"Ugh! Rasanya aku belum tidur sama sekali," gerutu Erland, sambil bangkit lalu duduk dengan bahu luruh. "Selamat pagi, Tuan," sapa Jefta yang sedang sibuk dengan mesin pembuat kopi. Meski begitu, beberapa kali dia mencuri pandang kepada boss-nya.Erland tidak menjawab. Rambutnya berantakan dan wajahnya seperti orang yang tidak tidur berhari-hari.Jefta benar-benar masih tidak percaya, seorang Tuan Muda Diandra sudi menginap di apartmentnya yang mungil."Anda mau kopi dulu atau mandi lebih dulu, Tuan?" tawar Jefta kemudian. Dia meletakkan sebuah ransel hitam di dekat kaki Tuannya.Erland bangkit dari duduknya dengan malas, lalu meraih ransel tersebut dan membukanya. Dia hendak mengambil keperluan pribadinya, namun matanya tertumbuk pada sebuah benda pipih yang ada disana.Refleks, Erland meraih ponsel itu dan memeriksanya. Jempolnya mengusap layar, lalu muncul sebuah pemberitahuan.Lima panggilan tidak terjawab di malam hari, dan dua panggilan tidak terjawab di pagi hari. Dibawahnya a
"CK! Omong kosong kamu, Maureen! Mana janjimu?" gerutu Erland, memeriksa ponsel untuk kesekian kalinya. Dia sedang menyetir, tapi hampir di setiap lampu merah, Erland pasti melihat ponsel, menunggu balasan pesan dari Maureen."Dia bilang akan menelepon atau mengirimi pesan! Dasar pembohong." Erland terus bersungut-sungut sepanjang jalan dari kantor hingga tiba di rumah, padahal seharusnya dia mempertimbangkan kabar yang tadi diterima dari salah satu stasiun televisi.Begitu sampai di rumah, paviliun terasa kosong dan sepi. Seorang pelayan menyambutnya."Silahkan, Tuan. Makan malam sudah siap," ujarnya sambil menunduk sopan.Erland melangkah ke ruang makan dan menatap piring-piring berisi menu lengkap untuk makan malamnya. Mendadak saja dia benci pelayan yang menyiapkan makanan itu, dia ingin Maureen yang ada disana.Aroma makanan tidak sanggup menggugah selera makannya, Erland hanya berdiri memandangi piring-piring itu dengan tatapan tanpa minat."Ah, sudahlah. Sebaiknya aku menonton
"Erland?" Suara seorang wanita terdengar tepat ketika Erland berbalik badan. Erland mendongak, dan tatapannya bertemu dengan sepasang mata lembut— sepasang mata yang dulu menatapnya penuh kasih saat membacakan dongeng. Sayangnya, mereka harus berpisah untuk alasan yang sampai sekarang tidak dipahami olehnya. Lillian Odelia. Wanita itu berdiri dengan mantel panjang warna gading dan syal tipis di lehernya. Wajahnya masih secantik dulu, tapi lebih matang, ada setitik sendu yang tidak bisa disembunyikan. Erland terdiam. Rahangnya mengeras, tapi dia tidak melangkah pergi seperti yang biasa dilakukan olehnya sebelum ini. "Mau terbang kemana?" tanya Lillian, berbasa basi. Dia sudah tahu kalau Maureen akan terbang hari ini. Sesuai dugaannya, Erland mengantarkan Maureen. "Mengantar Maureen," jawab Erland acuh tak acuh. Setelah itu mereka saling berpandangan dengan canggung. "Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan, aku mau pulang." Erland terlebih dahulu bersuara, langsung beranjak hend
Protes keras, Erland meninggalkan Maureen dan masuk ke kamarnya. Klik! Maureen ternganga saat mendengar suara pintu terkunci. "Ya ampun! Aneh sekali si Erland. Dia kenapa sih?" gumamnya, menyusul Erland."Erland! Woi, Erland!" serunya mengetuk pintu kamar, tapi tidak mendapat jawaban. Beberapa saat mencoba dan tidak ada hasil, maka Maureen pun menyerah.Dia mengangkat bahu, lalu kembali ke meja makan dan menikmati makan malamnya sambil memikirkan kelakuan Erland yang seperti anak kecil ngambek karena hendak ditinggal pergi oleh Ibunya. Dan, sebuah ide terlintas di benak Maureen. "Dia bilang jangan mencarinya malam ini. Jadi, maksudnya aku boleh pamit pagi-pagi sebelum pergi kan?" gumamnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Pagi-pagi sekali, Maureen sudah rapi. Masih ada waktu sekitar satu jam lebih sebelum pesawatnya berangkat. Pelan-pelan, Maureen masuk ke dalam kamar Erland menggunakan kunci cadangan. Kamar hanya diterangi oleh lampu tidur. Erland terlihat masih tidur dengan p
"Apakah kalau aku bersikap manis, maka kamu mau bersamaku terus malam ini?" Maureen mengerjap, tidak tahu harus merespon apa pertanyaan Erland barusan. "Temani aku tidur sampai pagi," pinta Erland dengan mata terus melekat pada gadis yang berstatus istrinya. "Kamu yakin?" tanya Maureen. Erland mengangguk. "Aku mau kamu malam ini." "O'ya?" "Ya. Ternyata aku menginginkan kamu," bisik Erland di telinga Maureen. Maureen memejamkan mata, menahan supaya tidak jatuh dalam pesona Erland. "Apa kamu benar-benar bahagia bersamaku?" uji Maureen sekali lagi. Kali ini dia membuka mata dan menatap Erland dalam-dalam. Pertanyaan ini membuat Erland mulai berpikir. Kecantikan Maureen, sikap yang apa adanya, lalu tingkahnya yang menggemaskan. Ya. Maureen membuatnya nyaman. "Aku bahagia bersamamu. Aku benar-benar menginginkan kamu," jawab Erland dengan suara berbisik. "Tapi, Erland," Maureen menangkupkan kedua telapak tangannya ke pipi Erland sambil menatap dengan lembut, "Kamu adalah tipe la
"Kenapa? Bagaimana kalau kita pulang?" bisik Erland, tangannya semakin liar menjelajah. "Kita lanjutkan pestanya di rumah. Berdua saja...""Huh!" Maureen melotot kesal karena Erland sama sekali tidak peka kalau perutnya lapar."Acaranya membosankan sekali. Iya kan?" tanya Erland sok polos, tanpa canggung mengecup pundak Maureen.Maureen terjengit. Matanya melirik ke kanan dan kiri, berharap tidak ada yang memperhatikan mereka."Untunglah, orang-orang itu sedang fokus ke pembawa acara," batinnya lega."EHM!" Deheman Reinner kembali mengagetkan Maureen. Dia mendongak."Sebaiknya kamu turuti ajakan suamimu untuk pulang, Reen. Sorry, ini demi kebaikan bersama. Aku khawatir akan terjadi hal yang diinginkan oleh Erland disini," celetuk Reinner dengan raur datar."Rein...," desisnya, kehilangan kata-kata. Malunya sampai ubun-ubun. 'Aksi' Erland ternyata diketahui oleh Reinner.Berbeda dengan Maureen, Erland tidak terlihat canggung sama sekali. Seakan mendapat dukungan, dia menggamit tangan Ma