Share

2 Rasa Bersalah

Raja siang perlahan terbenam di balik pepohonan pinus yang terbentang di gunung Arjuna. Sementara pria yang sekarang sudah melepas status dudanya itu, kini berdiri dalam diam di ambang jendela. Angin senja pada ketinggian 3.339 meter di atas permukaan air laut meniup rambut pria itu. Sosoknya yang keras dan visioner, membuatnya dilirik Kiai Yassir untuk mendampingi dalam bursa pemilihan kepala daerah Kabupaten Mojoasri.

Pikiran Akhtar kembali pada momen sakral beberapa jam yang lalu. Saat ia dengan refleks memcium kening Arisha tanpa rasa canggung sediki tpun. Perempuan yang dilihatnya saat itu menjelma sebagai Hasna. Andai kesadarannya penuh bahwa pengantin wanita yang mencium tangannya adalah adik mendiang sang istri, tentu masih ada rasa gugup menyelimuti diri.

Masih memandang keluar jendela, pria itu merutuki keadaan. Bagaimana mungkin Arisha menyediakan kamar ini untuk malam pertama mereka. Ruangan yang sama, yang dihabiskan Akhtar tiga tahun silam bersama Hasna. Selain paras Arisha yang mirip dengan Hasna, kamar ini makin mengusik pikiran Akhtar. Bayangan tentang Hasna yang menyuguhkan wedang jahe bercampur perasan jeruk nipis melintas dalam benak. Bahkan aromanya kini mulai tercium hidungnya.

Akhtar merasa kenangan manis itu kini menyiksa dirinya. Ia belum bisa melepaskan kerinduan pada mendiang istrinya. Sementara ia sudah menikahi perempuan lain sekarang. Semua karena ia terlanjur menyepakati tawaran Kiai Yassir. Bukan. Bukan tawaran maju sebagai calon wakil bupati yang ia sesalkan. Sebab bagi Akhtar itu adalah jalan mengabdikan diri untuk terjun mengurusi rakyat. Melainkan sosok yang ia nikahi malah mengingatkannya pada Hasna.

“Gus, monggo diminum wedang jahenya.”

Suara lirih itu, memaksa Akhtar memutar kepalanya 90 derajat ke arah samping. Lalu didapatinya secangkir wedang di atas meja kecil di sebelah dipan. Akhtar berdecak kesal pada dirinya. Kenapa ia sampai tak menyadari kehadiran istrinya di kamar ini? Berarti aroma wedang jahe yang tadi menusuk indra penciumannya memang benar-benar ada. Bukan halusinasi kenangan bersama Hasna tiga tahun silam.

“Iya, makasih.” Akhtar lalu bergerak menuju meja kecil. Ia duduk di bibir ranjang dan meraih cangkir itu. Disesapnya perlahan wedang jahe dengan kepulan uapnya. Minuman yang cocok di daerah dataran tinggi dengan suhu yang membuat badan menggigil di malam hari. Akhtar memejamkan mata. Wedang jahe yang sama, ada campuran jeruk nipis hanya kali ini terasa sedikit lebih manis. Bukan manis gula, tetapi lebih terasa manis dari sari bunga.

Sementara itu, Arisha yang masih berdiri di dekat pintu menelan saliva melihat Akhtar seperti mengeja minuman buatannya. Ia bersiap menuai protes jika racikan wedangnya terlalu asam atau komposisi lainnya yang kurang pas.  

“Alhamdulillah, enak,” ucap Akhtar usai menelan dua kali tegukan.

Arisha melepaskan napasnya lega. Ujian pertamanya terlewati sudah. Kini ia hendak kembali ke dapur. “Syukurlah kalo gitu, saya permisi,” pamit Arisha. Ia segera membalikkan badan tanpa menunggu persetujuan Akhtar.

“Tunggu!” Seruan itu menghentikan langkah dan tangan Arisha yang sudah memegang gagang pintu. “Mau ke mana? Bahkan kita belum sempat berbicara tentang ki-kita,” ucap Akhtar terbata.

Biar bagaimana, pria itu sedikit ada perasaan insecure dengan gadis lulusan tafsir Al Azhar Mesir itu. Sementara ia sendiri baru berkesempatan menimba ilmu di pondok pesantren dan perguruan tinggi lokal. Masih belum terjawab rasa penasaran Akhtar kenapa gadis di hadapannya ini tak menolak saja tawaran untuk menikahi dirinya. Andai hal itu dilakukan Arisha, tentu tak ada rasa bersalah dalam diri Akhtar karena dianggap telah menjebak seorang gadis dalam pernikahan yang sarat akan kepentingan politis. Kemudian ia bisa menikah dengan siapa pun, selain Arisha –sosok yang parasnya terus mengingatkannya pada Hasna.

“Di belakang masih repot, Gus. Masih ada tamu, tetangga pada berdatangan. Nanti malam saja kita bicaranya,” tolak Arisha. Akhtar mengangguk pelan. Ia tak dapat membantah argumen Arisha kali ini.

