Langit sudah menampakkan warna jingga, Belinda bersama teman-temannya berjalan menuju lobby kampus. Apalagi terlihat Daniel sangat bahagia berjalan bersebelahan dengan Belinda sudah seperti kekasih sungguhan yang berhasil membuat Yena menjadi obat nyamuk, meskipun sudah tahu Daniel tidak akan bisa menikahi Belinda.
“Bel, lu mau makan bareng gua ga?” tanya Daniel dengan antusias. Mendengar ajakan Daniel hanya untuk Belinda, Yena memanyunkan bibir. “Kok lu ga ajak gua sih? Gua kecewa nih!” Belinda menampakkan senyuman anggun. “Gua–” Ting… Tiba-tiba muncul sebuah notifikasi pesan singkat di layar ponsel. Belinda menghentikan langkahnya sejenak kemudian membaca pesan singkat itu dari sang tunangan killer. “Habis pulang, ingat harus temui saya!” Belinda tertawa kesal sambil menggerakkan bibirnya kanan kiri. “Emangnya dia bosku? Seenak jidat ngatur orang!” Daniel bingung melihat sikap sahabatnya berubah drastis tiba-tiba hingga matanya menyipit. “Lu kenapa, Bel?” Harus bagaimana Belinda merespons Daniel? Mustahil berkata sejujurnya, cemas akan melukai perasaan Daniel. Namun, sangat enggan sebenarnya bertemu dosen kejam itu. Serba salah di posisinya sekarang sejak bertunangan dengan pria menyebalkan seumur hidupnya. Belinda kembali tersenyum, meskipun senyuman yang diberikannya adalah paksaan. “Sorry, Niel. Bu Yenny mau makan bareng gua. Tadi barusan beliau ajak gua.” Daniel menepuk jidat. “Oiya gua lupa lu mesti jaga Bu Yenny.” “Sorry amat ya. Ga mungkin gua nolak ajakannya.” Sejenak Belinda menatap Yena. “Lu makan bareng Yena saja.” Mendengar dirinya ditawarkan makan berdua bersama sahabatnya yang tampan, Yena menampakkan senyuman manis dan dengan sengaja mendekatkan tubuhnya menempel pada lengan Daniel. Dalam hati terus berterima kasih pada Belinda karena sudah memberikan kesempatan untuknya agar bisa berduaan bersama Daniel, walaupun apa yang dipikirkan Daniel tidak seperti dipikirkannya. “Gapapa nih berdua saja, Niel? Kan awalnya lu yang mau ajak Belinda saja.” Daniel menghela napas lemas, tidak menyangka situasi sekarang sungguh berbeda dari ekspektasinya. “Gapapa deh. Lagi pula, kita harus prioritaskan orang tua dulu. Meskipun bukan orang tua kandung.” ***** Setelah Daniel dan Yena tidak menampakkan batang hidung di lobby kampus, Belinda kembali mengerang kesal sambil membalas pesan singkat untuk dosen menyebalkan dengan kekuatan mengetik maksimal. Wajahnya penuh murka hingga memerah padam. “Iyaa tauuu. Memangnya saya ini pikun? Kalo mau ketemuan, cepetan!” Pada saat bersamaan, sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan lobby kampus. Sang dosen killer membuka kaca jendela mobil menampakkan raut wajah dingin. “Cepetan naik!” Belinda membalasnya dengan tatapan elang juga sambil menduduki kursi di sebelah kursi pengemudi. Brandon kembali menancapkan gas melajukan mobilnya keluar area kampus. Suasana dalam mobil cukup menegangkan, apabila suasana hati sang dosen tampan dan tunangannya sedikit panas hanya karena permasalahan kecil. Terutama Brandon mengemudikan mobilnya sedikit kebut membuat Belinda agak terkejut sambil memegang gagang pintu. “Bisa ga sih bapak setir mobil lebih slow?!” protes Belinda. “Siapa yang mulai dulu bikin saya jadi kebut begini?” bentak Brandon sambil menatap kaca spion. Belinda melipat kedua tangan di dada. “Sebenarnya saya masih belum paham dengan bapak. Katanya saya ini akan jadi istri bapak. Tapi masalah gini saja ga diomongin