"Aku tak butuh harta dari pria sepertimu!" Aaron dihantui rasa bersalah karena sudah menghamili Bella secara paksa karena mengira wanita itu adalah putri dari pria yang sudah membunuh ayahnya. Hanya saja, dia tak dapat membiarkan Bella membesarkan anaknya sendirian. Sebuah perjanjian kontrak pun tercipta. Tapi, bagaimana jika Aaron menyadari dirinya telah mencintai Bella dan tak mau semuanya berakhir begitu saja?
Lihat lebih banyak"Bawa dia!"
"Hei, lepas! Kalian mau apa?!" Seorang wanita meronta karena dua orang pria berbadan besar menarik tangannya, memaksa masuk ke dalam mobil."Turunkan aku!" teriaknya saat berada dalam mobil tersebut.Aaron Addison --seorang pengusaha sukses berusia tiga puluh delapan tahun itu tersenyum lebar saat mobil pengawalnya berhasil membawa targetnya. Ia pun mengikuti dari belakang sampai akhirnya tiba di mansion miliknya.Aaron melihat kedua pengawalnya mendorong sang wanita ke salah satu kamar yang memang sudah ia siapkan untuk eksekusi.Aaron menghampiri. Wanita itu tampak beringsut menghindar darinya.Aaron berjongkok meraih dagu si wanita sembari bertanya, "Siapa namamu?!""Be-Bella," jawabnya terbata.Aaron menepis dagu itu dengan kasar. "Nama yang bagus. Tapi, tak sebagus nasibmu karena bertemu denganku. Hahahahaha!"Lagi, Aaron berkata. Kali ini ia berbisik, "Aku pastikan kau mati perlahan di tanganku!"Aaron melihat wanita yang bernama Bella itu melotot. Sudah pasti ia kaget mendengarnya, pikir Aaron."Ti-tidak! Apa sa-salahku, Tuan?" Bella beringsut mundur.Aaron berdiri. Sembari tersenyum, ia mengeluarkan pisau kecil dari saku, lalu berjalan perlahan seiring dengan Bella yang beringsut mundur hingga akhirnya terhenti karena mengenai tembok.Aaron kembali berjongkok."A-aku mohon jangan lakukan ini, Tuan!" Bella merapatkan kedua tangannya, memohon.Aaron tersenyum sarkas, bahkan ia menjambak rambut Bella membuat kepala wanita itu mendongak. Tiada belas kasih, pisau kecil itu Aaron sapu di pipi mulusnya."Yaaahh, kenna!" ucap Aaron saat pisau tajam itu berhasil menggores pipi mulus Bella, lalu tertawa puas.Aaron melihat Bella menitikkan air mata. Mungkin merasakan takut juga perih, karena darah perlahan keluar dari luka itu.Aaron merengkuh pundak Bella, membawanya berdiri."Hahahaha .... Sakit?! Asal kau tau, tidak ada rasa sakit melebihi ini selain yang aku rasa saat kehilangan sosok ayah. Itu semua karena ayahmu! Ayahmu sudah membunuh ayahku! Dan sekarang, nikmati pembalasanku! Hahahaha ...."Gadis berambut pirang itu menatap Arron lekat dan menggeleng cepat.Aaron mengamati Bella dari ujung rambut hingga ujung kaki sembari berkata, "Body'mu boleh juga. Sepertinya akan lebih asyik jika kau melayaniku terlebih dahulu sebelum pisau ini benar-benar menghabisimu!""Tidak! Akun mohon jangan!" Napas Bella memburu. Tatapannya memelas, memohon agar Aaron tidak berbuat macam-macam. Namun, sayang ... Aaron sungguh tak peduli. Pria itu mulai mencium leher jenjang Bella.Wanita bermata hazel itu berontak. Sekuat tenaga ia menendang dan mendorong Aaron, membuat pria itu terjengkang. Ia mengambil kesempatan untuk berlari ke arah pintu. Namun, sayang ... Aaron dengan cepat berlari dan meraih tubuhnya."Mau ke mana, hem? Lebih baik kita bersenang-senang. Hahaha ...."Aaron mengangkat tubuh Bella. Walaupun gadis itu berontak, tetapi tubuh Aaron yang tinggi kekar tidaklah goyah.Brug!Aaron melempar Bella ke atas ranjang. Bella merangkak hendak kabur. Nahas, kedua