Pada akhirnya setelah melihat bagaimana dua keluarganya berbahagia atas pernikahan mereka, Bulan urung mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya.
“Berikan kesempatan pada pernikahan ini, Bulan. Kita pasti bisa menjalaninya.”
“Bagaimana dengan istrimu?” tanya Bulan.
“Aku yang akan mengatakan semuanya. Ini semua salahku,” jawabnya.
“Jika istrimu berarti untukmu, lalu apa artinya aku di antara kalian, Mas?” Suara Bulan kembali terdengar.
“Aku masih belajar menerima semua ini, Bulan.”
Pada akhirnya Bulan meminta waktu dan kesempatan untuk memikirkan ucapan Alfan, walaupun ia tidak yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Karena ia tahu bahwa sejatinya tidak ada wanita yang mau jika suaminya dibagi dengan wanita lain, termasuk dirinya. Walaupun hubungannya dengan Alfan belum menumbuhkan debaran dan getaran di hati, sejujurnya Bulan hanya menginginkan pernikahan sekali selama hidupnya.
“Tolong, jangan katakan apapun pada keluarga kita.”
Bulan mengangguk menyanggupi permintaan Alfan.
“Di depan semua orang, kamu adalah satu-satunya istriku.”
“Tapi pada kenyataannya, akulah istri keduamu.”
Bulan tersenyum miris.
“Sekali lagi, maafkan aku, Bulan. Akulah yang paling bersalah di sini,” sahut Alfan.
“Kamu memang bersalah.”
Alfan mengangguk.
“Kamu jahat, Mas.”
Alfan kembali mengangguk membenarkan ucapan Bulan.
Tangis Bulan kembali pecah. Kenapa kehidupan rumit ini harus menyapa dirinya? Apa kesalahannya hingga ia harus berada di titik ini.
“Maaf.” Hanya itulah yang mampu diucapkan Alfan atas rasa bersalahnya.
Ini benar-benar seperti mimpi buruk untuknya.
Ketika keinginan dan harapan tak sesuai dengan kenyataan, Bulan memilih berserah diri kepada sang pemberi kehidupan. Memohon dan berharap bahwa semua ujian yang datang padanya segera menemukan jalan terbaik.
“Ya Allah, jika memang takdirku harus seperti ini. Hamba mohon kuatkan diri ini dan besarkan hati hamba untuk menerima segala sesuatu yang sudah terjadi.”
“Amin.”
Bulan terisak pelan ketika ia baru saja menyelesaikan sholat di sepertiga malam.
Manusia hanya bisa berencana, tapi kuasa Tuhan tetaplah yang utama. Dan di atas sajadah ini Bulan memohon ampun atas segala dosa-dosanya dan memohon yang terbaik untuk hidupnya.
Jika memang ini takdir yang telah digariskan untuknya. Semoga ia sabar dan tegar dalam menjalaninya. Satu kata sederhana yang sulit untuk dilakukan.
Sudah tiga hari tiga malam Bulan dan Alfan menginap di hotel. Sudah dua malam pula Bulan meminta petunjuk pada sang pemberi kehidupan. Hingga pada akhirnya ia memilih bertahan menjadi istri seorang Alfan Fatih Herlambang.
Istri yang sah secara hukum dan agama. Wanita pertama dan satu-satunya yang diketahui adalah istri dari Alfan Fatih Herlambang. Namun pada kenyataannya, ia kembali harus tertampar akan statusnya bahwa ia hanyalah yang kedua.
Siap ataupun tidak. Ia harus berbagi suami dengan wanita yang diketahui bernama Zahra.
“Terima kasih, Bulan.” Alfan menatapnya dengan ketulusan.
Bulan mengangguk.
“Pulang sekarang?” tanya Alfan.
“Mampir ke rumah dulu. Aku mau ngambil barang-barang keperluanku.”
Alfan mengangguk.
“Kamu tidak ingin mampir ke suatu tempat?” tanya Alfan membuka obrolan.
Bulan menggeleng. “Tidak, terima kasih,” ucapnya.
Alfan menyeret satu koper berukuran sedang yang berisi pakaiannya dan Bulan selama menginap di hotel. Setelah cek out, mobil yang dikendarai Alfan melaju membela padatnya kota Jakarta yang tidak pernah tidur. Apalagi ketika siang hari seperti ini, kemacetan menjadi hal yang biasa terjadi.
Mobil yang dikendarai Alfan sudah masuk ke dalam halaman rumah yang sangat luas bergaya eropa dengan pilar-pilar besar sebagai ciri khasnya.
Rumah milik keluarga Latief ini memang berbeda dari yang lain karena dibangun ulang oleh pemiliknya. Juga menjadi salah satu rumah yang sangat luas dan besar dengan halaman yang luas karena menggabungkan empat kavling untuk mendapatkan rumah impian.
Rumah yang indah dan mewah dengan mobil berbagai merk berjajar rapi di garasi.
Bulan turun diikuti Alfan. Mereka berdua langsung masuk dan disambut dengan asisten rumah tangga yang sedang membersihkan pajangan dinding di ruang tamu.
