"Aku dengar, kamu sempat menikah. Lalu, kenapa sekarang kamu ada di sini?" Wanita dengan rambut cokelat gelap itu menoleh, mengerutkan dahinya.Pria itu membuang napas, wajahnya tampak seperti tak ingin membahas permasalahan tersebut. Sayangnya, wanita itu bertanya lebih detail mau tak mau harus ia jelaskan lebih detail. Tidak mungkin ia biarkan wanita cantik yang beberapa bulan terakhir ini mengisi harinya menunggu lebih lama lagi."Dari siapa?" "Bukankah seharusnya kamu menikah dengan temanku, mengapa bisa bertukar menjadi kakakmu? Aku menunggu penjelasan darimu," jawabnya.Pradipta termenung sesaat, ia membenarkan jaket bulu tebal yang membungkus tubuhnya. Pandangan mata lurus menatap danau di hadapannya. Bibirnya tampak kelu untuk memberikan penjelasan lebih sebenarnya, hanya saja ia tidak ingin membuat wanita itu semakin bertanya-tanya.Wanita itu membuang napas, kemudian menundukkan wajahnya. "Mungkin pertanyaanku terlalu sensitif untukmu, tidak masalah jika kamu tidak ingin me
"Kamu, kenapa senyam-senyum sendirian?" Wanita itu tampak tertawa, menatap wajah teman pria yang sedang tersenyum memegang ponsel di tangan. "Apa yang kamu lihat?" lanjutnya.Pria itu berdehem, wajahnya sumringah, kebahagiaan memancar begitu kental. Tidak ada keraguan sedikit saja. Ia memperlihatkan foto itu ke teman wanitanya, membuat tawa itu sirna dari garis wajahnya."Sudah lama aku suka sama dia, sayangnya aku tidak berani untuk mengungkapkan perasaan ini. Sepertinya selama ini pun dia hanya menganggap aku sebagai teman biasa saja. Menurut kamu bagaimana?" Pria itu menoleh.Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. "Kamu kenapa cemberut? Apa kamu nggak suka aku ada perasaan sama dia?"Wanita itu menggelengkan kepalanya kuat, kemudian memunculkan senyuman penuh dengan kehangatan. "Siapa bilang? Aku bahagia sekali!""Apa saja yang sahabat aku lakukan, pasti aku bahagia!" Wanita itu bersorak dengan mengepalkan tangan ke depan."Terima kasih, Rim. Kamu tahu tidak bagaimana cara mende
"Wah, kamu cantik sekali, Dik. Tidak menyangka hari ini akan disunting Mas Dipta," seru Kiranti, perias pengantin di daerahnya.Berbalutkan kebaya putih dengan riasan wajah adat pengantin Jawa, Linggar hanya menunggu kedatangan calon mempelainya. Senyuman itu tidak dapat ia tahan, semakin mekar dan membuat aura wajahnya semakin cantik."Beruntung sekali Mas Dipta, Dik, dapat istri secantik kamu. Tidak hanya cantik wajah, tapi hatinya pun juga cantik." Kiranti semakin memuji.Linggar tersenyum. "Mbak Kiranti bisa saja. Padahal aku tidak sempurna seperti itu, Mbak Kiranti terlalu melebihkan.""Tidak, Dik. Kamu memang cantik. Semua orang di sini pasti setuju dengan ucapanku," jawab Kiranti, mempertahankan senyuman simpul.Sayup-sayup terdengar tangisan. Linggar menoleh, pintu kamarnya masih tertutup. Telinganya tidak salah mendengar, suara tangisan itu semakin terdengar jelas. Ia saling beradu tatap dengan Kiranti. Gelengan kepala Kiranti menjadi jawaban akurat darinya.Sedetik kemudian,
"Saya terima nikah dan kawinnya Linggar Ayu binti Prapto dengan mas kawin emas seberat sepuluh gram dan uang sebesar sepuluh juta rupiah, saya bayar tunai." Satu jam yang lalu kalimat sakral tersebut berhasil Pramudita ucapkan dengan fasih. Linggar masih tak percaya statusnya telah berganti menjadi istri orang, terlebih pria itu adalah calon kakak iparnya sendiri. Bahkan dirinya sendiri tidak mengenal baik seorang Pramudita. Selama menjalin hubungan dengan sang adik, hanya beberapa kali melihat Pramudita di rumah. Tidak ada obrolan intens, bahkan bertegur sapa pun tidak pernah. Pria itu terkesan acuh, angkuh dan dingin. Pradipta selama ini tidak pernah mengenalkan sang kakak kepadanya, malah terlihat beberapa kali hubungan mereka kurang baik. "Enggar," panggil Pramudita. Suaranya berat menginterupsi Linggar agar menatapnya lebih intens. Pandangan mata keduanya saling bertemu. "Ada apa, Mas?" "Kenapa kamu menerima perbuatan Pradipta?" tanya Pramudita, wajahnya kembali menjadi da
