Pernikahan Alea dan Damian awalnya hanya permainan kekuasaan. Namun, segalanya berubah saat Damian menyerahkan sebuah amplop. “Ayahmu membunuh ibuku.” Dendam lama kembali terungkap, tetapi cinta mulai tumbuh. Dan kini, keduanya terperangkap di antara rahasia, luka, dan perasaan yang tak seharusnya ada.
Lihat lebih banyakAlea Moreau tidak pernah menyangka bahwa sore ini akan menjadi hari terakhirnya bisa merasakan kebebasan menikmati hidup sebagai seorang mahasiswa biasa. Kampus di hari ini terasa begitu sepi, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang ramai dengan aktivitas mahasiswa yang tak ada hentinya. Suara sepatu hak rendahnya bergema lembut di koridor jurusan kedokteran. Ia baru saja selesai ujian praktek, dan satu-satunya hal yang memenuhi pikirannya hanyalah: tidur semalaman.
"Miss Alea Moreau?"
Langkah Alea terhenti dengan seketika. Seorang pria bersetelan hitam panjang berdiri di depan pintu ruang dosen, membawa amplop putih dengan segel emas yang tampak asing dan—anehnya—terkesan mengancam.
"Iya, saya." Ia melangkah dengan ragu. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya kemudian.
Pria itu mengangguk paham. "Saya diutus untuk mengantarkan surat ini. Tolong dibuka dan dibaca sekarang juga," ujarnya menyodorkan surat itu kepada Alea.
Alea menatap amplop itu dengan rasa penasaran yang memuncak. Matanya menyipit ketika membaca namanya tertera di sana… bersama satu nama lain.
Damian Alaric.
Hatinya berdegup tak nyaman setelah menerima surat misterius itu. Damian Alaric? Nama itu seperti petir di siang bolong—ia ingat berita-berita gelap di televisi tentang lelaki muda, pemimpin organisasi kriminal internasional, yang tak pernah tertangkap tapi selalu meninggalkan jejak darah para musuhnya. Badboy sejati, bukan sekadar julukan yang disematkan kepadanya.
Tangannya gemetar saat membuka surat itu.
“Dengan ini, Alea Moreau dan Damian Alaric telah menikah secara resmi pada tanggal 24 Mei.
Pernikahan ini bersifat rahasia dan bersifat darurat untuk keamanan nasional serta pribadi.
Tidak ada pilihan.
– Pemerintah Republik Valmorra.”
Alea ternganga dengan apa yang tertera pada surat itu. "Maksudnya apa ini?" tanyanya lirih.
Pria di hadapannya mengangguk tenang, seolah kalimat barusan bukan sesuatu yang gila. “Kami butuh kerja sama Anda, Nona Alea. Silahkan ikut kami untuk penjelasannya.” Nadanya tenang, tapi dingin seperti es. Alea ingin tertawa, tapi tak ada humor di tempat ini.
Belum sempat ia menjawabnya, Alea kembali menahan napasnya, matanya terpaku pada mobil hitam yang baru saja berhenti dengan kasar di area parkir dosen. Tiga pria berpakaian gelap keluar dari dalamnya, bergerak cepat dan terkoordinasi. Salah satu dari mereka membuka pintu belakang dengan gerakan yang hampir terlatih, menunjukkan kebiasaan yang mungkin sudah sering dilakukan. Alea menelan ludahnya kasar, jantungnya berdegup kencang, rasa penasarannya kini bercampur dengan ketakutan. Dua pria itu mengarahkan pandangan tajam ke sekeliling, seolah memastikan tidak ada yang mengawasi.
“Mari ikut dengan kami,” ujar seorang dari mereka dengan sopan.
Alea berjalan mundur. “Saya tidak akan ikut kalian!” katanya cepat dengan menggelengkan kepala.
“Maaf, Nona,” ujarnya sebelum menarik paksa tangan Alea.
Alea yang mendapat perlakuan tak mengenakan itu langsung memberontak, “Tolong!” teriaknya menoleh ke kanan dan kiri meminta bantuan.
“Maaf, Nona. Ini demi kebaikan Nona Alea,” ujar pria itu berulang kali.
Alea berusaha sekuat tenaga menahan badannya agar tak terseret, tetapi tenaganya tak lebih besar dari pria tersebut. Ia berhasil dimasukkan ke dalam mobil.
Dia tidak mengerti mengapa dia harus berurusan dengan Damian Alaric, seorang tokoh yang dikenal berpengaruh dan misterius. Kenapa pula keamanan nasional terlibat di sini? Dalam perjalanan entah kemana, mobil meluncur cepat melewati jalanan kota yang mulai sepi.
Cahaya lampu jalanan menyilaukan matanya yang sudah lelah mencoba memahami situasi. Alea duduk diam, memeluk tasnya erat, jantungnya masih berdetak tak karuan. Ia mencoba mencari logika dalam kekacauan ini, tapi semua terasa seperti mimpi buruk yang tak masuk akal.
