata penuh semangatnya. Hari ini adalah hari penting. Hari di mana ia akan mempresentasikan konsep branding untuk koleksi terbaru Bellezza, Aurora.“Aku bisa,” bisiknya pelan, lalu mengambil tas kerja dan bergegas menuju kantor.Setiba di Bellezza Fashion Group, suasana kantor sudah mulai ramai. Beberapa tim dari bagian desain dan marketing lalu-lalang dengan kertas moodboard dan laptop di tangan. Rhea menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke ruang rapat.Di dalam ruangan, beberapa kolega sudah duduk. Clara dari tim Digital Marketing, Reza dari Social Media, dan Olivia dari Tim Desain. Kepala Divisi Branding, Ibu Nindya, duduk di ujung meja dengan ekspresi tenang dan laptop terbuka.“Selamat pagi semuanya,” sapa Rhe
Pagi itu, Rhea terbangun lebih awal dari biasanya. Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah tirai kamarnya, menciptakan pola cahaya yang menari di dinding. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja sebagai Junior Brand Strategist di Bellezza Fashion Group.Dia berdiri di depan lemari, menatap deretan pakaian yang tergantung rapi. Setelah beberapa menit mempertimbangkan, dia memilih blouse putih sederhana yang dipadukan dengan blazer biru dongker dan celana panjang hitam. Penampilannya mencerminkan profesionalisme namun tetap modis, sesuai dengan industri tempatnya akan bekerja.Sebelum berangkat, Rhea menerima panggilan video dari Michael."Good morning, Mrs. Ataria," sapa Michael dengan senyum hangat dari layar ponselnya."Good morning, Mr. Gunawan," balas Rhea sambil tersenyum. "Hari pertamaku hari ini.""Aku tahu. Kamu akan luar biasa. Ingat, percaya diri dan jadilah dirimu sendiri.""Terima kasih,
Mentari baru saja merangkak naik di ufuk timur saat Rhea sudah berdiri di depan cermin.Hari ini adalah hari besar.Ia mengenakan blouse putih bersih dengan potongan sederhana namun elegan, dipadukan dengan celana panjang high-waist berwarna krem muda. Rambutnya dikuncir rapi, make-up natural menghiasi wajahnya, mempertegas kesan dewasa dan profesional."Hari ini aku siap," katanya, menguatkan diri di depan bayangannya.Ia mengambil tas kerja hitam kecil berisi dokumen lamaran, lalu melangkah keluar apartemen.Perjalanan menuju gedung perusahaan multinasional itu terasa begitu panjang, meski sebenarnya hanya butuh waktu tiga puluh menit dari apartemennya.Sepanjang jalan, jantung Rhea berdebar keras.Tangannya berkeringat dingin, meski AC mobil sudah cukup sejuk."Aku sudah latihan. Aku bisa," gumamnya berulang-ulang seperti mantra.Saat mobil yang ia tumpangi berhenti di depan gedung tinggi menjulang dengan kaca-kaca besar
Pagi itu, langit Surabaya cerah dengan sapuan awan tipis yang berarak malas.Rhea berdiri di depan cermin apartemen, memastikan gaun pastel sederhana yang dikenakannya tampak rapi. Ia mengambil undangan kecil berwarna krem yang telah dikirimkan beberapa hari lalu."30th Wedding Anniversary of Mr. & Mrs. Adrian Gunawan."Ia menarik napas panjang. Ini pertama kalinya ia menghadiri acara besar keluarga Michael sendirian.Mobil online yang ia tumpangi melaju mulus menuju kawasan elite Surabaya Barat.Sesampainya di gerbang rumah keluarga Gunawan, Rhea terpesona. Taman di depan rumah dipenuhi rangkaian bunga putih dan peach, membentuk lorong kecil menuju aula kaca di halaman belakang.Suara musik klasik mengalun pelan, tamu-tamu dengan busana formal bercengkerama sambil membawa gelas-gelas kristal berisi sparkling juice."Rhea!" seru suara hangat. Mama mertuanya—Emily Gunawan—berjalan cepat menghampirinya. Gaun biru navy