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Mas? Apa kamu memang sengaja ingin membuat hubunganku dengan Enggar berantakan?" Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu menyeringai. "Atau kamu sengaja melakukan semua ini?"Pramudita meliriknya sekilas. "Apa yang kamu ucapkan, Dipta? Apa seperti ini caramu berterima kasih kepadaku? Hah! Aku sudah merelakan statusku untuk menutupi seluruh aib yang telah kamu lakukan.""Kamu yang bertingkah, tetap saja aku yang harus bertanggung jawab." Suara pria tiga puluh dua tahun itu meninggi, urat-urat lehernya terlihat kencang."Bahkan aku sudah mencoba untuk membantah ucapan bapak, Mas. Berusaha untuk pernikahan ini tidak terjadi. Aku tidak rela bila melihat Enggar menikah denganmu, lebih baik dia menikah dengan pria lain saja. Kenapa harus kamu, hah? Seperti tidak ada pria lain saja di bumi ini." Pradipta mengeram dengan wajah memerah, marah.Hubungan antara Pramudita dengan Pradipta tercatat sudah lima tahun terakhir tidak pernah akur. Baik si sulung dan bu
Tak seperti pagi sebelumnya, Linggar merasa asing di tempat baru tersebut. Beranjak dari tempat tidurnya, lantas bersih-bersih dan menuju tempat terbaik untuknya menyalurkan kreativitas, dapur. Tidak banyak bahan makanan yang dipersiapkan Pramudita, namun masih bisa Linggar siasati."Apa yang kamu lakukan?" Semerbak wangi maskulin dengan campuran bau woody dan musky menyeruak ke dalam hidung. Linggar otomatis menoleh, menatap pria yang datang dengan rambut setengah basah itu."Selamat pagi, Mas. Aku hari ini buat sarapan," ucap Linggar, kembali berkutat dengan penggorengan.Pramudita mengangguk, kemudian menarik kursi meja makan. Menatap punggung wanita itu seperti menari, memainkan alat masak. "Mas Pram, ingin kopi panas?""Tentu saja. Gulanya sedikit saja," jawab Pramudita.Wanita dua puluh lima tahun itu memasukan kapsul kopi ke dalam mesin, menantikan rintikan air hitam itu memenuhi cangkirnya. Kemudian membawa dua piring nasi goreng ke hadapan Pramudita."Maaf, Mas, aku hanya ma
Hingga malam menjelang, pria itu tidak kunjung keluar dari kamarnya. Bahkan tak terdengar adanya aktivitas dari dalam kamar Pramudita. Linggar risau, entah hal apa yang tengah dilakukan pria tersebut. "Apa yang dilakukan Mas Pram seharian di kamar? Semedi?" Kening Linggar mengerut. Helaan napas Linggar terdengar kasar. "Seharian tidak keluar, apa tidak merasakan lapar? Apa tidak bosan?" Melintasi depan kamar Pramudita, langkah kaki Linggar terhenti. Tangannya terangkat, ingin mengetuk pintu kamar pintunya. Namun, buru-buru Linggar hentikan. Ia teringat akan pesan sang suami, untuk mengetuk pintu bila ada hal yang penting saja. "Jangan mengganggu," desis Linggar. Kemudian Linggar memilih melanjutkan langkahnya, perut semakin meronta meminta jatah. Untung saja masih ada makanan tersisa di lemari pendingin, Linggar bisa memanasi sebentar di microwave. Pandangan matanya tertuju pada tangga, lengang, tidak ada suara derap langkah. Membuat Linggar membuang napas kembali. Khawatir terja
"Apa yang harus aku lakukan lagi?" Linggar menghela napas panjang, wajahnya tampak kusut. Sudah satu jam wanita dua puluh lima tahun tersebut termenung di taman kecil yang terletak di halaman belakang. Kepalanya terasa bising, saling berebut atensi untuk dipikirkan. Linggar tidak dapat berbuat banyak. Ponselnya kembali bergetar, membuat pandangan Linggar teralihkan. Dahinya mengerut dalam hingga bertumpuk-tumpuk, terlebih menatap nama Pradipta kembali tertera di layar gawai tersebut. "Ada apa lagi?" Linggar berdesak kesal, kemudian meraih gawainya. Rasa penasaran kembali menghantui pikirannya. Pradipta mengirimkan foto seorang pria tengah merangkul pria lain, foto tersebut diambil dari samping. Linggar merasa tidak asing akan pria yang tengah tertawa dengan tangan yang berada di bahu teman prianya. Mata Linggar menyipit, lantas memperbesar foto tersebut hingga terlihat wajah pria itu meski sedikit buram. Jujur sebenarnya Linggar merasa tidak yakin akan tebakannya. Ia masih menyim