Beberapa kali Bulan sudah mengalami kontraksi. Hanya sebentar, namun sakitnya ke tulang-tulang hingga membuat tubuhnya melemas. Tapi Bulan masih bisa bersikap tenang, dia mengambil ponsel dan menghubungi siapa pun yang ada di lantai bawah untuk memberinya pertolongan pertama.
Sebelum itu ia juga sudah menghubungi sang suami yang saat ini sedang berada di ruang rapat. Laki-laki itu pergi setelah mendapatkan kabar darinya.
Tak lama pintu kamarnya terbuka dan dua perempuan masuk menampilkan raut kepanikan. Beberapa kali Bulan menarik napas panjang dan mengeluarkannya kemudian meminta mereka membawanya turun.
Perlahan tubuhnya dipapah oleh Mbak Marni dan Mbak Yuli. Dengan sangat hati-hati mereka turun ke bawah dan langsung masuk ke mobil yang sudah menunggu di depan pintu. Ditemani dua perempuan itu, Bulan dibawa ke rumah sakit bersalin yang tidak begitu jauh dari sana. Bulan memang tidak mengeluh namun keringat dingin yang keluar sudah cukup menjelaskan semuanya.
Rangkaian bunga dan beberapa hadiah-hadiah besar mulai berdatangan di rumah mewah yang saat ini sedang mengadakan perayaan hari ulang tahun seorang balita tampan yang saat ini genap berusia satu tahun.Halaman luas di belakang disulap dengan dekorasi bergambar bus tayoo yang beberapa waktu lalu menjadi trend. Taman belakang disulap menjadi arena bermain anak-anak. Mengundang beberapa badut yang saat ini tengah menghibur para anak-anak dengan trik-trik sulap dan komedinya.Acaranya begitu meriah walau mereka hanya mengundang keluarga, sahabat dan tetangga. Mereka yang tak bisa hadir, hanya mengirimkan hadiah-hadiah yang saat ini tertumpuk rapi di ruang tamu. Sementara rekan bisnis Alfan juga kenalan Bulan, mengirimkan rangkaian bunga yang saat ini memenuhi hampir sebagian jalan.“Tidak meriah saja seperti ini, andai kita membuat perayaan meriah, mungkin rangakaian bunga akan berjajar rapi sampai di jalan besar.” Bulan berbisik pelan.Tiba-tiba
Berpura-pura tidak tahu apa pun terkadang lebih baik daripada harus menerima kenyataan yang menyakitkan.—Queena Bulan Latief—Sepanjang hari itu Bulan hanya duduk di ruang keluarga, matanya dengan awas masih melirik ke arah sang anak yang mulai belajar berjalan.Ruangan tersebut sedikit berantakan dengan banyak mainan milik Rayan yang berserakan.Selama beberapa minggu ini Bulan sudah memikirkan banyak hal, bukan tentang suaminya melainkan tentang apa yang diderita. Ia tidak bisa menundanya lagi, tapi setiap ingin mengatakan kalimat tersebut lidahnya begitu keluh, tenggorokannya tercekat, entah apa reaksi suaminya, membayangkannya saja Bulan takut.Pada akhirnya Bulan memilih menyembunyikan penyakitnya dan bersikap seolah tidak pernah mendengar atau tahu bahwa di kepalanya terdapat penyakit ganas yang bisa sewaktu-waktu mengambil nyawanya. Bulan menyerahkan hidup dan matinya kepada Tuhan—sang pemberi kehidupan. Dokt
Tersenyumlah, meskipun keadaan tidak berpihak padamu. Teruslah tersenyum,meskipun darah menetes di hatimu, karena tidak ada yang akan tahu selain dirimu sendiri.—Queena Bulan Latief—Alfan benar-benar terkejut sekaligus syok melihat kehadiran istri dan anaknya. Ia menyusul Bulan pulang, namun perempuan itu sudah tidak ada di rumah, sementara lemari sudah berantakan dan sedikit terbuka. Saat ia bertanya, jawaban yang sangat tidak ingin didengar akhirnya merasuk di telinganya.Bulan pergi dari rumah dengan membawa Rayan. Pasti ke rumah orang tuanya, ia yakin akan hal itu. Tapi tubuhnya sama sekali tidak bergerak segera menyusul mereka, tubuhnya merosot dengan kaku dan terduduk di sofa dengan suara gumaman kata maaf.Bahkan sampai berhari-hari Alfan sama sekali tidak segera menemui Bulan. Ia masih bekerja seperti biasa, sama sekali tidak terganggu dengan kepergian istri dan anaknya. Berbeda sekali dengan saat
Benar, kedua orang tua Alfan memang sudah tidak ikut campur dengan urusan rumah tangganya. Bahkan di kantor, Papa Andre hanya bicara sepatah kata jika diperlukan, itu pun hanya sekadar pembicaraan tentang pekerjaan. Tidak ada pembahasan lain selain itu.Setelah pulang kantor, Alfan duduk di sebuah restoran sambil menunggu seseorang sampai tiba-tiba terdengar suara lembut memanggil.“Duduk, Ra.” Perempuan itu tersenyum dan segera duduk.Zahra Jasmine. Ya, benar, itu memang dia.“Maaf, Mas. Hari ini restoran benar-benar ramai dan banyak pesanan yang harus dicek ulang. Jadi aku harus turun tangan sendiri.” Restoran ini adalah miliknya, baru buka beberapa bulan yang lalu dari modal yang diberikan Alfan.“Ada apa ya, Mas?”“Bisa ikut aku bertemu dengan Bulan untuk menjelaskan semuanya? Kamu sudah dengar bukan jika istriku pergi dari rumah dan sampai sekarang aku belum melihat keadaannya.”Per
