Hari berganti pagi.
Pagi-pagi sekali Aaron bersemangat untuk pergi ke kediaman Bella. Ya, rupanya Aaron berhasil mendapatkan hati Belinda semalam. Aaron meyakinkan Belinda, bahwasanya ia akan menyayangi Bella serta Alessandro dengan sepenuh hati. Ia akan membayar semua kesalahannya. Pun Aaron meyakinkan jika Bella akan mendapatkan tempat terbaik di keluarganya. Jelas saja Aaron berkata demikian, karena Belinda takut jika kelurga besar Aaron tidak menerima Bella. Tidak hanya itu, hati Belinda tersentuh saat Aaron menceritakan kondisi Mitha. Aaron merasa yakin jika Mitha akan sembuh jika saja ada Bella dan Alessandro.Laptop sudah dalam genggaman. Aaron pun naik ke dalam mobil."Damian? Bagaimana dengan bengkel?"Damian yang berada di belakang kemudi pun mengangkat ibu jari tangan kirinya. "Beres, Tuan. Lokasinya dekat ke arah pantai.""Bagus! Urus kepemilikannya segera. Tapi, bukan namaku. Melainkan John Hanan.""Siap laksanakan, Tuan!"Aaron melihat ke luar jendela. Entah mengapa jantungnya berdebar kencang saat jarak ke kediaman Bella diperkirakan dua ratus meter lagi.Akhirnya mobil terparkir di bahu jalan tepat di depan kediaman Bella. Aaron bergegas turun. Seulas senyum mengiringi langkahnya. Rumah yang terkesan megah dan klasik itu sebentar lagi akan menjadi hunian keduanya, pikir Aaron.Langkah demi langkah Aaron menaiki anak tangga diikuti oleh Damian. Tampak pintu rumah terbuka lebar. Aaron mempercepat langkahnya karena tak sabar ingin bertemu dengan Alessandro. Tidak hanya itu, Aaron akan melakukan pendekatan kepada Bella."Permisi!" ucap Aaron sembari mengetuk pintu dengan mata menyapu ke dalam. Kosong. Tak ada seorang pun di sana.Tidak berselang lama, John ke luar."Eh, calon Kakak Ipar? Silakan masuk!"Aaron tersenyum, lalu masuk."Mana Alessandro?" tanya Aaron."Alessandro apa Kak Bella, hem?" John balik bertanya sembari menaikturunkan alisnya.Aaron tersenyum. "Dua-duanya kalau bisa!"John mengatakan jika mereka ada di taman belakang. Tidak ingin waktunya terganggu, Aaron pun meminta Damian agar mengajak John ke bengkel, sekaligus mengurus surat kepemilikannya."Jam sembilan, aku ada kelas," kata John."Berangkat sekarang saja! Biar nanti sekalian Damian yang antar ke kampus. Kau lihat-lihat bengkel saja dulu," saran Aaron.Akhirnya John mengikuti saran Aaron.*Di taman belakang."John?! Tolong ambilkan sisa jemuran di mesin cuci!" titah Bella, tanpa menoleh.Aaron yang saat itu tiba di ambang pintu menuju taman belakang pun tersenyum, lalu mengambil alih yang diperintahkan.Aaron menyapu sekitar. Tak jauh darinya ada mesin cuci juga ada keranjang untuk pakaian.Tanpa ragu Aaron membuka mesin cuci, lalu mengeluarkan semua pakaian dan memasukannya ke dalam keranjang. Gegas ia menghampiri Bella."Terima kasih!" ucap Bella. Lagi, Bella tidak menoleh.Tak jauh dari sana, ada Alessandro yang tengah tertidur dalam kereta bayi. Aaron lekas menghampiri.Ditatapnya lekat wajah sang bayi. Ya, ternyata mirip sekali dengannya. Dengan hati-hati Aaron mengangkat tubuh Alessandro.Sambil menimang, Aaron berkata, "Kenapa tidak di tidurkan di kamar?"Deg!Bella yang sedang memegang jemuran pun menoleh."Kenapa kau ada di sini?!""Mau bertemu putraku dan ... kau!" jawab Aaron santai."Lanjut jemur saja. Ale biar aku yang jagain," lanjut Aaron.Bella yang baru sadar yang ia pegang adalah bra miliknya pun segera menyembunyikannya dari pandangan Aaron."Kok, gak dijemur?""Tidak usah!" jawab Bella ketus."Aku udah liat tadi, bahkan megang. Kenapa disembunyikan begitu?"Mendengar itu Bella melotot. Kenapa bisa? Lalu, siapa tadi yang mengambil pakaian di mesin cuci? Pikiran Bella bergelut."John?!" teriak Bella memanggil."Adikmu sudah pergi kuliah," ucap Aaron cepat.Tidak