"Cih, ternyata dia benar - benar pergi," gumam Maureen saat dia memastikan keberadaan Erland di paviliun mewah mereka.
Tidak ada siapa pun, Maureen pun mengunci semua pintu lalu masuk ke kamarnya.
Tempat tinggal baru. Suasana baru. Semua terasa asing. Suasana yang gelap membuat Maureen merasa semakin sepi. Bahkan suara gerimis tipis menetes pelan di kaca jendela besar di kamarnya pun terdengar.
Saat ini baik Maureen mau pun Erland, tidak ada yang mau menempati kamar pengantin. Kamar yang ditempati oleh Maureen menghadap ke taman, tanpa dekorasi layaknya kamar pengantin. Tidak ada musik lembut. Tidak ada wangi aroma terapi yang menenangkan.
Dengan wajah datar, Maureen melakukan rutinitas malamnya. Satu per satu krim perawatan dioleskan ke wajahnya.
Tidak ada tangisan.
Tidak ada drama.
Tidak perlu kecupan atau pelukan.
Semua sesuai kesepakatan kalau pernikahan mereka rahasia dan sementara.
Memakai piyama panjang berbahan katun, Maureen mengatur suhu ruangan dan mematikan lampu. Setelah itu, dia naik ke tempat tidurnya. Lupakan lingerie seksi untuk melewati malam pertamanya karena tidak akan ada kemesraan sepasang pengantin baru.
“Aku hanya berharap pernikahan ini bisa selesai lebih cepat," gumam Maureen, sembari memejamkan mata. Menghadapi pernikahan ini terasa jauh lebih melelahkan dibanding merawat neneknya yang sedang sakit.
Entah berapa lama Maureen tertidur, tiba - tiba suara - suara asing membangunkannya.
Krek… krek… klik!
Tergeragap, Maureen mencari asal suara.
“Apa itu barusan?” bisiknya dengan suara tercekat. Dalam gelap, Maureen menajamkan telinga untuk mencari tahu suara apa itu.
Suara gesekan logam?
Engsel pintu?
Asalnya dari jendela besar!
"Pencuri?!" bisiknya dengan jantung berdebar kencang.
Refleks, Maureen menyambar lampu meja yang terbuat batu marmer. Benda ini cukup berat untuk memukul siapa pun yang nekat masuk. Mengendap - endap, Maureen berjalan ke balik tirai jendela.
Siaga penuh, Maureen mengangkat tinggi - tinggi lampu meja diatas kepala dan bersiap menyerang.
Terdengar suara engsel jendela terbuka, diikuti dengan bunyi langkah kaki masuk ke dalam ruangan.
Begitu sosok serba hitam itu sampai di hadapannya, Maureen langsung mengayunkan lampu ke arah kepala si penyusup sambil berteriak, "MALLII...---hmpff!!"
Teriakannya tertahan oleh tangan besar yang menutup mulutnya. Sebuah tangan besar menutup mulutnya, sementara lampu di tangan mendadak hilang.
“Diam!” desis suara berat yang familiar di telinga Maureen.
Mata Maureen melebar. “Er... Erland?”
"Dasar KUTILANG DARAT!" Erland mengumpat sambil membungkuk, meletakkan lampu di lantai, "Siapa yang mengajari kamu menyambut suami pakai senjata tumpul, hah?”
“Ini kamarku. Kamu main selonong saja tengah malam. Harusnya kamu bersyukur aku nggak pakai golok," sembur Maureen.
“Kamu pikir aku maling, huh?" balas Erland sengit. “Aku masuk lewat jendela karena males berurusan sama satpam dan cctv Papa. Hhh... aku pikir ini jendela kamarku."
“Siapa suruh mengagetkan orang tidur? Jantungku hampir copot, tau!" dengus Maureen, sembari menjulurkan tangan ke saklar lampu.
Lampu menyala, kini semua terlihat jelas.
Maureen terhenyak. Wajah Erland lebam. Bibirnya pecah. Hidungnya biru seperti habis dibenturkan ke tembok. Jaket hitamnya kotor dan koyak. Ada darah mengering di sudut mulut.
“ERLAND! APA YANG TERJADI DENGANMU?!” seru Maureen.
Erland melangkah sempoyongan. “Berisik sekali! Aku cuma jatuh cinta sama trotoar.”
