Share

Kabar Gembira

Aaron akhirnya menghubungi Damian agar mengirimnya makanan siap saji untuk sarapan. Lima belas menit berselang pesanan datang. Aaron mengetuk pintu kamar Bella mengajaknya untuk sarapan. Akan tetapi, Bella tak kunjung membukakan pintu. Perut Aaron yang sudah keroncongan memilih untuk sarapan terlebih dahulu.

Sarapan selesai. Setelah membereskan bekas makannya, Aaron menyimpan bagian Bella di meja makan, lalu duduk kembali menghadap laptop.

Embusan napas kasar lolos begitu saja dari mulut Aaron. Ia melihat ke arah kamar. Tidak ada tanda-tanda Bella ke luar.

Aaron bergegas membereskan pekerjaannya agar segera pulang. Dengan demikian Bella akan ke luar kamar untuk makan.

"Haaahh, akhirnya selesai!" ucap Aaron seraya menutup laptop.

Aaron beranjak. Ia menghampiri kamar Bella.

Tok tok tok!

Diketuknya pintu kamar Bella.

"Bella, aku akan pulang. Jadi, tolong makanlah! Kasian Ale kalau kau tidak makan. Kau juga jangan sampai sakit!" ucap Aaron setengah berteriak.

"Aku pamit, ya? Ciumkan ciuman sayangku di pipi Alessandro!" lanjut Aaron, kemudian berlalu. Tak lupa ia membawa laptop.

Baru saja tiba di terasa depan, Damian datang.

"Tuan mau ke mana?" tanya Damian.

"Kembali ke hotel," jawab Aaron cepat, "sudah menghubungi notaris?"

"Sudah, Tuan."

Aaron memutuskan untuk duduk terlebih dahulu.

"Bagaimana kasus apartemen? Sudah ada titik terang?" tanya Aaron.

Damian menggeleng. "Belum, Tuan. Tapi, polisi menaruh curiga kepada mandor kita."

"Mandor yang baru itu?"

"Betul, Tuan."

Aaron mengerutkan dahi. "Ada apa dengan mandor itu?"

"Diduga dia mengoplos bahan bakunya, Tuan."

Aaron menghela napas. "Pokoknya usut sampai tuntas!"

"Baik, Tuan."

Damian juga mengabarkan jika Julio sudah siuman. Mendengar itu Aaron merasa senang. Ia akan menunggu Julio benar-benar pulih untuk meminta restu.

"Damian?! Hari ini kita kembali ke Birmingham. Tapi, sebelumnya tolong cari baby sitter!" Pun Aaron memerintahkan agar Damian menyediakan satu buah mobil lengkap dengan sopir untuk keluarga Bella. Tidak hanya itu, Damian diminta untuk mengerahkan beberapa orang untuk menjaga dan mengikuti ke mana Bella pergi.

"Laksanakan, Tuan!"

Ponsel Aaron berdering. Pria tampan dengan janggut tipis serta bulu halus di pipi itu segera menerima panggilan.

"Ada apa, Tuan?" tanya Damian saat Aaron menyudahi panggilan.

"Mami ngamuk. Jadi, sebaiknya aku pulang sekarang. Cepat kembali jika yang sudah aku perintahkan tadi selesai!"

Damian mengangguk. "Baik, Tuan."

Aaron beranjak. Sebelum benar-benar pergi ia menoleh ke belakang. Tampak di dalam rumah Bella sedang menggendong Alessandro.

Aaron menghampiri.

"Boleh aku menggendong Ale?"

Tanpa kata Bella menyerahkan bayinya.

"Sayang, Papa pulang dulu, ya? Nenekmu sakit. Papa harap, suatu saat nanti kamu dan mamamu bisa ikut sama Papa." Aaron menciumi Alessandro dan memeluknya penuh kasih sayang.

Aaron menyerahkan kembali Alessandro kepada Bella.

Sembari menepuk pelan pundak Bella, Aaron berkata, "Jaga kesehatan, ya? Jangan lupa sarapan. Aku pamit!"

Aaron melangkah pergi. Namun, tiba-tiba saja Aaron menghentikan langkahnya. Ia berpikir, walaupun sejumlah uang sudah Aaron berikan kepada John, tetapi bagaimana jika detik ini juga Bella membutuhkan uang? Akhirnya Aaron kembali menghampiri Bella.

"Bella?" panggil Aaron di ruang tamu.

Bella datang.

Aaron mengeluarkan black card dari dompetnya.

"Ini untukmu!"

"Aku tidak butuh!"

Sudah Aaron duga, Bella pasti tidak mau menerimanya.

"Ini untuk kebutuhan Alessandro. Maaf, aku tidak mau putraku dan calon istriku kekurangan apa pun. Pakailah uang ini sesukamu!" Aaron menyimpan kartu itu di atas meja.

"Aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan putraku!"

"Ale putraku juga, Bella! Ingat itu! Kalau kau memaksa untuk bekerja, kalau begitu terima kasih sudah bekerja untukku. Sudah mengandung Ale sembilan bulan, sudah melahirkannya, dan sudah membesarkannya hingga usianya sekarang. Oleh karena itu, silakan ambil upahmu sebesar yang kau mau. Permisi!"

Aaron pun pergi diantar Damian menuju hotel sebelum ke bandara.

**

Menjelang siang, Aaron sudah tiba di Bandar Udara Internasional Birmingham. Mobil hitam nan mewah sudah siap mengantar Aaron menuju mansion miliknya.