tangan Aaron menarik kaki Bella sampai-sampai tubuh wanita itu terlentang.Tidak ingin membuang tenaga, akhirnya Aaron mengikat kedua tangan Bella pada ranjang."Aku mohon lepaskan aku!" pinta Bella sembari terisak serta menggerakkan tangannya berharap tali itu terlepas."Kau menangis darah pun tidak akan aku lepas!"Aaron melucuti semua kain yang menutupi tubuh Bella.Terpampang jelas pemandangan yang begitu indah membuat siapa saja akan terlena jika menikmatinya. Aaron tersenyum. Ia tak lekas melucuti pakaiannya sendiri, melainkan duduk di sofa sembari memandang tubuh indah Bella. Sesungguhnya Aaron bukanlah pria brengsek. Namun, amarah dan dendam kepada pria bernama Robert membuatnya menjadi sosok yang kejam.Aaron mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Kamera pun ia bidikan ke arah Bella. Setelah puas mengambil gambar, Aaron menyalakan rekaman vidio dan meletakan ponselnya pada tripod. Aaron sengaja melakukannya karena gambar dan vidio itu akan ia kirimkan kepada Robert. Ia berharap pria tua itu akan hancur secara mental sebelum akhirnya Aaron melenyapkan Robert.Dirasa cukup, Aaron menyudahi rekaman itu dan lekas melucuti semua pakaiannya, lalu naik ke atas ranjang."Aku pastikan kau akan mendesah merasakan nikmatnya seranganku! Hahahaha ....""Cuih!" Bella meludahi Aaron, tepat di wajahnya."Kurang ajar!"Plak!Plak!Aaron menampar pipi kiri-kanan Bella, sangat keras. Membuat darah ke luar di sudut kiri bibir Bella.Wanita berkulit putih itu menatap tajam. "Kau salah orang! Dan aku pastikan, kalau ayahku itu orang baik! Ayahku tidak mungkin melakukan hal sekeji itu!""Katakan sesukamu tentang ayahmu itu! Aku tidak peduli. Yang jelas, aku akan membalas dendam!"Aaron mulai menyusuri setiap lekuk tubuh wanita malang itu. Perbuatan Aaron tentu saja berhasil membuat tubuh Bella menggelinjang hebat. Hati memanglah menolak, tetapi apa daya dengan raga yang memiliki titik sensitif tertentu."Aku mohon jangan lakukan ini!" pinta Bella memelas.Lagi, Aaron sama sekali tidak peduli. Bak kucing lapar yang dihadapkan dengan tulang, Aaron melumat semua area yang ia sukai."Sekarang, bersiaplah! Hahahaha ....""Aku mohon jang--ngann ...." Suara Bella melemah seiring dengan berhasilnya Aaron mendobrak kesuciannya.Aaron tertawa lepas saat melihat wanita tak berdaya itu menangis dan sesekali mengerang kesakitan. Aaron merasa bangga karena Bella tenyata masih perawan.Aaron menyudahi aksinya. Entah berapa kali ia melakukan pelepasan. Pria berotot itu ambruk tepat di atas tubuh Bella."Enyahlah dari tubuhku, pria brengsek!" ucap Bella dengan suara bergetar.Aaron mendongak, lalu berkata, "Terserah aku mau bagaimana! Tubuhmu benar-benar menjadi candu bagiku sekarang!""Akan sangat disayangkan jika pisau yang membunuhmu. Tampaknya aku akan sangat puas jika kau mati karena kelelahan," lanjut Aaron.Aaron beranjak dari tubuh Bella sembari berkata, "Bersiaplah untuk sesi berikutnya!""Cuih!" Lagi, Bella meludah, "lepaskan aku, brengsek!"Kali ini Aaron tidak marah saat ludah itu mengenainya lagi. Ia malah mengusapnya dengan jari, lalu menjilatnya.Ponsel Aaron berdering. Lekas pria itu turun dan meraih benda pipihnya yang masih terpasang pada tripod."Ada apa?!" tanya Aaron, saat menerima panggilan."Begini, Tuan ... kita salah menangkap orang."Aaron mengernyit. "Apa maksudmu?""Wanita itu bukanlah putri dari Robert!""Apa?!"Aaron bergegas menuju ranjang.Sembari membuka ikatan pada tangan Bella, tanpa