“Ini Ayrin. Dia istriku.” Melihat cara wanita di hadapannya menatap Ayrin, Reygan pun langsung memperkenalkan sang istri pada wanita itu.“Dia istrimu?” gumam perempuan itu seperti sedang memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.“Ya, kami baru saja menikah,” balas Reygan dengan canggung. “Jadi, ini wanita yang dijodohkan sama kamu?” tanya Eliza lagi, masih tak percaya.Reygan menggeleng. “Bukan, dia wanita pilihanku.”Perempuan cantik itu tampak tertegun, memandang ke arah Reygan dengan sorot mata tak percaya seolah bertanya-tanya apakah pria itu tidak salah memperkenalkan Ayrin sebagai istrinya.“Eliza.” Perempuan itu mengulurkan tangannya lebih dulu. “Aku salah satu mantannya.”Ketika mereka berkenalan, Eliza menatap Ayrin penuh penilaian. Seperti mesin pemindai, Eliza memperhatikan penampilan gadis di hadapannya dari atas sampai ke bawah dengan seksama. “Sudah berapa lama di Jakarta?” tanya Reygan dengan cepat, mencoba meredakan suasana canggung di antara mereka.
“Bagaimana kamu tahu saya ada di sana? Apa Eliza juga yang memberitahu?”Ayrin memang merasakan perubahan sikap Reygan, tentunya ke arah yang lebih baik. Namun, kemudian ia merasa ketakutan kembali menyergapnya. Ia takut membuka hati dan berakhir kembali dikecewakan.Perasaan itu semakin menguat ketika ia memergoki suaminya dan Eliza sedang berciuman di sebuah kelab malam. Melihat kehadirannya, Reygan buru-buru mendekat. Dengan raut wajah cemas, pria itu mencoba menjelaskan.“Saya nggak ada hubungan apa-apa dengan dia, Rin. Semua yang terjadi nggak seperti yang kamu lihat.”Ayrin mencium bau alkohol yang cukup kuat. Ia melirik sekilas ke arah Eliza yang menyeringai tajam ke arahnya. “Sebaiknya kita pulang, Mas,” kata Ayrin lalu melangkah keluar. Sejak malam itu, Ayrin tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak menunjukkan kemarahan atau kekesalannya. Gadis itu tetap melayani Reygan dengan baik. “Malam itu Eliza yang menghubungi saya, Rin. Dia mengajak bertemu karena itu hari terakhirn
Ayrin merasakan belaian lembut menyentuh wajahnya, dan aroma maskulin yang akrab merayapi hidungnya.Saat kelopak matanya mulai terbuka, pandangannya langsung terfokus pada wajah tampan yang tengah tersenyum di hadapannya.Gadis itu merasa ciuman lembut masih menyisakan getaran di bibir dan sekitar wajahnya."Selamat pagi, Rin," sapa Reygan dengan suara beratnya yang hangat, juga senyum yang melebar di wajah yang terlihat segar dan rapi.Ayrin mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Namun, gadis itu menyadari jika semuanya nyata saat bibir Reygan kembali mendarat di bibirnya. "Pagi," balas Ayrin dengan suara pelan, masih sedikit terkejut dengan perlakuan suaminya. Reygan tidak membiarkan keheningan berlangsung lama, "Sudah waktunya kamu bersiap-siap.""Sudah waktunya mandi, Sayang," kata Reygan sambil menatap Ayrin dengan penuh perhatian. Gadis itu mengernyitkan dahinya, belum terbiasa dengan perhatian seperti ini. Reygan tertawa kecil, seol
“Kamu bahkan belum melakukan apa yang saya minta.”Pria itu tidak tahu dorongan apa yang membuatnya berani mengatakan hal itu. Meminta Ayrin menciumnya. ‘pasti dirinya sudah gila!’ keluh Reygan dalam hatinya.Gairahnya tiba-tiba saja memuncak ketika merasakan tubuh mereka berjarak sangat dekat. Apalagi saat gadis itu mencium pipinya dengan canggung. “Tadi kan sudah,” kata Ayrin dengan salah tingkah.Ketika melihat rona merah di wajah istrinya, Reygan merasa sudah tidak bisa menahan dirinya. Entah karena kepolosan gadis itu atau karena sudah lama tidak mendapat sentuhan dari kekasihnya, pria itu hanya ingin menyalurkan hasratnya.“Itukah yang kamu sebut ciuman?” tanya Reygan dengan suara parau. Tanpa menunggu reaksi istrinya, Reygan sudah lebih dulu mendekatkan wajahnya, mendaratkan bibirnya di bibir gadis itu. Bibirnya mengulum dan melumat bibir Ayrin dengan mesra. Lidahnya bermain di mulut gadis itu. Tentu saja istrinya tidak tahu siapa yang ada dalam bayangannya. Sudah tidak ada
