Suara petir terdengar menggelegar dari kejauhan, menghantam langit tepat di atas mereka. Tubuh Alea langsung membeku. Ia terdiam sejenak, lalu berjongkok di atas rerumputan yang basah dan menutup kedua telinganya dengan tangan dan memejamkan matanya rapat.
“Damian ...,” bisiknya gemetar tak terdengar.
Tangannya menggigil, bibirnya bergetar dengan menyembunyikannya di antara kedua lututnya. Tubuhnya seakan mengecil seperti tengah berusaha melindungi dirinya dari dunia yang terlalu menakutkan.
Damian yang awalanya terpaku karena terkejut, kini tersadar. Dalam sejekap, ia berlari mendekati Alea dan memeluk tubuh gadis itu dengan erat, membungkusnya dalam lindungan kedua lengannya yang terasa menghangatkan.
“Alea,” bisiknya. “Ssstt ... sudah,” lanjutnya di dekat telinga Alea. Ia mengeratkan pelukannya dan menyandarkan dagunya di atas kepala Alea,dan merasakan tubuh gadis itu yang masih menggigil seperti burung yang ketakuta
Alea menyodorkan piring yang berisi hidangan hangat pada Damian, lalu ikut duduk di sampingnya. “Terima kasih,” ucap pria itu pelan dengan menatap uap yang masi mengepul panas.Alea menganggukan kepalanya, lalu menarik napas dalam, seolah tengah menyiapkan dirinya, “Jadi bagaimana rencanamu setelah berdiskusi dengan Carden?” tanya Alea di sela suapannya.Damian mengangkat wajahnya, lalu menelan makanan di mulutnya sebelum ia menjawab. “Berjalan sesuai rencana,” katanya pendek. “Kami tengah menyiapkan konferensi pers untuk kecelakaan mobil tempo hari. Barang bukti kecelakaan akan disampaikan ke publik secara utuh, berikut tentang kekeliruan investigasi yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Termasuk rekaman satelit dan jalur komunikasi yang selama ini disembunyikan oleh mereka.”Alea mengangguk pelan, meski pikirannya sedikit merasa cemas. “Itu … akan berbahaya untuk keselamatan kalian, kan?”“Semua yang kita lakukan sejak awal memang berbahaya, Alea. Tapi jika tak satu pun dari kami ya
Sebelum Damian benar-benar meninggalkan ruangan itu, ia kembali menepuk bahu Carden dengan tekanan yang keras dan penuh makna. "Carden," ucapnya dengan serius. "Tetap hati-hati dalam setiap keputusan yang kau ambil. Patricia belum benar-benar kalah dan ia bisa saja mencari jalan lain yang tidak kita sangka sebelumnya. Aku tidak ingin ada satu pun dari kita yang lengah."Carden mengangguk sekali. "Saya paham dan saya berjanji untuk itu.""Jika ada perkembangan yang kau temukan, sekecil apa pun, segera kabari aku. Langsung," tambah Damian lagi. "Jangan menunggu keadaan semakin buruk, karena sistem di bawah tanah selalu aktif selama dua pulub empat jam.""Selalu," jawab Carden tegas dan mneyalami tangan Damian.Setelah itu, Damian berbalik arah dan berjalan kembali ke dalam kamarnya untuk menuruni tangga menuju ruang bawah tanah yang seperti memisahkan dunia di antara mereka.“Tuan ... hati-hati.”Suara langkah kakinya menggema hingga ia berhenti di depan pintu besi yang tertutup.“23HY3
Damian menatap mata Faye dan mengunci pandangannya. "Tuan Lagrand. Dan jika perlu ... Patricia."Seketika, ekspresi Faye berubah menjadi sedikit tegang. Hanya sedikit. Tapi cukup bagi orang yang mengetahui bagaimana cara membaca raut wajahnya."Patricia?" gumannya terdengar tegang. "Lucu sekali. Kupikir kalian ingin menyelamatkannya," tambahnya dengan menyeringai."Dia bukan lagi kerabatku yang pantas untuk diselamatkan," balas Damian datar. "Yang kulihat darinya sekarang hanya ancaman, ancaman, dan ancaman. Sementara ancaman harus dibungkam sesegera mungkin."Faye tersenyum kecil mendengar penuturan Damian yang terkesan arogan, tapi begitulah pahitnya sebuah ironi. "Berani juga kau, Damian ... Menawarkan api pada iblis.""Aku tidak sedang menawarkan," potong Damian tegas. "Aku hanya memanggil apa yang sudah ada dalam dirimu.""Apa keuntunganku?" tanyanya setelah menahan suaranya beberapa saat untuk berpikir.Damian tak bergeming, ia meneguk ludahnya dengan cepat. "Kebenaran. Kebebasa
