"Kemarin aku mencari terapis baru yang memiliki pengalaman menyembuhkan penyandang DID. Aku sudah menemukannya. Dan beberapa hari lalu aku mengirim email untuk meminta konfirmasi."Baru saja terapis itu mengatakan bisa bertemu denganku besok lusa. Sayangnya, dia tidak tinggal di Jakarta, tapi di Singapura. Dan kamu harus ikut karena kamu pasanganku sekarang."Viona meneguk ludah dengan susah payah. Dia sama sekali tidak tahu Alfie melakukan pencarian untuk mencari terapis baru. Bahkan selama di Paris pun, Alfie sama sekali tidak pernah menyinggung masalah ini.Dan mengetahui Alfie sudah menemukan terapis baru, tak urung menimbulkan kekhawatiran dalam hatinya."Al, kamu... tidak berniat untuk 'pergi", kan?" tanyanya ragu. Tolong katakan tidak atau dia akan patah hati lagi."Kenapa kamu bertanya seperti itu?" Alfie mengerutkan kening."Yang aku tahu, host kamu adalah Mas lan. Kalau kalian sembuh, itu artinya kamu akan 'hilang', kan?"Dari kasus penyandang DID yang pernah Viona baca, jik
"Done!" seru Viona dengan riang.Tatapannya tertuju pada gembok yang baru saja dia pasang di pagar jembatan Pont des Arts atau Jembatan Gembok Cinta, yang menghubungkan antara Louvre Museum dan Insititute de France.Gembok bertuliskan inisial D & A itu terpajang berdesakan dengan ribuan gembok lainnya yang memenuhi sepanjang pagar jembatan."Sekarang giliran kamu yang buang kuncinya." Viona menyerahkan kunci gembok yang sudah dia pasang pada Alfie.Alfie menatap kunci di tangannya lalu mengembuskan napas panjang. Sulit dipercaya dia melakukan hal sekonyol ini. "Apa aku harus melakukannya? Itu hanya mitos konyol, Viona.""Just-do-it!" Viona berkacak pinggang. "Apa susahnya, sih, lempar kunci ke sungai di depan kamu?""Astaga!" desah Alfie sambil melakukan apa yang Viona perintahkan. Kunci itu melayang dari tangannya lalu mendarat di sungai dengan bunyi kecipak cukup keras."Happy?" ejeknya pada Viona yang tersenyum senang."Happy! Thanks, Al." Viona berjinjit lalu mengecup pipi Alfie p
Viona kembali menoleh pada Savannah yang melanjutkan ucapannya. "Maksudku, dulu kamu melihatnya sebagai kakak ipar, tapi sekarang dia suamimu. Apa kamu tidak merasa canggung?"Sepertinya Savannah tidak tahu Padma adalah penyandang kepribadian ganda dan Viona lebih sering berhubungan alter egonya hingga rasa canggung itu sama sekali tidak ada.Namun demi menyingkat waktu, Viona memilih jawaban diplomatis. "Awalnya pasti seperti itu, tapi seiring waktu semuanya berjalan secara natural."Savannah tampak termangu. Tatapannya beralih pada Mandala yang berdiri di samping Alfie dengan raut serius. Melihatnya seperti itu, Viona jadi ikut menatap Mandala.Mendadak dia bertanya-tanya, apa ada sesuatu di antara paman dan keponakan itu? Karena di matanya, tatapan Savannah sering kali terlihat berbeda saat berhadapan dengan Mandala.Bahkan saat dia melihat pagelaran busana Savannah tiga hari yang lalu, gadis itu terlihat begitu bahagia saat Mandala mampir dengan sebuket bunga. Hanya sepuluhTatapa
"Dadah, Sayang. Tunggu Bunda pulang, ya. Nanti Bunda bawakan oleh-olah yang banyak." Viona melambai pada Sabda lewat layar ponselnya.Bayi itu membalas dengan satu tabokan kencang di layar, seolah menunjukkan rasa kesalnya karena ditinggal Viona selama berhari-hari.Viona tertawa lalu mengakhiri panggilan video setelah melempar goodbye kiss pada bayi gendut itu. Saat menaruh ponselnya kembali ke dalam tas, Alfie tampak berjalan menghampirinya.Viona sontak melempar senyum pada lelaki tampan yang hari ini hanya memakai sweater dan celana jeans itu."Kamu tidak bosan?" tanya Alfie setelah duduk di samping Viona."Nope. Aku baru saja menelepon Sabda, dan dia sudah bisa memanggil 'Papa' dengan sangat jelas."Mata Alfie melebar sempurna. "Oya? Tapi kenapa setiap aku menelepon dia tidak pernah mengatakan itu?" gerutunya. "Di depanmu dia sangat cerewet, tetapi di depanku dia mendadak diam."Viona mengurai tawa sambil meremas tangan Alfie yang bertengger di atas pahanya. "Kamu harus lebih ser
Pesan-pesan itu belum Viona balas sampai sekarang karena dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi mantan kekasihnya itu.Menyadari lelaki itu sudah mengetahui semuanya karena ibunya sudah bercerita, makin membuat Viona gamang.Dia tidak sanggup membayangkan bagaimana reaksi Tirta saat mendengar dirinya sudah menikah dengan orang yang sudah merenggut kehormatannya di masa lalu, bahkan mengandung anaknya-meski sekarang anak itu sudah tiada.Seharusnya Viona membalas pesan itu dan mengatakan maaf karena tidak bisa bertemu. Tetapi ternyata jarinya tak sanggup mengetikkan pesan semacam itu.Maka dia membiarkann pesan Tirta menggantung sampai sekarang. Mungkin setelah mereka kembali ke Jakarta, dia punya keberanian untuk membalas pesan mantan kekasihnya itu."Kalau kamu merasa bersalah karena sudah menghabiskan uang sebanyak itu, bukankah seharusnya kamu melakukan sesuatu untuk menebusnya? Minimal jangan punggungi aku. Suara parau Alfie membuyarkan lamunan Viona.Perlahan Viona membalikkan
Mata Viona sontak terbuka ketika dia merasakan kecupan di belakang kepalanya, disusul aroma musk yang familiar."Kamu sudah pulang?" tanyanya dengan suara serak. Bukan karena bangun tidur, tetapi karena sejak satu jam yang lalu dia tidak berhenti menangis."Hm. Maaf, aku baru pulang selarut ini," jawab Alfie sambil melingkarkan tangannya di pinggul Viona yang berbaring memunggunginya. Rasanya hangat dan nyaman. Apalagi cuaca di luar sangat dingin."Aku mampir ke restoran tempat Savie bekerja dan mencicipi dessert buatannya. Aku ingin tahu sejauh apa perkembangan kemampuan memasaknya karena dua bulan lagi dia akan daftar di The Union."Viona mengerjap. Tanpa bisa dia cegah, air matanya kembali mengalir. Dengan cepat dia mengusapnya sebelum Alfie curiga.Duh, kenapa air matanya tidak mau berhenti?"Lalu bagaimana urusanmu dengan Guzman hari ini?" tanyanya cepat sebelum air matanya kembali mengalir.Pertanyaan itu membuat Alfie teringat pada kejadian tadi siang. Dia menyeringai puas lalu