Share

BAB 3 - KEPUTUSAN YANG SULIT

Pada akhirnya setelah melihat bagaimana dua keluarganya berbahagia atas pernikahan mereka, Bulan urung mengatakan yang sebenarnya kepada orang tuanya.

“Berikan kesempatan pada pernikahan ini, Bulan. Kita pasti bisa menjalaninya.” 

“Bagaimana dengan istrimu?” tanya Bulan.

“Aku yang akan mengatakan semuanya. Ini semua salahku,” jawabnya.

“Jika istrimu berarti untukmu, lalu apa artinya aku di antara kalian, Mas?” Suara Bulan kembali terdengar.

“Aku masih belajar menerima semua ini, Bulan.”

Pada akhirnya Bulan meminta waktu dan kesempatan untuk memikirkan ucapan Alfan, walaupun ia tidak yakin bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Karena ia tahu bahwa sejatinya tidak ada wanita yang mau jika suaminya dibagi dengan wanita lain, termasuk dirinya. Walaupun hubungannya dengan Alfan belum menumbuhkan debaran dan getaran di hati, sejujurnya Bulan hanya menginginkan pernikahan sekali selama hidupnya.

“Tolong, jangan katakan apapun pada keluarga kita.” 

Bulan mengangguk menyanggupi permintaan Alfan.

“Di depan semua orang, kamu adalah satu-satunya istriku.”

“Tapi pada kenyataannya, akulah istri keduamu.” 

Bulan tersenyum miris. 

“Sekali lagi, maafkan aku, Bulan. Akulah yang paling bersalah di sini,” sahut Alfan.

“Kamu memang bersalah.” 

Alfan mengangguk. 

“Kamu jahat, Mas.” 

Alfan kembali mengangguk membenarkan ucapan Bulan.

Tangis Bulan kembali pecah. Kenapa kehidupan rumit ini harus menyapa dirinya? Apa kesalahannya hingga ia harus berada di titik ini. 

“Maaf.” Hanya itulah yang mampu diucapkan Alfan atas rasa bersalahnya.

Ini benar-benar seperti mimpi buruk untuknya.

Ketika keinginan dan harapan tak sesuai dengan kenyataan, Bulan memilih berserah diri kepada sang pemberi kehidupan. Memohon dan berharap bahwa semua ujian yang datang padanya segera menemukan jalan terbaik.

“Ya Allah, jika memang takdirku harus seperti ini. Hamba mohon kuatkan diri ini dan besarkan hati hamba untuk menerima segala sesuatu yang sudah terjadi.” 

“Amin.” 

Bulan terisak pelan ketika ia baru saja menyelesaikan sholat di sepertiga malam.

Manusia hanya bisa berencana, tapi kuasa Tuhan tetaplah yang utama. Dan di atas sajadah ini Bulan memohon ampun atas segala dosa-dosanya dan memohon yang terbaik untuk hidupnya.

Jika memang ini takdir yang telah digariskan untuknya. Semoga ia sabar dan tegar dalam menjalaninya. Satu kata sederhana yang sulit untuk dilakukan. 

Sudah tiga hari tiga malam Bulan dan Alfan menginap di hotel. Sudah dua malam pula Bulan meminta petunjuk pada sang pemberi kehidupan. Hingga pada akhirnya ia memilih bertahan menjadi istri seorang Alfan Fatih Herlambang.

Istri yang sah secara hukum dan agama. Wanita pertama dan satu-satunya yang diketahui adalah istri dari Alfan Fatih Herlambang. Namun pada kenyataannya, ia kembali harus tertampar akan statusnya bahwa ia hanyalah yang kedua. 

Siap ataupun tidak. Ia harus berbagi suami dengan wanita yang diketahui bernama Zahra.

“Terima kasih, Bulan.” Alfan menatapnya dengan ketulusan.

Bulan mengangguk. 

“Pulang sekarang?” tanya Alfan.

“Mampir ke rumah dulu. Aku mau ngambil barang-barang keperluanku.” 

Alfan mengangguk. 

“Kamu tidak ingin mampir ke suatu tempat?” tanya Alfan membuka obrolan. 

Bulan menggeleng. “Tidak, terima kasih,” ucapnya.

Alfan menyeret satu koper berukuran sedang yang berisi pakaiannya dan Bulan selama menginap di hotel. Setelah cek out, mobil yang dikendarai Alfan melaju membela padatnya kota Jakarta yang tidak pernah tidur. Apalagi ketika siang hari seperti ini, kemacetan menjadi hal yang biasa terjadi.

