Compartir

Bab 6

Autor: Emily Hadid
Clara terkejut mendengar suara itu. Dia langsung mendongak, menatap ke arah sumber suara. "Kamu belum tidur? Astaga, bikin kaget saja."

Dia tidak menjawab pertanyaan Rendra. Pria itu berdiri dengan kedua tangan di dalam saku celana, menatapnya dengan dingin. Tatapannya membuat Clara merasa bersalah tanpa alasan. Padahal, selama ini Rendra tidak pernah peduli padanya.

Setelah menghindari pandangannya, Clara mencoba menjelaskan, "Ponselku mati tadi. Renata baru pulang dari dinas luar kota, jadi kami makan malam bareng."

Rendra terkekeh-kekeh. "Makan malam butuh enam sampai tujuh jam?"

Kini, Clara balik menatap Rendra. Jelas sekali, pria ini tahu ke mana dirinya pergi.

Setelah menatapnya beberapa detik, Clara akhirnya berkata, "Aku juga punya teman dan aku juga punya kehidupan sendiri."

Rendra menunduk sedikit. Suaranya malas tetapi tajam. "Kita belum resmi cerai, tapi kamu sudah nggak mau pura-pura lagi?"

Pura-pura? Kapan dia berpura-pura? Selama tiga tahun pernikahan, Clara hanya sekali ini keluar malam. Rendra kebetulan pulang lebih awal dan malam ini ponselnya hanya kehabisan baterai. Tiga tahun, dia sudah terbiasa melewati malam sendirian.

Menatap Rendra, Clara tidak ingin memperdebatkan benar atau salah. Bagaimanapun, ini jalan yang dulu dia pilih sendiri.

Dengan nada datar, dia memperingatkan, "Rendra, kita akan segera bercerai." Artinya jelas, Rendra tidak perlu mengurusinya lagi dan memang tidak berhak.

Rendra hanya menatapnya dengan dingin. Ketika Clara hendak berbalik ke kamar mandi, Rendra menarik tangannya dengan keras. "Mau nikah seenaknya, mau cerai seenaknya? Kamu pikir Keluarga Adresta ini apa?"

Beberapa hari lalu, Clara juga sempat membicarakan soal perceraian, tetapi Rendra mengabaikannya. Sekarang dia membahasnya lagi. Benar-benar menguji kesabaran.

Karena ditarik dengan kasar, Clara mulai kesal. Dia menatap Rendra. Suaranya meninggi sedikit. "Kalau aku tahu setelah menikah jadinya begini, aku nggak akan menikah sama kamu."

Setelah hening sesaat, Clara melanjutkan, "Aku tahu kamu takut perceraian bisa berpengaruh ke perusahaan. Setelah urusan beres, aku nggak akan bocorkan apa pun. Soal kapan diumumkan atau mau dirahasiakan selamanya, terserah kamu."

Clara tetap pada pendiriannya. Rendra memasukkan kedua tangannya kembali ke saku celana, lalu menatap ke arah lain.

Suasana tiba-tiba menjadi sangat sunyi, sampai-sampai napas masing-masing bisa terdengar. Beberapa saat kemudian, Rendra menoleh dan berkata dengan dingin, "Clara, kita belum resmi cerai. Jangan lupa identitasmu."

Clara membalas dengan tenang, "Identitasku sebagai Nyonya Adresta? Atau sebagai wakil presdir? Rendra, kapan kamu sendiri pernah ingat identitasmu?"

Rendra tertawa sinis sambil menatapnya. "Merasa tersakiti? Menyesal? Aku begini dari dulu. Kamu nggak tahu sebelum nikah?"

Clara terdiam sesaat. Akhirnya, dia hanya berkata, "Waktu itu aku masih terlalu muda dan terlalu naif."

Rendra tertawa kesal. "Cuma karena terlalu muda dan terlalu naif, semuanya bisa dianggap nggak pernah terjadi? Clara, kamu sudah tiga tahun di Grup Adresta. Kamu tahu banyak orang memperhatikanmu. Kamu pikir diam saja bisa menyembunyikan semuanya?"

Clara membalas, "Kalau kamu tahu banyak yang memperhatikan, kenapa kamu sendiri nggak lebih hati-hati?"

Kali ini, Rendra tidak menjawab. Dia hanya menatapnya lama tanpa berekspresi, lalu bertanya, "Jadi, kamu benar-benar mau cerai?"

