Share

3 Pillow Talk

“Kak Musthofa,” gumam Arisha. Ia cepat-cepat menutup mulutnya agar tak ada yang mendengar apa yang keluar dari lisannya barusan.

            Melihat Arisha syok atas kehadirannya, Musthofa melonggarkan pelukan Akhtar. Sehingga dua pria itu hendak duduk kembali di karpet motif bunga mawar merah.

            Saat hendak mengambil posisi duduk, Akhtar baru menyadari jika istrinya berdiri di belakangnya. “Duduk sini, Dik.” Akhtar meraih pergelangan tangan Arisha, seolah menunjukkan kepada Musthofa bahwa hubungan dengan istri barunya layaknya pengantin pada umumnya, sudah saling menautkan rasa.

            “Tamunya ternyata temanku pas mondok dulu. Musthofa namanya, barusan lulus juga dari al-Azhar,” ucap Akhtar memperkenalkan Musthofa kepada Arisha, “atau jangan-jangan kalian sudah saling kenal?”

            “Mboten, Mas,” sahut Arisha cepat, menggunakan panggilan ‘mas.’

Otomatis panggilan itu menciptakan lengkungan di bibir Akhtar. Istrinya pandai menjaga harga dirinya sebagai suami di mata lelaki lain. Abah Mansur benar-benar tak salah pilih, pikirnya.

            Kini Musthofa menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, perempuan yang ia khawatirkan terpaksa menjalani pernikahan yang dirumorkan beberapa teman dekatnya sebagai pernikahan politis, tak terbukti sudah. Lelaki beralis tebal itu hanya tidak rela jika Arisha tidak bahagia. Nyatanya apa yang ia risaukan tidak terbukti. Ia harus mengakui, aura Akhtar sebagai seorang pria memang sangat memesona. Setiap wanita pasti akan merasa aman di bawah penjagaannya. Terlihat sekali bagaimana Akhtar begitu melindungi. Istrinya hendak duduk saja leleki itu menuntun tangan wanitanya. Pelajaran berharga tentang contoh memperlakukan istri yang tidak pernah ia dapati dalam kitab fikih mana pun.

🍂🍂🍂

                                    

            Tepat pukul sembilan malam akhirnya sepasang pengantin itu masuk ke kamar. Semua tamu sudah pulang. Rumah kediaman Kiai Salman kembali tenang. Yang ada tinggal suara kodok mengorek dari kubangan kolam di belakang rumah. Hujan yang menyapa tanah bakda Isya tadi membuat hewan amfibi yang mengalami metamorfosis sempurna itu berbahagia. Makanya mereka bernyanyi saling bersahutan.

            Arisha sudah berganti baju tidur bahan sutra dengan potongan yang tidak mengeskplore bentuk tubuh. Panjang dress itu di bawah lutut dengan lengan pendek dan bentuk kerah yang tidak menampakkan belahan dada.

            “Sayang sekali Musthofa tidak mau bermalam di sini, padahal aku masih ingin bicara banyak hal dengannya. Terutama tentang rencananya melamar gadis lulusan al-Azhar yang juga anak Jatim. Barangkali kita bisa membantunya.” Akhtar meluapkan rasa kecewanya sebab tidak berhasil membujuk sahabat lamanya untuk bermalam. Tentu saja Musthofa menolak tawaran itu, jika tidak, matanya tidak akan bisa terpejam membayangkan dirinya kalah cepat meminang gadis impian.

            Arisha seketika terbatuk mendengar penjelasan Akhtar. “Apa teman Panjenengan itu bilang siapa nama gadis yang ingin dipinangnya, Gus?”

            “Belum, katanya nanti jika sudah mendekati hari H-nya.”

            “Oh …” sahut Arisha yang kini duduk di ranjang menyejajari Akhtar. Keduanya sama-sama bersandar di kepala dipan.

            “Kenapa?” Tanya Akhtar sambil mengamati garis wajah Arisha. Ia ingin menemukan perbedaan dengan bentuk wajah Hasna yang sekilas adik kakak itu memang sangat mirip. Itu ia lakukan agar dirinya mampu memperlakukan Arisha sebagai Arisha, bukan Hasna.

            “Hm … mboten, Gus. Kali saja saya kenal. ‘Kan katanya lulusan Al-Azhar juga.”

            “Oh, iya. Nantilah aku tanyakan lagi detailnya.”

            Kini sepasang pengantin itu terdiam. Keduanya sama-sama canggung apa yang akan mereka lakukan di malam pertama pernikahan. Jangan berpikir keduanya akan menjalankan hubungan suami istri begitu saja. Layaknya sepasang pengantin yang sudah saling jatuh hati, sedangkan Akhtar dan Arisha, keduanya belum mengetahui perasaan satu sama lain. Kesepakatan pernikahan mereka, semuanya atas perantara kedua keluarga.

            Arisha paham, ia dipilih oleh keluarganya Akhtar karena mengharap dukungan dari abahnya. Sosok ulama yang selama ini tidak pernah terang-terangan menyatakan dukungan kepada calon penguasa baik tataran desa hingga negara. Itulah yang menjadikan Kiai Salman keberadaannya dapat diterima semua pihak, sebab tidak terkotak oleh pilihan politik yang sifatnya hanya lima tahun sekali.