Dia mencoba meminta penjelasan dari pria yang membawanya, namun jawabannya selalu sama. "Tuan Damian akan menjelaskan semuanya."
Jika pemerintah memaksanya menikah dengan mafia… berarti nyawanya sedang dijadikan alat tukar.
Damian Alaric. Mafia. Pernikahan. Pemerintah. Apa hubungan semua ini?
"Bisakah saya bicara dengan ibu saya dulu?" tanyanya lirih pada pria yang duduk di depan.
"Tidak bisa, Nona. Kontak dengan dunia luar dilarang sampai pernikahan selesai," jawabnya datar.
"Ini gila," gumam Alea. "Kalian menculikku." Alea merasakan kehangatan air mata yang mengalir deras di kedua pipinya, ia seakan tengah berjuang dengan keputusasaan yang mendalam. “Memaksa seseorang untuk menikah? Itu hal yang sangat gila,” lirihnya tiba-tiba. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya.
Alea merasakan dinginnya udara yang menggigit kulit lembutnya ketika ia keluar dari mobil. Matanya melebar saat melihat mansion besar yang terletak tersembunyi di tengah hutan pinus. Pria berbadan besar berdiri tegak menjaga setiap sudut, dengan senjata tergantung di pinggang mereka yang menambah ketegangan. Langkahnya terhuyung, Alea mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk berjalan menuju pintu besar mansion tersebut.
Dari jauh, dia bisa melihat seorang pria berdiri di pintu masuk, menunggunya. Itu dia, pria yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dari cerita-cerita yang didengarnya. Damian Alaric. Tegak berdiri di bawah naungan lampu kuning keemasan, mengenakan kemeja hitam dan jas gelap. Matanya tajam, tak berkedip, menatapnya seolah bisa menembus jiwanya. Tampan, tapi menyimpan bahaya. Wajahnya seperti dipahat dewa, tapi dingin seperti batu nisan.
Jantungnya berdetak lebih kencang, tidak hanya karena takut, tetapi juga karena penasaran akan tujuan sebenarnya mengapa ia dibawa ke tempat ini. Saat mendekat, Alea mencoba memperhatikan wajah pria tersebut. Ada aura misterius yang menyelimutinya, membuatnya semakin penasaran namun juga was-was. Setiap langkah yang ia ambil terasa semakin berat, seolah-olah setiap inci tanah di bawahnya adalah penentu nasibnya yang akan datang.
"Alea Moreau," katanya dengan suara dalam, nyaris tanpa emosi.
Alea menggenggam gaun lusuh yang masih ia kenakan dari kampus. Damian menatapnya, lalu mendekat dengan perlahan. "Kita resmi menikah."
Dia menyerahkan selembar dokumen yang digenggamnya—salinan akta nikah. Tertanda, resmi, dan dicap pemerintah. Alea membaca namanya di sana, bersama tanda tangan... yang mirip miliknya.
"Maksudnya apa ini?" tanyanya penuh kebingungan, menatap lirih pada pria di hadapannya.
“Ayahmu sendiri yang memilih jalan ini, Alea,” kata Damian dengan tegas. “Dan jika dia menganggap keselamatanmu penting baginya, ia sudah muncul sejak pertama kali kau dibawa ke tempat ini. Tetapi sekarang? Ia hanya bisa melindungimu dari jauh.”Carden yang tengah terfokus pafa komputer di hadapannya, kini melirik Damian sekilas, “Tuan. Parimeter sebelah selatam dan timur sudah aman dari gangguan. Tapi, saya menyarankan untuk melakukan patroli lebih lanjut di malam ini, terutama di akses menuju runag bawah tanah,” ujarnya dengan tegas.“Lakukan itu,” sahut Damian.“Baik, Tuan,” jawab Carden meninggalkan ruangan itu beserta para pengawal lainnya.Sementara Alea yang masih menundukkan kepalanya, kini tak berani menatap Damian sedikitpun. Gadis itu terlalu takut untuk sekedar bertanya pada Damian tentang apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya.“Ayo kita ke kamar,” ujarnya pada Alea.Alea mendongak, lalu menganggukan kepalanya. “Baiklah,” ujarnya mengikuti langkah Damian dengan lemah.
