Bak!
"Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti saudara, ya kan tante? Hal yang biasa saling memukul antar saudara kan?" Ana mencoba mencari dukungan. Nias menutup mulutnya terkejut "Kau memegang perut Aldi, Ana?" "Iya ma, dia melakukannya padaku, dia melakukan itu setiap hari padaku." "Enggak tante, gak seperti itu kok!" elak Ana secepat mungkin. Disamping itu diam-diam Ana mencubit paha Aldi sekeras mungkin lalu membisikan ancaman keras padanya. "Jangan melebih-lebihkannya dong, kita kan tidak seperti itu," ucap Ana disembunyikan dalam tawa pura-pura. Tanpa mendengar ancaman itu, Aldi semakin gencar berulah. "Ma, ini bahaya si, takutnya dia macam-macam padaku, bagaimana kalau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan?" "Enggak tante, mana mungkin aku melakukan itu!" Dalam situasi itu, menang telah berada di tangan Aldi, dengan percaya diri dia membisikan kemenangannya "Kau kalah." Takut sekaligus kesal, Ana serentak membalikan otak, berpikir mencari alasan yang tepat untuk menolak. "Baiklah Tante, Ana minta maaf, sekarang Ana tidak akan becanda lagi." Sambil menahan emosi gadis berkacamata itu membalas dengan bisikan lagi "Puas kan?" "Terlambat, kau akan menikah denganku," jawab Aldi lantang. "Enggak!" Sementara itu Nias menatap meja, tampak berpikir keras. Cara bicara dan interaksi kedua manusia yang sudah Nias anggap sebagai keluarga, memang terlalu berlebihan dimatanya. Apalagi setelah melihat Aldi merengek yang tak pernah dilakukannya sekalipun, namun saat ini putranya itu sedang bertingkah bagai bocah kecil, sungguh benar-benar diluar dugaan. "Tante, lagi pula Ana sedang kuliah kan? Jadi tak mungkin Ana bisa menikah." Nias mengusap hidungnya sambil terus berpikir. "Benar juga, Ana tidak bisa menikah sekarang." Mendengar jawaban Nias, Ana mengusap dadanya lega. Dengan status mahasiswa yang menyandang beasiswa, Ana cukup percaya diri dijadikan alasan untuk menolak pernikahan. "Kau pikir aku tak bisa membiayai mu? lagi pula makanan kucingku lebih mahal dari biaya kuliahmu." Ana tersenyum miring lalu berbisik pelan "Aku anak kuliah lho, ANAK KULIAH. Tante gak akan mengizinkan aku menikah semudah itu," jawab Ana merasa menang. Balasan menyebalkan itu benar-benar membuat Aldi memanas, setiap hari merasa kalah bukan perasaan yang menyenangkan, dan untuk hari ini Aldi tidak mau merasakan kekalahan itu kembali. Maka dari itu dengan terpaksa Aldi melepaskan kartu terakhirnya kepada sang ibu, walaupun ini bisa membuat Nias habis memarahinya seharian ini. "Mama, jika aku tak menikah dengannya, sampai kapanpun jangan pernah menginginkan aku menikah." Mendengar itu Nias sontak terkejut, pikiran untuk mempertimbangkan seketika hilang dalam sekejap. Bak! Gebrakan meja membuat semua orang serentak mematung. "Aldi! Kau bicara apa?" Dibalik meja makan, tangan Ana sudah mengeras, dia mencubit paha Aldi lagi untuk tidak memancing kemarahan sang tante. "Jangan mengada-ada, mustahil aku menikah dengan kakak tahu, kakak terlalu tua untukku yang manis ini. Terimalah jangan memaksa Tante lagi." "Terlalu tua katamu? Bukankah kau yang pernah menyatakan cinta padaku? Kau yang duluan mengatakannya ingat." "Kakak menganggap ucapan bocah adalah sesuatu hal yang serius? Itu sepuluh tahun yang lalu lho." "Ya terus? Apa masalahnya?" "Masalahnya sudah jelas, aku tidak menyukai kakak, masih kurang jelas kah ucapan ku