BRUK!
Erland roboh.
"ERLAND!" pekik Maureen lagi.
Otomatis dia mendekati Erland untuk melihat dari dekat. Wajah pria itu pucat. Napasnya berat. Bau alkohol menguar dari mulutnya.
"Jatuh di trotoar katamu tadi? Apa kamu ditikam?” Maureen menatap sobekan panjang di lengan jaket Erland. Terlihat seperti sabetan pisau.
Erland menggeleng. “Nggak usah ikut campur. Kita sudah sepakat bukan?"
Maureen terdiam. Benar juga. Tapi dalam hati dia bergumul, haruskah dia diam saja saat melihat seseorang berdarah-darah begini?
Terlebih, orang itu berstatus suaminya. Meski suami sementara, rasa kemanusiaan Maureen tersentuh.
"Dasar Bodoh!” Maureen bangkit dan berlari. “Beritahu aku, dimana kotak P3K?!”
“Bawah tangga... laci... paling kiri,” lirih Erland, nyaris tak terdengar.
Maureen bergegas lari, kembali dengan kotak P3K, dan berlutut di samping tubuh Erland.
"Biar aku obati. Kalau kamu mati, apa yang harus aku katakan pada Papamu?" Maureen membuka jaket pria muda itu dan menemukan sebuah luka sayatan yang menganga.
“Kenapa? Takut kehilangan donatur?” ejek Erland, meringis kesakitan.
“Dasar berandalan! Mabuk. Berkelahi. Kebut - kebutan. Free sex. Entah apa lagi yang kamu lakukan diluar sana,” omel Maureen, menatap luka di dada Erland.
Erland memejamkan mata. “Aku melakukan apa pun yang aku mau."
Maureen membersihkan luka dengan hati-hati. Tangannya berhenti sejenak saat melihat guratan bekas luka di dekat tulang rusuk pria itu.
“Ini... luka lama?”
“Kamu mau mengobati atau memandangi tubuhku yang seksi?" tanya Erland acuh tak acuh.
“Cih! Kamu terluka dan demam seperti ini, tapi masih bisa menyombongkan diri."
“Kamu dokter?”
“Tidak harus jadi dokter untuk tahu seseorang demam atau tidak."
"Tenang saja, aku nggak akan mati karena luka kecil seperti ini. Kamu nggak akan kehilangan donatur," sindir Erland. Napasnya pendek - pendek, tapi masih saja keras kepala.
"Aku ambil air dan obat penurun panas." Maureen mengabaikan keangkuhan Erland. Anggap saja sedang menghadapi pasien rewel.
Saat kembali, dia menemukan Erland merintih lemah. Wajah tajam pria itu kini terdistorsi oleh rasa sakit. Maureen membantunya duduk, menyuapi obat, lalu perlahan melepaskan pakaian kotor dan menggantinya dengan kaos tipis dan longgar yang lebih nyaman. Kali ini Erland tidak melawan karena sudah kehabisan tenaga.
“Kamu bertarung sama siapa? Sampai segininya?” celetuk Maureen saat mengompres dahi Erland. Meski tidak ingin ikut campur, tapi lidahnya kalah oleh rasa penasaran.
Erland memejamkan mata. “Orang yang seharusnya mati sejak lama.”
Kalimat itu membuat Maureen bergidik. Tapi dia memilih tidak bertanya lagi.
Setengah jam kemudian, obat mulai bereaksi. Erland pun terlelap di karpet. Dalam diam, Maureen mengamati wajah suaminya yang kini tenang.
Kalau sedang tidur seperti ini Erland tampak seperti pria biasa. Tampan, sudah pasti. Tapi, yang jelas ada rapuh dibalik sikap berandalnya. Bekas luka di tubuh Erland menggambarkan kalau lelaki ini menyimpan sesuatu yang tidak diketahui banyak orang.
“Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu, Erland?" gumam Maureen prihatin.
Pelan-pelan, rasa kantuk mulai menyerang. Maureen bersandar di sofa. Lama kelamaan tubuhnya condong ke arah Erland hingga akhirnya kepala Maureen jatuh ke dada Erland.
Dan, malam ini mereka tidur bersama diatas karpet ruang tamu.
Matahari menyapa dengan malu-malu, sinarnya menyusup melalui celah tirai.
