Compartir

Bab 7

Autor: Emily Hadid
Melihat keadaan itu, Rendra bertanya dengan suara rendah, "Kamu kenapa?"

Kedua tangannya perlahan mengepal, lalu diangkat ke sisi kepala.

Clara diam-diam menelan ludah, menatap mata Rendra, lalu melanjutkan kata-kata sebelumnya dengan sungguh-sungguh, "Aku mengajukan cerai setelah berpikir matang."

Penjelasan Rendra barusan tidak berarti apa pun dan tidak bisa mewakili apa pun. Sikap dinginnya hari demi hari, rasa muak dan tidak sukanya, itulah yang nyata.

Clara bersikeras ingin bercerai, Rendra menggenggam pergelangan tangannya, lalu menunduk dan mencium bibirnya.

Ciuman mendadak dari Rendra membuat Clara terbelalak. Seluruh tubuhnya menegang. Dia menatap Rendra dengan kaget, bahkan menahan napas.

Rendra menciumnya dengan lembut. Melihat Clara bahkan tidak berani bernapas, dia mencium dengan lebih lembut lagi.

Jonas benar. Dia memang harus menenangkan Clara. Kalau tidak, perempuan ini akan benar-benar melawan.

Rendra membelai lembut kulit halus Clara. Saat Rendra mengangkatnya dari tempat tidur, Clara mengeluarkan suara pelan, "Mm ...."

Suaranya terdengar sangat menggoda. Kemudian, kedua tangannya menahan di dada Rendra. Melihat begitu, Rendra menyingkirkan tangannya, menggenggam jari-jarinya, dan menahannya.

Saat ini, dengan suara sedikit bergetar, Clara bertanya padanya, "Rendra, apa kamu nggak salah orang?"

Begitu Clara bertanya, Rendra langsung kehilangan minat. Dia bangkit dari atas tubuh Clara, menyalakan lampu besar, lalu berdiri dan menyalakan sebatang rokok.

Clara segera duduk, cepat-cepat mengancingkan bajunya. Berdiri di dekat jendela besar, Rendra menoleh sekilas padanya. Clara sebenarnya ... cukup membosankan.

Rendra berbalik ke meja kopi, lalu menunduk dan mematikan rokok tanpa ekspresi. Dia mengambil kemeja dan jas dari lemari, lalu berganti pakaian seperti biasa.

Tatapan Clara beralih dengan cepat dan Rendra melihatnya. Dia tersenyum dan bertanya, "Melihat pun nggak berani?"

Clara mendongak menatapnya, tetapi tidak berbicara.

Rendra melambaikan tangan kepadanya. "Ke sini."

Clara menatapnya beberapa saat, lalu turun dari tempat tidur dan berjalan mendekat. Saat tiba di depannya, dia bertanya, "Kamu mau aku bantu pasang dasi?"

Rendra tertawa. "Malam-malam begini, untuk apa pasang dasi?"

Sambil berbicara, dia menyelipkan sabuk ke tangan Clara. "Bantu aku pasangkan."

Clara tidak bisa berkata-kata. Ketika menunduk melihat sabuk di tangannya, telinga Clara memerah, tetapi dia tetap hati-hati membantu memasangkannya di pinggang Rendra.

Namun, dia tidak pernah bisa tepat, entah terlalu longgar atau terlalu kencang. Setelah beberapa kali mencoba, wajahnya sudah merah padam. Rasanya terlalu canggung. Pikirannya mulai ke arah yang tidak baik.

Rendra menunduk menatap Clara. Melihat wajahnya yang merah, Rendra sengaja tersenyum dan bertanya, "Pasang sabuk saja, kenapa wajahmu semerah itu?"

Clara menatapnya, lalu segera mengalihkan pandangan dan berganti topik. "Kamu mau keluar? Kalau Ibu tahu, mungkin akan marah."

Rendra menyeringai nakal. "Kamu mau menahanku?"

