Sepeninggal Padma, tubuh Viona seolah kehilangan tenaga. Ia menyeret kakinya yang berat, setiap langkah seakan memikul seluruh beban kenangan yang membekas di sanubari.
Setibanya di kamar mandi, ia berdiri di bawah pancuran dengan air yang dingin mengalir deras di atas kepalanya, menyamarkan air matanya yang tanpa henti berderai.
Setiap tetes air yang jatuh tak mampu menyapu ingatan pahit yang masih mengambang di dalam pikirannya, seperti noda yang enggan lenyap walau Viona menyikat kulitnya dengan keras hingga memerah.
Dengan tangan gemetar, ia terus menyikat, berharap segala yang tersisa dari Padma akan luntur bersama air yang mengalir deras ke bawah, namun sia-sia.
Ketika akhirnya kelelahan, Viona terduduk di lantai kamar mandi, tubuhnya menggigil dalam dingin yang tak hanya datang dari pancuran, melainkan dari dalam hatinya sendiri.
Dengan lutut yang ia tarik ke dada, Viona memeluk dirinya seolah berharap dapat menutupi luka yang kini menganga lebar.
Dalam hening, isak tangis yang awalnya tertahan berubah menjadi jeritan yang meluap dengan histeris, menyesakkan ruang yang dingin itu.
"Kenapa, Padma... kenapa harus seperti ini?" bisiknya di antara tangis, suara yang pecah menghilang dalam gemuruh pancuran.
Tubuhnya bergetar, dan ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Padma, suami mendiang kakaknya, lelaki yang selama ini ia hormati—telah menghancurkan harga dirinya, seolah kenangan manis yang pernah ia kenang tentang keluarga telah dicemari oleh tangan Padma.
Tak tahu berapa lama ia tetap seperti itu, hingga suara gedoran di pintu kamar membangunkannya dari lamunan kelam.
"Viona! Kamu nggak apa-apa?" Suara itu, lembut namun penuh kepanikan, jelas adalah Tirta. Lelaki yang telah menemaninya empat tahun ini, selalu ada di sampingnya saat suka maupun duka, kini berdiri di balik pintu dengan khawatir.
Viona tersentak. Sebuah perasaan takut menjalari dirinya. Apa jadinya jika Tirta tahu? Luka ini, penghinaan yang telah Padma tanamkan dalam dirinya, adalah rahasia yang tak bisa ia bagikan pada siapa pun—termasuk pada Tirta.
"Viona! Kalau kamu nggak buka pintunya, aku dobrak sekarang!" Tirta kembali berteriak, kali ini suaranya makin tegas, mendesak.
Viona mengumpulkan sisa tenaganya. Ia mematikan pancuran, meraih jubah mandi yang tergantung, dan mengenakannya dengan terburu-buru.
Dengan suara parau, ia akhirnya menjawab, "Sebentar, Tirta." Ia tahu, ia harus segera menenangkan lelaki itu.
Ia membuka pintu kamar mandi, dan terdengar suara Tirta yang lebih lembut, penuh perhatian, "Oke, aku tunggu di ruang tamu. Aku bawain soto ayam buat sarapan."
Hati Viona mencelos. Sejenak, kehangatan dari perhatian kecil Tirta membuat air matanya kembali jatuh. Namun, ia mengusap pipinya cepat-cepat, menyembunyikan isak yang tertahan.
Tidak boleh ada yang tahu; luka ini adalah beban yang harus ia tanggung sendiri. Dengan cepat, ia berganti pakaian, mengenakan sweater turtleneck dan celana panjang, menutupi bekas luka yang telah Padma tinggalkan.
Saat ia keluar dari kamar, Tirta menunggunya dengan senyum ramah yang khas. Lelaki dengan rambut ikal dan mata bersinar itu menyambutnya dengan wajah penuh perhatian. “Kamu habis lari pagi?” tanyanya sambil tertawa ringan.
Viona terkejut mendengar pertanyaan itu, tetapi ia hanya bisa memaksakan senyum.