barusan?" Sudah malas berdebat, Aldi kali ini berbalik membenarkan posisi lalu menghadap sepupu yang ingin dia pinang. "Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau aku buat kau menyukaiku? Aku telah belajar banyak caranya darimu, bagaimana cara memelukmu tiba-tiba, menyentuh ..." "Cukup! Kalian sedang berbicara apa sih, itu percakapan yang bahaya Aldi!" Nias tampak geram. Mengamati dan mengambil keputusan dengan kepala dingin sudah tidak bisa di lakukan lagi. Ada satu kalimat yang terus berulang dalam kepala Nias terus-menerus "ini bahaya, ini bahaya." "Baiklah, mama merestui kalian, menikahlah secepatnya. Dan kau Aldi, jangan macam-macam pada Ana sebelum kalian menikah ingat itu." "Tante, tapi aku... bagaimana dengan kuliahku." "Ana kau bisa terus berkuliah, hanya saja beasiswa yang kau dapat mungkin akan diputus, hanya ini satu-satunya jalan keluar." Tanpa bisa menolak lagi, Ana termenung, dia menunduk sendu karena kesal. Melihat itu Nias segera mendekati Ana, lalu memberitahu alasannya dengan lembut. "Daripada kalian terus berhubungan tak jelas dan melakukan hal yang tak diinginkan diluar pernikahan, lebih baik kalian menikah saja. Untuk urusan anak, Tante tak akan memaksa terserah kalian saja.""Kak? Kak Aldi lihat kak Alif tadi?" tanya laki-laki itu kembali, saat Aldi terhenti dengan jawabannya. Dan disaat itu pula pria yang diduga adik Alif itu tak sengaja bertemu mata dengan gadis yang dirasa diketahuinya. "Eh Ana, kau disini juga," sapa Rayyan terheran melihat kehadiran teman barunya yang dia temui kemarin saat masa orientasi di universitas yang sama. "Umm, apa kalian sedang berkencan?" "ENGGAK!" Jawab Ana spontan dengan suara keras. Kedua pria itu tampak diam, terkejut dengan jawaban Ana "umm itu... Dia saudaraku," lanjut Ana malu-malu sembari meremas sepuluh jarinya. "Oh kalau begitu bolehkah aku ikut bergabung sebentar? Aku gak bertemu orang yang bisa ku ajak bicara dari tadi, kakakku benar-benar membuatku kelelahan setengah mati," kata Rayyan terlihat begitu lelah. "Boleh boleh, sini," dengan cepat Ana mendekatkan salah satu kursi kosong untuk sang teman. Sikap Ana yang malu-malu itu membuat Aldi melipat kedua tangannya di depan dada. "Dih, bisa malu-malu jug
Pertanyaan mendadak itu lantas membuat Ana mematung. Dia tatap pelan-pelan wajah Aldi dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itu emm...," Ana menyimpan sendok dengan bola mata yang sesekali menghindari tatapan intens dari sang sepupu. "Kau punya pacar ya?" tebak Aldi. "Enggak kok, itu cuma...," "Cuma apa?" Ana lantas melirik pelan pelan mata Aldi yang tampak menusuk dengan getar nada suara yang menunjukan dia tidak bisa menerima jawaban menggantung lagi. "Kakak gak perlu tahu, ini rahasiaku." Telinga yang sudah siap mendengarkan itu kembali dibuat kecewa saat Ana membalas demikian. "Tck rahasia lagi," pekik Aldi sembari membuang muka, namun sialnya Ana seolah tak peduli dan tetap melanjutkan memakan eskrim. Tidak bisa dielakkan, Aldi sepertinya mengenal jaket pria di ponsel gadis itu, rasanya seperti jaket Aldi yang dulu, namun jika memang benar itu adalah dirinya, tak ada kemungkinan gadis itu bisa memotret Aldi secara diam-diam, bahkan jika itu terjadi 10 tahun yang lalu,