“Non Bulan sudah kembali,” sapa wanita paruh baya itu sambil melempar senyum tipis.
Bulan mengangguk dan balas tersenyum.
“Selamat datang, Den Alfan.”
“Terima kasih, Bi.”
“Non Bulan dan Den Alfan mau makan siang? Bibi siapkan ya,” tawarnya kepada sepasang pengantin baru tersebut.
Alfan mengangguk. “Terima kasih, Bi.”
“Sama-sama, Den Alfan.”
Tidak perlu ditanya kemana kedua orang tua Bulan. Sudah pasti mereka sedang bekerja dan akan pulang larut malam untuk tidur dan kembali di pagi hari.
Entah apa yang kedua orang tuanya cari hingga lupa waktu bahkan terkadang sampai lupa pada anak sendiri hanya untuk mengejar materi yang bahkan lebih dari cukup mereka miliki.
“Boleh aku jalan-jalan di sekitar sini?” tanya Alfan membuyarkan lamunan wanita cantik itu.
Bulan mengangguk.
“Mau menemani?” tanya Alfan.
Banyak hal yang ingin Alfan ketahui tentang Bulan, tapi entah mengapa ia tak bisa memulainya.
Bulan menggeleng. “Aku harus membereskan keperluanku, Mas.”
“Ya sudah.”
Bulan menuju kamarnya untuk mengambil keperluannya sedangkan Alfan berkeliling rumah.
Alfan dan Bulan duduk di meja makan menyantap makanan yang telah disediakan.
Sesekali Alfan menoleh ke arah istrinya yang makan dengan sangat pelan dan penuh kehati-hatian.
“Kenapa melihatku?” tanya Bulan membuat Alfan tersedak karena merasa ketahuan.
Uhuk! Uhuk!
“Hati-hati, Mas.” Bulan menyodorkan segelas air ke arah suaminya.
“Terima kasih, Bulan.”
Hingga pada sore harinya, Alfan menemui Bulan yang saat itu sedang duduk di samping kolam renang. Wajah wanita itu terlihat seperti kehilangan banyak semangat. Ada raut kesedihan dan luka yang tersorot dari manik matanya.
“Bulan,” panggilnya membuat wanita itu menoleh.
“Ya,” sahutnya dengan pelan. “Jika butuh sesuatu kamu bisa memintanya pada bibi.”
Alfan tertawa. “Aku ingin melihat senyum di wajahmu. Siapa yang bisa membantuku melakukannya?” Terdengar manis tapi sayang mulut itu juga yang telah tertutup rapat menutupi kedustaan.
“Mencoba merayuku?” tanya Bulan dengan datar. “Sayangnya aku bukan wanita yang mudah melupakan,” sambungnya dengan wajah menunduk memandangi pantulan dirinya di permukaan air.
“Aku hanya sedang berusaha mengakrabkan diri. Kita harus saling mengenal,” ucap Alfan.
“Maybe not now. Kita masih sama-sama membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Mas.” Bulan menghembuskan napas pelan diiringi desahan lirih dari bibirnya.
Hening untuk beberapa saat sampai Bulan memilih mengakhiri kegiatannya. Ia menoleh menatap Alfan sekilas sebelum meninggalkan kolam dengan tatapan mata Alfan yang masih mengikutinya.
“Aku bersalah. Bagaimana aku bisa menebus semuanya?” lirihnya sambil tertunduk.
To Be Continue ….
Melani memutar otak, mencoba mencari celah lain. “Bagaimana kalau kita cari tahu tentang istrinya? Siapa tahu kita bisa menemukan sesuatu yang bisa dijadikan senjata.” Pria itu mengangguk setuju. “Hubungi detektif pribadi kita. Minta dia menyelidiki semua tentang wanita itu dan keluarganya. Kalau ada rahasia yang bisa kita gunakan, kita tidak perlu memaksa pria itu secara langsung.” Melani mengeluarkan ponselnya, segera menghubungi seseorang. Sementara itu, putri mereka yang masih terobsesi dengan Alfan duduk di kamar, menatap foto pria itu di ponselnya dengan tatapan penuh hasrat. “Suatu hari nanti, kamu pasti akan menjadi milikku,” gumamnya pelan. “Aku tidak peduli berapa banyak rintangan yang harus aku hadapi. Bahkan jika itu berarti menghancurkan pernikahanmu.” ♡♡♡ Ayesha memandangi laporan bulanan butiknya dengan rasa puas. Angka penjualan meningkat tajam, bahkan beberapa klien baru mulai menunjukkan ketertarikan untuk bekerja sama dengannya. Namun, pikirannya kembali me
“Ternyata suamiku ini memiliki banyak pengagum. Bahkan ada yang melamar meski sudah tahu jika sudah memilki istri. Apakah aku harus bersyukur atau justru takut, ya. Bagaimana menurutmu, Mas?” sindir Ayesha.“Aku benar-benar tidak mengenal mereka. Tiba-tiba datang dan melamar begitu saja.” Meski sama-sama bergelut dalam dunia bisnis, sepertinya Alfan tak begitu mengenal pasangan suami istri tersebut. Mungkin karena ia baru melebarkan sayapnya di kota ini atau bagaimana, yang pasti wajah mereka tak terlalu populer hingga Alfan dengan mudah mengenalinya.“Mereka bahkan menawarimu sebuah perusahaan dan akan memastikan seluruh bisnismu akan maju. Tawaran yang menggiurkan. Apa wanita itu cantik?” kata Ayesha. Ia mendengus jengkel meski kedua orang tamu tidak tahu diri itu sudah meninggalkan ruangan.“Putri mereka yang mana saja aku pun juga tidak tahu. Benar-benar aneh,” bantah Alfan.“Jika putrinya menyukaimu sejak pandangan pertama artinya pernah ada interaksi di antara kalian, Mas. Kamu