"Waktu aku datang, pintu depan nggak terkunci. Aku kira kamu habis lari pagi dan lupa ngunci pintu kayak biasanya," Tirta menjelaskan dengan nada berseloroh. "Makanya aku gedor pintu kamar kamu. Kamu ketiduran di kamar mandi atau gimana?" tanyanya, tertawa kecil.
Viona hanya bisa memaksakan tawa. Ia mengambil mangkuk soto ayam dari Tirta, berharap makanan ini akan bisa membendung pertanyaan yang lebih jauh.
Dengan tergesa, ia melahap suapan demi suapan, menghindari tatapan Tirta yang penuh perhatian namun begitu tajam.
Tirta memperhatikan Viona dengan tatapan penuh keingintahuan, namun juga ada secercah kekhawatiran di dalamnya.
Ketika ia menyelipkan rambut Viona yang tergerai ke belakang telinga, gadis itu sontak terlonjak, dan mangkuk di tangannya nyaris jatuh.
“Kamu kenapa, sih?” Tirta bertanya dengan nada heran dan mata yang menyipit penuh tanda tanya. “Kamu sakit?”
Viona merasa tenggorokannya mendadak kering, dan matanya yang besar mengerjap panik. Tubuhnya gemetar, kenangan akan sentuhan yang asing kembali menghantam dirinya begitu Tirta menyentuh rambutnya.
Ia harus menenangkan jantung yang berdegup kencang, mengingatkan dirinya bahwa yang duduk di sampingnya adalah Tirta, bukan sosok lain yang membuatnya jijik dan takut.
Dengan hati-hati, Tirta mengambil mangkuk dari tangan Viona yang masih bergetar, lalu meletakkannya di atas meja. Perlahan ia menggenggam kedua tangan Viona yang terasa dingin.
“Viona, kamu ada masalah apa?” tanyanya lembut, kehangatan menjalar dari genggaman tangannya yang kokoh namun menenangkan.
Kata-kata lembut Tirta dan tatapan penuh kasih sayangnya menembus benteng pertahanan Viona. Tak lagi mampu menahan, ia terisak, air mata mengalir deras di pipinya.
Tangisnya yang tertahan sejak pagi berubah menjadi gelombang yang berguncang, menyapu seluruh tubuhnya hingga bahunya berguncang hebat.
Tirta tak tahu apa yang terjadi, namun ia tetap berada di samping Viona, mengusap punggungnya lembut, sementara tangan lainnya tetap menggenggam tangan gadis itu erat-erat.
Dalam beberapa saat yang sunyi, hanya isakan Viona yang menggema, pilu dan penuh keputusasaan, seperti beban yang telah lama terpendam dan tak lagi bisa disimpan sendiri.
Di balik air mata yang mengaburkan pandangannya, Viona bertanya-tanya apakah Tirta akan meninggalkannya jika tahu kebenaran yang ia simpan.
Bahwa ia tak lagi suci, bahwa harga dirinya telah direnggut oleh Padma dalam satu malam penuh hinaan dan kekerasan. Bagaimana mungkin lelaki sebaik Tirta mau menerima seorang perempuan yang telah ternoda?
Di saat-saat gelap ini, Tirta adalah satu-satunya yang ada di sisinya. Setelah Yuanita pergi, hanya Tirta yang setia menguatkannya di tengah penghakiman yang ia terima dari Padma dan keluarga.
Tirta yang menemani setiap sesi pengobatan, yang menenangkan setiap malam panjangnya yang tanpa tidur. Tapi sekarang, apa yang harus ia lakukan? Haruskah ia memberitahu Tirta tentang semuanya?
"Viona, kamu tahu aku akan selalu ada buat kamu," bisik Tirta lembut setelah tangis Viona mulai mereda.
Ia menatap gadis itu lekat-lekat, mencoba menangkap isi hati yang tersembunyi di balik mata Viona yang merah dan sembab.
“Ada apa, Viona? Aku nggak pernah lihat kamu nangis kayak gitu selain waktu pemakaman Kak Yuanita. Apa kamu kangen sama kakak kamu?”