Mobil yang dikendarai Alfan sudah masuk ke dalam halaman rumah yang sangat luas bergaya eropa dengan pilar-pilar besar sebagai ciri khasnya. 

Rumah milik keluarga Latief ini memang berbeda dari yang lain karena dibangun ulang oleh pemiliknya. Juga menjadi salah satu rumah yang sangat luas dan besar dengan halaman yang luas karena menggabungkan empat kavling untuk mendapatkan rumah impian. 

Rumah yang indah dan mewah dengan mobil berbagai merk berjajar rapi di garasi.

Bulan turun diikuti Alfan. Mereka berdua langsung masuk dan disambut dengan asisten rumah tangga yang sedang membersihkan pajangan dinding di ruang tamu.

“Non Bulan sudah kembali,” sapa wanita paruh baya itu sambil melempar senyum tipis.

Bulan mengangguk dan balas tersenyum. 

“Selamat datang, Den Alfan.”

“Terima kasih, Bi.” 

“Non Bulan dan Den Alfan mau makan siang? Bibi siapkan ya,” tawarnya kepada sepasang pengantin baru tersebut.

Alfan mengangguk. “Terima kasih, Bi.” 

“Sama-sama, Den Alfan.” 

Tidak perlu ditanya kemana kedua orang tua Bulan. Sudah pasti mereka sedang bekerja dan akan pulang larut malam untuk tidur dan kembali di pagi hari. 

Entah apa yang kedua orang tuanya cari hingga lupa waktu bahkan terkadang sampai lupa pada anak sendiri hanya untuk mengejar materi yang bahkan lebih dari cukup mereka miliki.

“Boleh aku jalan-jalan di sekitar sini?” tanya Alfan membuyarkan lamunan wanita cantik itu. 

Bulan mengangguk.

“Mau menemani?” tanya Alfan.

Banyak hal yang ingin Alfan ketahui tentang Bulan, tapi entah mengapa ia tak bisa memulainya.

Bulan menggeleng. “Aku harus membereskan keperluanku, Mas.” 

“Ya sudah.” 

Bulan menuju kamarnya untuk mengambil keperluannya sedangkan Alfan berkeliling rumah.

Alfan dan Bulan duduk di meja makan menyantap makanan yang telah disediakan. 

Sesekali Alfan menoleh ke arah istrinya yang makan dengan sangat pelan dan penuh kehati-hatian.

“Kenapa melihatku?” tanya Bulan membuat Alfan tersedak karena merasa ketahuan.

Uhuk! Uhuk! 

“Hati-hati, Mas.” Bulan menyodorkan segelas air ke arah suaminya.

“Terima kasih, Bulan.” 

Hingga pada sore harinya, Alfan menemui Bulan yang saat itu sedang duduk di samping kolam renang. Wajah wanita itu terlihat seperti kehilangan banyak semangat. Ada raut kesedihan dan luka yang tersorot dari manik matanya.

“Bulan,” panggilnya membuat wanita itu menoleh.

“Ya,” sahutnya dengan pelan. “Jika butuh sesuatu kamu bisa memintanya pada bibi.” 

Alfan tertawa. “Aku ingin melihat senyum di wajahmu. Siapa yang bisa membantuku melakukannya?” Terdengar manis tapi sayang mulut itu juga yang telah tertutup rapat menutupi kedustaan.

“Mencoba merayuku?” tanya Bulan dengan datar. “Sayangnya aku bukan wanita yang mudah melupakan,” sambungnya dengan wajah menunduk memandangi pantulan dirinya di permukaan air.

“Aku hanya sedang berusaha mengakrabkan diri. Kita harus saling mengenal,” ucap Alfan.

“Maybe not now. Kita masih sama-sama membutuhkan waktu untuk menenangkan diri, Mas.” Bulan menghembuskan napas pelan diiringi desahan lirih dari bibirnya.

Hening untuk beberapa saat sampai Bulan memilih mengakhiri kegiatannya. Ia menoleh menatap Alfan sekilas sebelum meninggalkan kolam dengan tatapan mata Alfan yang masih mengikutinya.

“Aku bersalah. Bagaimana aku bisa menebus semuanya?” lirihnya sambil tertunduk.

To Be Continue ….

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Yen San
lanjutkan kak..
goodnovel comment avatar
Watilaras Risky
wahhhh ni nopel pertama pemerannya religius ...............
goodnovel comment avatar
Watilaras Risky
next ... keren kak cerita mengalir aj
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status