Mendengar bisikan tak mengenakan itu lantas membuat Aldi seketika terbakar emosi. Tangannya spontan mencubit pinggang Alif sekencang mungkin. "Aaaa!" Alif segera mengusap pinggangnya yang terasa sakit sekaligus panas akibat cubitan tanpa perasaan hadiah dari sang teman. "Lain kali, hati-hati kalau bicara, ku dengar kau mengoceh tak jelas lagi, giliran mulutmu yang ku habisi," bisik Aldi namun masih dapat terdengar oleh sang sepupu dari depan sana. "Iya deh, sensitif amat, kau seperti tidak tahu kelakuanku saja," balas Alif dengan tetap mengusap bekas cubitan yang masih terasa panas. Tanpa membalas, Aldi melayangkan tatapan tajam pada sang teman, pria itu hanya diam sembari melipat kedua tangannya, namun karena diamnya itu, Alif semakin tak ingin bertingkah lagi, seolah ada ancaman keras yang terus dikatakan oleh kedua sorot bola mata pria berkepala tiga tersebut. "Hehe, dia benar-benar marah, aku harus segera kabur sekarang," batin Alif takut. "Aduh, aku lupa beli sabun, kalau b
Dalam sekejap, raut Ben mengerucut, dia tatap wajah Ana lekat-lekat seolah ada rahasia yang sengaja gadis itu sembunyikan darinya. "Tak biasanya kau menjawab cepat begitu, ada yang disembunyikan ya?" tanya Ben dengan mata menyipit curiga. "Haha, mana ada aku berbohong, itu mustahil." Gadis itu tiba-tiba tertawa paksa sembari memukul Ben beberapa kali. "Beneran gak perlu ditunggu nih?" Ben memastikan lagi. "Tentu saja, jangan khawatirkan aku, kau pergi saja duluan, cepat pergi gih," usir Ana dengan bumbu canda. "Yasudah, aku duluan ya, dan kalau tantemu tidak datang, telepon saja aku." Ben memasang helm lalu memutar kunci berniat pergi. "Iya, nanti kalau tanteku tidak datang aku pasti menghubungimu," ucap Ana meyakinkan. "Baiklah aku duluan ya." "Ya, hati-hati." Pada akhirnya Ben pergi tanpa penumpang lagi, ada rasa penasaran yang tak bisa dia sembunyikan, namun apalah daya Ana sepertinya tak mau orang lain tahu tentang rahasianya. Sementara itu dibelahan tempat lain
Keesokan hari, setelah mengantar Ana pergi menuju kampus. Di ruang kamar pribadi, Aldi tengah mencoret coret tablet, membuat ukiran gambar kartun unik nan lucu disana. "Huh, akhirnya selesai." Begitu hasil desain yang dirancang menggunakan ilusi gambar hidup, Aldi lalu menyalakan laptopnya kembali untuk mengirimkan hasil pada sang klien. Sambil menunggu balasan, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Dibukanya pesan tersebut dan terlihat salah satu temannya mengirim pesan berisi tawaran pekerjaan. 'Aldi, aku punya tawaran pekerjaan nih, lagi sibuk ga?' tulis Alif, teman satu pekerjaannya. 'Ga, pekerjaan apa?' balas Aldi sembari sesekali memainkan kursor pada laptopnya. 'Ada kenalan ku, dia butuh bantuan untuk membuat video penjelasan tentang anatomi tubuh manusia untuk pembelajaran. Kau kan pernah belajar yang seperti itu, jadi kau pasti lebih faham, aku sedang sibuk mengerjakan projek lain.' 'Baiklah, tapi tenggat waktu selesainya kapan?' 'Sep
Dalam dekapan yang menakutkan, Ana terus melantunkan ayat kursi dalam hati, tangannya bahkan telah berubah begitu dingin saking ketakutannya dia saat ini. Sementara itu Aldi masih menelaah. Apa itu perasaan jernih? Dia sama sekali tidak merasakan perasaan itu sama sekali. "Perasaan jernih apa, wanita itu pasti berbohong," batin Aldi. Sebelum sadar sepenuhnya akan tindakan gegabah tersebut, Aldi perlahan meraih tangan sang sepupu, dan di saat itu pula dia baru sadar akan sesuatu. Brugh... Ana didorong secara spontan dan langsung tersungkur ke lantai. "Ugh," rintih gadis itu. Aldi yang hendak meraih sang sepupu yang mungkin kesakitan akibat ulahnya tiba-tiba terhenti dan langsung memegang kening akibat denyutan yang tiba-tiba datang. "Ugh... Kepalaku ini kenapa lagi?" Terlihat di depan sana Ana terjatuh ke lantai. Dan di sana Aldi samar-samar dapat melihat, dibalik kacamata khasnya, genangan air mata menggenang hampir terjatuh dari ujung pelupuk. "Akh Ana maaf, kau tidak apa-a