Clara menyahut pelan, "Aku cuma mengingatkanmu."

Menahannya? Dia memang tidak bisa menahan dan sekarang juga tidak mau.

Clara tidak berani menatapnya. Rendra pun mencubit dagunya, memaksanya menatap matanya. "Kalau kamu mau menahanku, mungkin aku akan mempertimbangkannya untuk nggak pergi."

Clara terpaksa menatap Rendra. "Ibu pasti akan menegurmu."

Tangannya tidak dilepaskan. Rendra tersenyum dan bertanya, "Clara, ke mana perginya keberanianmu waktu dulu menggodaku?"

Wajah Clara semakin merah, pandangannya menghindar. "Waktu itu aku belum dewasa."

Begitu kata-kata itu selesai, Rendra langsung mengangkatnya ke bahu.

Clara panik. "Rendra, kamu ngapain? Turunkan aku!"

Tanpa menghiraukannya, Rendra melemparkannya ke tempat tidur. Tempat tidur itu empuk, jadi seluruh tubuh Clara tenggelam ke dalamnya. Saat dia berusaha bangun dengan kedua tangannya, Rendra menahan pergelangan tangannya dan mengurungnya di pelukannya.

Clara berusaha beberapa kali. Namun, semakin dia berusaha, Rendra semakin kuat menekan dan akhirnya Clara tidak melawan lagi.

Dia memejamkan mata, memalingkan wajah agar tidak menatapnya.

Melihat reaksi Clara, Rendra bertanya, "Benar-benar mau cerai? Benar-benar nggak mau hidup bersamaku lagi?"

Masih memalingkan wajah, Clara mengangguk. "Ya, aku benar-benar mau cerai."

Mendengar jawaban pasti dari Clara, Rendra segera melepaskannya dan segera bangkit dari atas tubuhnya. Malam ini dia sudah memberi wanita ini beberapa kesempatan, tetapi tidak dihargai.

Brak! Bersamaan dengan suara pintu tertutup keras, Clara baru membuka mata. Saat dia duduk, sosok Rendra sudah tidak ada di kamar. Kosong.

Rambut berantakan menutupi wajahnya. Clara menatap pintu lama, tidak bereaksi. Saat dia akhirnya tenang, langit di luar perlahan mulai terang.

Clara mengambil ponselnya. Sudah pukul 6.30 pagi, tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang. Dia tidak ingin tidur lagi, jadi meletakkan ponsel dan bangun dari tempat tidur.

Dia mengira Rendra sudah pergi semalam, tetapi saat dia hendak keluar, mobilnya justru terhalang.

Saat berjalan mendekat, jendela mobil Maybach diturunkan. Suara malas Rendra terdengar. "Naik."

Clara berkata, "Aku bisa nyetir sendiri."

Rendra menyandarkan kedua tangannya dengan santai di kemudi. "Kalau begitu, kita di sini saja terus."

Clara sungguh kehabisan kata-kata. Setelah bersitegang dengan Rendra beberapa saat, melihat dia tidak juga memindahkan mobil, Clara membuka pintu belakang mobil.

Namun, tidak bisa dibuka. Dia hanya bisa menatap Rendra dan berkata, "Bukakan pintunya."

Rendra menatapnya, mengingatkan dengan tenang, "Duduk di depan."

Mendengar itu, Clara berdiri di tempat sejenak, lalu maju dua langkah ke depan, perlahan membuka pintu penumpang depan.

Setelah mobil keluar dari kompleks, Rendra kadang menatapnya. Clara mencari topik dan berkata, "Rupanya kamu takut juga sama Ibu."

Rendra tertawa. "Ibu bawel banget, mana mungkin aku nggak takut? Beberapa proyek perusahaan akhir-akhir ini sangat penting, urusan cerai ditunda dulu."