Setelah beberapa minggu berlalu, akhirnya berita tentangnya dan sang suami mereda dan tergantikan oleh berita panas lainnya.Butiknya telah kembali buka. Bahkan kini lebih banyak pengunjung yang datang dari kalangan pejabat dan beberapa istri-istri pengusaha.Tentu saja mereka bukan hanya datang karena sekadar tertarik dengan rancangan pakaiannya. Namun, beberapa dari mereka ada yang mencoba menjalin pertemanan.Entah itu benar-benar tulus atau menginginkan hal lain.Beberapa kali juga ia mendapatkan undangan untuk masuk ke dalam group sosialita.Ayesha hanya menanggapinya dengan senyum tipis seperti biasa.Setelah ujian selalu ada kebahagiaan. Tidak akan ada kehidupan yang akan berjalan lurus dan mulus. Selalu ada rintangan dan halangan.Begitulah kehidupan.Ayesha yang baru saja mengambil air dari dapur, tidak sengaja mendengar suara Dewi yang sedang berbicara dengan seseorang melalui ponsel. Ia menajamkan pendengaran untuk mengetahui isi obrolan tersebut. Namun, saat berjalan mende
Keesokan paginya berita tentang kejadian semalam membuat namanya dan nama butiknya terseret dalam berita surat kabar.Saat membacanya Ayesha masih bisa bernapas lega karena apa yang terjadi padanya tidak sampai terekspos keluar. Bukan karena tidak ingin nama baiknya hancur, kini ia kembali menyandang nama Herlambang yang membuatnya harus menjaga nama baik suaminya juga.Alfan mengusap bahunya lembut dan mengatakan kalimat yang menenangkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.“Mom, kudengar semalam mommy keluar. Ke mana?” tanya Arzen duduk di meja makan.Remaja itu sama sekali tidak tahu bahwa ada polisi yang menghampiri ke rumah mereka. Karena kebiasaan Arzen memang setelah masuk kamar, ia jarang keluar jika tidak perlu sesuatu.“Ya, mommy ada urusan.”“Are you okay, Mom?”“Sure, Son.” Melemparkan senyum tipis yang tulus.“Kamu tidak perlu cemas. Berita itu tidak akan keluar,” bisik Alfan pelan.“Aku ha
Hi, boleh absen dong yang masih setia baca cerita ini? Komen di setiap bab agar aku tahu bahwa kalian masih ada di sini. Makasih.♡♡♡“Maaf, Nyonya. Di bawah ada polisi yang ingin bertemu Anda.”Polisi, batinnya bertanya-tanya.“Ya, bilang saja suruh tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu,” kata Ayesha segera masuk kamar dan mengganti pakaian.Saat ia turun ke ruang tamu, benar ada dua polisi yang sudah menunggunya.“Selamat malam, Nyonya. Maaf jika kedatangan kami mengganggu Anda. Kami dari Polresta Denpasar mendapat surat perintah penggeledahan butik Anda untuk melengkapi bukti bahwa saudari Clara Adelin terlibat dalam kasus peredaran dan penjualan narkoba jenis sabu.”Deg!Jantung Ayesha berdebar dengan sangat keras. Ia terkejut sekaligus syok dengan apa yang baru saja didengar.“Maaf, Pak polisi. Izinkan saya bertanya lebih dulu.”Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya pe
Sebelum berangkat ia telah menghubungi suaminya dan meminta alamat kantor yang sampai saat ini belum diketahui.Mobil melaju dengan kecepatan sedang, diiringi suara musik dari penyanyi favoritnya.Tidak sampai tiga puluh menit mobil yang dikendarai tiba di sebuah gedung tinggi bertuliskan HM Group. Ayesha segera memarkirkan mobilnya di basement dan menuju resepsionis.“Ruangan Tuan Alfan Fatih Herlambang di mana, ya?” tanya Ayesha sopan.“Maaf, apa Anda sudah membuat janji?” tanya wanita itu dengan ramah.“Apa seorang istri perlu membuat janji untuk bertemu suaminya?” Ayesha tersenyum, tetapi kata-katanya menegaskan bahwa ia adalah istrinya.“Ah, maaf. Anda Nyonya Ayesha.” Wanita itu menunduk dan meminta maaf berkali-kali.“Mari saya antar ke ruangan beliau,” ucapnya kemudian mengarahkannya menuju lift khusus.Suara denting lift menandakan mereka telah sampai di lantai yang dituju. Lantai sepuluh, gedung teratas