merasa berdosa Aaron berkata, "Ternyata aku salah orang! Kau boleh pergi!"Setelah tali itu lepas, Aaron melihat Bella segera mengenakan pakaiannya kembali sembari menangis. Tangannya bergetar hebat sampai-sampai memasang kancing kemeja saja terlihat sulit.Sesungguhnya Aaron tak kuasa melihatnya. Akhirnya, ia memilih mengenakan pakaiannya kembali.Bruk!Aaron menyaksikan Bella terjatuh dari ranjang."Jangan sentuh aku!" teriak Bella disela tangisnya saat Aaron hendak membantunya untuk bangun. Napas Bella memburu. "Kenapa? Kenapa kau tega padaku! Apa salahku padamu?! Apa?!"Pertanyaan Bella yang terkesan simpel, tetapi sungguh sulit untuk Aaron menjawab. "A-aku ... a-aku ...,""Kenapa tak bunuh saja aku?! Bukankah itu maumu?! Ayok, bunuh saja aku! Lebih baik aku mati!" Bella mengguncang lengan Aaron.Aaron memijat keningnya. "Aku mohon, maafkanlah aku. Untuk menebus segala kesalahanku, kau boleh minta apa saja dariku! Uang, mobil, rumah, atau apa saja!"Bella berusaha untuk bangun. "Aku tak butuh harta dari pria sepertimu! Dan aku tidak akan pernah memaafkan, sekalipun kau bersujud di kakiku!"Bella menunjuk wajah Aaron. "Satu lagi, semoga hidupmu selalu dalam kesialan dan apa yang sudah kau perbuat terhadapku tidak akan membuatmu tenang!"Deg!Aaron tak mampu berkata. Tak menampik pula mendengar untaian kalimat itu membuat Aaron bergidik ngeri.Hari demi hari Aaron lalui dengan ketegangan karena pasalnya, Bella sering mengalami kontraksi. Dua minggu terakhir ini pula Aaron kembali bekerja di rumah ia ingin menjadi suami siap siaga. "Apa tidak lelah?" tanya Aaron sembari menuntun Bella yang sedang menyusuri jalan setapak di taman belakang. "Tidak. Justru aku harus tetap semangat. Aku ingin merasakan lahiran normal."Aaron mengecup punggung tangan Bella. "Semoga, Sayang.""Kalian di sini rupanya!"Suara bariton memecah keromantisan mereka. Keduanya menoleh. "Ke mana saja kau, hah?" sapa Aaron yang terkesan mengintimidasi. Kevin tersenyum. "Ada. Merintis bisnis.""Sendiri?" sambung Bella bertanya. Kevin menggeleng. "Tidak. Istriku ada di dalam. Sedang mencurahkan rindu kepada papanya."Emilia datang. Kedatangan wanita itu benar-benar mencuri perhatian Bella. "Waaahh, kau juga sedang hamil?"Emilia tersenyum."Berapa bulan?" "Minggu ini HPL.""Waaah, kok, bisa sama."Kedua wanita perut buncit itu memilih memisahkan diri d
Drama muntah-muntah dan tersiksanya Aaron karena hasratnya yang jarang tersalurkan akhirnya sudah berakhir. Usia kandungan Bella yang sudah memasuki sembilan bulan ini justru membuat Aaron mengambil kesempatan dimana dirinya hampir setiap hari meminta haknya dengan dalih agar si bayi lahir dengan lancar dan normal. Maklum saja, karena sampai detik ini Bella masih saja senang mengusap-usap dada bidang Aaron dan Aaron harus mengusap-usap perut buncit Bella.Seperti malam ini ... "Terima kasih, Sayang," ucap Aaron. "Iya, tapi tangannya jangan berhenti! Terus usap perutku!" rengek Bella. "Iya, Sayang. Ya sudah, sekarang lebih baik kau tidur."Bella menggeleng. "Ngantuknya jadi hilang."Aaron terkekeh-kekeh. "Maaf, Sayang.""Sayang? Apa kau tidak penasaran dengan jenis kelamin anak kedua kita ini?""Penasaran, sih. Tapi, tidak apa-apa ... lebih baik dokter tidak sebutkan jenis kelaminnya, biar jadi kejutan! Dalam hitungan minggu ke depan juga akan lahir. Jadi, semoga sesuai dengan kein
