“Kesempatan ini tidak datang satu kali, Ya,” bujuk Bude Rani mengenggam erat tangan gadis manis yang duduk di sampingnya.
“Tapi saya tidak kenal siapa pemuda itu, Bude.” jawab Raya pelan.
“Ah, nanti juga kamu kenal,” balas Bude Rani tersenyum. “Orangnya pintar, dari keluarga kaya, pemuda itu seorang Branch Manager di salah satu bank swasta di Jakarta ini.”
Raya menunduk. Ia ragu. Hatinya menangis. Apa yang harus ia lakukan? Untuk menolak ia tak akan bisa. Banyak alasan kenapa ia tidak akan mampu menolak semua keinginan Bude Rani.
“Ayolah, Nak….” Bujuk wanita paruh baya itu. “Ayah dan ibumu di surga akan senang melihat putri semata wayangnya menikah dengan laki-laki kaya.”
Anak yatim-piatu. Selalu. Itulah strategi yang kerap digunakan bude jika menyuruh Raya melakukan sesuatu yang tidak diinginkannya. Bude seperti menekankan jika Raya harus membalas semua budi baiknya selama ini karena merawat dan membesarkannya. Sama seperti situasi sekarang ini.
“Kamu tahu sendiri, ayahmu waktu masih hidup berhutang banyak pada rentenir-rentenir sialan itu. Pakde dan bude yang menanggung semua hutang ayahmu. Sampai Ayahmu meninggal pun hutang itu belum lunas. Terpaksa pakdemu berhutang pada majikannya. Saking banyaknya hutang itu, mana bisa pakdemu melunasi….”
“Lalu saya dijual pada majikan Pakde itu?” potong Raya.
“Oh, tidak…” pungkas Bude Rani sambil mengibaskan kedua tangannya. “Mereka sendiri yang meminta supaya kamu menikahi putranya. Bukan pakdemu, kok, yang meminta.”
Raya mendesah pelan. Berat beban di pundaknya. Ia masih muda. Dua puluh empat tahun. Belum lama lulus kuliah. Ia masih ingin menikmati kehidupan, berpetualang mencari pengalaman. Ia masih ingin bekerja, mencari uang banyak untuk menebus masa mudanya yang habis digunakan untuk bekerja. Bukan malah terperangkap menjadi istri seorang laki-laki asing yang tak dikenalnya.
“Kenapa bukan Sintia yang menikah saja dengan laki-laki itu, Bude?” tanya Raya menatap wajah budenya lekat-lekat, memohon ada secercah harapan ia bisa keluar dari jerat masalah tersebut.
“Ah,” jawab Bude Rani mengibaskan tangan kanannya. “Sintia masih sibuk mengurus skripsi. Biarkan dulu ini jadi jatahmu, Nduk. Nanti tak carikan lagi jodoh yang tepat buat dia.” Bude Rani tersenyum. Senyum menjengkelkan.
Raya tahu arti senyum Bude Rani. Sebuah senyum yang di dalamnya terkandung berjuta makna. Raya benci senyuman itu. Karena dari senyum itu Rani tahu bude akan terus menekannya. Beribu pertanyaan berkecamuk di dalam benaknya. Mengapa budenya, yang notabene mata duitan, malah mengikhlaskan jika pemuda kaya itu menikahi dirinya, bukan malah anak satu-satunya, Sintia? Mengapa dengan begitu mudahya keluarga pemuda itu mengikhlaskan anak laki-lakinya menikah dengan keponakan supirnya? Dan kenapa dengan begitu mudahnya laki-laki itu menerima tawaran untuk menikahi dirinya?
“Besok lamaran akan dilaksanakan, Raya,” ujar Bude Rani memecah benang kusut di pikiran Raya. “Kamu persiapkan semuanya dengan baik, ya.”
Mendadak lagi.
Raya diam. Bude Rani tersenyum puas. Diamnya Raya adalah tanda persetujuan baginya. Itu yang selalu ditangkapnya bertahun-tahun.
***
Raya duduk di kursi depan meja rias. Ia memandang wajahnya terlihat sedih. Semua beban seperti tersirat di wajah sendu itu. Kata-kata Bude Rani terus bergema di kepalanya.