Viona menggeleng pelan, tidak sanggup mengungkapkan kebenaran, namun juga tak ingin terus-terusan berbohong pada Tirta yang begitu tulus. “Kamu pasti akan membenciku setelah tahu apa yang terjadi padaku, Tirta,” bisiknya dengan suara parau yang nyaris tenggelam dalam air mata.
Tirta mengerutkan alis, kebingungan. “Bagaimana mungkin aku benci kamu? Kamu satu-satunya wanita yang aku cintai selain ibuku, Viona.”
Mendengar kata-kata itu, hati Viona semakin tersayat. Nama "Viona" hanya digunakan oleh Yuanita, almarhumah kakaknya, sebagai panggilan sayang.
Saat Tirta menawarkan hubungan yang lebih dari sekadar teman, ia pun menggunakan nama kecil itu, penuh kasih dan kelembutan. Namun, di dalam hatinya, Viona merasa tak pantas lagi mendapatkan kehangatan itu.
“Tapi aku udah nggak suci lagi, Tirta.” Suaranya pecah di antara isak. “Aku nggak sama kayak dulu lagi.” Air mata kembali mengalir deras, mengungkap kebenaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
"Bahkan selama seminggu terakhir aku tidak pernah hal-hal lain selain kamu, Viona. Dengan Darla pun, hubunganku benar-benar profesional. Meski dia mengirim sinyal, aku anggap itu sebagai rasa penasaran karena dulu aku batal menidurinya."Viona masih tidak habis pikir bagaimana bisa Alfie mengalami disfungsi ereksi, padahal beberapa menit yang lalu dia menjerit-jerit karena ulah lelaki itu?Entahlah. Tidak perlu dipikirkan juga. Malah bagus, kan? Kini hanya dia yang bisa merasakan performa Alfie yang luar biasa dan membuatnya nyaris pingsan.Mantap jaya!"Dulu teman tidurku memang selalu berganti. Tetapi setelah bertemu kamu, semuanya berubah total. Tidak ada lagi yang menarik selain kamu, karena kamu adalah candu untukku, ma cherie.""Maaf," Viona menggumam dengan kepala tertunduk. "Aku sudah mengamuk tanpa bertanya lebih dulu.""Tidak masalah," balas Alfie lalu terkekeh pelan. "Lagipula tinjumu sama sekali tidak terasa. Aku bahkan merasa seperti digelitiki."Untuk pertama kalinya set
Alfie tertawa sebentar sebelum bergerak pelan. Tetapi itu tidak bertahan lama.Alfie mulai kehilangan kendali saat merasakan milik Viona mencengkeramnya dengan kuat. Dia mengentak dengan keras dan kasar. Memuaskan rasa laparnya pada Viona yang seakan tak pernah berakhir.Meja yang menjadi tempat duduk Viona bahkan sampai berderit karena goncangan yang begitu cepat dan kasar di atasnya. Viona sendiri hanya bisa mengalungkan tangannya di leher Alfie dan susah payah bernapas untuk menerima dorongan keras dari Alfie.Alfie berkali-kali mengumpat. Rasanya terlalu hebat untuk bisa dia jabarkan hingga dia tidak bisa mengendalikan diri lagi. Sisi liarnya mengemuka ke permukaan, seolah Viona-lah yang menekan tombol on dalam dirinya.Alfie mendorong dengan keras dan sejauh-jauhnya hingga tubuh Viona berguncang hebat dalam pelukannya. Perempuan itu berteriak kecil dengan napas terengah, yang terdengar seperti melodi yang merdu di telinga Alfie.Tangan Viona mencakar punggung Alfie yang dipenuhi