Patricia berjalan mondar-mandir di ruang pribadinya yang begitu mewah, tapi kini terasa sesak oleh amarahnya sendiri yang kian memuncak. Ponsel yang tadi ia banting sudah tergeletak di atas meja kaca dengan beberapa retakan membentuk pola seperti sarang laba-laba. Nafasnya terengah, jemarinya gemetar saat ia mencoba menyalakan kembali layar, berharap ada notifikasi masuk dari sistem pusat. Tapi nihil, ponsel itu bahkan tidak mau menyala."Kurang ajar! Apa maksud dari semua ini?" gumamnya pelan, "Kenapa aku tidak bisa mengakses apa pun?! Penerbangan dibatalkan, kartu-kartu terblokir!"Ia menyalakan laptop yang tersimpan di atas mejanya, mengetik dengan cepat seraya menggigit bibir bawahnya, frustrasi. Tapi dalam layar hanya menampilkan satu kalimat dingin,“Access Denied. Authorization Revoked.”"Apa—tidak mungkin! Aku—aku memiliki otorisasi penuh! Aku memiliki kuasa atas jaringan ini!" teriaknya, menendang kursi putar hingga jatuh terjungkal.Ia mencengkeram kepalanya keras. "Damian .
Jarum jam bergulir begitu lambat, Alea mengusap pelan bagian bawah matanya yang terasa berat karena ia terlalu bosan berada di tempat ini. Ia bangkit dari duduknya di tepi ranjang, lalu berjalan menuju rak kecil di sudut ruangan. Di sana, tumpukan buku dan map masih tersusun dengan rapi. Salah satu buku yang kemarin Damian ajarkan padanya tergeletak di atas—buku latihan membaca dengan simbol-simbol asing yang perlahan mulai terasa akrab di mata Alea.Ia menarik kursi ke dekat meja dan membuka halaman yang terakhir mereka baca bersama."Mulai dari sini," gumamnya pelan dengan menujuk menggunakan jarinya sendiri.Awalnya tertatih. Simbol-simbol itu masih terdengar membingungkan, tapi Damian pernah berkata, kuncinya adalah ritme—bukan hanya hafalan semata. Alea mulai melafalkan dengan pelan, kadang tertahan, kadang mengulang, tapi ia tak pernah berhenti.“Sha... ve... lin... da... mea... ru...” Matanya mengerjap sekilas, “Kenapa berbeda?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian ia membalik
Microwave berhenti berdengung menandakan makanan sudah siap untuk dihidangkan. Damian membuka pintunya dengan hati-hati, lalu mengeluarkannya dengan tangan yang sudah memakai sarung tangan khusus, dan mengaduknya perlahan sebelum memberikannya pada Alea. Uap tipis mengepul, membawa aroma gurih yang cukup menyenangkan untuk mengurangi rasa lapar di pagi hari.“Hangat,” guman Alea seraya menerimanya.Damian duduk di sebelahnya dan mengaduk hidangannya sejenak, lalu ia menyendokkan dengan perlahan. Dalam beberapa menit, mereka makan dengan keheningan yang menyelimuti tanpa ada yang berbicara terkecuali bunyi sendok menyentuh wadah plastik yang menemani sarapan pagi mereka.Damian menoleh pada Alea, “Boleh aku bertanya sesuatu?” ujar Damian di sela-sela makanannya.Alea mengangguk pelan, tetapi tangannya masih fokus pada suapannya.“Jika kau melihat seseorang seperti aku … kau akan mempercayainya?” tanyanya pelan.Alea menghentikan suapannya, dan mendongak menatap Damian dengan kening yan