“Hutang Hamid banyak sekali, Raya.”
“Pakdemu sebagai kakaknya yang bertanggung jawab ketika ayahmu telah tiada.”
“Pakdemu sampai pinjam uang ke majikannya karena hal itu.”
“Sekarang kau tidak mau balas budi? Padahal kau akan hidup enak di keluarga mereka!”
Raya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Ia ingat dahulu ia dan ayahnya hidup berkecukupan, bisnis ayahnya maju. Sampai suatu hari ayahnya dihianati oleh rekan bisnisnya dan bangkrut. Hal tersebut mengubah tiga ratus enam puluh derajat kehidupan Raya.
“Maafkan ayah karena membuatmu banyak masalah, Raya,” pesan ayahnya saat beberapa orang datang, yang rupanya adalah petugas dari bank. Rumah dengan banyak kenangan itu akhirnya disita. Raya yang masih duduk di bangku SMP hanya menangis. Teringat mamanya yang telah pergi lebih dulu ke surga, teringat banyak kenangan yang tersimpan di rumah tersebut.
“Sekarang kita akan tinggal dimana, Ayah?” tanya Raya dengan mata berkaca-kaca.
Ayahnya mengenggam erat tangan Raya, dengan senyum yang setengah terpaksa beliau menjawab, “Ayah sudah dapat tempat baru, Raya. Kita mulai hidup baru di sana, ya.”
Raya mengangguk. Tempat baru yang diharapkannya adalah tempat yang hampir sama dengan rumahnya yang luas dan asri dahulu. Banyak bunga dengan kolam ikan yang airnya bergemericik membuat Raya betah berlama-lama memandangnya.
Tapi….
“Ini rumah kita, Ayah?” tanya Raya terpana melihat rumah baru mereka. Kontrakan kecil yang, menurut Raya, masih lebar kamarnya di rumahnya dulu. Hanya satu ruangan pengap dengan satu jendel. Tanpa kamar mandi. Tidak ada bunga maupun kolam ikan. Dan yang lebih parah, tempat itu dekat dengan rel kereta api, yang membuat Raya sering terbangun tengah malam jika ada kereta lewat.
Ayahnya meneteskan air mata. “Raya, kita tinggal di tempat ini dulu, ya. Ayah akan bekerja lebih keras lagi supaya kita bisa tinggal di rumah lama kita kembali.”
Raya terisak.
“Ayah akan mulai bisnis dari nol lagi. Kita sama-sama kuat menghadapi semua ini, Raya. Maafkan ayahmu ini.”
Mereka berpelukan. Ya, Raya harus kuat. Karena nasib membanting-bantingnya tiada ampun. Ia menuruti semua perintah ayahnya, sampai ia harus pindah ke sekolah yang lebih dekat dari kontrakan dan yang lebih murah tentunya. Tidak ada les lagi. Tidak ada uang saku berlebih lagi. Semua harus dilakukan demi ayahnya yang terus menyemangatinya agar mereka kuat.
Tapi rupanya ayahnya membohongi Raya.
Ayahnya telah kalah berusaha menjadi kuat.
Sore itu sepulang sekolah Raya melihat ayahnya tidur tengkurap di kasur mereka yang tipis.
“Ayah kenapa di rumah?” tanya Raya sambil membuka sepatunya.
Ayahnya diam.
“Kenapa jam segini tidur?” Raya meletakkan tasnya di meja samping kasur. “Tidak baik sore-sore begini tidur.”
Raya mengeryitkan kening. Ayahnya diam saja. Pelan-pelan Raya menggoyangkan tubuh ayahnya, tapi tubuh yang sekarang kurus itu tetap menolak bergerak. Raya kalut, pikirannya jadi tak tenang. Dengan paksa digulingkannya tubuh ayahnya agar terlentang.
Raya histeris!
Mata ayahnya terpejam. Bibirnya membiru dengan mengeluarkan busa putih.
“Ayah!” pekik Raya. Dilihatnya baygon dan gelas yang sudah kosong isinya. Raya panik, air mata meleleh tiada henti di matanya. Di dekat baygon itu ada secarik kertas putih dengan tulisan ayahnya.