Langit Surabaya siang itu sedikit mendung, seolah ikut merasakan beratnya hati Rhea.Baru satu jam yang lalu, ia berdiri di balik dinding kaca besar bandara, melihat pesawat yang membawa Michael perlahan menghilang ke balik awan. Perpisahan yang walau sudah dipersiapkan dengan hati-hati, tetap saja menyesakkan dada.Dengan langkah ringan tapi hati berat, Rhea menyusuri jalanan kota, tidak ingin langsung pulang ke apartemen yang akan terasa terlalu kosong.Tanpa banyak berpikir, ia meminta sopir taksi online untuk mengarah ke sebuah kafe kecil di sudut kota—tempat yang dulu sering ia datangi bersama Kyle saat butuh tempat menenangkan pikiran.Kafe itu masih sama.Wangi kopi memenuhi udara, bercampur dengan suara gitar akustik yang samar.Rhea memilih duduk di pojok, dekat jendela. Ia memesan cappuccino hangat dan croissant cokelat. Ingin mengisi kekosongan itu dengan sesuatu yang sederhana.Sambil menunggu pesanannya datang, Rhea men
Pagi itu, sinar matahari menyelinap malu-malu melalui tirai apartemen. Rhea duduk di sofa, mengenakan sweater longgar dan celana pendek santai, sementara Michael sibuk di dapur menyiapkan sarapan sederhana—roti panggang dan telur dadar."Aromanya enak," puji Rhea sambil tersenyum lebar.Michael menoleh, mengedipkan mata genit. "Tentu. Chef suamimu ini sangat berbakat."Rhea terkikik. "Chef dadakan."Mereka sarapan dengan obrolan ringan. Namun suasana sedikit berbeda. Ada aroma kegelisahan samar di udara—karena hari itu, tersisa hanya dua hari sebelum Michael harus kembali ke Paris.Saat Rhea sedang menyeruput kopinya, Michael meletakkan garpu di piring dan menatapnya serius."Rhea," panggilnya lembut."Hmm?"Michael menghela napas kecil. "Aku udah pikirin ini beberapa hari... Aku pengen kamu ikut ke Paris. Untuk liburan, sekalian jalan-jalan sebelum kamu beneran masuk dunia kerja."Rhea terkejut, matanya memb
Pagi itu, suasana apartemen dipenuhi aroma harum kopi dan roti panggang. Rhea mengenakan hoodie putih kebesaran milik Michael, sementara Michael sendiri sibuk merapikan rambutnya di depan kaca.“Hari ini cuacanya bagus banget, sayang,” kata Michael sambil mengintip ke luar jendela. “Gimana kalau kita pergi ke taman hiburan?”Rhea yang masih duduk bersila di sofa, mengunyah roti pelan, mengangkat alis. “Taman hiburan? Sekarang? Kita bukan remaja lagi, tahu.”Michael tertawa. “Justru itu. Sekarang kita bisa menikmati semuanya tanpa harus pura-pura sok dewasa.”Rhea menggeleng, tapi senyum tak bisa disembunyikan dari bibirnya. Ada sesuatu yang menghangat di hatinya—kebebasan, keceriaan, dan kehadiran Michael yang selama ini hanya bisa dirindukan lewat layar ponsel.“Oke,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak mau naik wahana yang bikin muntah.”“Deal,” sahut M
Sinar matahari menari lembut lewat celah gorden kamar, mengusik mata Rhea yang masih terasa berat. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya pagi menyentuh wajahnya. Udara kamar masih terasa hangat, aroma maskulin yang khas Michael memenuhi udara, membuatnya menghembuskan napas pelan.Rhea menggeliat sedikit, lalu mengalihkan pandangan ke sisi tempat tidur.Di sana, Michael masih tertidur. Dada pria itu naik turun perlahan, wajahnya tampak lebih damai dari biasanya. Rambutnya yang kini sudah lebih pendek terlihat rapi, helai-helainya mengikuti bentuk kepalanya dengan teratur. Entah kenapa, potongan rambut baru itu membuat Michael terlihat... berbeda. Lebih dewasa. Lebih berwibawa.Namun tetap, itu adalah Michael-nya.Dengan hati-hati, Rhea mengulurkan tangan dan mengelus rambut Michael. Lembut, penuh sayang. Ia mengusapnya sekali, dua kali... dan akhirnya senyum terbit dari bibirnya."Kamu potong rambut diam-diam, ya...," bisiknya pelan.