Menurut ketentuan, tamu udangan hanya sampai pukul tiga sore. Namun, masyarakat di pedesaan mempunyai karakter yang berbeda. Meski keluarga Kiai Salman tidak mengundang mereka karena pertimbangan masih suasana pandemi, tetap saja tetangga sekampung berdatangan. Mungkin mereka merasa sungkan. Oleh karena kemarin malam mendapat kiriman sekotak nasi dan kue –ganti acara tasyakuran walimah urs yang biasanya mengundang bapak-bapak.

🍂🍂🍂

 “Ning, jangan lupa diminum jamunya!” Umi Anis menyodorkan sebotol jamu macan kerah dengan bahan daun sirih, jambe, bunga kenanga dan campuran bahan alam lainnya. Wanita itu ingin putrinya melalui malam pertama dengan kondisi fit.

“Jamu apa ini, Umik? Kok ada wangi-wanginya,” protes Arisha saat isi jamu itu ia pindahkan dalam gelas. Campuran bunga kenanganya menimbulkan aroma wangi.

“Sudah diminum saja, biar kamu tetap bugar, Ning. Pasti capek ‘kan menyiapkan pernikahan yang mendadak ini?” Senyum terukir di wajah Umi Anis. Ibu empat orang anak itu ingin memberikan yang terbaik bagi Arisha. Meski ia tahu, putrinya pasti telah mengobarkan sebagian mimpinya demi pernikahan ini.  

Dengan hidung dijepit kedua jari -telunjuk dan jempol tangan kirinya- Arisha meneguk jamu kewanitaan itu. Sebenarnya ia tak tahan dengan minuman beraroma wangi bunga itu. Namun, gadis itu tak ingin murka dengan titah uminya. Tepat pada tegukan keempat, isi gelas itu tandas.

“Ning, ada tamu,” ucap perempuan berkerudung maroon.

“Siapa, Mbak?”

“Katanya, teman Gus Akhtar,” jelas santri yang masih duduk di bangku Aliyah itu. Ia sedang rewang, membantu menjamu para tamu.

“Laki-laki apa perempuan?”

“Laki-laki, Ning.”

“Ya udah, makasih, ya.” Arisha berjalan menuju kamar sambil memikirkan siapa tamu suaminya yang datang menjelang waktu Magrib ini. Mestinya semua tamu undangan sudah datang siang tadi. Tanpa mengetuk pintu, Arisha langsung membuka pintu kamar. Bertepatan dengan itu, Akhtar juga akan keluar kamar. Alhasil, tubuh mereka hampir bertabrakan saat pintu itu terbuka.

“Ma-maaf, Gus. A-ada tamu.” Arisha masih mengatur degup jantungnya yang terasa meloncat-loncat.

“Siapa?”

Arisha mengedikkan bahu, “Kurang tahu.”

“Kalo gitu ikut aku menemuinya.”

“Ikut?”

“Iya, pasti tamunya juga mencarimu, Dik.”

Panggilan ‘dik’ itu terasa asing di telinga Arisha. Bahkan ia sendiri saat ini masih memanggil Akhtar ‘gus.’ Belum ada kesepakatan panggilan yang akan mereka gunakan.

“Kalo gitu saya ganti baju dulu, Gus.”

“Enggak perlu. Begitu sudah cantik.” Seketika pipi Arisha merona, mendapat pujian dari sosok bertubuh tinggi dan berdada bidang yang hanya berjarak kurang dari semeter darinya.

“Ini dasternya tidak sampe menutup mata kaki, Gus.”

Mata Akhtar langsung tertuju pada kaki jenjang di hadapannya, warnanya putih bak batu pualam. Arisha sengaja memakai daster batik usai mandi sore tadi. Ia ingin sedikit membebaskan tubuhnya setelah memakai baju pengantin berlapis tiga kain. Baginya cukup berat, meski sudah dirancang sesederhana mungkin.

“Ya udah, aku temui tamunya dulu. Segera nyusul, ya.”

🍂🍂🍂

Musthofa duduk bersila di ruang tamu bersama tamu laki-laki lainnya. Ia bercengkerama dengan Kiai Salman, menceritakan asalnya dari Semarang.

“Hai Musthofa, masyaallah lama sekali kita tak jumpa!” sapa Akhtar begitu melihat sahabatnya selama mondok dulu. Kurang lebih delapan tahun mereka tidak bertemu. Hanya sesekali saja bertukar kabar lewat aplikasi pesan. Terakhir, Musthafa menceritakan kepada Akhtar jika ia berniat meminang gadis lulusan Al-Azhar yang juga tinggal di Jatim.

Saat dua sahabat itu saling berpelukan, netra Arisha langsung bertemu pandang dengan Musthafa. Seketika mulut mungil perempuan berkerudung rose pink itu menganga.

🍂🍂🍂

.

.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status