"Ya. Aku mau mandi dulu. Kamu istirahatlah," timpal Clara dengan tidak acuh. Setelah itu, dia mengambil piama dari lemari dan masuk ke kamar mandi.

Ketika keluar, Rendra sedang bersandar di tempat tidur sambil membaca buku. Sisi kirinya sengaja dibiarkan kosong. Clara tidak bertanya kenapa. Tanpa bersuara, dia memakai penutup mata dan penyumbat telinga, lalu berbaring di sofa untuk tidur.

Di tempat tidur, Rendra meletakkan bukunya, lalu menatap Clara cukup lama. Melihat wanita itu berbalik dan membelakanginya tanpa bergerak, dia akhirnya mematikan lampu dan berbaring.

....

Brak! Sekitar pukul 3 dini hari, Clara terjatuh lagi dari sofa. Dia mengusap lengannya, benar-benar kehabisan kesabaran kali ini. Sampai kapan hidupnya akan seperti ini? Sampai kapan dia harus tidur di sofa?

Menoleh ke arah tempat tidur, Clara tahu Rendra sudah terbangun. Beberapa malam ini, sebenarnya dia pun tidak tidur nyenyak.

Setelah menatapnya lama, Clara duduk di lantai, lalu berkata tanpa daya, "Rendra, kita urus prosedur cerai saja."

Dia sungguh tidak kuat lagi. Benang yang menegang di pikirannya seperti mau putus.

Begitu kata "cerai" keluar dari mulut Clara, terdengar suara kecil di kamar. Rendra menyalakan lampu. Dia bangkit dari tempat tidur, suaranya dingin. "Aku sudah kasih kamu tempat."

Clara menoleh dan menatapnya. "Masalahnya bukan itu. Aku cuma nggak mau bertahan lagi."

Setelah itu, dia berdiri, kembali ke sofa, dan berbaring membelakangi Rendra. Tiga tahun ini, dia sudah berusaha sekuat mungkin.

Clara meringkuk. Napasnya pelan dan berat, rasa lelah dan tak berdaya menyelimuti seluruh tubuhnya. Begitu memejamkan mata, tubuhnya tiba-tiba diangkat seseorang.

Clara kaget. Dia langsung membuka mata, menggenggam baju Rendra erat-erat. Dengan dahi berkerut, dia berkata, "Rendra, kamu mau apa?"

Rendra membawanya mendekati tempat tidur dan menurunkannya dengan pelan. "Aku nggak pernah suruh kamu tidur di sofa."

Malam itu, waktu Clara bilang mau tidur di sofa, dia memang tidak menahannya. Dia selalu mengambil keputusan sendiri, selalu berpikir terlalu banyak.

Clara hanya bisa menatapnya tanpa tahu harus berkata apa. Melihatnya diam, Rendra menarik selimut dan menutup tubuhnya.

"Tenang saja, aku nggak tertarik sama kamu," ujar Rendra.

Clara tidak menjawab, hanya terus menatapnya saat dia berbaring di sebelahnya. Dia memperhatikan hidungnya yang mancung dan garis wajahnya yang tegas dari samping.

Setelah menatap beberapa saat, dia akhirnya bertanya dengan nada berdiskusi, "Terus, soal cerai gimana? Harus nunggu izin dari kakek dan orang tuamu dulu?"

Dengan mata terpejam, Rendra tertawa rendah. "Kakekku, orang tuaku? Kamu pandai sekali cuci tangan ya."

Sambil berkata begitu, dia menoleh menatap Clara lagi. Mereka hanya terpisah sejengkal. Rendra bisa mencium aroma lembut di tubuhnya, wangi susu yang khas darinya.

"Clara, kenapa kamu tiba-tiba ingin bercerai?" tanya Rendra.

Ruangan sangat tenang. Untuk pertama kalinya, mereka berbicara dengan nada tenang seperti ini.

Clara menoleh melihat Rendra, tetapi hatinya masih menyimpan perasaan padanya. Terutama saat Rendra berbicara lembut dan menatapnya dengan serius seperti sekarang. Sayangnya, Rendra tidak pernah menyukainya.

Sambil menatapnya, Clara menyahut dengan tulus, "Aku capek, Rendra. Aku nggak mau terus hidup berputar di sekelilingmu. Aku cuma ingin kembali jadi diriku sendiri."