Mendengar itu, Clara langsung menoleh menatap Rendra. Sudah dia duga. Saat dia mengajukan cerai, Rendra seharusnya langsung ke pengadilan negeri untuk menyelesaikannya, bukan punya waktu untuk berpura-pura. Semalam pria ini bahkan hampir mengorbankan dirinya sendiri.

Ternyata semua demi perusahaan.

Sambil menatap Rendra dengan tenang, Clara bertanya, "Kalau begitu, mau ditunda sampai kapan?"

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 50

    Clara menatapnya beberapa saat, lalu berkata dengan nada geli, "Aku nggak tahu batas? Aku kelewatan? Aku cuma makan dua kali sama Alain dan bicara sedikit soal pekerjaan, kamu sudah merasa nggak dihargai, merasa nggak nyaman begitu?"Belum sempat Rendra membuka mulut, Clara sudah melanjutkan, "Rendra, selama tiga tahun ini, kamu tahu apa itu batasan? Pernahkah kamu berada di dalam batasan itu? Setiap kali aku harus membereskan urusan perempuanmu di luar sana, pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku? Pernahkah kamu memikirkan apakah aku juga nggak nyaman?""Kamu membawa Caroline keluar masuk sesukamu, kamu memperlakukan Caroline seperti istrimu sendiri, tapi pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaanku?"Clara menatap Rendra tanpa berkedip. Saat semua kata itu keluar dari mulutnya, wajah pucatnya memerah karena emosi yang akhirnya tak tertahankan lagi.Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada dingin, "Batasan memang hal yang baik, tapi Rendra, kamu nggak punya itu. Ja

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 49

    Pukul 22.30 malam, Rendra seharusnya masih belum pulang. Namun begitu Clara membuka pintu kamar dengan kartu akses, pandangannya langsung tertuju pada sosok Rendra yang baru keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk putih di pinggangnya.Bagian atas tubuhnya telanjang. Kulitnya masih basah, otot dadanya terlihat jelas, tampak begitu maskulin dan memikat. Clara sontak terpaku di tempat. Pipinya pun memanas seketika.Saat sadar bahwa Rendra juga sedang menatapnya, Clara buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha bersikap tenang sambil bertanya, "Kenapa kamu pulang lebih awal hari ini?"Rendra mengeringkan rambutnya dengan handuk, lalu berkata dengan tenang, "Aku memang pulang lebih cepat. Kamu sendiri, habis dari mana bersenang-senang?"Clara meletakkan tasnya, lalu melirik lagi ke arah Rendra. Begitu matanya tanpa sengaja jatuh ke dada bidang itu, dia segera memalingkan wajah dan berkata dengan gugup, "Kamu ... pakai baju dulu, deh."Rendra tertawa pelan. Setelah itu, dia melepas

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 48

    Tak jauh dari meja utama, Caroline sudah lama memperhatikan Clara dan Alain. Melihat keduanya tampak begitu akrab, duduk berduaan di meja besar yang hanya diisi mereka berdua, Caroline pun menepuk lengan Rendra dan menunjuk ke arah mereka."Rendra, itu Clara, 'kan?" katanya. "Yang makan bersamanya itu Alain dari StarTech, ya? Dia juga ikut konferensi ini? Sejak kapan Clara kenal dengannya?"Pertanyaan Caroline datang bertubi-tubi. Mengikuti arah jarinya dan menatap ke sana, Rendra melihat Clara yang terlihat serius mendengarkan penjelasan Alain, matanya bahkan berkilat penuh antusiasme.Melihat pemandangan itu, wajah Rendra langsung menggelap. Dia sama sekali tidak menyangka Clara mengenal Alain, apalagi bisa berbincang sedekat itu dengannya.Dengan tatapan dingin dan datar, Rendra menatap keduanya selama beberapa detik, lalu menarik kembali pandangannya dan melanjutkan percakapan dengan Levin seolah tidak terjadi apa-apa.Sementara itu di sisi lain, Alain dan Clara masih berbincang de