Hari sudah malam. Bella sudah berada di Mansion. Semua keluarga pun berkumpul di sana. Aaron, pria itu rela meninggalkan pekerjaannya demi menemani Bella. Saat ini, Bella masih tertidur setelah meminum obat dari dokter. "John? Besok ke cabang minta antar sopir saja, ya? Temui manager di sana dan nanti dia yang akan mengenalkan mu kepada para karyawan di sana.""Siap, Kakak Ipar.""Semoga sukses!"John tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Terima kasih."Aaron berdecih, karena pasalnya tingkah sang adik ipar terkadang masih terlihat seperti anak kecil. "Kalau begitu aku pulang, ya, Kak? Sekalian jemput ayang.""Silakan, Bos Muda!"John meninggalkan kamar Aaron sembari tersenyum. Aaron memastikan Alessandro sudah tertidur pulas di kamarnya. Kamar yang berada tepat di samping kamarnya itu ia sulap menjadi kamar anak disertai dengan pintu ganda yang bertujuan untuk memudahkan Aaron atau Bella masuk ke kamar Alessandro. Perlahan Aaron naik ke atas ranjang. Setelah memposis
"Sedang apa kalian?!" seru Bella setelah pintu ruangan Aaron ia dorong dengan kencangnya. Aaron serta dua wanita yang duduk di kursi tepat di hadapannya seketika menoleh. Aaron berdiri. "Loh, Sayang, sudah pulang? Kenap--""Iya, aku sudah pulang! Kenapa? Kaget melihat aku ada di sini, iya? Kencanmu merasa terganggu, begitu?!"Aaron meminta dua wanita itu untuk ke luar, sedangkan dirinya menghampiri Bella. "Sayang, ada apa?"Bella menepis tangan Aaron yang bertengger di pundak. "Mereka siapa?!""Aku sedang interview beberapa calon sekretaris, Say--""Sudah aku katakan, bukan? Jangan cari sekretaris wanita!""Begini, Sayang. Aku me--""Apa? Kau mau mendua, iya?!""Ya Tuhan, Sayang ...," Aaron sengaja menggantung ucapannya. Percuma saja menjelaskan, karena ia tahu betul jika Bella tidak baik-baik saja. Aaron mengambil alih Alessandro, lalu merengkuh Bella, membawanya ke dalam pelukan. Tangis Bella pun pecah. John, pemuda itu perlahan masuk. Melihat sang kakak menangis, dengan sigap
Usia Alessandro kini sudah menginjak tiga tahun. Batita itu sangat lincah, cerewet, pintar dan pandai meniru apa yang orang dewasa lakukan. Dua tahun pula Bella menjalani program hamil. Tak kunjung hamil, kadang membuat Bella stress, putus asa. Sampai akhirnya Aaron menyarankan agar Bella mengantar Alessandro sekolah --play group. John, sudah dua tahun ini pria itu belajar tentang perusahaan, bagaimana cara memimpin dan bisnis lainnya. Semua dengan telaten Aaron yang ajarkan. Urusan cinta, jelas saja Patricia sudah resmi menjadi kekasihnya. Patricia pun sudah bekerja di sebuah rumah sakit di kota Birmingham. Semua ia lakukan agar dekat dengan John. Tak hanya pasangan kekasih itu yang pindah ke kota Birmingham, tetapi kedua orang tua Bella. Bukan kemauan mereka, tetapi Bella'lah yang ingin dekat dengan keluarga, walaupun tidak tinggal serumah. Ada Mitha dan Robert yang tinggal di Swiss. Kedua lansia itu memilih hidup berdua, menikmati masa-masa indah yang pernah hilang dahulu. Merek
Belinda menghela napas. Rasa iba berhasil bergelayut manja dalam benaknya. Dengan raut cemas, ia duduk di samping John. "John? Ibu tidak peduli dengan statusnya. Ibu sungguh merasa kasihan. Dekati wanita itu, ambil hatinya. Jadikan dia menantu Ibu."John bernapas lega. Bagaimana tidak? John pikir, tadi ibunya tidak akan merestui. Tetapi ternyata, jauh dari pikirannya. Sang ibu terlihat sangat menyayangi Patricia walau belum mengenalnya sama sekali. Mendapat lampu hijau, sungguh membuat John senang. Ia akan berusaha untuk mengabulkan keinginan Belinda. Keinginan sang ibu yang tentunya dibarengi dengan rasa cinta yang teramat, tentu saja akan ia perjuangkan. "Terima kasih, Bu. Tapi, bagaimana dengan ayah?""Ayah pasti setuju dengan keputusan Ibu. Tenang saja."John tersenyum lebar. "Selamat!" ucap Aaron. "Dan semangat!" timpal Bella cepat, sembari mengepalkan tangan. John mengangguk, lalu pamit ke luar. Belinda tersenyum. Sebagai seorang perempuan sekaligus seorang ibu tentu bis