Masih dengan bara kemarahan yang menguasai dirinya, Viona menatap Alfie nyalang. "Darlal Kamu main gila dengan dia, kan? Tadi aku bertemu Darla di lobi hotel dan dia bilang baru kembali dari kamarmu, Kalian juga makan malam—"Mendadak telinga Alfie terasa tuli. Aroma vanilla yang sedari tadi menyerang penciuman membuatnya tak bisa menahan diri lagi.Dengan satu tangannya yang bebas, dia meraih dagu Viona dan menyambar bibirnya sebelum perempuan itu memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.Alfie menggeram kasar begitu bibirnya kembali merasakan kelembutan bibir Viona yang manis dan hangat setelah seminggu lebih dia hanya bisa membayangkannya dalam angan-angan.Alfie masih bisa merasakan Viona yang berusaha melepaskan diri dengan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri untuk menghindari dari pagutannya.Namun akhirnya Viona tidak berkutik saat satu tangan Alfie bergeser ke belakang tengkuk dan menahannya dengan keras.Digigitnya bibir tipis itu, diisapnya dengan keras seb
Mandala susah payah menahan tawa karena rasanya tidak etis menertawakan orang yang sedang menahan tangis karena terlalu marah.Viona sama saja seperti Savannah, yang terlalu cepat menyimpulkan bahkan sebelum mencari tahu kebenarannya.Padahal apa susahnya bertanya? Toh bertanya itu tidak dilarang."Masalah nggak akan selesai kalau kamu terus mengedepankan asumsi dibanding fakta. Pastikan dulu kebenarannya pada Alfie, atau kamu akan menyesal karena mengambil kesimpulan yang salah"Aku nggak mau ketemu dia." Viona menggeleng sambil mengusap bulir bening yang membasahi pipinya."Jangan buat perjalanan jauh kamu ke sini jadi sia-sia, Viona. Kita tidak tahu mengapa Darla ada di sini. Kita juga tidak tahu apa dia benar-benar makan malam berdua dengan Alfie di sini, sedangkan Mindi juga menginap di hotel ini."Kita bahkan tidak tahu apakah dia benar-benar ke kamar Alfie berdua saja, atau itu hanya karangan Darla. Ada banyak hal yang belum kita ketahui dengan pasti sekarang," ujar Mandala sab
Viona meremas tangannya dengan gugup.Dalam beberapa menit lagi dia akan bertemu dengan Alfie, tetapi jantungnya sudah bertalu-talu kencang sejak pesawat yang dia tumpangi mendarat di bandara.Kira-kira bagaimana reaksi Alfie saat melihatnya? Apa Alfie akan marah karena dia tiba-tiba ada di sini tanpa pemberitahuan? Apa Alfie akan menyuruhnya pergi seperti kemarin-kemarin?"Rileks, Vi." Mandala seolah mengerti kegelisahan Viona karena sejak tadi perempuan itu terlihat gugup. "Bertemu dengan Alfie tidak semengerikan itu."Aku khawatir Alfie marah, Sikap dia, kan, nggak bisa diprediksi "Viona berterus terang. Dia menggigit bibir bawahnya untuk meredakan kepanikan yang kian bergejolak dalam dirinya.Saat tiba di bandara tadi, dia sempat merias wajahnya sebentar di kamar mandi agar terlihat lebih cantik-harapannya, sih, begitu- ketika bertemu Alfie.Dia bahkan merasa sangat bersemangat karena sebentar lagi akan bertemu Alfie setelah seminggu lebih menjalani perang dingin yang membuat dada
Semoga saja otaknya menemukan alasan yang cemerlang agar Alfie tidak menelannya hidup-hidup."Good." Mandala mengangguk puas lalu mengajak Mindi keluar dari restoran untuk menyusul Alfie sebelum lelaki itu marah lagi.Mereka langsung meluncur menuju kantor Guzman yang ada di sebuah bangunan bersejarah yang bertebaran di Paris. Lelaki itu mengucapkan selamat datang dan langsung mengajak mereka ke ruang rapatSelagi Mindi asyik mengamati detail arsitektur di dalam gedung itu, Alfie dan Mandala memulai pembicaraan serius tentang rencana Guzman yang ingin membuka The Union di kota ini.Mindi sendiri tidak mengerti apa yang mereka bicarakan karena seluruh pembicaraan itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Prancis yang tidak die pahami.Mindi justru lebih tertarik mengamati Darla-asisten pribadi Guzman-yang tak kalah cantiknya dengan Savannah, keponakan Mandala. Darla bukan hanya cantik, tetapi juga sangat fashionable.Diam-diam Mindi melihat dirinya yang terbalut dalam setelan blazer abu-