Mendengar itu, Rendra baru teringat bahwa Clara bukan lulusan manajemen atau keuangan, tetapi jurusan robotika industri dari Universitas Astram.

Rendra tidak menanggapi. Clara pun melanjutkan, "Rendra, mungkin kamu pikir aku berguna. Aku nggak banyak nuntut, aku bantu urus masalahmu, aku nggak banyak bicara. Tapi perempuan lain pun bisa melakukan hal yang sama."

"Aku bukan orang yang berguna, aku juga nggak punya banyak harta sesan, dan aku jelas bukan istri sempurna yang layak kamu banggakan."

Mendengar itu, Rendra justru tertawa. Setelah tawanya mereda, dia menatapnya dan bertanya, "Jadi, kamu dengar gosip waktu itu ya?"

Setelah berpikir berhari-hari, akhirnya Rendra paham kenapa Clara tiba-tiba ingin bercerai. Sebelum Clara sempat menjawab, dia menambahkan, "Itu cuma obrolan iseng, nggak usah kamu anggap serius."

Nada ringan Rendra membuat Clara menjawab pelan tetapi mantap, "Rendra, aku mau cerai bukan cuma karena obrolan waktu itu. Tapi karena kita memang nggak cocok. Aku bukan lagi marah. Aku sudah pikirkan ini baik-baik ...."

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Rendra membalikkan tubuh dan langsung memeluknya dengan erat.

Dalam sekejap, suara Clara terhenti. Dia menatapnya lekat-lekat, tak berani bergerak sedikit pun.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 50

    Clara menatapnya beberapa saat, lalu berkata dengan nada geli, "Aku nggak tahu batas? Aku kelewatan? Aku cuma makan dua kali sama Alain dan bicara sedikit soal pekerjaan, kamu sudah merasa nggak dihargai, merasa nggak nyaman begitu?"Belum sempat Rendra membuka mulut, Clara sudah melanjutkan, "Rendra, selama tiga tahun ini, kamu tahu apa itu batasan? Pernahkah kamu berada di dalam batasan itu? Setiap kali aku harus membereskan urusan perempuanmu di luar sana, pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku? Pernahkah kamu memikirkan apakah aku juga nggak nyaman?""Kamu membawa Caroline keluar masuk sesukamu, kamu memperlakukan Caroline seperti istrimu sendiri, tapi pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku?"Clara menatap Rendra tanpa berkedip. Saat semua kata itu keluar dari mulutnya, wajah pucatnya memerah karena emosi yang akhirnya tak tertahankan lagi.Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada dingin, "Batasan memang hal yang baik, tapi Rendra, kamu nggak punya itu. Ja

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 49

    Pukul 22.30 malam, Rendra seharusnya masih belum pulang. Namun begitu Clara membuka pintu kamar dengan kartu akses, pandangannya langsung tertuju pada sosok Rendra yang baru keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk putih di pinggangnya.Bagian atas tubuhnya telanjang. Kulitnya masih basah, otot dadanya terlihat jelas, tampak begitu maskulin dan memikat. Clara sontak terpaku di tempat. Pipinya pun memanas seketika.Saat sadar bahwa Rendra juga sedang menatapnya, Clara buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha bersikap tenang sambil bertanya, "Kenapa kamu pulang lebih awal hari ini?"Rendra mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu berkata dengan tenang, "Aku memang pulang lebih cepat. Kamu sendiri, habis dari mana bersenang-senang?"Clara meletakkan tasnya, lalu melirik lagi ke arah Rendra. Begitu matanya tanpa sengaja jatuh ke dada bidang itu, dia segera memalingkan wajah dan berkata dengan gugup, "Kamu ... pakai baju dulu, deh."Rendra tertawa pelan. Setelah itu, dia melepas