“Apa kamu akan tetap melakukan semua ini kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu, Mas?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Ayrin ketika mereka sedang berbaring di ranjang. Reygan berbaring menyamping sambil menatap istrinya, satu tangannya ditumpukan di atas siku. “Hmm… maksud kamu?” “Mas akan tetap bersikap seperti ini kalau sudah berhasil mendapatkan hati aku?” Gadis itu membalas tatapan suaminya. “Tetap perhatian dan romantis.”Ayrin sangat menunggu jawaban itu. Karena semakin hari, semakin sulit rasanya menolak pesona pria sekaliber Reygan. Usaha dan tekadnya benar-benar besar untuk meluluhkan hati wanita. Hal itulah yang membuatnya khawatir kalau saja suaminya akan berubah setelah mendapatkan dirinya.“Kenapa sih? Kamu takut saya tinggal begitu saja?” “Istri mana yang nggak takut ditinggal suaminya?”“Istri yang nggak punya perasaan sama suaminya.” Seperti biasa. Reygan selalu bergurau dan bersikap santai. “Jawab yang benar dong, Mas!”“Kamu nggak perlu khawa
“Sial.” Reygan mengumpat dalam hati saat melihat keadaannya dan gadis di sampingnya. Pria itu bangkit perlahan lalu mengambil pakaiannya yang tergolek di atas lantai, yang bercampur dengan gaun tidur dan pakaian dalam Ayrin. Dengan cepat pria itu memakainya celananya. Dia memandang ke arah istrinya yang masih terlelap. Bibir Ayrin terbuka sedikit, ada napas kecil keluar dari sana. Reygan teringat percintaan mereka semalam yang terasa sangat berbeda dari pengalaman-pengalaman yang pernah dilaluinya. Kepolosan Ayrin membuat gairahnya semakin membuncah, terlebih ketika gadis itu meneriakkan namanya saat mencapai kepuasan. Namun, sepanas apa pun kobaran api gairah yang membakarnya. Rasa bersalah selalu terselip di hatinya. Wajah polos dan tatapan bening istrinya semakin membuat perasaannya tak karuan. ‘Kalau memang tidak bisa mencintainya, kenapa pula aku harus memberikan harapan yang akan menyakitinya?’ keluh Reygan dalam hati.“Maafkan saya, Rin,” bisik Reygan lalu masuk ke dalam k
Reygan duduk di meja kerjanya, terlihat lelah dengan tumpukan dokumen di hadapannya. Raut wajahnya mencerminkan kepenatan dan ketegangan. Di saat seperti itu, tiba-tiba saja Veranda memasuki ruangan tanpa diundang."Kenapa kamu datang ke sini, Ra? Bagaimana kalau ada yang melihat?" tanya Reygan, mencoba menutupi kekhawatirannya.“Aku kangen, Rey. Kita sudah cukup lama nggak ketemu. Bahkan di hari pekan pun kamu menghabiskan waktu sama gadis itu!” sahut Veranda dengan sinis ketika melihat sikap kekasihnya yang acuh tak acuh. Reygan mencoba memberikan penjelasan, sambil memijat pelipisnya. "Kita kan sudah janjian akan bertemu nanti malam. Kenapa kamu jadi nggak sabar begini?"“Kamu nggak kangen apa sama aku? Sudah ya, asyik kamu sama gadis itu?” goda Veranda lalu duduk di atas pangkuan Reygan dengan gaya yang sangat menggiurkan. Reygan mencoba membela diri. "Kamu ini bicara apa sih, Ra? Beberapa minggu ini aku memang sibuk. Kamu bisa lihat sendiri," jawabnya, menunjuk tumpukan dokumen
Ayrin baru saja menyelesaikan tugasnya mengantarkan status pasien yang baru saja dioperasi ke ruang pemulihan. Gadis itu menoleh dan melihat Rahma datang tergopoh-gopoh ke arahnya.Rahma menarik tangan Ayrin dengan cepat, "Ikut gue, Rin.”Ayrin mengangkat alis heran, "Ada apa, Ma? Kenapa buru-buru begini?"Ayrin yang heran mencoba menyusul langkah Rahma, tetapi setiap kali ia mencoba bertanya, Rahma hanya menggelengkan kepala dengan serius. Begitu mereka tiba di depan pintu ruang gawat darurat, Ayrin bisa merasakan denyut jantungnya semakin cepat.Pintu terbuka, dan pemandangan yang menyambut mereka membuyarkan segala keraguan. Dua orang pasien berlumuran darah terbaring di atas brankar. Ayrin menelan ludahnya saat matanya mengenali wajah salah satu pasien."Mas Ray?" desis Ayrin, dan suaranya hampir tidak terdengar.Dokter Ikhsan dan Suster Ratna bergerak dengan sigap untuk merawat kedua pasien yang tiba. Rayden masih sadar, menatap Ayrin sebelum kehilangan kesadarannya lagi.“Kecela