Rendra mengira Clara hanya sedang cemburu karena Caroline kembali, bahwa dia sengaja ingin memainkan strategi tarik-ulur, mengganti taktik untuk menarik perhatian Rendra.
Tak disangka, Clara benar-benar sudah menyiapkan kartu keluarga, bahkan juga sudah mempersiapkan surat perjanjian kerahasiaan, dan mengikuti berita tentang kebijakan baru yang baru diumumkan beberapa hari terakhir.
Hal itu membuat Rendra merasa menarik. Dia ingin tahu, apakah Clara akan memanfaatkan perceraian ini untuk meminta sesuatu darinya.
Mendengar kata-kata Rendra, Clara menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Dia bahkan tidak bisa membayangkan, di dalam hati Rendra, dirinya ternyata serendah itu.
Tak ada gunanya berbicara dengan pria ini. Mereka berdua memang tidak bisa berkomunikasi dengan baik. Prasangka buruk Rendra terhadapnya tidak akan bisa diubah seumur hidup. Sudahlah. Semua itu tidak penting lagi.
Akhirnya, Clara menatapnya dengan lelah dan berkata, "Kalau kamu mau berpikir begitu, ya sudah. Kamu tentukan saja kapan kamu sempat, biar kita urus surat-suratnya."
Sikap tenang Clara membuat senyuman di wajah Rendra langsung lenyap. Dia menatap Clara dengan dingin.
Melihat Rendra diam saja, Clara melanjutkan, "Kamu istirahat saja. Kalau nanti sudah ada waktu, kabari aku."
Selesai berbicara, Clara berbalik untuk pergi. Saat tangannya menyentuh gagang pintu, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik.
Belum sempat bereaksi, Rendra sudah menariknya dengan keras hingga tubuhnya nyaris jatuh di depannya. Clara sempat terhuyung, lalu menatap Rendra.
Ditarik begitu saja membuatnya sempat kesal, tetapi begitu teringat bagaimana Rendra dulu menyelamatkannya dari kobaran api, amarahnya pun perlahan surut.
Sambil mengusap pergelangan tangan yang memerah, Clara bertanya dengan lirih, "Ada apa lagi?"
Dia sudah berpikir panjang, berkali-kali. Namun, dia tetap tidak mengerti bagaimana hubungan mereka bisa berubah sejauh ini. Kenapa Rendra begitu membencinya?
Clara tetap bersikap tenang. Sementara itu, Rendra memasukkan kedua tangannya ke saku celana, memalingkan wajahnya, dan menahan tertawa kesal. Kemudian, dia menatap Clara dan berkata, "Clara, pria mana yang berani merebut istri orang sepertiku? Siapa yang berani macam-macam denganku?"
Clara terdiam. Kalau dipikir-pikir, seharusnya yang diselingkuhi itu dirinya, 'kan?
Clara tidak menanggapi. Rendra berjalan ke meja, kembali menyalakan sebatang rokok. Dia berdiri di depan jendela besar, asap rokok meliputi dirinya. Punggungnya tegap, kakinya panjang. Bahkan dia tampak menarik saat dilihat dari belakang.
Menghadapi Rendra yang seperti ini, Clara benar-benar tak berdaya. Sambil menatap punggungnya, dia berkata, "Kamu tahu sendiri nggak ada yang berani dekat sama aku. Aku cuma ikut omonganmu, jadi jangan pikir aneh-aneh. Kapan kamu sempat, kita urus saja prosedur cerai. Lagi pula, kalau Ibu setiap hari awasin kamu, kamu juga tertekan."
Padahal yang dikhianati itu dirinya, padahal dia yang menahan semua rasa sakit itu. Namun, tetap saja dia yang harus menenangkan Rendra. Benar saja, siapa yang lebih dulu jatuh cinta, dialah yang kalah lebih dulu.
