"Dasar manja! Sekarang tidak bisa tidur karena tidak ada yang menemani." Erland mengomeli dirinya sendiri di dalam hati.Hampir dia main gitar, tapi matanya tetap terbuka lebar. Turun ke dapur, ingin mencari minuman untuk teman tidur, tapi ternyata Maureen cerdik. Gadis itu mengunci lemari penyimpanan dan menyimpan kuncinya entah kemana.Erland berusaha sekuat tenaga menahan matanya untuk tidak menatap Maureen yang sedang menikmati sarapan di hadapannya. Istrinya itu sudah siap untuk pergi ke kampus.Dia baru menyadari kalau Maureen hari ini juga berdandan, otomatis pandangannya turun ke pakaian Maureen.Istrinya itu memakai blus dengan potongan mengikuti bentuk tubuh. Memang pakaian Maureen tetap sopan dan rapi, tapi dibanding outfit oversize yang biasa dia pakai, penampilannya hari ini cukup menonjolkan lekukan bagian depannya.Menyadari matanya mulai salah arah, Erland buru-buru mengalihkan pandangan. berdehem berusaha menenangkan diri. Dia meraih cangkir kopi dan langsung menengga
"Jangan bilang kamu mulai tertarik padaku." Kalimat terakhir Maureen membuat Erland bagai disengat lebah. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama. Benteng pertahanan diri Erland langsung terbangun tinggi. "Tertarik padamu? Tidak salah? Bukannya kamu yang lebih dahulu menggodaku? Kamu yang duluan memeluk, bahkan menciumku tanpa permisi." "Ah, itu sih kamunya saja yang tergoda. Aku memeluk dan menciummu sebagai sahabat. Peluk dan cium itu hal biasa dalam persahabatan." Maureen mengulum senyum. Ekspresi Erland langsung menggemaskan, seperti singa yang kehilangan taring. "Hm..., begitukah?" Erland menghembuskan napas. Setelah itu dengan gerakan mendadak menyambar tablet dengan satu tangan, sementara tangan satunya merangkul bahu Maureen dan menggiringnya keluar cafe."Hey, sahabatmu lapar. Kamu bisa masak untukku?" pinta Erland dengan lihai memanfaatkan kesempatan. Tangannya masih bertengger manis di bahu Maureen.Maureen berjalan sambil mencuri pandang ke tangan yang melingkar di bahunya
"YEEEEY!" sorak Maureen, langsung melompat ke arah Erland. Dengan gerakan yang sangat cepat, dia memeluk Erland dengan erat. "Eh, eh, Maureen?" gagap Erland, mendadak panik. Dia menelan ludah saat merasakan tubuh bagian depan Maureen menempel padanya. Hangat dan lembut. Tangannya bergerak ragu-ragu antara ingin membalas pelukan Maureen, tapi juga gengsi.Tapi, sungguh pelukan Maureen terasa berbeda dengan pelukan-pelukan yang biasa dilakukan oleh kekasih-kekasihnya.Harum rambut Maureen seakan membuainya, lembut dan khas. Ah, Erland merasa seperti melayang. "Thank you! Thank you!" ucap Maureen, refleks mencium pipi Erland kanan dan kiri seperti seorang anak yang baru mendapat hadiah impian dari papanya. "Sial!" umpat Erland dalam hati. Maureen tidak menyadari kalau lelaki yang baru saja dia peluk dan cium sedang berperang melawan dirinya sendiri. Erland berusaha mengatur napas supaya bisa bernapas dengan tenang, tapi sekarang yang terjadi malah jantungnya berdebar seperti genderan
Suhu tubuh Erland akhirnya stabil. Saat Maureen hendak kembali ke kamarnya, tiba-tiba tangannya dicekal oleh Erland. Maureen terkejut, padahal dia yakin Erland sudah tertidur nyenyak. Dia menoleh cepat. Ternyata, Erland memang masih tidur. Matanya terpejam dan napasnya teratur, tapi suara lirih itu terdengar jelas: “Mommy…” Maureen terdiam saat suara itu kembali terdengar, “Mommy…” Hati Maureen yang lembut tersentuh. Dia urung melangkah, dan mengamati wajah Erland yang tertidur karena pengaruh obat. Perasaan iba membuncah di dalam dada. Di balik segala sikap keras dan galaknya terhadap Lillian, ternyata Erland menyimpan rindu yang lebih dalam dari yang pernah dia bayangkan. Ada sisi rapuh yang selama ini dia sembunyikan rapat-rapat, bahkan dari dirinya sendiri. Refleks Maureen mengusap pelan lengan Erland untuk menenangkan suami rahasianya itu. Tak lama cekalan tangan Erland mengendur perlahan. Maureen duduk di sofa panjang tak jauh dari tempat tidur. Pandangannya tak l
"Ingat! Tempat kalian sebatas di paviliun. Jangan pernah menginjakkan kaki ke rumah utama. Paviliun sudah terlalu bagus untuk parasit seperti kalian." Maureen terhenyak. Wajahnya tidak lagi tersenyum, tapi juga tidak menunjukkan kemarahan. Sorot matanya seakan menunjukkan sebuah tekad yang kuat..Dia melangkah ke depan, berdiri sedikit di depan Erland. "Maaf, Nyonya Mariana," ucap Maureen dengan intonasi yang dingin menusuk. "Jangan khawatir, kami akan meninggalkan tempat ini pada kesempatan pertama dimana kami bisa melakukannya." Mariana menaikkan alis, seakan tak percaya pada ucapan Maureen. Cara menatapnya seperti melihat seekor lalat pengganggu yang sedang berdengung.Tapi, sebelum dia sempat mengucapkan sesuatu, Maureen sudah menambahkan dengan nada penuh penekanan. "Satu hal lagi, Nyonya..." Maureen menatap Mariana dalam-dalam, "Satu-satunya alasan kami bertahan di paviliun itu hanyalah Tuan Diandra." Mariana menatap Maureen, bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengatakan apa
"Apa wanita itu datang ke sini?" Pertanyaan itu meluncur pelan dari bibir Erland, tapi terdengar menggelegar di telinga Maureen yang nyaris tertidur. Kalimat itu membangunkannya, tapi Maureen tidak berani membuka mata. Jantungnya berdetak tidak beraturan. Dia sangat yakin kalau wanita yang dimaksud oleh Erland adalah Lillian. Wanita cantik dengan sepasang mata berwarna sama persis dengan warna mata Erland. Maureen bimbang. Ada sesuatu dalam nada suara Erland yang membuatnya bingung harus menjawab apa.Jujur? Atau, lebih baik menyimpan rahasia kecil itu demi menjaga perasaan Erland? Akhirnya, Maureen memilih menunda. Dia menggeliat kecil, lalu membalikkan badan membelakangi Erland, dan memejamkan mata—berpura-pura tidur. "Aku tahu kamu mendengarku," gumam Erland datar. Cibirannya tidak setajam biasanya, lebih mirip sebuah keluhan dan tidak ada nada marah. Maureen bergeming di posisinya. "Ck!" Dengan malas, Erland menekan tombol pengatur tempat tidur untuk menyamankan posisi tubu