Erland membuka mata perlahan. Kepalanya terasa berat efek alkohol semalam. Tapi, yang lebih mengagetkan adalah posisi Maureen.
Gadis itu tidur dengan kepala bertumpu di dadanya. Tubuh bagian depan gadis itu menempel di dada Erland yang hanya tertutup selembar kaos tipis.
Detik berikutnya, tubuh Erland mematung.
“Sial! Lancang sekali dia," desisnya dalam hati. Erland merasakan kaki Maureen menempel di bagian bawah tubuhnya yang sensitif.
Seakan siksaan itu belum cukup, napas Maureen membelai leher Erland, mengakibatkan bulu kuduknya meremang.
Erland menoleh ke Maureen. Dia tidak menyangka kalau Maureen mau merawat dirinya, bahkan sampai tertidur. Kalau diperhatikan saat tidur begini, wajah Maureen terlihat lembut dan tenang.
Tanpa bisa dicegah, tangan Erland bergerak dengan sendirinya. Tangannya membelai pipi Maureen lembut sambil berbisik dengan suara serak, "Kamu yang mulai menggodaku. Jangan salahkan aku kalau melakukan ini."
Perlahan - lahan tubuh Erland mendekat. Sedikit demi sedikit condong kearah Maureen....
Maureen mempercepat langkahnya, setengah berlari kecil saat masuk ke kamarnya. Tadi Tuan Diandra menelepon dan mengatakan ingin mampir. Sebenarnya permintaan itu biasa saja, tapi Maureen berkeinginan kuat untuk menjamu Tuan Diandra dengan masakannya sendiri. Masalahnya, Maureen baru saja tiba dari panti asuhan saat Tuan Diandra menelepon. Maureen membuka satu per satu kancing blouse yang dia pakai sambil memikirkan makan malam simple dan cepat saji, tapi cukup enak untuk dinikmati bersama. Ayam? Sosis? Brokoli? Spaghetty? Saus keju? Atau, lebih baik masak chicken creamy broccoli? Kancing-kancing blouse sudah terbuka sepenuhnya saat suara pintu dibuka dengan keras bersamaan dengan teriakan, "Maureen!" Maureen menoleh. Pintu terbuka lebar. Dan di sana, berdiri seorang lelaki tinggi dengan wajah kesal, mata menyala, dan napas memburu. Erland! Maureen membeku. Mata mereka saling bertemu, dan untuk sesaat waktu seakan terhenti bagi mereka. Erland menelan ludah saat pandangannya jat
Erland baru selesai membereskan meja saat suara ketukan pintu terdengar. Dia menoleh. Di ambang pintu tampak sosok sekretarisnya yang cantik sedang berdiri sambil tersenyum. "Selamat malam, Tuan." "Ada apa?" tanya Erland. Dia melepas kacamata dan berdiri, karena memang dia ingin pulang. Jennie salah paham. Dia pikir Erland sedang menyambut kedatangannya. Maka, dengan percaya diri dia melangkah mendekat. "Maaf, anda belum pulang? Saya melihat lampu ruangan masih menyala. Jadi, saya memutuskan untuk menengok...," ujarnya dengan suara yang sengaja dibuat mendayu-dayu. Sebelah tangannya menyibakkam rambutnya yang panjang ke belakang, lalu dengan sengaja membusungkan dada untuk memperlihatkan belahan blousenya yang rendah. Erland heran dengan cara berjalan Jennie yang terasa 'aneh'. "Kenapa masih disini? Aku sudah menyuruhmu pulang dari tadi." Jennie mengangguk. "Saya khawatir anda masih membutuhkan bantuan saya. Jadi, saya sengaja menunggu..." Terbiasa dengan banyak wanita, Erland m