Ketika Clara kembali menyinggung soal perceraian, Rendra hanya berdiri membelakanginya. Bahkan punggungnya pun terasa dingin dan asing. Dia tidak menjawab dan Clara pun tidak berbicara lagi.
Clara membuka pintu perlahan. Tepat saat itu, Delisha sudah berdiri di depan pintu dan hendak mengetuk.
"Ibu," sapa Clara dengan kaget.
Delisha melirik ke dalam kamar sebelum menatap Clara dan bertanya, "Clara, kamu sama Rendra habis bertengkar ya? Dia nggak marahin kamu, 'kan?"
Clara tersenyum. "Nggak, Bu. Kami nggak bertengkar kok."
Delisha menatapnya dengan curiga. "Kalau nggak bertengkar, kenapa kamu keluar dari kamar?"
"Aku cuma mau ambil air minum."
"Ya sudah, sana ambil dulu."
Setelah mendapat izin, Clara keluar kamar dan menuruni tangga. Sementara itu, Delisha masuk dengan wajah serius.
Rendra yang sudah berbalik arah hanya menatap ibunya culas. "Ibu mau sekalian tidur di sini? Biar bisa awasin aku 24 jam?"
Delisha mencubit lengannya. "Rendra, kamu jangan keterlaluan. Clara sudah cukup sabar dan banyak ngalah. Jangan jadi orang yang nggak tahu diri!"
"Clara itu juga manusia, dia punya perasaan. Kamu setiap hari pulang larut, bersikap dingin. Kamu kira dia nggak sedih? Nanti kalau dia benaran pergi, baru kamu tahu rasanya menyesal."
Rendra mengernyit karena kesakitan, lalu menepis tangan ibunya. "Kebiasaan Ibu nyubit orang itu kapan hilangnya sih? Tahu sakit nggak?"
Delisha membalas, "Kalau nggak sakit, buat apa aku cubit? Aku kasih peringatan ya, Rendra. Kalau kamu masih terus main belakang sama Caroline, bikin Clara sedih, aku bisa bikin keluarga Caroline jatuh miskin dan jadi pengemis!"
Rendra menunduk menatap ibunya. "Clara kasih Ibu obat apa sih, sampai bela dia segitunya?"
"Kamu sendiri dikasih obat apa sama Caroline? Istri sebaik ini kamu sia-siain, setiap hari nongkrong sama dia. Otakmu itu masih waras nggak?"
Delisha mencolek dahi Rendra keras-keras. Rendra langsung menepisnya dengan kesal.
Tak lama kemudian, Clara naik dengan membawa segelas air. Mendengar suara langkah kakinya, Delisha langsung mengubah ekspresinya dan tersenyum manis. "Sudah ambil air ya? Kalau begitu, cepat masuk dan istirahat. Besok masih harus kerja."
Begitu melihat Clara masuk ke kamar, barulah Delisha menutup pintu dan pergi.
Sekarang hanya tinggal mereka berdua. Rendra masih memijat lengannya yang sakit.
Karena terus diawasi oleh Delisha, Clara akhirnya berkata, "Aku tidur di sofa saja ya?"
Rendra tak menjawab, hanya mengambil piama, lalu masuk ke kamar mandi.
Clara menatap punggungnya, benar-benar merasa lelah. Segala hal yang seharusnya dihadapi berdua, selalu dia hadapi sendirian.
Begitu Rendra selesai mandi, Clara bergantian masuk, membersihkan diri, bahkan menyemprot disinfektan di kamar mandi. Dia takut Rendra akan merasa jijik karena dia pernah memakai kamar mandi ini.
Setelah semua selesai, Clara mengenakan penutup telinga dan mata, lalu tidur di sofa dengan selimut tipis. Hari terasa begitu panjang. Dia sudah tidak punya tenaga untuk berdebat lagi.
Dari meja kerja, Rendra menatap punggung Clara yang meringkuk di sofa. Kenangan lama pun tebersit di benaknya.
