Mata Smith beradu dengan mata kucing Janu. Keduanya saling memandang cukup lama.
Smith merasakan detak jantungnya menjadi sangat kencang. Ia khawatir Janu bisa merasakan jantungnya yang berdebar kuat. Itu sangat memalukan dan bisa membuat Janu besar kepala.
Namun, hal yang lebih meresahkan Smith bukan itu. Sebab ia pun bisa merasakan debaran jantung dari suaminya.
Smith menjadi sangat gugup karena kenyataannya bibir suaminya sangat menggoda. Mengingat mereka sudah gagal ciuman dua kali, sejatinya Smith ingin membayarnya hari ini. Tapi tentu saja ia tidak berani. Juga malu kalau harus memulai lebih dulu.
Dalam benaknya Smith mengatakan bahwa ia tidak akan menolak ataupun marah jika Janu menarik kepalanya, sehingga wajah mereka menjadi lebih dekat dan menempel. Ia berjanji akan pasrah dan manut saja pada aksi suaminya.
Sementara itu, keinginan untuk mencium bibir Smith yang ranum, juga dirasakan oleh Janu. Darahnya berdesir cepat ingin lekas-lekas me
Pagi baru saja dimulai. Tapi kediaman Hendry Sasongko sudah gaduh oleh suara Sinta yang mengoceh tanpa jeda. Suara itu bahkan sampai membuat Hendry yang baru bisa tidur pukul 04.30 jadi terbangun.Hendry menengok pada jam weker di meja. Ternyata baru pukul 06.00. Tapi istrinya sudah mengomel entah karena apa dan dengan siapa."Apa yang membuat Sinta marah-marah sepagi ini?" gumam Hendry yang beranjak dari tempat tidurnya. Dengan terburu-buru Hendry membasuh wajahnya dan mengelapnya dengan handuk.Hendry menghembuskan napas berat. Ada kekecewaan di sana. Tapi helaan napas tidak mengurangi sesak di dadanya sama sekali. Hanya berharap bisa membuat dadanya menjadi lebih lapang.Hendry jelas keheranan. Jika sumber dari semua kekacauan di rumahnya adalah Smith, kenapa rasa damai tidak kunjung mampir ke rumahnya setelah Smith angkat kaki dari sana?Dalam langkahnya yang terasa berat, Hendry teringat pada semua hal yang dulu pernah dikatakan Smith padanya,
"Minem! Kenapa kau masih menghadap ke sana? Balikkan badanmu cepat! Tuan Hendry ingin berbicara denganmu!" pekik Sinta yang mengira kalau Hendry kembali untuk melakukan suatu hal yang akan membuat pembantu barunya itu tidak merengek minta dipecat lagi.Sinta sangat percaya pada kewibawaan suaminya. Juga kuasanya dalam membuat semua orang menerima keputusannya. Kalau Smith si Singa Jantan itu saja dihempaskan oleh Hendry dengan sekali perintah, apalagi ini Minem yang hanya seorang pembantu penakut.Minem menelan ludah. Lalu memberanikan diri untuk membalikkan badan dan kembali berhadapan dengan sang majikan, tapi tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun."Iya Tuan," kata Minem dengan suara bergetar."Tadi kamu bilang mau berhenti kerja karena takut padaku," kata Hendry masih dengan wajah dingin.Dengan kepala yang semakin tertunduk, hingga dagunya hampir menempel pada lehernya, Minem menjawab dengan sedikit terbata, "Be-nar Tuan. Maafkan saya."
"Cepatlah ke kelas. Kau bisa telat nanti. Aku akan pergi dulu. Tenang saja, aku sudah izin sakit pada dosen," bisik Janu."Apa?" teriak Smith nyaris copot jantungnya karena kaget. Kedua bola matanya juga hampir ke luar mendengar ucapan suaminya.Smith semakin tidak paham dengan apa yang dilakukan Janu. Bukankah tadi yang seperti orang kebakaran jenggot karena takut terlambat adalah Janu? Tapi sekarang Janu malah membolos, dengan alasan berbohong pula.Jika sebelumnya Smith menilai bahwa sebagai orang sint*ng Janu terlalu waras, kini penilaiannya berbalik arah dengan garis yang menukik tajam ke bawah. Sebagai orang sint*ing, Janu kelewatan sint*ngnya."Nanti kalau ada yang tanya padamu, siapa yang mengantarmu ke kampus, bilang saja teman atau tetangga satu kost Janu. Oke? Aku pergi dulu. Jangan lupa tersenyum!"Janu pergi meninggalkan kedongkolan tingkat puncak di batin Smith, lengkap dengan tanda tanya besar yang memenuhi kepala Smith.
