Share

Pernikahan Penuh Luka
Pernikahan Penuh Luka
Penulis: Lusiana

1. luka 1

Penulis: Lusiana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-25 13:53:15

“Aisyah, nanti kamu masak yang banyak dan antar ke rumah Ibu. Hari ini Ibu tidak bisa masak untuk Ayah, karena aku dan Ibu mau menghadiri undangan makan dari teman kerjaku.”

Aisyah tidak langsung menjawab karena masih sibuk membuatkan susu untuk Arka, anakku. Namun dalam pikiranku, mengapa Mas Bara tidak mengajakku? Kenapa aku masih saja berharap? Ya, meskipun akhir-akhir ini sikap Mas Bara memang berbeda padaku.

“Aisyah, kamu dengar tidak aku ngomong apa?”

Lagi-lagi Mas Bara membentakku.

Aisyah segera memberikan susu itu kepada arka yang masih berbaring di tempat tidur. Ya, aku memang tidur berdua dengan anakku saja, karena Mas Bara tak mau tidur satu ranjang denganku. Katanya dia tak mau melihatku, terlebih lagi berdekatan denganku. Tapi kenapa Aisyahbisa sampai hamil? Karena waktu aku berhubungan badan dengan Mas Bara, dia dalam keadaan mabuk. Paginya Mas Bara terkejut karena, seingat dia, dia tidur di kamarnya. Tapi sepersekian detik kemudian dia teringat apa yang dia lakukan kepadaku. Setelah kejadian itu, Mas Bara semakin membenciku. Kami tidur terpisah. Arka, anakku, sekarang sudah berumur 1,5 tahun.

Arka sudah bisa berbicara, meskipun terkadang belum begitu lancar.

“Aisyah…”

Mas Bara menghampiriku dengan raut menahan emosi, karena aku tak kunjung menjawab.

“Sssttt… Mas, pelankan suaramu. Arka baru tidur. Iya, nanti aku masak dan aku antarkan makanannya, Mas.”

Mas Bara terdiam lalu pergi mengendarai mobilnya. Dia tidak sarapan karena mungkin terburu-buru. Ya, meskipun sikapnya selalu keras padaku, dia masih peduli pada anaknya, meskipun terkadang terlihat cuek.

Aisyah melangkah keluar dan menutup pintu kamar agar Arka tidak terganggu.

Kukulangkan kakiku menuju dapur sambil menyiapkan bahan makanan. Aisyah sempat melamun. “Andai Ayah dan Ibu masih ada, mungkin hidupku tidak akan sesakit ini. Ayah, Ibu… aku sudah capek, lelah. Tidakkah kalian ingin mampir ke mimpiku agar sedikit hilang rasa rinduku? Kini Arka sudah besar. Dia yang sekarang jadi penyemangatku, Ayah, Ibu.”

Tangis Arka menyadarkanku. Aisyah segera menghampirinya. Kulihat dia sudah duduk dan menangis.

“Aduh, anak Ibu sudah bangun.”

Kugendong dia dan kubawa ke dapur untuk melanjutkan tugasku. Arka sangat anteng dalam gendonganku.

Kuselesaikan pekerjaanku dan kutata rapi di rantang.

“Beres semua. Kita antar ke rumah Kakung ya, sayang. Arka kangen kan sama Kakung?”

Arka tersenyum melihatku. Dialah penyemangatku.

Aisyah segera bersiap, memakai jilbab, dan mengambil kunci motor matic.

Karena rumah kami tidak terlalu jauh dari rumah mertuaku, tak sampai 10 menit aku sudah tiba.

Aisyah mengucap salam dan masuk ke dalam rumah.

“Assalamu’alaikum.”

Kulihat ayah mertuaku duduk santai di kursi roda di taman belakang rumah ditemani Bi Marni. Ayah mertuaku memiliki usaha properti dan toko mebel yang kini dilanjutkan oleh Mas Bara. Sebenarnya, Mas Bara punya kakak laki-laki, tetapi ketika berumur 10 tahun kakaknya meninggal karena sakit jantung yang dideritanya.

Bi Marni menghampiriku.

“Monggo, Mbak. Bapak lagi duduk santai di belakang.”

Bi Marni meraih rantang yang kubawa. Tugas Bi Marni di rumah ini hanya membersihkan rumah. Untuk urusan makanan, biasanya ibu mertuaku yang mengerjakan, karena beliau pemilih soal makanan.