[ Rendra, kamu malam ini pulang makan nggak? Aku bikin sup buat kamu. ]
[ Rendra, lihat deh, langit sore ini cantik banget. ]
[ Rendra, kamu sebenarnya suka aku nggak? ]
Kalau saja waktu itu kakeknya tidak mengatakan itu, kalau saja dia tidak pernah tahu rahasia Clara,
kalau saja dia tidak membaca isi buku hariannya, mungkin dia masih bisa percaya bahwa perasaan Clara padanya tulus.
....
Beberapa hari setelah itu, Delisha benar-benar tinggal di Awana Bay. Rendra semakin tertekan dan Clara juga hampir tak kuat lagi.
Setiap malam dia tidur di sofa dan sering jatuh ke lantai beberapa kali. Sebenarnya Rendra tahu. Setiap kali dia jatuh, Rendra selalu terbangun. Namun, dia berpura-pura tidak tahu dan tidak pernah bertanya sekali pun.
Clara pun tak membongkar kepura-puraannya. Kalau pernikahan sudah sampai tahap ini, memang sudah tidak ada yang tersisa.
Sampai akhirnya Renata pulang dari dinas luar kota dan mengajaknya makan malam, barulah Clara merasa sedikit lega.
Setelah mendengar keluhannya, Renata menatapnya dengan kesal. "Aku sudah bilang dari dulu, Rendra itu nggak bisa diandalkan. Sekarang rasain sendiri, 'kan? Kalau waktu itu kamu pilih Kak Rendy, hidupmu pasti nggak begini."
Clara tersenyum samar. "Kadang orang memang harus nabrak tembok dulu baru sadar sakitnya."
Dia teringat masa muda mereka, bagaimana Rendra dulu berani menerobos api demi menyelamatkannya, mengajaknya bolos kuliah, memanjat pagar kampus, menonton konser, bermain biliar .... Mereka melakukan banyak hal yang Clara tidak berani lakukan ataupun bayangkan. Semua kenangan indah masa remaja bersama Rendra.
Bagaimana mungkin dia tidak menyukai Rendra? Dia pun mengira Rendra juga menyukainya.
Jadi, waktu Zafran bertanya apakah dia menyukai Rendy atau Rendra, dia dengan yakin memilih Rendra.
Mengingat hal itu, Clara melanjutkan, "Lagi pula, aku memang takut sama Kak Rendy. Dari kecil dia sudah tegas banget, bahkan lebih galak dari ayahku. Setiap kali lihat dia saja aku ingin kabur."
Melihat Clara begitu lemah, Renata berkata, "Kak Rendra itu benar-benar nggak tahu malu. Dia yang keluyuran setiap malam, malah nuduh kamu punya orang lain. Apa yang dia pikirkan tentang orang lain itu sebenarnya cerminan dirinya sendiri!"
"Sebenarnya apa yang bagus dari dia sih? Kamu juga tahu, dia dari dulu memang begitu. Ngapain dulu kamu maksa nikah sama dia?"
Clara sampai ingin menggali lubang untuk bersembunyi. Akhirnya, dia hanya tersenyum pahit. "Aku cuma terlalu muda dan terlalu naif. Kupikir aku bisa mengubah dia."
Renata menyahut, "Sekarang sudah sadar, 'kan? Realitas nggak seindah drama."
Clara terkekeh-kekeh, tidak membantah. Sebenarnya Rendra juga tidak selalu seperti sekarang. Kebanyakan perubahan itu terjadi setelah mereka menikah. Mungkin Rendra memang tidak bahagia bersamanya.
Melihatnya terdiam, Renata menepuk bahunya. "Sudah, jangan dipikirin lagi. Nanti malam keluar sebentar, cari udara segar."
....
Selesai makan malam, Renata pun mengajak Clara ke bar. Melihat Renata sibuk menyapa teman-temannya, Clara bertanya dengan heran, "Jadi, ini cara kamu buat cari udara segar?"
