LOGINSetelah kepergian Bara, Aisyah menangis di dalam kamar Bara. Ia menatap foto Bara yang diletakkan di meja dekat jendela kamar.
“Kenapa kamu lakukan ini kepadaku, Mas? Apa salahku?” Hari menjelang malam. Aisyah masih diliputi rasa sedih yang mendalam. Tepat hari ini, Bara melangsungkan pernikahan dengan Bela. Arka yang seolah mengerti perasaan ibunya, seharian tidak rewel. Ia anteng dengan mainannya dan selalu menurut apa pun yang diminta ibunya. Setelah acara pernikahan, Bara dan Bela tidak membuat resepsi. Pernikahan itu sederhana dan hanya dihadiri keluarga inti. Bara hanya ditemani ibunya, sedangkan Bela bersama keluarganya. Kini, Bara dan Bela tinggal di apartemen pemberian ibu Bara. Bela sangat senang karena ia merasa menjadi menantu kesayangan. Walaupun statusnya hanya istri kedua dan siri, Bela tidak mempermasalahkannya. Sebentar lagi ia merasa akan menjadi nyonya Bara sepenuhnya setelah Bara dan Aisyah berpisah. Bara yang kelelahan mencoba memejamkan mata. Namun tiba-tiba ia dibuat pusing oleh permintaan Bela yang katanya ngidam ingin makan sushi jam dua belas malam. Mana ada restoran buka jam segitu? Tetapi Bara tetap menuruti permintaan Bela. “Mas, ayo. Aku ingin makan sushi. Dari pagi aku belum makan,” rengek Bela. “Memangnya kenapa kamu nggak makan? Udah jam segini, mana ada restoran yang buka, Sayang,” ucap Bara pelan. “Pokoknya aku nggak mau tahu. Kamu harus beliin aku sushi!” Bela ngambek. Ia membelakangi Bara. “Iya, iya. Ayo kamu siap-siap, kita beli,” akhirnya Bara mengalah daripada Bela marah. Keduanya mulai mencari restoran yang masih buka. Namun setelah lebih dari satu jam berkeliling, tidak ada satu pun restoran sushi yang buka. “Udah, besok aja ya kita belinya. Sekarang kita cari makan yang lain. Mau nasi goreng atau mi goreng?” tawar Bara. “Aku nggak mau! Masak aku disuruh makan nasi goreng di pinggir jalan begitu? Aku nggak mau!” Bara agak tersulut emosi, tapi ia berusaha menahan dirinya. “Terus mau gimana, Sayang? Ini sudah hampir jam dua pagi.” Bela tampak berpikir lalu berkata, “Ya udah, nggak papa sekarang nggak makan sushi. Tapi besok gantinya kamu harus beliin aku tas ini.” Ia menunjukkan gambar tas limited edition. “Oke, besok kita beli. Sekarang kita pulang ya. Aku capek.” “Oke, Mas.” Mereka pun pulang ke apartemen. Keesokan harinya, mentari pagi tampak indah. Cuacanya cerah, namun tak secerah suasana hati Aisyah. Aisyah terlihat lesu dan letih. Tatapannya kosong, pikirannya melayang tentang hidupnya yang tak pernah damai. Kata “andai” sering terlintas di benaknya. Andai ia tidak menikah dengan Bara. Andai ia tidak menerima perjodohan itu. Andai ia tidak jatuh cinta pada Bara. Semua terasa melelahkan. Sebelum Arka bangun, Aisyah segera menyelesaikan aktivitasnya. Untuk mengalihkan pikiran, ia melanjutkan pekerjaan sampingannya sebagai olshop. Ia cukup banyak memiliki teman di media sosial karena harus aktif untuk berjualan. Terkadang ada customer yang meminta dicarikan barang tertentu. Sambil menggendong Arka, Aisyah tetap bekerja—hitung-hitung rezeki untuk anaknya. Banyak tetangga menegur karena menurut mereka Aisyah sudah menjadi istri lelaki kaya. Bara pun pernah marah karena malu dengan pekerjaan Aisyah. Ia membandingkan Aisyah dengan Bela. Memang, pekerjaan Bela yang menjadi pegawai bank jauh berbeda dengan Aisyah yang penghasilannya tak menentu. Tapi Aisyah tak pernah malu. Setelah selesai bekerja, Aisyah mendadak teringat Arka. Tidak biasanya Arka bangun siang kecuali jika ia sedang sakit. Langkahnya segera menuju kamar. Saat masuk, Aisyah sempat terdiam melihat foto pernikahannya dengan Bara yang terpajang di ruang keluarga. Hatinyanya berdenyut. Setega itu Bara pada dirinya dan Arka—tidak mau melepaskan, tetapi terus menyakiti. Ia mengabaikan perasaan itu dan segera menghampiri Arka yang masih