Mindi mengusap tengkuknya seraya meringis canggung. "Iya. Saya baru tahu Pak Mandala punya keponakan bule."Terkadang dia merasa ngeri pada Alfie. Bosnya itu sering kali bisa membaca pikirannya dengan tepat. Apa dia punya kemampuan seperti cenayang?Dengan menggunakan mobil milik Savannah, mereka meluncur menuju Ritz Carlton yang akan menjadi tempat menginap Mandala, Alfie dan Mindi selama mereka ada di ParisSepanjang perjalanan, Savannah yang mengemudikan mobil sibuk menjelaskan café atau restoran yang hype di Paris, event pagelaran fashion pria dan haute couture yang akan digelar, dan hal-hal menarik lainnya.Savannah baru berhenti bicara saat Mandala berdeham keras, "Savie, kepala Om pusing mendengar kamu mengoceh tanpa henti."Savannah mengerucutkan bibir lalu menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Dasar orang tua!"Setibanya di hotel, mereka berpisah di depan kamar masing-masing dan akan bertemu lagi saat makan malam di restoran. Sementara Savannah ikut masuk ke kamar Man
Viona juga bingung. Kalau Paris yang dituju Mandala adalah Pantai Parangtritis Yogyakarta yang sering disingkat 'Paris', dia tentu tidak akan bingung sebab bisa langsung berangkat untuk mengantar titipan Utami.Sayangnya, Paris yang dituju Mandala adalah ibukota negara Prancis yang berjarak belasan ribu kilometer dari Jakarta, dan hanya bisa ditempuh dengan perjalanan udara."Bagaimana kalau kamu antar saja ke Paris, Dit? Tante yang akan membiayai akomodasinya. Kan sekalian bisa antar berkas untuk Mandala juga. Daripada nanti dia bingung?"Viona melongo. Dia kira Utami bercanda. Tetapi perempuan paruh baya itu langsung mengakhiri panggilan setelah memintanya datang ke rumah untuk mengambil apa saja yang harus diantar pada Mandala."Mbak, kita sudah sampai,” tegur sopir begitu melihat Viona justru termangu di kursi belakang."Eh, itu... tolong antar saya ke rumah orang tuanya Pak Mandala, Pak Aris." Viona menyebut alamat kediaman Utami. Beruntung dia masih ingat dengan jelas segala det
Untuk pertama kalinya sejak satu minggu terakhir, Bik Sari melihat wajah Viona yang berseri-seri. Dan tak urung rasa ‘keponya' mencuat karena pagi ini Padma justru berangkat ke Paris."Mbak Viona nggak sedih ditinggal ke Paris selama satu minggu?" celetuk Bik Sari dengan nada sambil lalu agar tidak terkesan 'kepo'.Padahal dia memang 'kepo' akut.Biasanya kan pengantin baru akan terlihat sedih jika ditinggal pasangannya bekerja ke luar kota atau luar negeri. Tetapi Viona terlihat santai meski tidak ikut mengantar ke bandara karena Padma melarangnya."Nggak, Bik. Kan Mas Padma juga kerja di sana," jawab Viona sambil menyuapi Sabda.Sejak dia mulai bekerja lagi, bayi itu bangun lebih awal hingga dia bisa mengajaknya bermain dulu dan menyuapinya sebelum berangkat."Kirain Bibik, Mbak Viona ikut ke Paris juga. Sekalian hanimun gitu, Mbak. Siapa tahu pulang dari sana Sabda punya adik."Viona hanya tertawa lepas. Tawa yang akhirnya bisa keluar setelah seminggu terkungkung dalam perasaan mur