Share

Meminta Restu

Aaron kembali ke rumah sakit. Damian melapor jika operasi Julio berhasil dan sedang menunggu pria paruh baya itu siuman.

"Tuan, boleh kita bicara sebentar?" tanya John.

Aaron mengangguk. "Katakan saja!"

John mengajak Aaron duduk di kursi pojok. "Sebelumnya aku minta maaf, Tuan. Sedari siang Anda bicara sebetulnya ada satu yang mengganjal pikiran ini. Apalagi, Anda sampai meminta alamat rumah kami."

"To the point saja!" kata Aaron cepat.

John menghela napas. "Apa Anda yang sudah memperkosa kakakku?"

"Iya, betul!" jawab Aaron mantap.

John menatap tajam ke arah Aaron.

Yang ditatap hanya bisa berkata, "Semua ada alasannya!"

"Apa pun itu aku tidak menerimanya. Anda sudah keterlaluan! Selama ini kakakku menderita fisik, juga batin!"

John berdiri. "Jangan mentang-mentang Anda orang kaya jadi bisa berbuat seenaknya!"

John hendak melangkah, tetapi Aaron segera mencekal lengannya. "Tunggu! Aku mohon dengarkan dulu!"

"Saat ini aku benar-benar butuh bantuanmu," lanjut Aaron.

Walaupun kesal, John memilih duduk kembali. John harus mendengar alasannya.

Aaron pun tak membuang kesempatan. Ia lekas menceritakan kronologinya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

"Dan sekarang, aku akan bertanggungjawab. Bantu aku untuk mendekati kakakmu," ucap Aaron.

John tersenyum sarkas. "Aku tidak sudi kakakku menikah denganmu jika Anda hanya mengejar kata maaf saja. Dan apa tadi ...?

"Cabut sumpah!" kata Aaron cepat.

"Ya, itu! Untuk apa kalo ujungnya Anda sakiti Kak Bella? Yakin bakal sayang dan cinta sama Kak Bella?"

Aaron tersenyum. "Kata orang, cinta itu bisa datang kalau kita sering bersama, sering bertemu. Jadi, aku minta tolong, kita kerjasama bagaimana caranya agar aku dekat dengan kakakmu itu."

John terdiam, berpikir. Memang'lah Aaron harus bertanggungjawab. Aaron pengusaha sukses. Siapa tahu jika Bella menikah dengannya, Bella tak lagi susah payah banting tulang.

"Baik, aku setuju!" ucap John.

John mengulurkan tangan. "Berjanjilah akan membahagiakan Kak Bella! Jika saja Anda membuat Kakakku menangis lagi, maka Anda berurusan denganku!"

Aaron tersenyum, lalu menerima uluran tangan John. "Ya, aku berjanji."

"Ta--tapi, antara kita saja! Jangan mentang-mentang Anda kaya, lalu menyuruh orang untuk menghabisiku! Kita duel!"

John jelas saja takut. Selain usianya yang baru menginjak dua puluh dua tahun, ia juga tak memiliki harta banyak untuk membayar orang. Jadi, hanya pasang badan sendiri yang John mampu.

Aaron tertawa terbahak-bahak. "Iya, tenang saja. Dalam hal ini, kau adalah bosku. Jadi, aku ikut apa katamu!"

Keduanya berjabat tangan pertanda kesepakatan sudah dimulai.

"Nomor rekeningmu!" pinta Aaron.

"Untuk apa?" John mengerutkan dahi.

"Aku akan transfer sejumlah uang. Selain untuk biaya kuliahmu, pakailah uang itu untuk kebutuhan sehari-hari keluarga kalian. Terutama Bella dan Ale."

"Kenapa tidak langsung berikan saja kepada Kak Bella?"

Aaron menghela napas panjang. "Kakakmu pasti tidak akan mau memakan uangku. Dia sangat benci sekali kepadaku."

Sejenak John terdiam. Ya, ia membenarkan apa kata Aaron. Akan tetapi, ada keraguan yang meraja.

"Tapi, tetap saja kalau begitu. Mau lewat aku juga itu sama-sama uangmu, Tuan. Kak Bella pasti menolak."

"Emm ... bilang saja kalau kau bekerja."

"Nah, itu ... mending aku bekerja saja sekalian. Tapi ... di mana?"

Aaron menepuk pundak John. "Kuliah jurusan apa?"

"Teknik mesin, Tuan."

"Bagus! Kalau begitu aku akan berikan kau sebuah bengkel!"

"Bengkel? Tapi, di mana?"

Aaron menghubungi Damian. Ia meminta asistennya itu untuk mencari sebuah bengkel besar dan terkenal di kota itu, lalu membelinya.

"Pastikan mereka menjualnya kepadaku!"

Mendengar percakapan Aaron dengan lawan bicaranya membuat John melongo.

"Se--serius?"

Aaron menyudahi panggilan dan tersenyum melihat ekspresi John yang melotot dengan mulut menganga. "Serius! Semua akan diatur oleh asistenku. Nanti, bengkel itu milikmu. Tapi, selama aku belum dekat dengan kakakmu, janganlah bicara tentang kepemilikan bengkel itu. Bilang saja kau bekerja di sana. Bagaimana?"

John tersenyum lebar. Ia meraih tangan Aaron untuk ia jabat "Deal! Senang bekerjasama dengan Anda, Tuan!"

John memberi saran agar Aaron berbicara dengan Belinda. Aaron harus mengakui kesalahannya.

Tidak menyiakan waktu, Aaron menemui Belinda di ruang rawat inap setelah bertukar nomor ponsel dengan John.

*

"Bagaimana keadaan Tuan Julio, Nyonya?" tanya Aaron.

Belinda yang sedang duduk di kursi tepat di samping Julio pun berdiri. "Tuan Aaron? Rupanya Anda belum pulang?"

"Belum, Nyonya."

Belinda pun mengatakan bagaimana keadaan suaminya.

"Kalau penanganan rumah sakit ini lambat, bicara saja. Nanti kita bawa Tuan Julio ke rumah sakit lain."

"Tidak, tidak usah, Tuan, terima kasih."

Aaron tersenyum samar. "Nyonya, ada waktu sebentar? Ada yang harus kita bicarakan."

Belinda mengangguk.

Aaron pun mempersilakan Belinda untuk duduk di sofa terlebih dahulu.

"Ada apa, Tuan? Cepat katakan, saya, kok, jadi deg-degan begini," kata Belinda diiringi seulas senyum.

"Begini, Nyonya ...." Aaron menceritakan segalanya.

Belinda mematung, kaget. Ingin marah, tetapi percuma saja. Ingin menyeretnya ke pihak yang berwajib, tetapi apalah daya? Belinda bukanlah siapa-siapa dibandingkan dengan Aaron. Wanita paruh baya itu meneteskan air mata. Ia teringat akan dahulu bagaimana rapuhnya Bella. Ibu mana yang tidak merasa hancur saat tahu putrinya diperkosa, lalu dicampakkan begitu saja. Mentang-mentang orang kaya, berbuat seenaknya saja, umpat Belinda dalam hatinya.

"Saya benar-benar kecewa dan sakit hati mendengar hal ini. Ke mana saja Anda dulu?!" ucap Belinda dingin.

"Lalu, apakah Nyonya mengizinkan dan akan merestui jika aku menikahi Bella?" tanya Aaron hati-hati.

Belinda hanya terdiam dengan air mata yang tak hentinya menetes. Melihat itu membuat Aaron merasa ragu.

Apakah Aaron akan mendapatkan restu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status