Damian menatap mata Alea dengan begitu lekat, seolah ia tengah memahami isi hati gadis di sampingnya tersebut. “Aku tidak pernah membayangkan jika hal-hal sederhana seperti ini ... bisa membuatku seperti manusia pada umumnya,” ujarnya dengan pelan.“selama ini, hidupku hanya dipenuhi dengan berbagai strategi, ancaman, dan keputusan-keputusan dingin yang mematikan. Tetapi, saat kau mulai hadir di hidupku dan duduk seperti ini, melihatmu menyusun bunga itu satu per satu dan meresapi setiap detail yang kau lakukan ... rasanya seperti aku memiliki tempat untuk kembali pulang.”Alea tersenyum mendengar ungkapan dari hati Damian yang begitu tulus, sementara matanya tak henti berkedip pada akhirnya karena rasa haru yang tak bisa ia tunda. “Kau memang sudah terlalu lama memikul bebanmu seorang diri,” guman Alea lagi. “Tapi, itu bukan berarti kau tak bisa merasakan kebahagiaan kecil seperti ini, Damian.”Damian tersenyum samar mendengarnya, ia meraih tangan Alea yang kini sudah tak terbungkus
Alea menarik tangan Damian dengan sedikit keras, setelah menyantap hidangan di meja makan, ia tak lagi bisa bersabar untuk melanjutkan karyanya yang sudah ia persiapkan seminggu yang lalu."Alea, hati-hati," ujar Damian memperingati. Ia sedikit menahan badannya agar tak terhuyung ke depan dan menghimpit badan Alea."Aku sudah tidak sabar," jawab Alea. "Kau bisa tidak berjalan sedikit lebih cepat?" tanyanya lagi dengan menoleh ke belakang.Damian hanya menghela napasnya panjang, lalu pria itu menarik tubuhnya dan membuat Alea sedikit tertahan. dan dengan gerakan yang cepat, tangannya yang semula berada di genggaman Alea, kini sudah berada di bahu Alea dan menahan laju gadis itu dengan cepat."Lebih baik begini," ujarnya memperlambat langkahnya.Alea mengerucutkan bibirnya, tetapi ia tak berani membantah lagi, dan ketika pintu ruangan sudah mulai tampak di pelupuk matanya, Alea menyunggingkan senyum manis, bayangannya sudah mencerna bagaimana serunya menyusun bunga itu satu per satu.Da
“Ayahmu sendiri yang memilih jalan ini, Alea,” kata Damian dengan tegas. “Dan jika dia menganggap keselamatanmu penting baginya, ia sudah muncul sejak pertama kali kau dibawa ke tempat ini. Tetapi sekarang? Ia hanya bisa melindungimu dari jauh.”Carden yang tengah terfokus pafa komputer di hadapannya, kini melirik Damian sekilas, “Tuan. Parimeter sebelah selatam dan timur sudah aman dari gangguan. Tapi, saya menyarankan untuk melakukan patroli lebih lanjut di malam ini, terutama di akses menuju runag bawah tanah,” ujarnya dengan tegas.“Lakukan itu,” sahut Damian.“Baik, Tuan,” jawab Carden meninggalkan ruangan itu beserta para pengawal lainnya.Sementara Alea yang masih menundukkan kepalanya, kini tak berani menatap Damian sedikitpun. Gadis itu terlalu takut untuk sekedar bertanya pada Damian tentang apa yang ingin mereka lakukan selanjutnya.“Ayo kita ke kamar,” ujarnya pada Alea.Alea mendongak, lalu menganggukan kepalanya. “Baiklah,” ujarnya mengikuti langkah Damian dengan lemah.
“Dalam perjalanan kembali ke mansion, dan akan segera melakukan evaluasi sistem. Sementara Rosa sudah berada di tempat aman.”Ia segera mengetikkan balasan dengan begitu cepat dan mengirimkannya kepada Damian. Begitu lift terhenti, dan pintu terbuka, terdapat dua orang pengawal yang berjaga di depan pintu dan segera bersiap mengawal Carden. Ia menganggukkan kepalanya pada mereka, lalu mereka bergegas menuju mobil lapis baja dan membuka pintu belakang untuk Carden. Kendaraan tersebut melaju dengan kencang meninggalkan rumah sakit St. Zamoora dan kembali menembus jalanan kota di malam hari untuk mencapai mansion.Tak membutuhkan waktu yang lama, mobil itu sampai di depan pintu gerbang mansion yang kini di jaga oleh pengawal berseragam lengkap. Carden membuka kaca jendela dan menganggukkan kepalanya kepada mereka sebelum kembali menembus jalanan mansion menuju pintu utama.“Berhenti di sini,” ujarnya pada pengawal dibalik kemudi.Ia segera membuka pintu dan meloncat dengan cepat, lalu sed
Ambulans berhenti tepat di area parkir khusus milik keluarga Zamoora. Gedung ini tak terlihat seperti rumah sakit pada umumnya, melainkan lebih menyerupai villa dengan tulisan di atas gerbangnya St. Zamoora Private Medical tanpa keterangan lain yang menjelaskan lebih lanjut. Pintu belakang ambulans segera dibuka oleh seorang perawat yang bergegas menghampiri ambulans lengkap dengan mengenakan APD khusus dan kartu identitas yang terletak i sebelah kiri APD mereka, sementara wajahnya tertutup oleh masker medis.Carden turun terlebih dahulu, lalu membantu mengeluarkan Rosa bersama dengan Dokter Clara dan beberapa perawat lain yang sigap membantu.“Pasien dengan kode ‘Vespeer’ sudah berada di tempat,” ujar Dokter Clara memberi kode dengan menatap mereka sekilas yang di hadiahi anggukan sebagai jawaban.Petugas tersebut segera mengecek tablet di tangannya dan mencocokkan sekilas, lalu mengesekkan kartu yang dibawanya ke pintu elektronik yang mengarah pada lantai steril khusus untuk perawata
“Jangan pikirkan apapun tentang ayahmu, lagi,” bisik Damian mengusap kepala Alea dengan lembut. “Aku tahu jika kau amat terluka mendengar kejadian ini. Tapi, kau tidak berdiri sendirian menghadapi ini semua.”Alea menggigit bibir bawahnya, “Damian ...,” bisiknya lirih dengan mengeratkan pelukannya. “Aku takut.”Damian melepaskan pelukannya dan menangkup wajah Alea menggunakan kedua tangannya, “Takut kepada siapa hm?”Alea menatap Damian, lalu menggelengkan kepalanya. “Semuanya ... ayahku, orang-orang itu ... masa depanku ...,” ujarnya menghela napas panjang. “Aku bahkan tidak tahu harus mempercayai siapa lagi selain kau dan Rosa.”Damian membalas tatapan itu dalam, “Kau tak perlu mempercayai siapapun lagi. Kau cukup percaya dengan dirimu dan apa yang ingin kau lakukan. Jika kau masih belum sepenuhnya percaya ... kau bisa mempercayaiku.”Alea menelan ludahnya susah payah, “Bagaimana jika semuanya sudah terlambat?”“Tidak akan ada yang terlambat untuk menyelamatkan dirimu sendiri,” pun