Erland baru selesai membereskan meja saat suara ketukan pintu terdengar. Dia menoleh. Di ambang pintu tampak sosok sekretarisnya yang cantik sedang berdiri sambil tersenyum."Selamat malam, Tuan.""Ada apa?" tanya Erland. Dia melepas kacamata dan berdiri, karena memang dia ingin pulang.Jennie salah paham. Dia pikir Erland sedang menyambut kedatangannya. Maka, dengan percaya diri dia melangkah mendekat."Maaf, anda belum pulang? Saya melihat lampu ruangan masih menyala. Jadi, saya memutuskan untuk menengok...," ujarnya dengan suara yang sengaja dibuat mendayu-dayu. Sebelah tangannya menyibakkam rambutnya yang panjang ke belakang, dengan sengaja memperlihatkan belahan blousenya yang rendah.Erland heran dengan cara berjalan Jennie yang tidak biasanya. "Kenapa masih disini? Aku sudah menyuruhmu pulang dari tadi."Jennie mengangguk. "Saya khawatir anda masih membutuhkan bantuan saya. Jadi, saya sengaja menunggu..."Terbiasa dengan banyak wanita, Erland mencium aroma-aroma wanita penggoda
Erland meregangkan otot-ototnya yang kaku, lalu melepaskan kacamata anti radiasi dan mengucek mata. Jam sudah menunjukan pukul tujuh, tapi deretan angka-angka di tablet seakan tidak mengijinkannya untuk pulang.Hari ini Erland dipaksa untuk bekerja lebih keras. Perusahaannya benar-benar terpuruk dan butuh perhatian lebih."Sudah malam, Tuan Muda. Anda bisa melanjutkan besok," saran Marco yang seharian ini setia mendampingi.Mengabaikan Marco, Erland memasang kembali kacamatanya dan melanjutkan pekerjaannya.Protes Maureen kembali terngiang di kepalanya, "Angka-angka ini bikin pusing! Ternyata kamu benar-benar tidak bisa bekerja."Dan, ucapan Maureen benar sekali. Erland sampai tidak berharap banyak pada perusahaan. Bisa bertahan saja sudah bagus.Dia juga terlalu malu untuk meminta bantuan Maureen. Istri rahasianya itu bekerja lebih banyak dibanding dirinya. Dia sudah menganulir keputusannya untuk menjadikan Maureen sebagai asisten pribadi.Mulai hari ini dan beberapa minggu ke depan
"Reen, apa ada yang tidak aku ketahui tentang kamu?" tanya Reinner. Maureen tidak langsung menjawab. Matanya mengamati sejenak lelaki yang sudah sangat dekat dengannya sejak kecil. Di hadapannya, Reinner tampak sabar menanti. "Reen, kamu tau kan kalau kamu bisa bercerita apa pun padaku?" bujuk Reinner, tangannya terulur lalu mengusap kepala Maureen dengan penuh kasih sayang. Maureen tergugu, lalu menunduk. Sikap Reinner yang seperti ini membuatnya merasa bersalah. Ekspresi Maureen yang bimbang membuat hati Reinner yang lembut tersentuh. Dari dulu dia tidak pernah tega menekan Maureen. Hidup gadis itu sudah terlalu banyak tekanan di keluarga angkatnya. "Hey! Wajahmu jangan seperti itu. Kita makan ice cream saja. Bagaimana?" Reinner segera mengalihkan perhatian Maureen dari pertanyaannya yang terkesan penuh tekanan. Beberapa menit kemudian, mereka duduk di bangku sudut kedai es krim favorit Maureen. “Kamu terlalu memanjakan aku, Rein…” ucap Maureen dengan mata berkaca-kaca. Rein
"Kenapa? Kamu takut aku menciummu?"Kalimat itu terus berputar di kepala Jillian. Sejak pagi, pikirannya tidak bisa tenang. Bukannya fokus belajar, layar proyektor dosen justru berubah menjadi layar lebar yang menayangkan wajah Erland dari berbagai sudut—mata tajamnya, senyum sinisnya. Dan yang mengerikan aroma tubuh Erland yang memabukkan, entah kenapa masih tertinggal dalam memori.Tok! Tok! "Jillian! Hey, Jillian!" Jillian mengerjap kaget saat namanya dipanggil dengan volume yang keras. Dia mendongak dan menghembuskan napas. "Oh, Fiona," ucapnya antara sadar dan tidak. Dia pikir dia sedang di kelas, ternyata mereka sedang duduk di foodcourt sebuah mall. Fiona, teman dekat Jillian, menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengernyitkan kening. Gadis itu menatap Jillian yang lebih banyak melamun hari ini. "Kamu tidak makan?" tanyanya sambil melirik Korean Grilled Beef milik Jillian yang hampir dingin, padahal makanan itu lebih enak dinikmati saat masih panas atau hanga
Maureen melangkah ringan masuk ke sebuah panti jompo mewah tempat dimana Nenek Argantha sekarang tinggal. Dia membawa sebungkus buah tangan dan sekotak vitamin untuk Nenek Argantha. Sejak menikah dengan Erland, dia belum sempat berkunjung.Namun, baru menginjak pintu masuk panti, langkah Maureen melambat. Alunan musik nostalgia mengalun ditingkahi dengan tawa ceria penghuni rumah jompo. Wangi tumis sayur yang lezat menyeruak masuk ke indera penciumannya "Kenapa ramai sekali? Apa ada acara" gumamnya pelan. Tiba di ruang bersama, Maureen mendapati kalau hampir semua penghuni panti berkumpul disana. Dia menyipitkan mata saat mengenali satu sosok yang dekat di hati sedang berdiri di tengah keramaian. Lelaki tampan dan tinggi itu memakai celemek putih dan topi chef, terlihat begitu mencolok diantara para manula. "Reinner? Kapan datang?" gumam Maureen penuh rindu. Lelaki itu dengan telaten melayani para manula. Ada yang minta tambahan sup atau buah. Ada yang ingin fotonya diambil. Semu
Erland menoleh cepat. Secepat matanya menoleh, secepat itu pula dia membuang muka. "Cih! Kamu merusak pagi hariku!" ketus Erland. Jillian tertawa kecil seakan sudah terbiasa dengan keketusan Erland. "Kamu tidak merindukan aku?" tanyanya sambil memain-mainkan ujung rambutnya yang ikal. "Keluar!" "Sopan santunmu hilang sejak bergaul dengan anak pungut itu," sahut Jillian tersinggung. “Apa kamu punya cermin?" tanya Erland sinis, dia paham betul siapa yang dimaksud anak pungut oleh Jillian. "Oh, eh, ada..." jawab Jillian, sedikit heran. "Ambil!" titah Erland dengan nada yang tak bisa dibantah. Dia melepaskan seatbelt yang melingkari tubuhnya dan mulai menghadap ke Jillian. Masih dengan keheranan yang sangat, Jillian mengambil cermin dari tasnya. Dia menyodorkan cermin itu ke Erland, tapi lelaki itu menolak. "Bercerminlah! Kamu masuk ke mobil orang tanpa permisi, apa itu bisa disebut sopan santun?" sinis Erland. Jillian terpaku sejenak. Jari-jarinya mencengkeram cermin kecil mewah