Tut ... tut ... tut ...."Apa? Bangs*t! Berani-beraninya dia mematikan teleponku! Lihat saja, kalau dia berani mematikan teleponku lagi. Cari mati!" umpat Smith sudah ingin menelan suaminya hidup-hidup.Smith kembali menelepon Janu dengan dada panas. Ia sudah menyiapkan segala omelan pedas untuk Janu.Tut ... tut ... tut ...."Apa? Dia mematikan teleponku lagi? Apa dia sudah ingin mati? Awas kau! Jangan dikira aku akan menyerah. Smith tidak akan kalah begitu saja. Aku tidak akan berhenti menelepon kalau dia belum mengangkatnya!"Benar saja, Smith menelepon lagi dengan dada yang semakin panas seperti penuh dengan muntahan magma. Ia memencet ikon ponsel kuat-kuat sambil membayangkan sedang mencolok mata suaminya."Coba kita lihat, pria sint*ing itu akan memutuskan teleponku atau tidak," gerutu Smith ketika menunggu Janu untuk mengangkat panggilan darinya.Tut ... tut ... tut ...."Set*n! Orang ini memang sudah bosan hidup,"
Janu berdiri di depan pintu. Ia diam mematung karena sibuk berkutat dengan pikirannya.Apa yang sebenarnya terjadi pada Smith? Apa mertuanya menemui Smith di kampus? Apa terjadi keributan selama ia meninggalkan istrinya? Dan seterusnya.Janu menghela napas panjang. Berharap semua baik-baik saja. Kemudian mengangkat tangan kanannya yang terkepal untuk mengetuk pintu."Smith ... " panggil Janu dengan suara lebih pelan dari sebelumnya. Selain karena tidak mau menganggu tetangganya, sekarang perasaan Janu juga sudah menjadi lebih tenang dari sebelumnya sebab ia tahu Smith ada di dalam kost.Namun Janu masih heran. Kalau memang Smith ada di dalam, lalu mengapa Smith tidak menyahuti panggilannya?"Apa dia ketiduran, ya?" tanya Janu menduga-duga. Maka, untuk memastikan semuanya, Janu memutuskan untuk menekan gagang pintu dan mendorongnya saja. Siapa tahu pintunya tidak terkunci.Dan ternyata, benar! Pintu yang sedari tadi Janu t
Janu tetap memeluk istrinya tanpa mengatakan apa pun. Ia tidak melepaskan Smith meski beberapa bekas cakaran dari istrinya itu memicu rasa perih. Juga bekas pukulan Smith yang kuat, cukup untuk membuat tubuh Janu terasa sakit.Hingga pada akhirnya Smith menjadi lemas. Ia menangis sejadi-jadinya, tapi lirih saja hingga napasnya tersengal-sengal.Selama dalam pelukan Janu, Smith seperti berperang melawan bayang-bayang masa lalu yang kelam. Semua perlakuan buruk ayahnya pada almarhum ibunya mencuat kembali dan membuatnya menjadi kian marah.Apa lagi jika permintaan sang ayah supaya Janu menceraikannya dan menikah dengan Sisil terngiang lagi. Rasa-rasanya Smith ingin melenyapkan semua makhluk bernama laki-laki dari muka bumi."Duduklah dulu," kata Janu menuntun Smith untuk duduk di atas tempat tidur. Janu mengusap rambut istrinya.Melihat tangisan Smith barusan, Janu menduga bahwa istrinya sedang teringat pada hal buruk yang telah dia
Janu memarkir motornya di depan panti jompo yang letaknya sesuai dengan yang ada di catatan kecil yang diberikan Pak Jono pada Smith. Ia mengelus rambut istrinya untuk mendatangkan tenang.Janu bisa melihat mata Smith yang berkaca-kaca. Ia tahu kalau Smith pasti kaget dengan tulisan besar yang tercantum dalam papan yang tertancap di halaman panti itu "Panti Jombo Kasih".Meski Janu telah memberi tahu Smith bahwa alamat yang diberikan Pak Jono adalah alamat dari sebuah panti jompo, kenyataannya Smith sangat berharap hal itu tidak benar. Akibatnya sekarang baru terasa, Smith mengalami serangan kekecewaan dan kesedihan yang membuatnya sampai ingin menangis."Ayo Smith, kita masuk," ajak Janu menganggandeng tangan Smith. Ia melangkah maju. Tapi langkahnya langsung terhenti lantaran Smith masih berdiri mematung.Smith masih menatap nanar bangunan yang ada di hadapannya. Rasa-rasanya Smith tidak kuat jika harus melihat Bibi Ipah berada di sana.
Smith dan Janu menunggu dengan detak jantung tak karuan. Berharap sang ayah memang mendaftarkan pembantu mereka dengan nama lengkap."Tuhan, jika Bibi Ipah benar-benar ada di sini, aku berjanji padamu akan mencium suamiku. Dia telah bersusah payah ingin mempertemukan aku dengan Bibi Ipah," batin Smith sambil menoleh pada Janu, ketika petugas panti telah memakai kembali kaca matanya.Sesaat kemudian Smith mengutuk dirinya sendiri karena berani berjanji pada Tuhan dengan begitu mudahnya. Menjanjikan hal yang mendekati mustahil untuk ia lakukan."Semoga ... " gumam Janu mengharapkan Bibi Ipah tidak berada di tempat lain. Ia tidak tahu harus mencari Bibi Ipah ke mana jika ternyata beliau tidak ada di sana.Tidak seperti sebelumnya, kali ini petugas panti tidak lagi mengenakan telunjuknya untuk membantu mencari nama yang disebutkan Smith. Seolah dalam ingatannya, petugas itu memang sempat sekelibat melihay nama Saripah pada buku yang masih ada di pangkuannya,