Sudah satu bulan hubungan mereka jalan di tempat. Bulan masih tinggal di rumah orang tuanya dan selalu menolak saat Alfan mengajaknya pulang. Dulu ia menyerah dan memberinya kesempatan begitu mudah hingga mungkin Alfan mengulang kesalahan yang sama. Tapi kini tidak akan lagi. Suatu pagi ponselnya berdering dan Alfan mengajaknya bertemu di sebuah cafe. Sejujurnya ia malas, tapi kata Alfan ini penting maka siang itu Bulan sudah duduk di meja setelah memesan minuman. Suara lembut dan begitu familiar itu merasuk di telinga. Memanggil namanya dan melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Zahra Jasmine. Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis, dan segera duduk tanpa dipersilakan. Tanpa ditanya perempuan itu menjelaskan tentang kehadirannya. Ternyata Alfan yang memintanya. Sengaja mengundang Zahra untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Tapi ternyata yang dilakukan Alfan adalah kesalahan. Bukannya menjelaskan, manta
Bersabar, berserah diri, ikhlas dan jangan berhenti berharap. Semuanya sudah dilakukan, kini Bulan hanya sedang menunggu keajaiban.Kondisinya kembali memburuk, dalam sehari ia bisa mengalami hampir tiga sampai empat kali serangan sakit di kepala. Bahkan tiba-tiba darah keluar begitu saja dari hidungnya tanpa aba-aba. Beberapa kali Mami Tari melontarkan kecurigaan dengan kondisinya. Perempuan paruh baya tersebut memaksanya memeriksakan diri, namun ia selalu menolaknya dan beralasan hanya karena banyak pikiran.Sampai saat ini tidak ada yang benar-benar tahu tentang kondisi tubuhnya, mentalnya dan batinnya.Berat badannya sudah menyusut begitu banyak. Pipinya tirus, bahkan kantung matanya sampai memperlihatkan cekungan hitam akibat perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Beberapa kali rambutnya rontok begitu banyak, bahkan Bulan memutuskan untuk tidak menyisir rambutnya jika tidak begitu diperlukan. Makanan yang masuk ke tubuhnya hanya beberapa suap setiap harinya
Berdamai dengan keadaan. Menundukkan dirinya dari segala permasalahan pelik dalam hidupnya. Menyerahkan segalanya atas nama takdir. Sebagai manusia Bulan hanya mampu berserah, memohon dan menjalani. Bagaimana akhirnya takdir membawanya, semua itu menjadi rahasia dan ia sudah mengikhlaskan semua yang akan terjadi. Entah sekarang atau suatu hari nanti akan seperti apa, dirinya sudah berpasrah pada takdir yang telah digarikan untuknya.Semakin hari Bulan semakin memperbaiki diri dan perubahannya begitu kentara. Bahkan Alfan, kedua orang tuanya dan mertuanya sedikit heran dengan perubahan yang tiba-tiba, namun juga mereka senang dengan perubahan positif tersebut.Malam hari sekitar pukul sebelas malam. Bulan masih duduk di ruang tamu bersama dengan kedua orang tuanya. Sementara Rayan sudah tidur di kamar ditemani oleh pengasuhnya.Tiba-tiba Bulan bersimpuh di kaki ibunya dan meletakkan kepalanya di paha sang ibu sebagai sandaran. Isak tangisnya terdengar pelan dan p
Alfan berlari menyusuri koridor rumah sakit sesaat setelah mendengar kabar dari asiten rumah tangga bahwa istrinya dilarikan ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri.Jantung Alfan berpacu dengan begitu cepat. Ia yang saat itu sedang berada di ruang rapat segera pergi tanpa pamit bahkan lupa untuk memberitahukan informasi tersebut kepada ayahnya yang saat itu juga berada di sana.Belum sampai Alfan menanyakan apa-apa, Papi Jacob yang melihat kedatangannya langsung mencengkeram kemejanya dan memberikan tatapan tajam yang menghunus tepat di jantungnya.“Kenapa tidak kamu katakan jika Bulan sedang sakit. Kenapa kamu menyembunyikannya, Alfan?!”Kebingungan jelas tergambar dari wajah Alfan yang memang tidak tahu apa-apa.“Bulan sakit apa?” tanya itu terlontar begitu saja.“Kamu tidak tahu Bulan menyembunyikan penyakitnya? Suami macam apa kamu! Istrimu sakit dan hampir mati tapi kamu tidak mengetahuinya,” kata