Aisya menghampiri ayah mertuaku dan meraih tangannya untuk bersalaman.

“Arka salim sama Kakung.”

Ayah mertuaku terlihat senang melihat kami datang.

“Bagaimana keadaan Ayah? Apakah sudah jauh lebih baik?”

Pak Sofyan mengangguk. Dia bisa bicara, tetapi tidak terlalu jelas.

“Ayah sudah sarapan belum?” Ayah mertuaku menggeleng pelan.

Aisyah tersenyum dan langsung menuju dapur untuk menyiapkan makanan tadi. Arka yang sudah bisa berjalan, kuturunkan dari gendongan dan dia bermain dengan ayah mertuaku.

Meskipun ayah mertuaku duduk di kursi roda, Arka tetap anteng bermain dengannya.

“Biar saya bantu ya, Mbak,” ucap Bi Marni.

Aisyah mengangguk.

Bi Marni membantuku menata makanan di meja makan.

Setelah memastikan ayah mertuaku makan, aku segera berpamitan.

“Ayah, Aisyah pamit pulang ya.”

“Aisyah… maafkan Ayah ya, sudah membuat kamu terluka seperti ini.”

Aisyah tersenyum terpaksa, walaupun hatinya terasa sakit.

“Aisyah bahagia kok, Yah. Ayah jangan khawatir. Sekarang yang terpenting Ayah segera pulih dan sehat seperti sedia kala.”

Ayah mertuaku membelai jilbabku. Dia menitikkan air mata. Aku segera berpamitan agar aku sendiri tidak ikut menangis. Kulangkahkan kakiku keluar rumah mertuaku.

Di perjalanan pulang, aku mengendarai motor dengan perasaan campur aduk. Arka yang melihatku bersedih hanya diam saja. Mungkin ia bisa merasakan perasaanku.

Sesampainya di rumah, segera kutidurkan Arka di kasur. Dia tertidur selama perjalanan.

Kulihat jam menunjukkan pukul 11 siang. Aisyah segera merebahkan tubuh karena hari ini sangat melelahkan.

Tak terasa aku tertidur sampai jam 2 siang, ketika Mas Bara masuk ke dalam rumah. Dia melihatku tertidur dan langsung membangunkanku serta memarahiku.

“Heh, Aisyah! Bangun! Jadi seperti ini kerjaanmu kalau aku sedang tidak di rumah? Enak ya kamu, jadi juragan.”

Segera kubuka mataku.

“Mas, kamu sudah pulang? Maaf, aku ketiduran.”

“Enak kamu ya…”

Arka yang mendengar ayah dan ibunya berisik segera bangun dan menangis. Aku segera menenangkannya.

“Sssttt… jangan nangis, sayang.”

Bara semakin emosi. Setelah melihat Arka bangun, ia pergi ke dapur, tetapi tidak menemukan makanan apa pun di sana.

“Aisyah!”

Aisyah berlari sambil menggendong Arka yang masih terisak.

“Kamu itu seharian ngapain saja? Kenapa makanan nggak ada?”

“Maaf, Mas. Aku tadi ketiduran habis mengantar makanan ke Ayah.”

“Alasan saja kamu! Duduk! Ada yang mau aku bicarakan!”

Mendadak aku menjadi gelisah.

Tidak biasanya Mas Bara mengajakku bicara serius.

Aisyah duduk perlahan, masih menggendong Arka yang mulai terisak pelan. Jantungku berdetak lebih cepat. Mas Bara berdiri di hadapanku, kedua tangannya bersedekap, rahangnya mengeras seolah menahan sesuatu.

“Mulai hari ini…” katanya, lalu terdiam.

Aisyah menelan ludah.

Tanganku memeluk Arka lebih erat tanpa sadar.

“Ada sesuatu yang harus kamu tahu,” sambungnya, namun suaranya terdengar berbeda—lebih berat, lebih… asing.

Untuk pertama kalinya sejak lama, tatapan Mas Bara tidak sekadar marah atau benci. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuat dadaku semakin sesak.

“Apa, Mas?” suaraku bergetar.

Mas Bara memalingkan wajah, menarik napas panjang seakan sedang mempertimbangkan sesuatu yang besar. Lama sekali ia diam, sampai-sampai aku mulai gelisah sendiri.

“Mas?” ulangku lirih.

Akhirnya ia menoleh lagi.

Tatapannya menusuk, tapi bukan kemarahan.

“Aisyah…”

Ia berhenti lagi.

“…kita nggak bisa terus seperti ini.”

Dunia serasa berhenti.

Aisyah menunggu ia melanjutkan.

Namun Mas Bara justru berdiri, merapikan kemejanya, lalu berkata:

“Nanti malam, setelah Arka tidur… kita harus bicara. Serius.”

Hanya itu.

Tanpa menjelaskan apa pun, Mas Bara berbalik dan berjalan keluar kamar.

Sebelum Aisyah sempat bertanya, pintu tertutup.

Deg.

Pikiranku langsung kacau.

Apa yang ingin dia bicarakan?

Kenapa ekspresinya begitu?

Apa… dia ingin mengakhiri semuanya?

Aisyah menatap Arka yang mulai tenang di pelukanku.

Tiba-tiba rasanya udara di rumah ini jadi begitu berat.

Dan untuk pertama kalinya, aku takut menghadapi malam nanti.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Pernikahan Penuh Luka   10

    Aisyah memasangkan jaket untuk Arka. Angin sore berembus pelan, membawa hawa dingin dari awan gelap yang menggantung rendah. Arka memeluk pinggang ibunya begitu motor bergerak keluar dari halaman rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Aisyah berusaha fokus pada jalanan. Namun pikirannya dipenuhi suara Bara—bentakan, tuduhan, dan perintah pulang yang seolah tak pernah berhenti menghantuinya. Setengah jam kemudian, Aisyah dan Arka tiba di rumah. Rumah itu terasa dingin dan kosong—seperti biasa. Belum sempat melepas helm, ponsel Aisyah bergetar. Bara menelepon lagi. Aisyah menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Waalaikumsalam, Mas. Aku baru sampai rumah.” Dari seberang, suara Bara terdengar ketus. “Lama banget. Kamu dari rumah teman atau dari mana sebenarnya?” Aisyah menunduk. “Iya, Mas… dari rumah teman.” “Hm.” Bara mendengus. “Kemarin kamu bilang Arka sakit. Jadi sudah sembuh? Atau kamu cuma cari perhatian?” Aisyah terhenyak. Hatinya perih, tapi ia tetap menjawab

  • Pernikahan Penuh Luka   9 kepulangan Arka

    “Dokter, boleh saya meminta nomor telepon dokter?” Dokter Aldi yang sedang bercanda dengan Arka segera menoleh dan melihat ke arah Aisyah. “Boleh.” Dokter Aldi mencatatkan nomor teleponnya ke ponsel Aisyah. “Terima kasih, Dok,” ucap Aisyah. Dokter Aldi tersenyum dan mengangguk. Bara yang lelah dengan pikirannya tertidur hingga sore hari. Perut yang keroncongan membangunkannya. Ia bangun dan membuka kulkas. Isinya hanya bahan seadanya dan roti tawar. Bara membuka lemari dapur dan menemukan beberapa bungkus mi instan. Sempat terlintas sesuatu di benaknya, tetapi segera ia tepis pikiran itu. Disambarnya sebungkus mi instan dan ia memasaknya, menambahkan telur dan sedikit sayur sebagai pelengkap. Setelah matang, Bara segera menyantapnya. Selesai makan, Bara mengambil ponsel di saku celananya. Ia melihat pesan yang dikirimnya kepada Aisyah. Pesan itu sudah terbaca. Bara mengumpat dan memaki Aisyah. “Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Bisa-bisanya dia baca pesanku tapi