Tiba di mansion, Aaron bergegas turun dan menemui Mitha di kamar. Kamar yang Aaron sengaja sediakan untuk sang mama di lantai tiga dengan nuansa hijau, warna favorit Mitha.

"Bagaimana Mami?" tanya Aaron kepada Marni --asisten rumah tangganya yang sudah tiga puluh tahun membersamai keluarga Addison.

"Seperti biasa, Den, Nyonya akan menangis ketika melihat foto Tuan Addison dan akan berteriak-teriak, mungkin ketika mengingat kejadian itu."

Aaron menghela napas, lalu menghampiri Mitha yang sedang duduk bersandar di ranjang.

"Mami?" sapa Aaron, lalu duduk di samping Mitha.

Mitha tersenyum menyambut putranya. Tanpa kata, wanita paruh baya itu membelai pipi Aaron.

Aaron meraih kedua tangan Mitha, lalu menciumnya. "Maaf, beberapa hari ini Aaron tidak ada di samping Mami. Aaron ada perjalanan bisnis, Mi. Mami sudah makan dan minum obat?"

Aaron melihat kedua mata sang mama berkaca. Pun dengan tangan yang ditariknya. Aaron paham betul jika Mitha tak menginginkannya pergi. Dua tahun kepergian Addison, kondisi Mitha baik-baik saja. Namun, setelah tiga tahun hingga kini, kesehatan Mitha menurun bahkan bisa dibilang setengah gila. Dan Aaron tidak pernah meninggalkan Mitha dalam waktu yang lama.

"Nyonya tidak mau makan dan minum obat, Den," kata Marni.

"Kalau begitu, tolong ambilkan makan serta obatnya, Mbok. Biar aku yang suapi Mami."

"Baik, Den."

Tidak berselang lama, Marni kembali dengan membawa nampan berisi sepiring nasi berserta lauk-pauk juga obat.

Aaron lekas mengambilnya.

"Aaaa ... buka mulut Mami!" pinta Aaron dengan sesendok nasi yang siap meluncur.

Mitha tersenyum, lalu membuka mulutnya. Suap demi suap berhasil masuk ke dalam mulut Mitha sampai akhirnya nasi di piring habis.

"Sekarang minum obat, ya, Mi?!" Aaron memberikan satu butir obat. Beruntung Mitha tidak menolak.

Aaron menata bantal agar Mitha nyaman untuk duduk bersandar. Aaron meraih satu tangan Mitha.

"Mi, Mami sudah punya cucu. Tampan sekali. Namanya Alessandro Addison," ucap Aaron tiba-tiba.

Diangkatnya tangan Mitha hingga mendarat di kepala Aaron. "Aaron sudah melakukan kesalahan besar, Mi. Aaron harap Mami tidak marah. Mami tenang saja, Aaron akan bertanggung jawab dengan menikahi wanita itu."

Aaron menatap lurus ke depan. Bibirnya spontan melengkungkan senyum saat membayangkan wajah cantik Bella. "Namanya Bella, Mi. Cantik sekali."

Aaron menoleh ke arah Mitha. Tampak kedua mata wanita paruh bayar itu menyipit seolah-olah meminta penjelasan. Aaron perlahan menceritakan apa yang sudah terjadi, walaupun entah ... Mitha bisa mencerna atau tidak.

"Restui Aaron, ya, Mi. Dan tolong nanti Mami sayangi Bella juga Alessandro. Mereka tidak bersalah. Mereka menantu dan cucu terbaik Mami."

Aaron melihat Mitha tersenyum, bahkan kedua tangan Mitha membingkai wajah Aaron. Tidak hanya itu, Mitha mengusap kepala Aaron dengan sayang.

Dari sikap Mitha, Aaron menyimpulkan jika Mitha menangkap dan memahami apa yang sudah terjadi. Mitha merestui? Mungkin.

"Ya, sudah, sekarang lebih baik Mami tidur, istirahat, ya? Aaron mau lanjut ke kantor.

Aaron beranjak.

"Bi, tolong terus awasi Mami!"

"Baik, Den."

Aaron bergegas meninggalkan kamar.

Di luar kamar, beberapa orang berbaju hitam tengah berdiri tegap.

"Semuanya?! Jangan biarkan siapapun masuk kecuali Mbok Mar dan dokter Diaz. Mengerti?!"

"Mengerti, Tuan."

**

Dengan mengendarai mobil Ferrari, Aaron tiba di SAP Company.

"Selamat siang, Tuan?!" sapa sang resepsionis.

"Hem, siang!" jawab Aaron sambil terus melangkah masuk.

"Tuan, tunggu!" Resepsionis itu berlari mengejar Aaron. Aaron pun menghentikan langkah.

"Tadi pagi ada Nona Emilia Robert ke mari. Katanya, mau meminta ganti rugi atas kerusakan mobil yang Anda tabrak." Sang resepsionis menyerahkan selembar kuitansi.

Aaron menerimanya.

"Tadi kau bilang namanya siapa?"

"Emilia Robert, Tuan. Putrinya Tuan Robert yang pengusaha itu. Katanya, sih, Tuan juga pasti tahu ayahnya yang mana."

Aaron tersenyum samar. "Oke, terima kasih!"

Resepsionis itu pun kembali ke tempatnya dan Aaron masuk ke ruangannya.

Aaron duduk di kursi kebesarannya dengan senyum yang terus terukir. Aaron sangat bahagia mendengar kabar itu. Tidak usah repot-repot mencari, ternyata mangsa menghampiri, pikirnya.

Apa yang akan Aaron lakukan? Apa ia akan melakukan hal yang sama seperti apa yang sudah ia lakukan terhadap Bella?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status