Pengawal itu masih berdiri dengan kaku, wajahnya menegang seolah tengah menahan sesuatu yang belum bisa ia sampaikan. Damian mengangkat sebelah alisnya, menatapnya dengan penuh tanya.“Kau belum selesai bicara?” tukas Damian dingin.Pengawal itu menunduk lebih dalam, “Benar, Tuan. Ada satu hal lagi yang harus saya sampaikan.”Alea ikut menatapnya, sorot matanya penuh tanda tanya.“Bicara,” perintah Damian dingin.Pengawal itu menelan ludahnya dengan susa payah, “Kata Tuan Lagrand ... jika Anda tetap pada keputusan Anda untuk memutus hubungan kerja dengannya. Maka, permainan sesungguhnya ... akan dimulai,” ujarnya diakhiri dengan sebuah bisikan.Tubu Alea menegang, tangannya sontak mencengkeram lengan Damian erat. Kalimat ‘Permainan sesungguhnya akan dimulai’ langsung bergaung dalam pikirannya seolah menghantam sisi terlemahnya yang baru saja terbebas dan bisa sedikit bernapas dalam pelukan Damian.Damian mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, rahangnya kembali mengeras, sementara mat
Alea menatap mata Damian dalam, lalu menghamburkan badannya pada Damian, memeluknya dengan erat dan menumpahkan tangisannya di dada bidang pria itu. Alea tampaknya tak memiliki kekuatan lebih untuk sekedar bertahan dalam tangisnya.“Rosa ...,” lirihnya terdengar pilu.Damian menarik napasnya panjang, lalu menghembuskan dengan perlahan. Tangannya terangkat dan memeluk tubuh Alea, mengusapnya penuh kelembutan, seolah ingin memberikan kekuatan sekaligus tak menimbulkan rasa sakit bagi gadisnya itu.“Rosa akan baik-baik saja,” bisik Damian tepat di telinga Alea.Alea menggelengkan kepalanya, seolah kalimat penenang itu tak berarti apapun baginya. Hatinya pilu, pikirannya penuh. Semua mendesak dan menyalahkan dirinya sebagai penyebab kekacauan bagi orang-orang di sekelilingnya.“Ro-rosa tertembak ka-karena ia melindungi Elisse. Dan ... dan Elisse trauma karena melindungiku,” ujarnya tertatih. “Seandainya ... aku tak egois memintamu untuk bermain hujan ... mereka tak mungkin terluka.”Tangi
Carden mengangguk dan berjalan mendekat ke arah Dokter Clara, “Nona Alea ingin berbicara denganmu,” ujarnya berdiri tepat di samping Dokter Clara.Dokter Clara menoleh, lalu berjalan menuju sofa dengan mengenakan earpeace. Ia menatap layar kecil yang tengah menampilkan wajah Damian dan Alea, “Tentu, Alea,” ujarnya dengan lembut. Sementara Carden duduk di sebelahnya dan mulai mengamati interaksi di antara kdeua wanita itu.Alea mengangguk kecil, “Terima kasih, Dokter. Karena kau telah berjuang merawat kami berdua ... dan mengorbankan nyawamu sendiri,” ucap Alea dengan tulus, matanya memandang lurus pada Rosa yang kini masih berbaring di belakang Dokter Clara..Dokter Clara menghela napasnya ejenak, “Iu sudah menjadi tugasku sebagai seorang dokter,” ujarnya lembut. “Tapi ... aku ingin mengatakan satu hal padamu, Alea,” ujarnya dengan tatapan serius.Alea mengernyitkan alisnya, “Apa itu, Dok?”“Aku tahu, kau pasti ingin datang ke seini untuk melihat keadaan Rosa. Tapi, aku lebih menyaran
“Nona tidak apa?” tanya Elisse memastikan.Kening Alea berkerut mendengar pertanyaan itu, “Maksud kau, Elisse?”Elisse mengusap lengannya sendiri, “Nona datang ke sini atas izin Tuan, bukan?” tanyanya lagi.Alea mengangguk singkat, “Iya. Damian menunggu di taman,” jawab Alea yang membuat Elisse bisa bernapas lega.“Aku pikir Nona pergi ke sini secara diam-diam.”Alea tersenyum samar, lalu menggelengkan kepalanya, “Kau jangan khawatir denganku,” jawabnya lembut. “Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Kau jangan lupa makan agar lekas sembuh,” pamit Alea berangsur pergi meninggalkan kamar pelayannya tersebut.Setelah menutup pintu dengan rapat, matanya mencari sosok Damian dan menangkap pria itu tengah berdiri dengan mata yang terfokus pada ponsel di tangannya.“Damian, ada apa?” tanya Alea yang membuat pria itu sedikit tersentak, lalu segera merubah raut wajahnya dan menyimpan kembali ponsel ke dalam sakunya.“Makan siang sudah siap,” jawabnya singkat.Alea mendengus kesal, “Kupikir ada hal
Ucapan Damian kembali membuat Alea tersipu malu, ia menunduk dengan cepat untuk menyembunyikan rona merah yang mulai menjalar di kedua pipinya. Lalu ia berdehem pelan untuk menyamarkan senyum di bibirnya."Kau yakin takk mau ikut," tanya Alea sekali lagi.Damian menoleh, "Tak perlu. Kau saja."Alea mengangguk, “Oke kalau begitu, aku masuk dulu,” ujarnya dengan pelan.Damian mengangguk singkat, tangannya di masukan ke salah satu saku celananya, sementara tatapannya tertuju pada taman di depannya seolah tak ingi mengetahui apa yang Alea lakukan di dalam sana.Tok. Tok.Alea mengetuk pintu kamar pelayan dengan pelan, sebelum akhirnya ia mendorongnya perlahan dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah ruangan yang berisi beberapa ranjang sederhana dengan jendela kecil yang terbuka lebar. Para pelayan yang tengah beistirahat sontak berdiri tegap begitu melihat kedatangan Alea.“Tak usah,” ujar Alea mengangkat tangannya, memberi kode agar mereka tetap beristirahat. “Elisse?” tanya Alea p
Damian membuka amplop itu dengan perlahan, mengeluarkan selembar kertas putih dengan bau tinta yang sedikit menyengat, menandakan surat itu baru saja selesai ditulis beberapa waktu yang lalu. Matanya mengeja kata demi kata dengan cepat, sementara bibirnya masih terkatup.Ada apa?” tanya Alea dengan suara was-was.Damian menutup kembali surat itu lalu meletakannya di atas meja, “Ayah Patricia,” gumannya singkat.Tubuh Alea mematung begitu mendengar namanya. Jantungnya berdetak lebih kencang. “Apa yang dia inginkan?”Damian menatap Alea lama, lalu menghembuskna napas panjang, “Dia ingin mengadakan pertemuan khusus. Malam ini.”Alea menahan nafasnya sejenak, sementara matanya masih menatap Damian lekat, mencoba membaca raut wajah ptia itu yang tampak sedikit waspada, “Kau akan datang menemuinya?” tanya Alea pelan.“Tidak.”Alea mengerjapkan matanya, “Tidak?” ulangnya sedikit tak percaya.“Ya,” gumannya singkat. Ia bangkit dan meraih tangan Alea yang membuat gadis itu sedikit terlonjak, l