  • Pernikahan Penuh Luka   8.Arka sembuh

    "ibu dimana yah?" "ibu biasa bikin kue di dapur." pak Sofyan memberi tau Bara.Bara segera berlalu dari hadapan sang ayah yang tengah asik membaca koran. "Bu?" "eh Bara,kenapa sayang?" Bu Indah menghampiri sang anak yang duduk di meja makan dekat sang ibu yang sedang membuat kue kastengel. "Aisyah pergi dari rumah."Bara memberi tahu Bu Indah. "kamu tahu sendiri istrimu itu memang seperti itu pergi tak jelas tanpa memberi kabar.memangnya rumah itu punya dia apa.keluar masuk seenaknya." "Bu pelankan suaramu nanti di dengar ayah." "biar,biar ayahmu dengar jika menantu kesayanganya itu tak baik." Bara serba salah bercerita sama ibunya juga tak menyelesaikan masalah. Bara tampak bingung.tanpa berpamitan kepada sang ibu dia melangkah pergi. "lho Bar kamu mau kemana?anak itu ya.jangan sampai Bara jatuh hati pada gadis sial*n itu." Bu Indah semakin membenci Aisyah. Bara tampak kebingungan,Aisyah tak bisa lagi di hubungi bara juga tak tau no kerabat atau teman Aisyah

  • Pernikahan Penuh Luka   7 Rumah Sakit 2

    Aisyah yang tampak ragu hanya diam sejenak.Aldi yang sedikit mengerti dengan pikiran Aisyah segera mengalihkan pembicaraan.“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau memberi nomor teleponmu. Tapi kalau kamu butuh bantuan apa pun, kamu bisa datang ke sini dan cari aku. Sebisanya, aku akan bantu.”Aisyah mengangguk dan tersenyum.“Arka sudah mendingan. Kamu tidak perlu khawatir, nanti siang dia akan dicek lab.”“Apakah Arka ada kemungkinan penyakit lain, Dok?”Aisyah yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri bertanya.Dokter Aldi tersenyum.“Tidak. Seperti yang tadi saya bilang, dia baik-baik saja. Tapi lebih jelasnya nanti setelah dicek lab.”Sebenarnya dokter Aldi ingin sekali bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan karena bukan waktu yang tepat baginya.“Ya sudah, saya pamit pulang dulu karena hari ini saya ada acara. Jangan sungkan meminta bantuan pada saya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya perawat jaga.”“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya.”“Arka, Om dokter pulang. Kamu cep

  • Pernikahan Penuh Luka   6.Rumah Sakit

    Bela yang mendengar ponsel Bara berbunyi segera mengambilnya dan melihat siapa yang berani menelepon di dini hari itu. Bela terbelalak saat mengetahui Aisyah yang menelepon Bara. Aisyah juga mengirim beberapa pesan, memberi tahu bahwa Arka sakit dan ia membutuhkan biaya. Tanpa pikir panjang, Bela menghapus semua pesan serta riwayat panggilan dari Aisyah. Bagaimanapun juga, Bela tidak akan membiarkan Aisyah merasa menang. “Jangan harap kamu bisa menguasai Mas Bara, Aisyah. Karena sekarang dia sudah menjadi milikku. Walaupun aku masih istri kedua, tapi aku pastikan, akulah yang akan menjadi satu-satunya istri Mas Bara.” Ia meletakkan kembali ponsel Bara ke tempat semula, lalu kembali memeluk Bara dan memejamkan mata. Pagi pun datang. Kali ini Bela bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan untuk Bara. Ia berniat mengambil hati Bara agar beberapa hari ini Bara tidak pulang ke rumah. Jika Bara pulang, ia pasti tahu bahwa Arka sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. “Say

  • Pernikahan Penuh Luka   5.permintaan Bela 2.

    Langkah Bara terhenti. Ia segera melihat pesan masuk itu, berharap sesuatu yang penting. Namun rasa kecewa muncul ketika melihat pengirimnya ternyata hanya dari Bu Indah, ibunya. Bu Indah hanya menanyakan keadaan Bara dan Bela. Sesampainya di mall, Bela langsung menuju outlet yang ia tuju. Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan, Bela meminta Bara membelikannya perhiasan juga. Belanjaan Bela menghabiskan biaya hingga ratusan juta harga yang fantastis. Namun Bara tak mempermasalahkan. Baginya, selama Bela senang, semuanya baik-baik saja. Padahal kepada Aisyah dan Arka, ia tak pernah sekalipun seroyal ini. Setelah puas berbelanja, mereka pun pulang. Di perjalanan, Bela membuka percakapan. “Mas!” “Hmmm?” Bara menjawab sambil memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Bela dan mengecupnya singkat. “Mas kan cuma tiga hari di sini… kalau aku kangen, boleh kan aku ke rumah Mas juga?” Pertanyaan itu membuat Bara terkejut. Ia bahkan menghen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status