Raya sayang,
Maafkan ayah yang selalu mengatakan padamu agar kita kuat.
Ayah sendiri tidak bisa menjadi kuat karena hal ini, Raya.
Ayah mencoba bekerja, tapi hasilnya tidak sama seperti dulu.
Ayah capek setiap hari harus bersembunyi dari para penagih hutang.
Ayah menyerah….
Setelah ini temui kakak ayah, Pakde Suroso. Tinggalah dengannya.
Ayah telah merepotkannya akhir-akhir ini, dan mintakan maaf ayah karena merepotkan beliau lagi.
Jadilah anak yang kuat, Raya. Maafkan ayahmu ini…
Raya kembali histeris. Tangisannya lebih kuat lagi. Orang-orang tergopoh-gopoh masuk ke kontrakan kecil itu, sama terkejutnya ketika dilihatnya si empunya rumah sudah terbujur kaku.
Setelah itu semua lebih buruk lagi.
Raya tinggal dengan keluarga Pakde Suroso, kakak ayahnya. Untuk mencukupi uang saku dan keperluan sekolah Raya bekerja sampingan.
“Fokuslah belajar, Raya,” kata Sintia, sepupunya yang baik padanya. “Jangan bekerja begitu keras.”
Raya tersenyum. Tak mungkin iya mengiyakan kata-kata Sintia. Ia sudah diberi tempat tinggal dan makan gratis di rumah itu, tak mungkin ia menambah beban bagi keluarga pakde. Walau setiap hari ia laksana pembantu di situ. Mengepel, memasak, bersih-bersih semua dilakukannya.
“Apa yang ada di pikiran ayahmu itu, Ya!” dengus Pakde Suroso suatu hari. “Bisa-bisanya ia mati cepat begitu dengan meninggalkan banyak hutang!”
Raya diam terpekur. Menahan air mata yang rasanya ingin tumpah di pipinya.
“Sekarang rentenir kurang ajar itu malah sering kemari!” sungut Bude Rani juga. “Padahal pakdemu sudah pinjam uang ke majikannya untuk hutang ayahmu. Nyatanya hutang itu masih banyak!”
Raya menangis. Sintia di sampingnya hanya memandang Raya dengan sayu. Kasihan pada sepupunya itu.
“Kalau begini caranya sampai aku tua gak bakal lunas hutang itu!” sungut pakde lagi.
Raya hanya diam. Kata-kata pakde dan budenya menghunus hatinya. Hanya tinggal mereka keluarga yang Raya punya, seharusnya melindungi, bukan menyalahkan.
Dan hal itu selalu diungkit mereka jika mereka kesal.
Sekarang mereka malah akan menikahkan Raya dengan anak majikan pakde. Kenapa? Kenapa hal itu dilakukan pakdenya? Adakah sesuatu yang disembunyikan mereka tanpa Raya tahu?
***
Acara pernikahan telah usai. David dan Raya telah sah menjadi suami dan istri. Sintia duduk di pojokan, tak hentinya menghapus air mata yang turun ke pipinya. Raya tahu hati Sintia tulus mendoakannya hari ini. Tidak seperti Pakde Suroso dan Bude Rani yang selalu tersenyum palsu. Senyum yang memperlihatkan kepuasan telah mendapatkan sesuatu. “Hari ini kamu cantik sekali, Raya,” puji Sintia tadi pagi ketika mereka berdua di sebuah kamar. Sintia sendiri yang memoles wajah Raya dengan make up. Gadis yang berusia setahun lebih muda dari Raya itu memang jago berdandan. Raya tersenyum. “Makasih…” Ia bangkit dari duduknya dan berkaca di depan cermin besar. Ia memakai kebaya putih sederhana yang kemarin baru ia beli dengan Sintia. Rambutnya disanggul modern dengan beberapa helai rambut menjuntai di bagia kanan dan kiri pipinya. Lipstik warna merah yang dipakaikan Sintia menambah segar auranya hari ini. “Kau memang cantik, mirip sekali dengan ibum