“Dalam perjalanan kembali ke mansion, dan akan segera melakukan evaluasi sistem. Sementara Rosa sudah berada di tempat aman.”Ia segera mengetikan balasan dengan begitu cepat dan mengirimkannya kepada Damian. Begitu lift terhenti, dan pintu terbuka, terdapat dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu dan segera bersiap mengawal Carden. Ia menganggukkan kepalanya pada mereka, lalu mereka bergegas menuju mobil lapis baja dan membuka pintu belakang untuk Carden. Kendaraan tersebut melaju dengan kencang meninggalkan rumah sakit St. Zamoora dan kembali menembus jalanan kota di malam hari untuk mencapai mansion.Tak membutuhkan waktu yang lama, mobil itu sampai di depan pintu gerbang mansion yang kini di jaga oleh pengawal berseragam lengkap. Carden membuka kaca jendela dan menganggukkan kepalanya kepada mereka sebelum kembali menembus jalanan mansion menuju pintu utama.“Berhenti di sini,” ujarnya pada pengawal dibalik kemudi.Ia segera membuka pintu dan meloncat dengan cepat, lalu sed
Ambulans berhenti tepat di area parkir khusus milik keluarga Zamoora. Gedung ini tak terlihat seperti rumah sakit pada umumnya, melainkan lebih menyerupai villa dengan tulisan di atas gerbangnya St. Zamoora Private Medical tanpa keterangan lain yang menjelaskan lebih lanjut. Pintu belakang ambulans segera dibuka oleh seorang perawat yang bergegas menghampiri ambulans lengkap dengan mengenakan APD khusus dan kartu identitas yang terletak i sebelah kiri APD mereka, sementara wajahnya tertutup oleh masker medis.Carden turun terlebih dahulu, lalu membantu mengeluarkan Rosa bersama dengan Dokter Clara dan beberapa perawat lain yang sigap membantu.“Pasien dengan kode ‘Vespeer’ sudah berada di tempat,” ujar Dokter Clara memberi kode dengan menatap mereka sekilas yang dihadiahi anggukan sebagai jawaban.Petugas tersebut segera mengecek tablet di tangannya dan mencocokkan sekilas, lalu menggesekan kartu yang dibawanya ke pintu elektronik yang mengarah pada lantai steril khusus untuk perawata
“Jangan pikirkan apapun tentang ayahmu, lagi,” bisik Damian mengusap kepala Alea dengan lembut. “Aku tahu jika kau amat terluka mendengar kejadian ini. Tapi, kau tidak berdiri sendirian menghadapi ini semua.”Alea menggigit bibir bawahnya, “Damian ...,” bisiknya lirih dengan mengeratkan pelukannya. “Aku takut.”Damian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Alea menggunakan kedua tangannya, “Takut kepada siapa hm?”Alea menatap Damian, lalu menggelengkan kepalanya. “Semuanya ... ayahku, orang-orang itu ... masa depanku ...,” ujarnya menghela napas panjang. “Aku bahkan tidak tahu harus mempercayai siapa lagi selain kau dan Rosa.”Damian membalas tatapan itu dalam, “Kau tak perlu mempercayai siapapun lagi. Kau cukup percaya dengan dirimu dan apa yang ingin kau lakukan. Jika kau masih belum sepenuhnya percaya ... kau bisa mempercayaiku.”Alea menelan ludahnya susah payah, “Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?”“Tidak akan ada yang terlambat untuk menyelamatkan dirimu sendiri,” pun
Bayangan demi bayangan masa kecil Alea kembali terbesit di dalam benaknya. Ia kembali mengingat bagaimana sang ayah selalu menjaganya di setiap kesempatan sebelum akhirnya ia menghilang begitu saja dengan alasan menjadi seorang dosen di kota lain“Aku takut, Damian,” guman Alea nyaris tak terdengar. “Takut jika semuanya berakhir tanpa penjelasan apapun. Aku juga takut kehilanganmu di tengah perang yang bahkan tak kupahami apa alasan dibaliknya.”Damian mengangkat tangannya dan mengusap pipi Alea dengan lembut, menyeka satu tetes air mata yang meluncur dari mata indah milik Alea. “Aku bukanlah laki-laki yang mudah percaya dengan orang lain, Alea. Tapi, entah kenapa ketika aku melihatmu tetap berada di sisiku, aku seakan bisa menggenggam dunia dan bisa bertahan di atasnya.”Alea tersenyum mendengarnya, meskipun pandangan di matanya sedikit berkabut, “Kau selalu tahu harus mengatakan apa padaku.”Damian menarik kursi di belakangnya dan mendudukan dirinya, lalu kedua tangannya menggenggam
“Apa?” tanya Alea setengah berbisik.Badannya dingin, sementara wajahnya memucat seakan tidak siap mendengar kabar yang baru saja ia dengar. Tangannya menggapai sandaran kursi dan kembali duduk di kursinya. Beberapa menit yang lalu, rasanya kehangatan baru saja menerpa hatinya tetapi kini sudah berubah menjadi dingin yang begitu menyesakkan.Damian menatap Alea sejenak, lalu melangkahkan kakinya menuju jendela yang terhubung dengan taman yang masih diselimuti kabut tipis.“Jika benar ayahmu yang melakukan sabotase itu ... maka ini bisa mengakibatkan perang terbuka di kemudian hari,” guman Damian lirih.Alea menolehkan kepalanya pada Damian, sedikit terkejut dengan ucapan pria itu. “Damian ...,” ujarnya tanpa bisa melanjutkan suaranya.“Alea, kau jangan khawatir, aku akan melakukan penyelidikan ini terlebih dahulu,” ujar Damian pada Alea. “Jangan percaya dengan kabar yang belum diketahui kebenarannya.”Alea menggigit bibir bawahnya, “Aku tidak mengerti maksudmu, Damian.”“Bawa semua do
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen