Mag-log in"Kamu yang mulai menggodaku. Jangan salahkan aku kalau melakukan ini," bisik Erland dengan suara serak.
Perlahan - lahan tubuh Erland mendekat. Sedikit demi sedikit condong ke arah Maureen. Wajahnya begitu dekat hingga napas hangatnya menyapu pipi gadis itu. Maureen tiba-tiba membuka mata lebar-lebar. "Hah?!" Napas Erland tersentak. Panik, dia langsung rebahan ke sisi Maureen sambil memejamkan mata rapat-rapat. Berpura - pura sedang tidur nyenyak dengan bersikap sepolos mungkin seakan - akan tidak berdosa. Maureen menatap Erland sambil mengerutkan dahi. “Kamu masih tidur?” Tentu saja Erland tidak mau menjawab. Tukang berkelahi itu berusaha bernapas setenang mungkin supaya tidak ketahuan, padahal jantungnya berdebar keras. Pasti akan sangat memalukan kalau sampai tertangkap basah sedang mengamati wajah istrinya yang tidak dia sukai. Tidak ambil pusing, Maureen meletakkan tangan ke dahi Erland. “Bagus sekali. Demamnya sudah turun," gumamnya, berkata pada diri sendiri. Setelah itu Maureen beranjak dari posisinya, lalu pergi ke kamar mandi untuk bersiap - siap ke kampus. Saat turun ke dapur, sarapan sudah siap. Tuan Diandra tidak main - main dengan janjinya untuk memberikan yang terbaik. Pagi ini beliau mengirim pelayan untuk menyiapkan sarapan mereka dan membersihkan paviliun. “Tolong antar makanan ini untuk Tuan Muda di kamar. Masuk saja, dan letakkan di meja. Pelan - pelan. Erland sedang tidur," pinta Maureen, dagunya menunjuk kearah kamar yang dia maksud. "Baik, Nona," angguk Pelayan sambil tersenyum sopan. Sementara itu, di kamar, Erland yang sedang pura - pura tidur tersenyum saat mendengar seseorang masuk. Dia pikir Maureen yang masuk. Beberapa detik menunggu, tidak terdengar suara Maureen. Penasaran, Erland mengintip dengan membuka sebelah mata. "Lho?! Kok kamu? Mana Maureen?" seru Erland seakan tak terima. Dia langsung duduk dan menatap tajam pada pelayan. "M... maaf, Tuan. Tadi..., Nona Maureen yang menyuruh saya mengantarkan makanan kesini. Beliau melarang saya mengetuk pintu karena takut mengganggu tidur Tuan Muda," gagap Pelayan sambil menunduk takut - takut. Anak majikannya ini terkenal galak dan pemarah. "O'ya?" Wajah garang Erland memudar, berganti dengan sebuah senyum samar. Pelayan mengerjapkan mata. Ini pertama kalinya dia melihat senyum sang Tuan Muda, meski senyum itu lebih mirip seringai karena luka bekas perkelahian semalam. "Apa lihat - lihat!?" Erland melengos supaya pelayan tidak melihat dengan jelas luka - luka di wajahnya. "Aku peringatkan kamu! Kalau sampai kamu lapor ke Papaku, kamu akan merasakan akibatnya," ancam Erland kembali ke mode angkuhnya. "B...-baik, Tuan." Pelayan menunduk semakin dalam.Erland mengibaskan tangannya, mengusir pelayan supaya meninggalkan ruangan. Matanya kini beralih ke nampan yang berisi sarapan pagi. Untuk kedua kalinya perasaan asing yang tidak bisa dijelaskan itu menyusup ke dalam hati Erland.
Selanjutnya keinginan untuk pergi ke kampus menyeruak begitu kuat. Tak mau membuang waktu, Erland menghabiskan sarapannya, lalu bersiap pergi ke kampus.
Setengah jam kemudian, si tukang bolos itu sudah berada di kampus. Bukan untuk kuliah atau menemui dosen, melainkan menunggu Maureen selesai kuliah.
Orang yang di tunggu menjalani harinya seperti biasa. Usai kuliah, gadis itu bergegas keluar kampus.
Tin!
Maureen mengerutkan kening, lalu melengos. Dia baru saja keluar dari kampus, dan hendak pergi ke halte bus. Dari sudut matanya, Maureen merasa kalau ada sebuah mobil tadi bergerak mendekatintya.
Tin! Tin!
Maureen berusaha tidak menoleh. Dia mengayunkan langkah lebih cepat.Tin! Tin!
Ternyata, orang yang mengklakson belum menyerah. !Dia menurunkan jendela mobil, lalu berseru, "Hey! Masuk!"
"CK! Siapa sih?! Dasar iseng!" omelnya mulai terpancing emosi. Dari panas mesin yang terasa di kulit, Maureen tahu kalau jarak mobil dengan dirinya sudah sangat dekat.
Maureen langsung berbelok arah ke jalan setapak yang hanya bisa dilewati oleh pejalan kaki.
"Aman! Mobil tidak akan bisa masuk ke jalur ini," pikirnya sambil menghembuskan napas.
Kelegaan itu tidak berlangsung lama, karena Maureen mendengar suara pintu mobil ditutup, dilanjutkan dengan suara langkah - langkah kaki cepat terdengar mengikutinya.
"Hey, Bodoh! Tunggu aku!" Sebuah tangan menyentuh bahunya.Maureen berbalik badan dengan amarah yang meluap - luap.
"KURANG AJ...-!" Maureen melayangkan telapak tangan di udara.
"HUP!"
Tangan Maureen tertahan di udara. Erland mencengkeram pergelangan tangannya.Mata mereka bertemu.
"Kamu ini kenapa, sih?! Hobi banget menyerang aku?" sergah Erland kesal.
Maureen mengerjap. Rambut gondrong kecokelatan yang diikat, topi, masker, dan kacamata hitam. Tapi tetap saja… “Heh?! Erland?"
"Iya! Ini aku. Kamu pikir siapa, hah?"
"Dasar kurang kerjaan! Ngapain kamu mengikutiku?" sembur Maureen penuh emosi.
"Kamu pikir kamu siapa sampai aku mau mengikuti kamu?” Erland mengamati Maureen dari balik masker. Istri sementaranya ini masih setia dengan kaos oversize dan celana kulot semata kakinya. "Kamu tidak ada menarik - menariknya"
Tidak menjawab apa pun, Maureen merespon dengan gaya yang menyebalkan. Gadis itu melipat tangan di depan dada sambil mencibir. Bahasa tubuhnya menunjukkan kalau dia tak percaya ucapan Erland.
"Kalau bukan karena perintah Papa, mana mau aku menjemputmu," tambah Erland lagi. Gengsinya masih setinggi langit untuk mengakui yang sebenarnya.
"Hm..."
"Cepetan naik! Kamu sudah membuang waktuku," perintah Erland lagi sebelum Maureen sempat membuka mulut.
"CK! Apa boleh buat!" Maureen mengedikkan kedua bahunya, lalu mengikuti Erland berjalan menuju mobil mahalnya.
Klik.
Seseorang yang ada dibawah pohon memotret Maureen yang sedang masuk ke dalam mobil Erland.Dan, di foto itu wajah Maureen terekam dengan jelas.
Mobil yang dikendarai Erland baru saja meninggalkan bandara. Setelah kasusnya dengan Clarisse terekspose, dan berakhir dengan dia menikahi Lourdes, kagum dan simpati terus mengalir kepadanya.Agensinya sengaja memanfaatkan moment itu untuk mengatur jadwal yang padat supaya momentum popularitasnya tidak turun.Mulai dari shooting iklan, promo album baru, mini konser, tampil sebagai tamu undangan dan rangkaian kegiatan lain yang susul menyusul tanpa jeda.Dan akhirnya setelah dua bulan, bertepatan dengan kabar kehamilan Lourdes, Erland bisa kembali ke rumahnya."Langsung pulang ke rumah," perintah Erland pada Jefta yang melajukan mobilnya. Dia tidak bisa mendefinisikan perasaannya pada kabar kehamilan Lourdes.Bahagia atau tidak? Erland benar-benar tidak tahu. Yang dia tahu, pulang ke rumah dimana Lourdes tinggal adalah hal yang benar dan harus dia lakukan."Baik, Tuan." Jefta menjawab sambil melirik sekilas pada majikannya. Dia tahu rumah yang dimaksud oleh Erland adalah tempat tingga
Lourdes tercengang.Meski sudah menduga sebelumnya, tetap saja dia terkejut."Bagaimana, Nyonya?" tanya Bibi Maretha. Menghempaskan Lourdes kembali kepada kenyataan.Lourdes menoleh pada Bibi Maretha yang berdiri di ambang pintu kamar mandi. Wajah wanita itu tampak harap-harap cemas.Perlahan Lourdes mengangkat batang testpack ditangannya dan berkata pelan, "Warnanya kurang jelas."Bibi Maretha yang sudah berusia diatas empat puluh tahun menyipitkan mata, lalu mendekat."Bagaimana, bagaimana?" tanyanya antusias."Dua garis, Bibi.""O'ya?" pekik Bibi Maretha."Dua garis, tapi warnanya kurang jelas. Artinya, aku hamil atau tidak?" tanya Lourdes yang tiba-tiba saja merasa bodoh sekali. Dia tahu Erland bertanggung jawab atas kejadian malam itu, tapi tidak ada pembicaraan soal anak."Bodoh sekali! Seharusnya aku minum pil pencegah kehamilan," sesal Lourdes dalam hati. Saat itu dia terlalu fokus pada pelaku kejahatan yang sudah menjebaknya.Bibi Maretha mengambil testpack dari tangan Lourde
"Tampaknya aku harus pergi malam ini, Lou. Masih ada beberapa jadwal yang harus aku selesaikan," kata Erland dengan raut wajah penuh sesal.Lourdes tersenyum manis. Dari awal dia sudah tahu pekerjaan Erland adalah seorang penyanyi yang sedang naik daun. Saat ini agency sedang gencar-gencarnya promo album terbarunya.Mengharapkan bersama Erland di malam pernikahan adalah hal yang konyol. Terlebih pernikahan mereka karena kecelakaan."Kamu harus maklum, Lou," ucap Lourdes dalam hati."Istirahatlah. Aku akan bersiap-siap." Ucapan Erland berikutnya membuyarkan lamunan Lourdes."Bagaimana kalau aku membantumu bersiap-siap?" tawar Lourdes, bersiap memulai tugas pertama sebagai seorang istri. Toh, mereka sudah terlanjur menikah.Erland tersenyum tipis. "Terima kasih."Selanjutnya, mereka berbenah. Lourdes mempersiapkan keperluan Erland dengan detail. Hal yang tidak pernah dilakukan oleh Maureen selama ini karena Erland terlalu mandiri."Kamu tahu kemana harus menghubungiku kalau butuh sesuat
Lourdes mengangkat wajah dan menatap wajah Erland. Lelaki itu tampak berbeda hari ini. Entah caranya memandang kepada Lourdes, atau karena sikap bertanggung jawabnya yang membuat Lourdes semakin jatuh cinta pada Erland.Sebelumnya dia sudah kagum pada Erland berkat penampilannya di layar televisi.Dan, sekarang?Kekaguman itu naik berlipat-lipat, ditambah dengan hati yang meleleh. Lelaki ini bersedia menanggung kesalahan orang lain, dalam hal ini Clarisse."Bagaimana, Lou?" tanya Erland, memecahkan keheningan yang tercipta beberapa saat."Erland, apa kamu serius?" tanya Lourdes untuk memastikan. Dia menatap mata Erland dalam-dalam.Erland membalas tatapan Lourdes."Tentu saja," jawabnya sungguh-sungguh. Seumur-umur, dia tidak pernah meminta seorang gadis menikah dengannya. Dengan Maureen sekali pun. Tapi kali ini, dia harus - yang anehnya, dia tidak merasa keberatan menikahi Lourdes.Lourdes menahan napas saat Erland memalingkan wajah, dan melanjutkan ucapannya."Tapi, Lou... aku tida
Mobil yang dikendarai Jefta meninggalkan kantor polisi. Masalah Clarisse, dia sudah memastikan gadis itu akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Setidaknya, Clarisse tidak akan gampang-gampang bisa kembali ke dunia hiburan.Tapi, Erland belum bisa bernapas lega. Masih ada satu beban pikiran yang belum terselesaikan, yaitu janjinya untuk menikahi Lourdes.Meski mulutnya berkata akan menikahi, tapi hatinya tidak yakin bisa membahagiakan Lourdes."Pergi ke Lourdes!" perintah Erland, seraya memasukkan alamat Lourdes ke layar yang terpasang di dashboard mobil."Baik, Tuan." Jefta melirik sekilas peta digital yang kini menampilkan titik tujuan.Tanpa bertanya lebih jauh, dia menginjak pedal gas dan mengikuti arah yang dipandu oleh suara sistem navigasi mobil.Rasa bersalah pada Lourdes membuat Erland memutuskan secara impulsif dengan mengatakan akan menikahi Lourdes. Sekarang dia baru meragukan keputusannya itu. Maureen dan dirinya harus patah hari, rasanya tidak adil.Sepanjang perjalanan,
Di kantor polisi kota sebelah... Erland, selepas sidang cerainya, kembali ke kota sebelah. Proses penyelidikan kasusnya sudah dimulai. Clarisse sempat kabur keluar negeri, tapi berhasil dicekal dan dibawa kembali untuk dimintai keterangan.Dia sengaja datang untuk mendengarkan pertanyaan penyidik dari balik kaca ruangan di kantor polisi. Di balik kaca, ada Clarisse sebagai tersangka dan Nollan yang sedang menginterogasi.Sedari tadi, gadis itu menjawab pertanyaan dengan seenaknya sendiri. Dia duduk dengan ekspresi masam, dan sering berteriak histeris kalau tidak mau menjawab tanpa pendampingan pengacara."Katakan kenapa anda memasukkan obat ke dalam minuman Tuan Erland?""Saya tidak tahu kalau Erland sakit dan harus minum obat," jawabnya, sengaja berkelit.Dia kini duduk sambil menyilangkan kaki, dan sedikit membungkukkan tubuh supaya belahan bajunya yang rendah sengaja bisa membuat penyidik salah fokus.Tapi, ternyata usahanya sia-sia. Nollan adalah seorang polisi dengan integritas