Sang abah hanya bilang jika tidak ingin Keisha –cucu pertamanya– diasuh oleh wanita lain. Itulah alasan Kiai Salman menerima tawaran keluarga Kiai Mansur. Saat ditanya Arisha soal konsekuensi dukungan suara ketika Akhtar benar-benar maju dalam Pilkada, sosok ulama berusia 58 tahun itu bungkam.

            “Baik, Abah, Arisha menerima perjodohan ini demi Keisha. Tapi, jangan halangi Arisha tentang pandangan yang berbeda dengan Gus Akhtar soal ulama menjadi penguasa.” Komitmen Arisha kepada abahnya kembali terngiang dalam benak. Prinsip yang ia yakini itu bukan tanpa alasan. Selama tinggal di Mesir, ia terus mengamati perkembangan politik negera-negara dengan basis penduduk Islam terbesar. Tidak terkecuali tanah kelahirannya. Jadi, meskipun tinggal di negara bekas Fir’aun berkuasa, ia tidak ketinggalan perkembangan politik negara bekas Kerajaaan Majapahit menancapkan kekuasaannya.

            Dalam pandangan Arisha, sistem politik saat ini tidak kondusif bagi ulama untuk terjun langsung menjalankan tampuk kekuasaan. Harapan dan tekad menyatukan kekuatan dalam diri Arisha laksana gelombang pasang, menguak dari dalam dirinya, menolak untuk membiarkan sesuatu berjalan tidak sesuai keyakinannya. Apalagi jika hal itu akan dilakukan oleh orang yang kini menjadi imamnya. Napasnya tercekat di tenggorokan, mengangkat dadanya. Gerakan itu menarik perhatian Akhtar saat ia menoleh ke samping.

“Gus …” sapa Arisha memecah keheningan.

“Hm … ya.” Pria itu sedikit gugup, khawatir Arisha mengetahuinya saat ia memandangnya diam-diam.

“Sudah menjadi rahasia umum jika Panjenengan memutuskan menikahi saya karena berharap abah memberi dukungan saat Pilkada nanti, meski pengumuman resmi kontestan Pilkada belum ada.” Arisha tetap dalam pandangan lurus, menatap kaligrafi dengan lafaz Laa ila ha illallahu Muhammadurrasulullah yang menempel di dinding kamar.

Akhtar sejenak terdiam. Lalu ia kembali teringat mendiang istrinya, wanita yang cantik. Tipe wanita penurut yang pasti didamba pria mana pun, tetapi adik perempuannya memiliki kekuatan feminin dan kecerdasan yang lebih misterius. Tampak dari sorot matanya yang tajam, yang diam-diam Akhtar amati tanpa sepengetahuan Arisha. Seperti saat ini.

“Karena kita sekarang sudah jadi suami istri, akan kusampaikan semuanya, tak perlu ada yang ditutup-tutupi. Aku pun berharap kamu bisa terbuka soal apa pun, Dik.” Akhtar mengawali penjelasan dengan prinsip yang bersifat umum.

“Tentu, Gus. Saya akan terbuka, makanya masalah ini saya utarakan sekarang.”

“Baik, jujur aku pribadi belum ada niat menikah lagi dalam waktu dekat. Rasanya terlalu cepat menggantikan Hasna setelah wafatnya yang baru tiga bulanan lalu.”

Ketika menangkap nada suara Akhtar terdengar serak, Arisha menyadari kakaknya itu masih mendapat tempat di hati suaminya, yang kini menjadi suaminya juga. Pada detik ini ia seolah ingin protes kepada takdir. Kenapa ia selalu mendapat barang bekas kakaknya?

Dulu sewaktu kecil, sudah menjadi hal biasa ia memakai baju bekas Hasna. Alasan Umi Anis, bajunya masih bagus, sayang jika dibuang. Tentu saja selalu masih bagus. Sebab Umi Anis memang mementingkan kualitas saat membeli barang apa pun, meski harus merogoh harga yang lebih mahal. Prinsip itu dinilai lebih hemat, sebab barang lebih tahan lama meski membayar lebih mahal di awal. Namun, dampak bagi Arisha, ia jarang sekali dibelikan baju baru.

Pun sekarang, untuk teman hidup yang akan menemaninya menyempurnakan separuh agama, ternyata juga mantan suami kakaknya. Arisha tersenyum getir, menertawakan takdir hidupnya yang selalu mendapat barang bekas sang kakak.

“Maaf jika kata-kataku barusan membuatmu tak nyaman.”

“Mboten, Gus. Itu bagus malahan, artinya Panjenengan tipe suami yang tak mudah pindah ke lain hati,” sahut Arisha diiringi rasa heran.

Apakah rona mukanya terlihat jutek sehingga Akhtar harus meminta maaf? Entah mau mengakui atau tidak, pernyataan Arisha barusan juga menegaskan bahwa ia harus bersaing dengan kakaknya yang telah tiada untuk mendapatkan tempat di hati Akhtar. Sepertinya bukan perkara mudah.

.

.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status