“Selamat datang di rumah…” ujar David ketika pintu rumahnya terbuka. Dari balik pintu muncul seorang perempuan baruh baya, tersenyum riang melihat Raya. “Kenalin ini Mbok Siti,” ujar David. “Beliau yang mengurus rumah ini.” “Selamat sore Nyonya….” “Raya,” jawab Raya cepat seraya mengulurkan tangannya. “Nama saya Raya, Mbok.” “Nyonya Raya,” jawab Mbok Siti tersenyum. “Cantik sekali.” Raya tersenyum simpul. “Ayo masuk,” ujar David kemudian. Raya mengangguk mengikuti David masuk. Mbok Siti membantu Raya membawakan salah satu tas yang berisi pakaian dan keperluan Raya. Rumah berlantai dua bergaya minimalis yang sangat cantik. Dicat warna putih susu dengan dekorasi rumah yang senada dengan warna catnya. Dalam hati Raya suka gaya rumah ini, sesuai dengan rumah yang diimpikannya ketika berumah tangga nanti. Bukankah sekarang ia sudah mulai memasuki pintu rumah tangga? Ah, Raya jijik tiba-tiba mengingat perkat
“Ah, Nyonya tidak seharusnya memasak begini,” ujar Mbok Siti mencoba mengambil sutil dari tangan Raya yang digunakannya untuk membola-balik gulai dalam wajan. “Gak apa-apa, Mbok,” jawab Raya. “Di rumah bude dulu setiap hari saya yang masak.” “Ya, tapi nanti saya dimarahi Tuan David kalau tahu Nyonya Raya yang setiap hari masak.” Raya menggeleng. “Gak kok, Mbok. Tenang saja.” Mbok Siti pasrah, lantas beranjak mencuci piring kotor di kitchen sink. Selama hampir dua minggu Raya tinggal di rumah ini, dialah yang memasak semua hidangan. Bangunnya selalu pagi, bahkan kadang lebih pagi dari Mbok Siti. Ia cekatan dan terampil. Menyiapkan sarapan, membantu Mbok Siti mengepel, bahkan kadang ia yang mencuci pakaian. David tahu hal tersebut, dilapori Mbok Siti tentu saja. Dengan bijaksana ia menegur Raya. “Raya, kamu boleh membantu Mbok Siti. Tapi jangan semua pekerjaan kamu yang kerjakan. Mbok Siti laporan sama saya, beliau
Mau tak mau Raya kembali bertemu dengan Nyonya Kinasih. Tapi seperti yang diperkirakan Raya, perempuan itu hanya diam tak peduli dengan kehadiran dirinya. Tapi Raya juga tak peduli, ia asyik bercengkrama dengan Sintia. Di pesawat pun mereka duduk berdua. Setelah menikah baru kali ini Raya bisa sedikit lega, paling tidak ada teman yang menemaninya. Bukannya David tidak mengizinkan ia bertemu dengan sepupunya, tapi Sintia sibuk mengurusi skripsi, Raya tidak mau menganggu konsentrasinya. Baru kali ini Raya pergi ke Bali. Begitu juga Sintia. Mereka sangat takjub akan keindahan panorama Bali yang indah. Apalagi pesta pernikahan Raya dan David akan dilaksanakan di tepi pantai. Mirip dengan pesta pernikahan selebritis. Raya tertegun. Kenapa nasib membawanya bagaikan Cinderella. Kenapa hal-hal indah yang hanya dapat disaksikannya lewat televisi, kini benar-benar nyata di depannya. Haruskah ia bahagia? Tidak. Ini bukan kenyataan bagi Raya. Ini semua semu. Dirinya bukan
Suara dering ponsel menghentakkan Raya dari tidurnya. Kaget. Sambil mengerjapkan mata ia mengambil sumber bunyi itu dari nakas. “Ha… Halo,” kata Raya parau. “Raya!” pekik suara di seberang. Raya menjauhkan ponsel dari telinganya, memastikan nama yang tertera di layar. Sintia. “Ada apa, Sin?” tanya Raya seraya memejamkan mata. “Aduh! Gila kamu, ya! Ini sudah hampir pukul sepuluh pagi!” pekik Sintia kesal. Raya tersentak. Kembali dilihatnya layar ponsel. Pukul sepuluh kurang lima menit. Kenapa ia bangun kesiangan? David menggeliat. Mengerjapkan matanya sebentar lalu tersenyum pada Raya. Satu hal yang Raya sadari kini, mereka tidur tanpa mengenakan apapun! “Halo! Kok ngalamun sih, Ya!” teriak Sintia. “I… iya, nanti aku telepon lagi. Aku mandi dulu,” Raya cepat-cepat menutup teleponnya. Raya memijit pelipisnya. Ingatannya telah kembali utuh. Tadi malam merupakan hal paling manis yang ia rasakan