percaya dengan ucapan Aaron, Bella pun meninggalkan taman belakang. Aaron pun mengikuti sembari mendorong kereta bayi.Tiba di dalam rumah, Aaron kembali menidurkan Alessandro dalam kereta itu tepat di ruang tamu. Setelah dirasa aman, Aaron membuka laptopnya. Terdengar lengkingan suara Bella yang terus memanggil John."Ya, Tuhan, ke mana anak itu?!" gerutu Bella."Tidak usah teriak seperti itu. Telepon saja kalau tidak percaya!" ucap Aaron, tanpa menoleh.Aaron melihat dan mendengar jika Bella menghubungi John. Raut kecewa tergambar jelas dari wajah cantik wanita itu.Gerak-gerik Bella tak lepas dari perhatian Aaron. Ia melihat Bella masuk kamar. Tidak berselang lama, Bella kembali ke luar dengan pakaian yang sudah berganti dan dengan korset yang melingkar pada bagian perut."Mau dibawa ke mana?" tanya Aaron, saat Bella menggendong Alessandro."Kerja!" jawab Bella singkat.Aaron lekas berdiri dan menghalangi Bella. "Aku tidak mengizinkanmu untuk bekerja!"Bella menatap Aaron nyalang. "Siapa kau? Beraninya mengatur!"Bella mendorong tubuh kekar Aaron, agar tidak menghalangi jalannya."Aku calon suamimu!" pekik Aaron.Bella hendak membuka pintu. "Mimpi aja terus!"Aaron pun berkata, bahwa semalam dirinya sudah mengakui semua kesalahannya kepada Belinda dan meminta restu. Ucapan Aaron ternyata mampu membuat Bella menghentikan langkahnya.Aaron mendekati Bella, lalu dengan cepat mengambil alih Alessandro. "Menikahlah denganku, Bell. Aku akan membayar semua kesalahanku padamu.""Kembalikan putraku!" Bella hendak mengambil Alessandro."Dia putraku juga! Aku berhak atas dirinya!" tegas Aaron."Aku akan membiayai kebutuhan kalian. Jadi, aku mohon janganlah bekerja. Perutmu masih sakit, kan? Kalau kau sakit, bagaimana dengan anak kita? Siapa yang akan memberinya ASI?" lanjut Aaron.Lagi, Aaron berkata, "Kau mau membawa Alessandro bekerja? Udara di luar sangat berbahaya untuk Alessandro, dia masih kecil. Apa kau tega?"Tidak sia-sia Aaron bicara panjang lebar. Bella melengos pergi ke kamarnya. Aaron tersenyum, lalu menciumi pipi Alessandro dengan gemas.Aaron kembali menidurkan Alessandro dalam kereta bayi. Namun, bayi itu malah menangis."Ah, masih mau Papa gendong, hem?" Aaron kembali menimang. Akan tetapi, Alessandro masih saja menangis."Bell?! Ale haus sepertinya!" seru Aaron.Tidak berselang lama, Bella menghampiri dan mengambil alih Alessandro. Sedangkan Aaron berkutat dengan laptopnya. Entah berapa lama. Tiba-tiba saja aroma wangi bumbu dapur menyeruak.Kruukk!Wangi itu berhasil membuat perut Aaron keroncongan. Aaron menutup laptopnya dan memilih pergi ke dapur. Aaron memang belum tahu seluk-beluk rumah itu. Akan tetapi, aroma masakan yang mencocok hidung mampu membawa langkah Aaron menuju dapur."Masak apa?" tanya Aaron, yang berhasil membuat Bella terhenyak kaget."Aww!" keluh Bella. Ternyata pisau yang digunakannya untuk mengiris bawang mengenai jari telunjuk.Aaron yang melihat Bella meringis segera menyambar tangan Bella, menghisap jari itu kemudian. Tanpa sengaja tatapan mereka bertemu. Entah mengapa, Aaron merasakan dadanya berdebar sangat kencang.Bella yang menyadari hal itu adalah sebuah kesalahan segera menarik tangannya. "Tidak usah sok peduli!"Aaron segera meraih kotak obat yang tergantung di pojok."Biar aku obati!" tawar Aaron dengan tangan yang terulur."Pergi atau ...,""Akan teriak maling?!" ucap Aaron cepat.Bella menghentakkan kakinya, kesal. Ia mematikan kompor, lalu pergi dari sana.Aaron hanya mampu menatap kepergian Bella.Aaron mengusap dadanya. Kenapa jantungnya berdebar kencang tak seperti biasanya? Ia jatuh cinta? Atau memang kena serangan jantung?"Aku harus cek ke dokter!" gumam Aaron.Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis