Mereka mendekati tikungan dan Akhtar membelokkan mobilnya bukan ke arah jalan pulang. Meski sudah lima tahunan meninggalkan tanah air, tetapi Arisha masih paham betul arah jalan di daerah ini. “Mas, kita mau ke mana?”
Jika Akhtar menjawab, bukan kejutan namanya. Maka pria itu pura-pura tuli. Benak Akhtar masih merekam dengan jelas tentang keberanian Arisha mendiskusikan hal yang cukup sensitif kepada Kiai Yassir saat mereka sedang rapat evaluasi di rumah makan dengan konsep lesehan. Sebuah evaluasi singkat untuk membahas hasil pertemuan dengan Kiai Ahmad yang berjalan lancer. Nyaris tanpa hambatan.
“Ngapunten, Yai. Jika para tokoh mendapatkan bantuan berupa mobil bagi yang bersedia mendukung Panjenenngan, lantas bagaimana dengan masyarakat yang mempunyai suara untuk menentukan siapa yang menang? Apakah mereka juga akan mendapatkan sesuatu jika memilih Panjenengan?”
“Maksud Ning Arisha masyarakat dikasih uang jika memilih saya
“Tentu saja.” Akhtar mulai kehilangan selera makannya.“Penguasa di wilayah ini,” tegas Arisha. Wilayah ini nanti akan menjadi bagian dari tanggung jawab Akhtar jika ia berhasil memenangkan pilkada.“Apakah kamu mau bilang, jika Kiai Yassir dan aku terpilih di pilkada lantas kegiatan yang dilakukan di hotel-hotel di kawasan ini juga akan menjadi tanggung jawab kami?”Akhtar balik memandang istrinya, memastikan dugaannya tepat.Arisha mengangguk. Ia memutuskan tidak mengulas balik obrolan mereka karena Akhtar sudah pasti bisa mencernanya.“Berat dong kalo gitu konsepnya.” Akhtar mengembuskan napas kasar. Nasi goreng yang masih tinggal seperempat bagian ia letakkan di atas pangkuan.“Bukannya jadi pemimpin memang berat. Dulu saja para sahabat berebut untuk menghindar. Padahal mereka saat itu memimpin dalam sistem yang Islami. Nah sekarang, sudah sistemnya enggak berdasarkan Islam, malah
Sosok bersahaja, berjubah putih didampingi sang istri dengan gamis warna hitam mengingatkan Arisha pada foto keluarga yang dipajang Salwa –adik tingkatnya di Al-Azhar- di meja kamarnya.Arisha menenangkan dirinya, semoga pertemuan kali ini hanya fokus pada urusan dukungan Pilkada. Tidak mengulas masalah pribadinya selama di Mesir.Kiai Yassir mengucapkan salam kepada Ustaz Ilyas yang berdiri menyambutnya dengan senyuman. “Wa’alaikumussalam, mari masuk Pak Kiai. Monggo pinarak.” Ustaz Ilyas juga mempersilakan tamu lainnya untuk duduk. Rumah yang dikonsep lesehan itu terasa hangat meski ada di daerah kaki gunung. Lantai yang dibuat dari kayu pinus menetralisir hawa dingin. Ditambah lagi karpet di atasnya beserta bantal-bantal untuk bersandar. Aroma kekeluargaan terasa begitu kental. Dibandingkan dengan ruang tamu dengan kursi ukuran besar berbahan kayu jati penuh ukiran. Malah terkadang mengesankan keakuan pemiliknya. Sehingga membuat jarak antara orang yang bertandang dan tuan rumah.
“Tidak apa-apa, Pak Samsul. Namanya juga pengantin baru. Baru dua hari, ‘kan?” sahut Ustaz Ilyas ikut meledek Akhtar. Ia bersikap demikian agar Pak Samsul dan timnya tidak merasa bersalah dengan tingkah calon wakil bupati yang akan mereka usung itu. Pemakluman dari Ustaz Ilyas justru membuat pipi Arisha makin merona. Ia sampai sedikit menggeser duduknya dari Akhtar. Kini ia baru mengetahui sisi lain Akhtar, tidak sabaran. Setelah membetulkan kopiahnya, lelaki yang sebagian rambutnya berwarna putih keperak-perakan itu mulai kembali bicara. “Bismillah, saya coba jawab tawaran dari Kiai Yassir, inggih. Sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kunjungan Panjenengan semua. Jujur saya merasa terhormat didatangi orang-orang penting, saudara seperjuangan untuk mendakwahkan Islam di wilayah Mojoasri ini.” Ustaz Ilyas sedikit menjeda untuk mengambil napas. Suasana berangsur hening. “Adapun terkait tawaran menjadi bagian dari tim sukses untuk mendukung pencalonan Panjenengan berdua, mohon m
Baru sekitar lima menit mereka saling berdiam diri, ternyata Arisha yang tidak tahan. Mungkin karena ia pertama kali berumah tangga sehingga belum punya pengalaman berkonflik dengan pasangan. “Mas … tolong jangan seperti ini. Panjenengan maunya apa?” Akhtar masih bertahan bersandar di jendela. Mendengar intonasi suara Arisha melembut, Akhtar membalikkan badan. Dalam pandangan Akhtar, emosi Arisha membuat kulit dan sinar matanya bercahaya. Suatu perasaan yang manis yang sekilas tampak kerapuhan, tetapi justru mencerminkan kekuatan perasaannya. “Sudah kukatakan sejak awal, tolong terbukalah. Jawablah pertanyaanku tadi.” “Hubungan apa yang Panjenengan maksud, Mas? Sudah kukatakan aku tak punya hubungan apa pun dengan sahabatmu itu. Kami bahkan bertemu langsung hanya dua kali. Ketika ia mengantarkan Salwa ke apartemen tempatku tinggal. Selebihnya kami tak pernah berinteraksi. Ia beberapa kali memberiku makanan dan baju, itu pun dititipkan le
Lantai marmer sepanjang lorong hotel terasa begitu dingin. Ditambah pagi ini mentari seolah enggan menampakkan diri. Usai sarapan, Akhtar dan Arisha hendak balik menuju kamar. Saat menaiki lift, hanya ada mereka berdua. Kemudian lengan pria itu memegang erat Arisha di sampingnya. “Pagi ini kita free. Tidak ada jadwal kunjungan silaturahmi ke para tokoh.” Akhtar tetap melingkarkan lengannya di pinggang ramping Arisha saat mereka sudah keluar dari lift. “Kalo begitu kita ke abah sekarang saja.” Arisha sudah tak sabar ingin segera bertemu kedua orang tuanya beserta keponakan yang kini juga menjadi anak sambungnya. Namun, keinginan itu sepertinya harus ia redam terlebih dahulu begitu memasuki kamar dan pintu telah tertutup, Akhtar merarik tubuhnya dalam pelukan dan menelusuri bentuk bibir Arisha dengan ibu jari. “Tapi kita belum menikmati kolam kecil di balkon itu.” Telunjuk yang tadi menyapu bibir Arisha kini mengarah ke luar jendela. “Ini masih pagi, airnya pasti dingin,” sanggah Ar
Langit terlihat semakin gelap saat Akhtar dan Arisha melakukan perjalanan pulang. Matahari semestinya masih menemani mereka di penghujung hari Selasa ini andai cuaca cerah. Umi Anis menyarankan mereka untuk bermalam, namun itu tidak mungkin dilakukan sebab Akhtar ada agenda rapat bersama tim suksesnya nanti malam. Keisya pun belum berhasil mereka ajak pulang kali ini sebab Umi Anis bersikeras menunggu hari Sabtu. Hujan lebat yang mengiringi perjalanan mereka menjadikan mobil bergerak dengan kecepatan lambat. Arisha merasa Akhtar bersikap dingin kepadanya semenjak mereka berada di dalam mobil. Namun perasaan itu ia tampik, sebab rasanya tidak ada alasan suaminya itu bersikap demikian. Perempuan itu tidak tahu jika Akhtar sempat mendengarkan obrolannya dengan Kiai Salman. Akhtar diam sebab merasa masih ada banyak hal yang belum Arisha bagi kepadanya. “Mas, cuacanya sepertinya akan terus begini sampai nanti malam.” Tak tahan terus saling membisu, Arisha membuka obrolan.“Semoga nanti t
“Apa, mundur?” tanya Akhtar heran begitu mendengar jawaban istrinya. Akhtar seketika bangun dari pangkuan Arisha. “Kamu enggak lagi bercanda, ‘kan?”“Mboten, Mas.”“Tapi kenapa? Apa ini permintaan abah?” Akhtar masih teringat saat menghadap Kiai Salman guna meminta pertimbangan. Kala itu Hasna masih bersamanya. Mertuanya itu memberikan banyak nasihat tentang rencananya yang akan maju sebagai wakil calon bupati. Petuahnya bersifat umum, namun Akhtar dapat menilai jika Kiai Salman lebih condong untuk menyarankan dirinya menolak tawaran Kiai Yassir.“Bukan. Ini murni keinginanku, Mas.” “Aku masih belum paham, maksudmu gimana. Keinginan yang bagaimana? Bukannya kamu sudah ngerti sebelum kita menikah kalo aku akan maju dalam pilkada tahun ini?”Arisha mengangguk, dengan tatapan ke arah tembok. Wanita itu tak berani menatap suaminya. Ada amarah yang energinya bisa ia rasakan meski berjarak beberapa hasta.“Lantas, kenapa kamu tiba-tiba memintaku mundur, Dik?”“Ini tidak tiba-tiba, Mas. Aku
Akhtar terbangun keesokan harinya dengan kepala berdenyut-denyut. Yang pasti bukan karena ia tidur di sofa. Melainkan karena sikap Arisha yang mendadak memintanya mundur dari pencalonan pilkada. Pria itu merasa tertipu. Mulanya ia kasihan dengan Arisha karena terjebak dalam pernikahan yang mungkin bukan impiannya. Akhtar yakin, sosok lulusan Al-Azhar Mesir itu pasti punya asa atas masa depannya. Termasuk pasangan hidup. Awalnya, Akhtar merasa jahat sebab ia telah merampas mimpi-mimpi itu demi memenuhi ambisinya. Ambisi untuk tetap mendapatkan dukungan suara dari Kiai Salman, juga demi kenyamanan bayinya pada sosok ibu baru.Namun, rasa bersalah itu perlahan terkikis saat Arisha mulai bersikap manis bahkan terus memancingnya sebagai seorang lelaki, seorang suami, agar menunaikan nafkah batin untuk sang istri. Bahkan, ia merasa Arisha juga menginginkannya. Memang tidak ada pengakuan secara lisan dari istrinya itu, tetapi bahasa tubuhnya cukup menunjukkan penerimaan itu. Lalu perdebat