Erland meregangkan otot-ototnya yang kaku, lalu melepaskan kacamata anti radiasi dan mengucek mata. Jam sudah menunjukan pukul tujuh, tapi deretan angka-angka di tablet seakan tidak mengijinkannya untuk pulang. Hari ini Erland dipaksa untuk bekerja lebih keras. Perusahaannya benar-benar terpuruk dan butuh perhatian lebih. "Sudah malam, Tuan Muda. Anda bisa melanjutkan besok," saran Marco yang seharian ini setia mendampingi. Mengabaikan Marco, Erland memasang kembali kacamatanya dan melanjutkan pekerjaan. Protes Maureen kembali terngiang di kepalanya, "Angka-angka ini bikin pusing! Ternyata kamu benar-benar tidak bisa bekerja." Dan, ucapan Maureen benar sekali. Erland sampai tidak berani berharap banyak pada perusahaannya. Bisa bertahan saja sudah bagus. Dia juga terlalu malu untuk meminta bantuan Maureen. Istri rahasianya itu bekerja lebih banyak dibanding dirinya. Dia bahkan sudah membatalkan keputusannya untuk menjadikan Maureen sebagai asisten pribadi. Mulai hari ini dan beb
"Reen, apa ada yang tidak aku ketahui tentang kamu?" tanya Reinner. Maureen tidak langsung menjawab. Matanya mengamati sejenak lelaki yang sudah sangat dekat dengannya sejak kecil. Di hadapannya, Reinner tampak sabar menanti. "Reen, kamu tau kan kalau kamu bisa bercerita apa pun padaku?" bujuk Reinner, tangannya terulur lalu mengusap kepala Maureen dengan penuh kasih sayang. Maureen tergugu, lalu menunduk. Sikap Reinner yang seperti ini membuatnya merasa bersalah. Ekspresi Maureen yang bimbang membuat hati Reinner yang lembut tersentuh. Dari dulu dia tidak pernah tega menekan Maureen. Hidup gadis itu sudah terlalu banyak tekanan di keluarga angkatnya. "Hey! Wajahmu jangan seperti itu. Kita makan ice cream saja. Bagaimana?" Reinner segera mengalihkan perhatian Maureen dari pertanyaannya yang terkesan penuh tekanan. Beberapa menit kemudian, mereka duduk di bangku sudut kedai es krim favorit Maureen. “Kamu terlalu memanjakan aku, Rein…” ucap Maureen dengan mata berkaca-kaca. Rein
"Kenapa? Kamu takut aku menciummu?"Kalimat itu terus berputar di kepala Jillian. Sejak pagi, pikirannya tidak bisa tenang. Bukannya fokus belajar, layar proyektor dosen justru berubah menjadi layar lebar yang menayangkan wajah Erland dari berbagai sudut—mata tajamnya, senyum sinisnya. Dan yang mengerikan aroma tubuh Erland yang memabukkan, entah kenapa masih tertinggal dalam memori.Tok! Tok! "Jillian! Hey, Jillian!" Jillian mengerjap kaget saat namanya dipanggil dengan volume yang keras. Dia mendongak dan menghembuskan napas. "Oh, Fiona," ucapnya antara sadar dan tidak. Dia pikir dia sedang di kelas, ternyata mereka sedang duduk di foodcourt sebuah mall. Fiona, teman dekat Jillian, menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengernyitkan kening. Gadis itu menatap Jillian yang lebih banyak melamun hari ini. "Kamu tidak makan?" tanyanya sambil melirik Korean Grilled Beef milik Jillian yang hampir dingin, padahal makanan itu lebih enak dinikmati saat masih panas atau hanga
Maureen melangkah ringan masuk ke sebuah panti jompo mewah tempat dimana Nenek Argantha sekarang tinggal. Dia membawa sebungkus buah tangan dan sekotak vitamin untuk Nenek Argantha. Sejak menikah dengan Erland, dia belum sempat berkunjung.Namun, baru menginjak pintu masuk panti, langkah Maureen melambat. Alunan musik nostalgia mengalun ditingkahi dengan tawa ceria penghuni rumah jompo. Wangi tumis sayur yang lezat menyeruak masuk ke indera penciumannya "Kenapa ramai sekali? Apa ada acara" gumamnya pelan. Tiba di ruang bersama, Maureen mendapati kalau hampir semua penghuni panti berkumpul disana. Dia menyipitkan mata saat mengenali satu sosok yang dekat di hati sedang berdiri di tengah keramaian. Lelaki tampan dan tinggi itu memakai celemek putih dan topi chef, terlihat begitu mencolok diantara para manula. "Reinner? Kapan datang?" gumam Maureen penuh rindu. Lelaki itu dengan telaten melayani para manula. Ada yang minta tambahan sup atau buah. Ada yang ingin fotonya diambil. Semu