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 47

    Clara tidak mengenalinya. Pria itu tersenyum hangat dan memperkenalkan diri, "Alain."Begitu mendengar namanya, Clara langsung tersadar. Dia buru-buru mengulurkan tangan dan menyapanya sopan, "Halo, Pak Alain." Lalu dengan sedikit canggung, dia menambahkan, "Maaf ya, Pak. Aku belum sempat benar-benar datang wawancara ke perusahaan Bapak, jadi tadi aku nggak mengenali Bapak."Waktu masih kuliah dulu, Clara sudah sering mendengar nama Alain. Namun, Alain hanya membimbing mahasiswa doktoral dan pascasarjana, fokus pada penelitian dan proyeknya sendiri. Dia memang pernah mengadakan dua kelas umum, tapi ketika Clara tahu dan ingin ikut, bahkan di depan pintu saja sudah penuh sesak oleh orang-orang. Jadi, dia memang belum pernah punya kesempatan untuk bertemu langsung dengan Alain.Alain membalas jabat tangannya dengan tenang dan tersenyum, "Nggak apa-apa."Setelah melepaskan tangan, Alain melirik sekeliling dan bertanya, "Sendirian?"Clara mengangguk sambil tersenyum, "Asistenku sedang ada

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 46

    Begitu sampai di ruang rapat, Clara melihat namanya tertera di kursi yang ditempatkan tepat di sebelah Rendra. Tanpa berpikir panjang, dia langsung mengambil papan nama itu dan memilih duduk di sudut ruangan yang sepi.Seandainya bukan karena Rendra yang menunda pengurusan dokumennya, Clara bahkan tidak perlu datang ke acara pertukaran bisnis ini. Namun, selama semuanya belum selesai, dia tetap harus memainkan perannya dengan baik.Tak lama kemudian, peserta rapat mulai berdatangan. Selain Rendra dan Jonas yang masih muda, para pengusaha senior juga hadir."Rendra, kamu juga datang.""Rendra, soal proyek kedua, nanti setelah rapat kita bicarakan baik-baik.""Baik, Paman.""Ini anak dari Keluarga Winandy, ya? Sudah pulang ke dalam negeri?""Benar, Paman. Mohon bimbingannya ke depannya."Rendra menanggapi dengan sopan sambil tersenyum, sementara Caroline berdiri di sampingnya dengan wajah penuh pesona, seolah-olah dialah istri resmi Rendra.Hanya saja, para pengusaha senior tidak begitu

  • Pernikahan Lelucon: Cinta Tulus Lenyap Bersama Abu   Bab 45

    Antusiasme Caroline membuat Clara tersenyum lembut dan memanggil, "Kak Caroline." Caroline menyapanya dengan ramah, barulah orang-orang di sekitar sadar kalau Clara juga datang.Meskipun melihat Clara, mereka tidak menyapanya, melainkan hanya saling berbisik pelan. Sebenarnya, beberapa dari mereka sudah melihat Clara sejak tadi. Hanya saja karena Rendra tidak memedulikannya dan sedang berbicara dengan Caroline, mereka pun ikut mengabaikannya.Bagaimanapun juga, Rendra tidak pernah mengakui Clara dan tidak pernah mengakui pernikahan mereka, bahkan pesta pernikahan pun tidak pernah diadakan. Sikap Rendra terhadap Clara juga menjadi sikap orang-orang terhadapnya.Caroline menggenggam tangan Clara dengan ramah sambil tersenyum, "Clara, kami baru mau sarapan, ikut saja sama kami."Clara tersenyum dan menolak halus, "Kak Caroline, kalian duluan saja. Aku sudah minta Miara ambilkan dokumen, jadi aku harus nunggu dia."Wajah Caroline tampak kecewa. "Begitu ya? Baiklah, kami masuk dulu. Kamu na

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status