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 48

    Tak jauh dari meja utama, Caroline sudah lama memperhatikan Clara dan Alain. Melihat keduanya tampak begitu akrab, duduk berduaan di meja besar yang hanya diisi mereka berdua, Caroline pun menepuk lengan Rendra dan menunjuk ke arah mereka."Rendra, itu Clara, 'kan?" katanya. "Yang makan bersamanya itu Alain dari StarTech, ya? Dia juga ikut konferensi ini? Sejak kapan Clara kenal dengannya?"Pertanyaan Caroline datang bertubi-tubi. Mengikuti arah jarinya dan menatap ke sana, Rendra melihat Clara yang terlihat serius mendengarkan penjelasan Alain, matanya bahkan berkilat penuh antusiasme.Melihat pemandangan itu, wajah Rendra langsung menggelap. Dia sama sekali tidak menyangka Clara mengenal Alain, apalagi bisa berbincang sedekat itu dengannya.Dengan tatapan dingin dan datar, Rendra menatap keduanya selama beberapa detik, lalu menarik kembali pandangannya dan melanjutkan percakapan dengan Levin seolah tidak terjadi apa-apa.Sementara itu di sisi lain, Alain dan Clara masih berbincang de

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 47

    Clara tidak mengenalinya. Pria itu tersenyum hangat dan memperkenalkan diri, "Alain."Begitu mendengar namanya, Clara langsung tersadar. Dia buru-buru mengulurkan tangan dan menyapanya sopan, "Halo, Pak Alain." Lalu dengan sedikit canggung, dia menambahkan, "Maaf ya, Pak. Aku belum sempat benar-benar datang wawancara ke perusahaan Bapak, jadi tadi aku nggak mengenali Bapak."Waktu masih kuliah dulu, Clara sudah sering mendengar nama Alain. Namun, Alain hanya membimbing mahasiswa doktoral dan pascasarjana, fokus pada penelitian dan proyeknya sendiri. Dia memang pernah mengadakan dua kelas umum, tapi ketika Clara tahu dan ingin ikut, bahkan di depan pintu saja sudah penuh sesak oleh orang-orang. Jadi, dia memang belum pernah punya kesempatan untuk bertemu langsung dengan Alain.Alain membalas jabat tangannya dengan tenang dan tersenyum, "Nggak apa-apa."Setelah melepaskan tangan, Alain melirik sekeliling dan bertanya, "Sendirian?"Clara mengangguk sambil tersenyum, "Asistenku sedang ada

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 46

    Begitu sampai di ruang rapat, Clara melihat namanya tertera di kursi yang ditempatkan tepat di sebelah Rendra. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengambil papan nama itu dan memilih duduk di sudut ruangan yang sepi.Seandainya bukan karena Rendra yang menunda pengurusan dokumennya, Clara bahkan tidak perlu datang ke acara pertukaran bisnis ini. Namun, selama semuanya belum selesai, dia tetap harus memainkan perannya dengan baik.Tak lama kemudian, peserta rapat mulai berdatangan. Selain Rendra dan Jonas yang masih muda, para pengusaha senior juga hadir."Rendra, kamu juga datang.""Rendra, soal proyek kedua, nanti setelah rapat kita bicarakan baik-baik.""Baik, Paman.""Ini anak dari Keluarga Winandy, ya? Sudah pulang ke dalam negeri?""Benar, Paman. Mohon bimbingannya ke depannya."Rendra menanggapi dengan sopan sambil tersenyum, sementara Caroline berdiri di sampingnya dengan wajah penuh pesona, seolah-olah dialah istri resmi Rendra.Hanya saja, para pengusaha senior tidak begitu

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 45

    Antusiasme Caroline membuat Clara tersenyum lembut dan memanggil, "Kak Caroline." Caroline menyapanya dengan ramah, barulah orang-orang di sekitar sadar kalau Clara juga datang.Meskipun melihat Clara, mereka tidak menyapanya, melainkan hanya saling berbisik pelan. Sebenarnya, beberapa dari mereka sudah melihat Clara sejak tadi. Hanya saja karena Rendra tidak memedulikannya dan sedang berbicara dengan Caroline, mereka pun ikut mengabaikannya.Bagaimanapun juga, Rendra tidak pernah mengakui Clara dan tidak pernah mengakui pernikahan mereka, bahkan pesta pernikahan pun tidak pernah diadakan. Sikap Rendra terhadap Clara juga menjadi sikap orang-orang terhadapnya.Caroline menggenggam tangan Clara dengan ramah sambil tersenyum, "Clara, kami baru mau sarapan, ikut saja sama kami."Clara tersenyum dan menolak halus, "Kak Caroline, kalian duluan saja. Aku sudah minta Miara ambilkan dokumen, jadi aku harus nunggu dia."Wajah Caroline tampak kecewa. "Begitu ya? Baiklah, kami masuk dulu. Kamu na

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status