Di rumah sakit, ada Bella yang sedang berganti pakaian. "Sayang? Apa kau bisa hubungi Kevin?" pinta Bella. "Untuk?""Aku mau minta maaf kepada Emilia."Aaron yang sedang melipat baju kotor pun menoleh. "Sudahlah, kita tidak usah berhubungan lagi dengan wanita itu. Lagipula, kau tidak bersalah.""Aku mohon!" Bella memelas. Aaron menghela napas. Tidak ingin mengecewakan Bella, akhirnya Aaron menghubungi sahabatnya itu. "Oke, dia akan datang ke mari. Paling nanti sore mereka tiba di rumah sakit.""Terima kasih, suamiku!"Aaron tersenyum. "Sama-sama." Aaron melanjutkan kegiatannya. "Tapi, kok, kalau kau yang menghubungi Kevin, dia menjawab. Sedangkan aku, nomornya selalu tidak aktif.""Nomornya ganti.""Oh, pantas kalau begitu."Aaron sudah mengemasi baju kotor. Sedangkan Bella berusaha turun dari ranjang. Ia akan belajar berjalan. Aaron yang melihat dengan sigap membantu. Saat asyik belajar berjalan, Bella berkata, "Kok, Ale belum ke sini, ya?""Kenapa memangnya?"Bella sedikit men
Hari menjelang malam. Aaron baru saja mengantarkan Alessandro ke rumah sang mertua. Ia tidak akan membiarkan Alessandro tinggal di rumah sakit meskipun sang istri dirawat di kamar dengan fasilitas paling lengkap. Alessandro sudah bisa berjalan dan pasti ingin bermain di luar. Kekebalan tubuh Alessandro belum tentu kuat menahan segala virus yang ada di sekitar. Oleh karena itu, jalan terbaik adalah Alessandro tinggal bersama kakek dan neneknya. Mobil Aaron baru saja terparkir di area rumah sakit. Ia bergegas turun karena pasti Bella sudah menunggu, karena sang istri meminta dibawakan nasi serta sayur buatan Belinda. Aaron berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara dari orang yang sangat ia kenal, yakni Robert. "Apa kita bisa melewati hari tua bersama?" tanya Robert. "Entahlah."Aaron menajamkan pendengarannya. Rupanya Robert sedang bersama Mitha. "Apa cintamu sudah sepenuhnya hilang untukku?""Kita sudah tua, tidak usah bahas cinta.""A
Bruk! John tanpa sengaja menyenggol pundak seorang perawat di koridor, yang membuat dokumen di tangannya terjatuh. "Sorry!" ucap John. Perawat itu tersenyum. "Tidak apa-apa." Sang perawat meraih dokumen itu.John hanya bisa memerhatikan karena sedang menggendong Alessandro dan menenteng satu tas kecil. "Mau besuk?" tanya perawat. "Iya, mau ke kamar VVIP."John tersenyum saat sang perawat itu tersenyum menampakkan barisan giginya yang putih dengan satu gigi gingsul di bagian atas sebelah kanan. Sungguh terlihat manis di mata John. "Tampan sekali putranya," kata Sang perawat sembari mencubit gemas pipi Alessandro. "Ini keponakan saya. Saya masih single.""Ooh, masih single, maaf."Perawat itu tersenyum, lalu pamit pergi. Kepergian sang perawat ternyata menyisakan rasa penasaran di hati John. John ingin mengenal lebih jauh wanita itu. Tanpa berkedip, John melihat kepergian perawat itu sampai hilang di balik tembok. "Ah, ya Tuhan, maafin Om, Sayang." John tersadar saat Alessandro
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen