Share

2. luka 2

Author: Lusiana
last update Last Updated: 2025-10-08 20:41:04

Malam pun telah tiba. Aisyah dan Bara duduk berdampingan di meja makan.

Aisyah menunggu Bara mengatakan sesuatu. Aku mendadak merasa cemas.

“Aisyah, aku mau menikahi Bela.”

Aisyah seketika kaget. Bela adalah mantan pacar Bara. Memang sebelumnya Bara sudah mengatakan bahwa ia kembali menjalin hubungan dengan Bela. Aisyah terdiam, menunggu Bara melanjutkan kata-katanya.

“Bela hamil. Aku harus menikahinya.”

Sekketika Aisyah yang sedari tadi menunduk untuk menahan air mata yang sudah mengembung, memberanikan diri menatap mata suaminya. Namun Bara justru mengalihkan pandangannya.

Aisyah tak banyak bicara. Air matanya mengalir begitu saja. Bara berdiri dan pergi meninggalkannya.

Aku melangkahkan kaki menuju kamar. Kulihat Arka yang ternyata sudah terbangun dan bermain di tempat tidur. Dia memang selalu anteng kalau sudah memegang mainan kesukaannya.

“Ibu, i.. ini bagus,” katanya sambil menunjukkan mainannya.

Aisyah tersenyum sambil menangis. Ia memeluk Arka erat-erat.

“I.. ibu jangan nangis. Nanti kita jalan-jalan biar ibu senang,” ujar Arka polos.

Diciuminya anak kesayangannya itu. Hanya Arka satu-satunya yang selalu ada untuk dirinya. Tuhan sungguh bermurah hati menghadirkan Arka sebagai pengobat lara. Aisyah sempat berpikir apakah tadi Bara mengajak ibunya menemui Bela—but ia segera menepis pikiran itu. Ia tak mau menyakiti hatinya sendiri lebih dalam.

Semalaman Aisyah tak bisa tidur memikirkan semuanya.

Pagi-pagi sekali, setelah salat subuh, Aisyah bergerak cepat. Memasak, membersihkan rumah, melakukan apa saja untuk mengalihkan pikiran.

Bara yang sudah bangun sejak tadi duduk sarapan dengan santai tanpa mengajak istrinya makan bersama.

Aisyah melangkah mendekati meja makan dan duduk di sebelah suaminya. Dengan tangan gemetar, ia memberanikan diri berkata pelan:

“Mas… aku mau kita cerai.”

Bara mendadak menoleh tajam. “Apa katamu? Cerai? Kamu pikir kalau aku ceraikan kamu, Ayah tidak akan mencabut namaku dari hak waris? Kamu ini mikir tidak?”

Aisyah menunduk. “Tapi aku tak sanggup kalau harus berpoligami, Mas. Biar aku bantu bicara pada Ayah, supaya Mas Bara bisa menikah dengan Mbak Bela.”

“Tidak segampang itu,” jawab Bara dingin. “Cepat kemasi barang-barang dan bajuku. Hari ini aku mau akad dengan Bela.”

Bara bangkit menuju kamar tanpa menoleh. Namun langkahnya berhenti sejenak.

“Jangan lupa kemasi beberapa bajuku yang akan kubawa ke rumah Bela nanti siang,” katanya lagi.

Aisyah mengangguk sambil menangis tersedu. Begitu berat nasib yang harus ia jalani. Hidup sebatang kara, tak punya sanak saudara lagi. Hanya Arka yang ia miliki.

Saat hendak membereskan piring, Arka sudah bangun. Aisyah menggendongnya menuju kamar, memandikan, lalu membawanya ke ruang keluarga.

“Arka anak ganteng, anak baik. Tidak boleh rewel ya. Main dulu, Ibu mau bersih-bersih,” katanya sambil memberikan susu formula. ASI-nya sudah tidak keluar sejak Arka usia lima bulan. Mungkin pengaruh pikiran dan keadaan.

Aisyah berhemat sebaik mungkin. Uang bulanan dari Bara tak banyak. Ia pun sering bekerja online untuk menabung sedikit demi sedikit. Ia memang tidak memiliki warisan apa-apa kecuali rumah peninggalan orang tuanya. Aisyah anak tunggal.

Tiba-tiba Bara berteriak dari kamar.

“Aisyah! Cepat kemasi barang-barangku! Sudah hampir jam sembilan!”

“Iya, Mas. Sebentar.”

Aisyah menatap Arka. “Arka, kamu di sini dulu ya. Ibu bantu Ayah.”

Arka mengangguk sambil terus bermain mainannya—mainan yang dulu Aisyah beli dari hasil jualan online. Ada juga beberapa mainan lain pemberian Bara. Walau Bara tak pernah mengajak Arka bermain, setidaknya ia masih mau membelikannya mainan. Entahlah, hatinya kadang baik, kadang dingin, kadang menyakitkan.

Aisyah menuju kamar. Dilihatnya Bara sedang memakai kemeja putih dan celana hitam— sudah siap menuju akad.

Aisyah menahan sesak di dada. Ia segera mengemasi baju-baju Bara.

“Bawakan aku beberapa baju dan keperluanku.”

“Iya, Mas.”

Walau sakit hati, ia tetap melakukannya. Dari awal, hanya Aisyah yang menerima perjodohan ini, karena ia memang sudah menyimpan rasa pada Bara sejak dahulu.

Tak lama, Aisyah selesai mengemasi semuanya. Bara tiba-tiba memberi amplop berisi uang.

“Ini uang bulananmu. Jangan boros.”

Aisyah mengangguk pelan. Bara mengambil koper itu.

“Aku pergi dulu. Jaga rumah baik-baik.”

Tanpa kata maaf. Tanpa menatap lama. Tanpa mencium anaknya. Ia hanya memandang Arka sekilas sebelum keluar.

Aisyah melihat semuanya dari depan pintu kamar—Arka tidak melihat ayahnya pergi. Anak itu tetap sibuk dengan mainannya.

Betapa malang hidup Aisyah dan Arka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernikahan Penuh Luka   10

    Aisyah memasangkan jaket untuk Arka. Angin sore berembus pelan, membawa hawa dingin dari awan gelap yang menggantung rendah. Arka memeluk pinggang ibunya begitu motor bergerak keluar dari halaman rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Aisyah berusaha fokus pada jalanan. Namun pikirannya dipenuhi suara Bara—bentakan, tuduhan, dan perintah pulang yang seolah tak pernah berhenti menghantuinya. Setengah jam kemudian, Aisyah dan Arka tiba di rumah. Rumah itu terasa dingin dan kosong—seperti biasa. Belum sempat melepas helm, ponsel Aisyah bergetar. Bara menelepon lagi. Aisyah menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Waalaikumsalam, Mas. Aku baru sampai rumah.” Dari seberang, suara Bara terdengar ketus. “Lama banget. Kamu dari rumah teman atau dari mana sebenarnya?” Aisyah menunduk. “Iya, Mas… dari rumah teman.” “Hm.” Bara mendengus. “Kemarin kamu bilang Arka sakit. Jadi sudah sembuh? Atau kamu cuma cari perhatian?” Aisyah terhenyak. Hatinya perih, tapi ia tetap menjawab

  • Pernikahan Penuh Luka   9 kepulangan Arka

    “Dokter, boleh saya meminta nomor telepon dokter?” Dokter Aldi yang sedang bercanda dengan Arka segera menoleh dan melihat ke arah Aisyah. “Boleh.” Dokter Aldi mencatatkan nomor teleponnya ke ponsel Aisyah. “Terima kasih, Dok,” ucap Aisyah. Dokter Aldi tersenyum dan mengangguk. Bara yang lelah dengan pikirannya tertidur hingga sore hari. Perut yang keroncongan membangunkannya. Ia bangun dan membuka kulkas. Isinya hanya bahan seadanya dan roti tawar. Bara membuka lemari dapur dan menemukan beberapa bungkus mi instan. Sempat terlintas sesuatu di benaknya, tetapi segera ia tepis pikiran itu. Disambarnya sebungkus mi instan dan ia memasaknya, menambahkan telur dan sedikit sayur sebagai pelengkap. Setelah matang, Bara segera menyantapnya. Selesai makan, Bara mengambil ponsel di saku celananya. Ia melihat pesan yang dikirimnya kepada Aisyah. Pesan itu sudah terbaca. Bara mengumpat dan memaki Aisyah. “Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Bisa-bisanya dia baca pesanku tapi

  • Pernikahan Penuh Luka   8.Arka sembuh

    "ibu dimana yah?" "ibu biasa bikin kue di dapur." pak Sofyan memberi tau Bara.Bara segera berlalu dari hadapan sang ayah yang tengah asik membaca koran. "Bu?" "eh Bara,kenapa sayang?" Bu Indah menghampiri sang anak yang duduk di meja makan dekat sang ibu yang sedang membuat kue kastengel. "Aisyah pergi dari rumah."Bara memberi tahu Bu Indah. "kamu tahu sendiri istrimu itu memang seperti itu pergi tak jelas tanpa memberi kabar.memangnya rumah itu punya dia apa.keluar masuk seenaknya." "Bu pelankan suaramu nanti di dengar ayah." "biar,biar ayahmu dengar jika menantu kesayanganya itu tak baik." Bara serba salah bercerita sama ibunya juga tak menyelesaikan masalah. Bara tampak bingung.tanpa berpamitan kepada sang ibu dia melangkah pergi. "lho Bar kamu mau kemana?anak itu ya.jangan sampai Bara jatuh hati pada gadis sial*n itu." Bu Indah semakin membenci Aisyah. Bara tampak kebingungan,Aisyah tak bisa lagi di hubungi bara juga tak tau no kerabat atau teman Aisyah

  • Pernikahan Penuh Luka   7 Rumah Sakit 2

    Aisyah yang tampak ragu hanya diam sejenak.Aldi yang sedikit mengerti dengan pikiran Aisyah segera mengalihkan pembicaraan.“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau memberi nomor teleponmu. Tapi kalau kamu butuh bantuan apa pun, kamu bisa datang ke sini dan cari aku. Sebisanya, aku akan bantu.”Aisyah mengangguk dan tersenyum.“Arka sudah mendingan. Kamu tidak perlu khawatir, nanti siang dia akan dicek lab.”“Apakah Arka ada kemungkinan penyakit lain, Dok?”Aisyah yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri bertanya.Dokter Aldi tersenyum.“Tidak. Seperti yang tadi saya bilang, dia baik-baik saja. Tapi lebih jelasnya nanti setelah dicek lab.”Sebenarnya dokter Aldi ingin sekali bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan karena bukan waktu yang tepat baginya.“Ya sudah, saya pamit pulang dulu karena hari ini saya ada acara. Jangan sungkan meminta bantuan pada saya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya perawat jaga.”“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya.”“Arka, Om dokter pulang. Kamu cep

  • Pernikahan Penuh Luka   6.Rumah Sakit

    Bela yang mendengar ponsel Bara berbunyi segera mengambilnya dan melihat siapa yang berani menelepon di dini hari itu. Bela terbelalak saat mengetahui Aisyah yang menelepon Bara. Aisyah juga mengirim beberapa pesan, memberi tahu bahwa Arka sakit dan ia membutuhkan biaya. Tanpa pikir panjang, Bela menghapus semua pesan serta riwayat panggilan dari Aisyah. Bagaimanapun juga, Bela tidak akan membiarkan Aisyah merasa menang. “Jangan harap kamu bisa menguasai Mas Bara, Aisyah. Karena sekarang dia sudah menjadi milikku. Walaupun aku masih istri kedua, tapi aku pastikan, akulah yang akan menjadi satu-satunya istri Mas Bara.” Ia meletakkan kembali ponsel Bara ke tempat semula, lalu kembali memeluk Bara dan memejamkan mata. Pagi pun datang. Kali ini Bela bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan untuk Bara. Ia berniat mengambil hati Bara agar beberapa hari ini Bara tidak pulang ke rumah. Jika Bara pulang, ia pasti tahu bahwa Arka sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. “Say

  • Pernikahan Penuh Luka   5.permintaan Bela 2.

    Langkah Bara terhenti. Ia segera melihat pesan masuk itu, berharap sesuatu yang penting. Namun rasa kecewa muncul ketika melihat pengirimnya ternyata hanya dari Bu Indah, ibunya. Bu Indah hanya menanyakan keadaan Bara dan Bela. Sesampainya di mall, Bela langsung menuju outlet yang ia tuju. Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan, Bela meminta Bara membelikannya perhiasan juga. Belanjaan Bela menghabiskan biaya hingga ratusan juta harga yang fantastis. Namun Bara tak mempermasalahkan. Baginya, selama Bela senang, semuanya baik-baik saja. Padahal kepada Aisyah dan Arka, ia tak pernah sekalipun seroyal ini. Setelah puas berbelanja, mereka pun pulang. Di perjalanan, Bela membuka percakapan. “Mas!” “Hmmm?” Bara menjawab sambil memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Bela dan mengecupnya singkat. “Mas kan cuma tiga hari di sini… kalau aku kangen, boleh kan aku ke rumah Mas juga?” Pertanyaan itu membuat Bara terkejut. Ia bahkan menghen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status