Nias tampak terkejut namun tak sampai mengomel seperti biasanya. Begitupun Aldi hampir saja menyusul, sebelum sang ibu tiba-tiba menghentikannya. "Ana, barangnya nanti saja diambilnya ya, Tante mau bicara dengan Aldi dulu sebentar," ucap Nias menahan sang putra. "Oke Tante, aku ke kamar dulu." Ana berlari bagai kilat untuk menutupi sandiwara yang mungkin saja dapat terlihat. Begitu gadis itu sendiri, dia melihat bekas jejak langkahnya lagi, tak ada siapapun disana, jauh sekali dengan perkiraannya. "Kakak maaf, tapi aku sudah berusaha menepati janjinya," batin Ana tak mampu mengambil tindakan lebih jauh lagi untuk menarik Aldi. Saat pintu kamar terbuka terlihat sebuah kotak tersimpan di ranjang. Dengan segera gadis itu melempar tas lalu mengambil gunting untuk membuka kotak tersebut. SK SK SK Tak membutuhkan waktu lama, dilihatnya setumpuk buku yang membahas serba serbi Desain, ada di hadapannya. "Satu, dua, .... Ada lima buku." Ana membolak balikan buku tersebut.
Deg Degup dada semakin kencang terasa saat sebuah microphone ditodongkan padanya. "Anda bisa tolong berdiri," pinta sang dosen. Begitu sial hari ini, akibat obrolan sederhana yang bahkan tidak diketahui maknanya, malah membuat dia berada di situasi menegangkan seperti sekarang. "Ma-af pak sebelumnya jika saya kurang memperhatikan." "Tidak apa-apa namun lain kali usahakan untuk diperhatikan ya. Sekarang anda boleh jawab terlebih dahulu pertanyaan saya." "Baik pak," jawab Ana sembari melirik Ben di sampingnya. "Menurut pandangan saya, leadership merupakan jiwa kepemimpinan yang dimiliki seseorang dalam menjalani hidupnya, Kemampuan leadership ini bisa meliputi banyak hal salah satunya adalah adaptasi yang tentunya kini sedang kami jalani sebagai mahasiswa baru dalam dunia baru di perkuliahan ini. Mungkin sekian jawaban saya terimakasih." Ana dengan segera langsung duduk. "Jangan dulu duduk, saya ingin bertanya kembali," sela sang dosen. Begitu sang dosen menyuruhnya berdiri ke
Tak terasa pagi menjemput kembali, Ana telah berada di mobil, siap berangkat bersama sang sepupu setelah perdebatan panjang pagi tadi."Aku sudah bilang tidak usah repot-repot loh," ucap Ana telah duduk manis di jok depan."Segala hal tentang mu memang selalu merepotkan," jawab Aldi, pasalnya permintaan mengantar Ana adalah perintah dari sang baginda ratu.Ana terlihat mengerucutkan bibir "yasudah." Gadis itu membuang muka sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada.Aldi yang menyaksikan marahnya seorang Ana, hanya bisa merasakan betapa masih kekanak-kanakannya gadis itu. Apakah gadis dewasa bisa membuat gumpalan lemak di pipinya seperti itu?Aldi yang tak mau terlarut dalam kegemasan sementara lantas segera memutar kunci lalu tancap gas menuju universitas ternama di ibukota....Masih dalam suasana orientasi, para mahasiswa baru turut berdatangan dengan setelan yang sama. Aldi membuka kaca jendela untuk memastikan ketidak hadiran bocah bernama Ben disekitar mereka."Kakak mengu