Renata mengangkat alis. "Ya dong. Kak Rendra 'kan suka keluar sampai nggak pulang. Sekarang kamu juga begitu, biar dia tahu rasanya."
Clara tertawa. "Kamu terlalu menilai tinggi posisiku di hatinya."
Renata menuangkan jus dan menyerahkannya kepada Clara. "Sudahlah, jangan pikirin dia terus. Kamu harus belajar cuek. Kalau nggak, aku takut kamu depresi."
Clara menerima minuman itu tanpa berkata-kata. Karena tahu Renata niatnya baik, dia berusaha bersikap santai. Dia bahkan ikut main game dengan beberapa mahasiswa laki-laki yang diajak Renata. Anehnya, bermain seperti ini justru membuatnya sedikit melupakan kesedihan.
Namun, tak jauh dari mereka, sekelompok orang yang juga sedang bersenang-senang tiba-tiba memperhatikan. "Eh, itu Clara sama Renata?"
"Ya, itu Clara! Dia ke bar juga sekarang? Bukannya dia itu istri penurut?"
"Pasti Renata yang ngajak."
"Eh, tunggu dulu, jangan nyapa dulu. Aku fotoin dulu."
Pria itu mengeluarkan ponselnya dan memotret mereka berdua. "Wah, ini istri Rendra yang penyabar itu. Kayaknya dia mulai melawan nih. Aku kirim ke Rendra."
Begitu difoto dan direkam, pria itu langsung mengirimkannya tanpa ragu sedikit pun.
....
Di Awana Bay, di bawah pengawasan Delisha, Rendra sudah pulang sejak pukul 7 malam dan sedang lembur di ruang kerja. Ponselnya terus bergetar.
Dia mengambilnya, membuka pesan, dan melihat lebih dari sepuluh foto dan beberapa video. Begitu melihat isinya, wajahnya langsung menjadi masam.
Heh .... Dirinya pulang lebih awal, tetapi Clara malah bersenang-senang di luar. Bahkan videonya menunjukkan bahwa Clara sedang bermain game dengan para pemuda.
Melihat senyuman canggung tetapi cerah di wajahnya, wajah Rendra pun menegang. Keluar dari aplikasi, dia langsung menekan nomor Clara.
Namun, suara operator terdengar. "Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif."
Dia menekan lagi dan lagi. Hasilnya tetap sama.
"Maaf, nomor yang Anda tuju sedang tidak ak ...." Sebelum kalimat itu selesai, Rendra sudah membanting ponselnya. Wajahnya suram, suasana hatinya hancur. Dia tidak bisa bekerja lagi.
Rendra berdiri dan berjalan ke arah jendela. Di luar halaman, suasananya sunyi sekali. Tidak ada tanda-tanda mobil yang kembali.
Dia merogoh sakunya, mengambil sebungkus rokok, menaruh sebatang di bibirnya, lalu menunduk dan menyalakannya. Setelah mengisap dalam-dalam, dia mengembuskan asap dengan berat, bahkan suara napasnya pun terdengar keras.
Entah sudah berapa lama berdiri di depan jendela, akhirnya sebuah mobil sedan putih masuk ke halaman. Barulah Rendra memutar badan dan melangkah pergi.
Di lantai bawah, Clara baru turun dari mobil. Dia menarik kerah bajunya, mencium sedikit aroma alkohol di bar, lalu menepuk-nepuk pakaiannya agar baunya hilang sebelum masuk ke rumah.
Sebenarnya dia berniat pulang lebih awal, tetapi karena Renata sedang bersenang-senang, dia akhirnya ikut bertahan sedikit lebih lama.
Begitu masuk rumah, suasana di dalam benar-benar tenang. Semua orang tampaknya sudah beristirahat.
Clara melangkah pelan menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar tamu, terdengar suara Rendra yang dingin. "Ke mana saja? Kenapa telepon nggak diangkat?"