Selesai melakukan perjalanan dinasnya, Reineer langsung mampir ke perusahaan Erland"Kamu gila!" Kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Reinner saat melihat Erland?Dia menghempaskan tubuhnya ke kursi d meja Erland. Tidak ada basa basi ala rekan kerja yang baru bertemu."CK! Kamu orang kedua yang mengatakan aku gila," ucap Erland sambil terkekeh. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi. Dari tadi dia sudah menunggu kedatangan Reinner, salah satu investor besar yang telah menyelamatkan perusahaannya"Hhhh..., aku pusing memikirkan kelakuanmu yang tidak ada habisnya," keluh Reinner."Kalau pusing, tidak usah dipikirkan. Jalani saja," celetuk Erland dengan santainya.Reinner mendengus. Dia masih ingat, pertama kali bertemu dengan Erland saat laki-laki itu sedang babak belur karena berkelahi dengan preman. Alih-alih mencari bantuan, Erland memilih untuk menghajar segerombolan laki-laki yang sedang membully seorang penjual makanan.Dan sekarang, Erland malah keluar dari perusahaan dan m
"Astaga, Tuan Muda!" pekik Jefta sambil tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan.Erland mendongak dari layar tablet dan mengangkat kedua alisnya."Saya tidak salah dengarkah?" tanya Jefta panik."Soal apa?""Anda resign. Apa benar?""Ya," angguk Erland, kembali menekuni laporan di tabletnya. Ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum dia benar-benar masuk masa karantina."Wow! Ini gila," desis Jefta tak percaya."Baru tahu kalau aku gila?" respon Erland acuh tak acuh.Jefta ternganga. Banyak orang seusia mereka yang iri dengan posisi Erland saat ini. Tapi, Boss-nya ini malah melepas jabatannya begitu saja."Anda serius dengan keputusan ini?""Sangat serius!" jawab Erland penuh penekanan."Haduuh, Tuan Muda! Bisa kacau saya! Kacau semuanya!" Jefta berjalan mondar mandir dengan gugup.Terganggu oleh Jefta, Erland meletakkan tablet dan duduk bersandar di kursi kebesarannya. "Itulah kenapa aku memanggilmu. Atur semuanya dari sekarang supaya semua tetap berjalan," sahut Erland s
Maureen dan Erland sontak melepaskan ciuman mereka dan menoleh pada asal hardikan yang menjeda moment mendebarkan mereka.Lillian berdiri di ambang pintu yang dibiarkan terbuka. Dia melipat kedua tangan di depan dada sambil menatap lekat-lekat sepasang suami istri di hadapannya. Wajah yang biasanya ramah itu kini tanpa senyum."Aku kira kalian sedang menemani Nenek. Tidak tahunya malah asyik bermesraan disini," tegurnya, memutar bola mata.Erlang meringis. "Oh, Mommy. Untung anda datang tepat waktu. Kalau tidak, bisa saja terjadi hal-hal yang kami inginkan," celetuknya tanpa dosa. Dia tahu Lillian tidak marah kepadanya."Erlaaand!" desis Maureen, rasanya ingin menghilang dari tempat ini. Malunya terpergok oleh Lillian. Lebih malu lagi saat Maureen menyadari kalau belakang Lillian ada Nenek dalam posisi setengah berbaring. Sepertinya beliau memasang mata dan telinganya baik-baik.Astaga! Jantung Maureen mencelos."Maureen!"Huah! Gadis itu terjengit, rasanya seperti disengat listrik."
Dengan keberanian yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, Mauren mencium Erland. Beberapa detik Erland tertegun, namun hal itu tidak berlangsung lama. Lelaki itu dengan segera membalas ciuman Maureen. Tangannya spontan melingkari pinggang Maureen dengan posesif. "Emhh.…” Sebuah suara lolos dari tenggorokannya. Erland mencium Maureen lebih dalam dan intense.Tidak ingin Erland menguasai permainan, Maureen sengaja menjauhkan wajahya. Dia menarik napas panjang seperti orang yang sedang menghimpun tenaga. Erland melakukan hal yang sama. Tapi, belum sempat Erland mengumpulkan oksigen, Maureen sudah kembali menyerang laki-laki itu. Kedua tangan Maureen bahkan menangkup kuat-kuat wajah Erland supaya tidak leluasa bergerak.Selanjutnya, Maureen menghujani bibir Erland dengan ciuman bertubi-tubi. Gerakannya cepat dan penuh tenaga.“Mmph!—Maureen….” Erland berusaha bicara di sela-sela hujan ciuman itu, tapi selalu gagal. “Hey, mmphf…!” Maureen menutup mulutnya dengan ciuman setiap kali Erl
“Kalau aku mengikuti acara ini, apa kamu akan merindukan aku, Maureen?” tanya Erland dengan raut muram. Maureen tertegun, jantungnya terasa seperti dihempaskan. Dia jadi ingin menangis. "Tentu saja aku akan rindu berdebat denganmu. Suami usil dan ketus, tapi bikin kangen," pekik Maureen dalam hati. Tapi, dia tidak berani mengutarakan. Sekali saja kata rindu itu terucap, maka air matanya akan berderai. Cepat-cepat Maureen memalingkan wajah, menyembunyikan hati yang sedang bergejolak. Dia menutupi semua itu dengan tawa kecil. "Aku merindukanmu?” tanya Maureen kemudian. Dia tidak berani menatap Erland karena matanya berkaca-kaca. Sebagai pelarian, dia menatap rumput di taman sambil berkata, "Aku malah senang karena tidak ada yang usil padaku lagi. Pikiranku tenang, jadi aku bisa fokus pada tugas akhir kuliahku.” Sungguh, kata-kata itu menusuk balik hatinya sendiri. Meski begitu, Maureen berpura-pura tenang. Erland tidak langsung menanggapi. Beberapa saat lelaki itu hanya menatapnya
Erland menoleh, alisnya terangkat. “Kenapa kamu ternganga? Apa kamu kagum padaku?” tanyanya dengan nada percaya diri.Mode narsistik Erland langsung ON. Wajahnya menyebalkan, namun sangat menggemaskan di saat yang bersamaan. Maureen sampai ingin mencubit pipinya.Maureen tentu saja tidak ingin menunjukkan perasaannya dengan jelas. Maka, Maureen sengaja cemberut.“Aku bercerita padamu, bukan karena ingin meminta padamu,” balasnya, setengah protes. “Itu impianmu saat belum menikah. Sekarang kamu istriku. Mimpimu adalah mimpiku. Hartaku adalah hartamu. Maka, aku akan membantumu mendapatkan semua keinginanmu," sahut Erland enteng. “Kamu mendukung impianku. Kalau begitu aku juga harus mendukung impianmu,” sahut Maureen tak mau kalah. Teringat akan pesan yang tak sengaja terbaca tadi, Maureen pun mengembalikan ponsel kepada Erland. "Kamu mengikuti ajang pencarian bakat. Itu artinya kamu sungguh-sungguh dengan impianmu. "Darimana kamu tahu?" tanya Erland terkejut. Dia sengaja menyembunyi