“Hey, Suroso!” pekik Nyonya Kinasih setelah sampai dalam kamarnya. “Rencana yang kita lakukan sepertinya tidak sesuai dengan prediksimu!” Suara di seberang menjawab, “Apa maksud, Nyonya?” “Kau mengatakan antara David dan Raya tidak akan mungkin ada perasaan satu sama lain!” “Benar, Nyonya. Saya jamin! Apalagi melihat kelainan yang ada dalam diri Tuan David.” Nyonya Kinasih memijit-mijit kepalanya yang tidak pening itu. “Besok siang sepulang saya dari sini saya tunggu kamu di ruang kerja saya!” “A… Ada apa, Nyonya?” suara panik Pak Suroso dari seberang. “Kau akan tahu besok!”*** David membopong Raya setelah menutup pintu kamar hotel dengan kasar. “Ih, kamu kenapa, Vid!” pekik Raya. “Malu jika ada orang melihat!” David tertawa. “Nyonya David, siapa yang akan melihat kita. Di kamar ini hanya ada kita berdua sekarang!” Raya meng
Nyonya Kinasih menggebrak meja kerjanya. Suaranya berdentum keras sehingga membuat Pakde Suroso sedikit tersentak kaget. Lelaki lebih setengah abad itu mundur selangkah, takut wanita di depannya akan melakukan hal yang sama lagi.“Saya rasa mereka hanya beradu akting saja, Nyonya,” Pakde Suroso angkat bicara. “Saya yakin tidak ada perasaan sama sekali diantara mereka berdua.”Nyonya Kinasih menggeleng seraya menjawab, “Kau tahu, ketika berangkat ke Bali sikap mereka biasa saja. Aku akan percaya mereka hanya berakting kalau ketika pulang mereka juga akan bersikap biasa. Tapi ini tidak begitu, di pesawat bahkan di bandara mereka sangat mesra. Berpelukan dan bergandengan seperti tidak bisa dipisahkan!”Pakde Suroso diam.“Apakah Bali membuat mereka berdua jatuh cinta? Apakah Raya bisa menyembuhkan David?” tanya Nyonya Kinasih seperti pada dirinya sendiri.“Ah, saya rasa tidak, Nyonya ….”“Atau ….” Potong Nyonya Kinasih cepat. “Kau memang sengaja memberikan Raya padaku agar mereka berdua
“Mulai besok aku ada rapat ke luar kota, Ya,” kata David pagi itu di meja makan.Raya mengangguk. Menuangkan jus jeruk ke gelas kaca dengan perlahan. Sarapan sudah siap di meja makan, Raya memasak nasi goreng daging sapi. Mbok Siti libur dua hari ini, anaknya yang sulung melahirkan kemarin, beliau sibuk menjaga anaknya tersebut.“Mungkin sekitar lima hari aku tidak di rumah,” kata David seraya menyendokkan nasi ke mulutnya. “Kau tidak apa-apa sendirian? Kau berani?”Raya kembali mengangguk. “Jangan khawatir. Aku bukan anak kecil yang penakut.”David tersenyum, membelai rambut istrinya itu dengan lembut.“Berarti nanti sore saja kita tengok cucu Mbok Siti,” kata Raya. “Pumpung kamu masih di rumah, jadi bisa menemaniku.”“Okay.”“Mamamu kemarin kenapa menyuruhmu datang ke kantornya?” tanya Raya. Hal ini ingin ditanyakannya sedari kemarin, tapi tadi malam ia kecapekan dan ketiduran ketika menunggu David lembur.“Oh, itu,” balas David. “Biasa. Menyuruhku untuk menggantikan beliau di kant