tidur. Aisyah mengusap lembut kepala anaknya. Namun betapa kagetnya ia ketika menyadari tubuh Arka panas. “Ya ampun, kamu demam, Nak.” Aisyah bergegas mengambil sirup dan baby fever medicine Arka. Ia mengecek suhu tubuh Arka lalu membangunkannya. Arka memang kalau sakit sering tidur dan jarang rewel seakan tidak ingin membuat ibunya khawatir. Arka tersenyum kecil saat melihat ibunya. Ia meminum obat yang diberikan Aisyah. Sebelum meminum obat, Aisyah menyuapinya sedikit makanan. Walaupun hanya sedikit, Arka masih mau makan. “Kamu demam, Nak. Kita cek suhu tubuhnya, ya?” Arka mengangguk. Setelah diberi obat, Arka kembali tertidur. Suhu tubuhnya mencapai 38,4°C—pantas tubuhnya panas. Aisyah membiarkan Arka tidur dan cepat-cepat membereskan pekerjaannya. Ia memutuskan memanggil kurir untuk mengambil barang dagangannya. Selesai bekerja, Aisyah kembali duduk di samping Arka. Sempat terpikir untuk mengabari Bara, namun ia mengurungkan niatnya. Ia tak ingin menambah masalah. Toh dirinya dan Arka kini bukan prioritas Bara. Di apartemen, Bara mengenakan kaos dan celana joger, sibuk dengan laptopnya. Ia melihat jam sudah menunjukkan pukul delapan, namun ia belum melihat istrinya bangun. Ia menggeleng heran. Terlintas di pikirannya—jika ia masih bersama Aisyah, jam segini ia sudah sarapan dan rumah sudah bersih, walaupun Aisyah memiliki toddler dan pekerjaan olshop. “Sayang, kamu nggak pengin bangun buatin aku sarapan?” panggil Bara. Bela membuka mata tanpa bergerak. “Mas, aku masih ngantuk. Kamu kalau mau sarapan bikin sendiri kan bisa.” Bara sedikit syok mendengar jawaban itu. Ia berdiri dan hendak membuat sarapan sendiri. Tiba-tiba Bela memeluknya dari belakang.Aisyah memasangkan jaket untuk Arka. Angin sore berembus pelan, membawa hawa dingin dari awan gelap yang menggantung rendah. Arka memeluk pinggang ibunya begitu motor bergerak keluar dari halaman rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Aisyah berusaha fokus pada jalanan. Namun pikirannya dipenuhi suara Bara—bentakan, tuduhan, dan perintah pulang yang seolah tak pernah berhenti menghantuinya. Setengah jam kemudian, Aisyah dan Arka tiba di rumah. Rumah itu terasa dingin dan kosong—seperti biasa. Belum sempat melepas helm, ponsel Aisyah bergetar. Bara menelepon lagi. Aisyah menarik napas panjang sebelum mengangkat. “Waalaikumsalam, Mas. Aku baru sampai rumah.” Dari seberang, suara Bara terdengar ketus. “Lama banget. Kamu dari rumah teman atau dari mana sebenarnya?” Aisyah menunduk. “Iya, Mas… dari rumah teman.” “Hm.” Bara mendengus. “Kemarin kamu bilang Arka sakit. Jadi sudah sembuh? Atau kamu cuma cari perhatian?” Aisyah terhenyak. Hatinya perih, tapi ia tetap menjawab
“Dokter, boleh saya meminta nomor telepon dokter?” Dokter Aldi yang sedang bercanda dengan Arka segera menoleh dan melihat ke arah Aisyah. “Boleh.” Dokter Aldi mencatatkan nomor teleponnya ke ponsel Aisyah. “Terima kasih, Dok,” ucap Aisyah. Dokter Aldi tersenyum dan mengangguk. Bara yang lelah dengan pikirannya tertidur hingga sore hari. Perut yang keroncongan membangunkannya. Ia bangun dan membuka kulkas. Isinya hanya bahan seadanya dan roti tawar. Bara membuka lemari dapur dan menemukan beberapa bungkus mi instan. Sempat terlintas sesuatu di benaknya, tetapi segera ia tepis pikiran itu. Disambarnya sebungkus mi instan dan ia memasaknya, menambahkan telur dan sedikit sayur sebagai pelengkap. Setelah matang, Bara segera menyantapnya. Selesai makan, Bara mengambil ponsel di saku celananya. Ia melihat pesan yang dikirimnya kepada Aisyah. Pesan itu sudah terbaca. Bara mengumpat dan memaki Aisyah. “Dasar perempuan nggak tahu diuntung. Bisa-bisanya dia baca pesanku tapi
"ibu dimana yah?" "ibu biasa bikin kue di dapur." pak Sofyan memberi tau Bara.Bara segera berlalu dari hadapan sang ayah yang tengah asik membaca koran. "Bu?" "eh Bara,kenapa sayang?" Bu Indah menghampiri sang anak yang duduk di meja makan dekat sang ibu yang sedang membuat kue kastengel. "Aisyah pergi dari rumah."Bara memberi tahu Bu Indah. "kamu tahu sendiri istrimu itu memang seperti itu pergi tak jelas tanpa memberi kabar.memangnya rumah itu punya dia apa.keluar masuk seenaknya." "Bu pelankan suaramu nanti di dengar ayah." "biar,biar ayahmu dengar jika menantu kesayanganya itu tak baik." Bara serba salah bercerita sama ibunya juga tak menyelesaikan masalah. Bara tampak bingung.tanpa berpamitan kepada sang ibu dia melangkah pergi. "lho Bar kamu mau kemana?anak itu ya.jangan sampai Bara jatuh hati pada gadis sial*n itu." Bu Indah semakin membenci Aisyah. Bara tampak kebingungan,Aisyah tak bisa lagi di hubungi bara juga tak tau no kerabat atau teman Aisyah
Aisyah yang tampak ragu hanya diam sejenak.Aldi yang sedikit mengerti dengan pikiran Aisyah segera mengalihkan pembicaraan.“Tidak apa-apa kalau kamu tidak mau memberi nomor teleponmu. Tapi kalau kamu butuh bantuan apa pun, kamu bisa datang ke sini dan cari aku. Sebisanya, aku akan bantu.”Aisyah mengangguk dan tersenyum.“Arka sudah mendingan. Kamu tidak perlu khawatir, nanti siang dia akan dicek lab.”“Apakah Arka ada kemungkinan penyakit lain, Dok?”Aisyah yang sedari tadi diam akhirnya memberanikan diri bertanya.Dokter Aldi tersenyum.“Tidak. Seperti yang tadi saya bilang, dia baik-baik saja. Tapi lebih jelasnya nanti setelah dicek lab.”Sebenarnya dokter Aldi ingin sekali bertanya sesuatu, tetapi ia urungkan karena bukan waktu yang tepat baginya.“Ya sudah, saya pamit pulang dulu karena hari ini saya ada acara. Jangan sungkan meminta bantuan pada saya. Kalau kamu bingung, kamu bisa tanya perawat jaga.”“Baik, Dok. Terima kasih atas bantuannya.”“Arka, Om dokter pulang. Kamu cep
Bela yang mendengar ponsel Bara berbunyi segera mengambilnya dan melihat siapa yang berani menelepon di dini hari itu. Bela terbelalak saat mengetahui Aisyah yang menelepon Bara. Aisyah juga mengirim beberapa pesan, memberi tahu bahwa Arka sakit dan ia membutuhkan biaya. Tanpa pikir panjang, Bela menghapus semua pesan serta riwayat panggilan dari Aisyah. Bagaimanapun juga, Bela tidak akan membiarkan Aisyah merasa menang. “Jangan harap kamu bisa menguasai Mas Bara, Aisyah. Karena sekarang dia sudah menjadi milikku. Walaupun aku masih istri kedua, tapi aku pastikan, akulah yang akan menjadi satu-satunya istri Mas Bara.” Ia meletakkan kembali ponsel Bara ke tempat semula, lalu kembali memeluk Bara dan memejamkan mata. Pagi pun datang. Kali ini Bela bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan sarapan untuk Bara. Ia berniat mengambil hati Bara agar beberapa hari ini Bara tidak pulang ke rumah. Jika Bara pulang, ia pasti tahu bahwa Arka sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. “Say
Langkah Bara terhenti. Ia segera melihat pesan masuk itu, berharap sesuatu yang penting. Namun rasa kecewa muncul ketika melihat pengirimnya ternyata hanya dari Bu Indah, ibunya. Bu Indah hanya menanyakan keadaan Bara dan Bela. Sesampainya di mall, Bela langsung menuju outlet yang ia tuju. Setelah mendapatkan barang yang ia inginkan, Bela meminta Bara membelikannya perhiasan juga. Belanjaan Bela menghabiskan biaya hingga ratusan juta harga yang fantastis. Namun Bara tak mempermasalahkan. Baginya, selama Bela senang, semuanya baik-baik saja. Padahal kepada Aisyah dan Arka, ia tak pernah sekalipun seroyal ini. Setelah puas berbelanja, mereka pun pulang. Di perjalanan, Bela membuka percakapan. “Mas!” “Hmmm?” Bara menjawab sambil memegang kemudi dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam tangan Bela dan mengecupnya singkat. “Mas kan cuma tiga hari di sini… kalau aku kangen, boleh kan aku ke rumah Mas juga?” Pertanyaan itu membuat Bara terkejut. Ia bahkan menghen