secara jelas!” Brandon berdecak kesal. “Tadi yang suruh cepetan siapa? Dasar ga ngaca!” Mengingat pesan singkatnya dikirimkannya tadi, Belinda tertawa remeh. “Gara-gara saya kirim pesan gitu saja bapak sudah tersinggung? Ternyata bapak ini suka baperan ya!” “Haruskah saya bawakan cermin untuk kamu dulu? Coba deh kamu lihat mahasiswi lain! Mana ada kirim pesan ke dosennya suruh cepetan! Memangnya kamu anggap saya ini sopir pribadimu?” “Dasar dosen kulkas dua pintu!” Belinda membuang pandangannya menghadap kaca jendela di sebelahnya. “Kamu bilang apa?” Brandon memberhentikan mobilnya di saat lampu merah menyala. Kemudian, tatapannya kembali menajam menatap tunangannya seperti tidak menunjukkan rasa berdosa sama sekali. “Memang bapak ini sangat kaku!” bentak Belinda kembali menatap lawan bicaranya. “Kenapa sih kamu marah amat sama saya tiba-tiba? Saya tidak mau ya istri saya darah tinggi padahal masih muda!” “Karena bapak jemput saya tiba-tiba begini. Kan saya sudah bilang, saya tidak mau hubungan kita ketahuan di kampus! Kalo sampai tadi ada yang lihat gimana? Bapak mau tanggung jawab?!” Brandon mengatupkan bibirnya, kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan normal di saat lampu hijau menyala. Belinda kembali duduk dengan tenang sambil menatap kaca jendela. “Hari ini saya mau ajak kamu ke rumah saya.” Belinda membulatkan mata. “Bapak mau memperkenalkan saya sama keluarga bapak?” Brandon tertawa sinis. “Pede amat pikiranmu. Padahal saya mau ajak kamu ke rumah pribadi saya.” “Oh, saya kira mau langsung dikenalin.” Belinda mengelus dada. “Tapi sebelum itu, saya mau mampir ke restoran dulu buat beli makan malam.” “Kenapa kita ga makan mie instan saja?” Belinda mengedipkan mata manja bermaksud merayu tunangannya agar menurutinya. “Makan mie instan tidak baik untuk kesehatan walaupun di rumah saya ada stok.” Belinda kembali memanyunkan bibir. “Sebenarnya tunangan gua ini dosen atau dokter sih!” “Ini demi kebaikanmu ya, Bocil!” ***** Setibanya di rumah Brandon yang ukurannya cukup luas untuk ditinggal sendiri karena dua lantai, Belinda membulatkan mata sambil berlarian mengelilingi ruang tamu yang terlihat rapi dan dipenuhi perabot mahal. Melihat tunangannya seperti baru memasuki istana, Brandon hanya bisa menggeleng-geleng sambil berjalan menuju ruang makan membawa beberapa paper bag berisi makanan yang dibeli restoran. “Untung saja saya ajak kamu ke sini pas sebelum menikah. Kamu seperti tarzan yang baru punya rumah saja!” Belinda menghentikan aksi kekanak-kanakan kemudian menghampiri lawan bicaranya dengan kesal. “Sedangkan bapak sendiri setiap saat seperti kulkas!” Brandon memasang tatapan elang. “Kalo kamu kurang ajar lagi, saya tidak mau kasih makanan untuk kamu!” Di saat menikmati makan malam, mereka tidak berbincang sama sekali membuat Belinda merasa tidak nyaman sebenarnya. Apakah Brandon sudah terbiasa hidup sendirian, sehingga pada saat makan saja tidak bicara sama sekali? Atau memang Brandon selalu menjaga etikanya walaupun sedang makan dengan santai? Yang pasti Belinda menjadi sedikit tidak selera makan, walaupun makanan yang dibeli Brandon adalah spaghetti merupakan makanan favoritnya. “Kamu suka spaghettinya?” ujar Brandon sambil menghabiskan spaghetti dengan lahap. Belinda hampir tersedak, untungnya terkejut di saat spaghetti sudah ditelan. “Bagaimana bapak bisa tau saya suka makan spaghetti?” Brandon menunduk malu sambil menggulung spaghetti dengan sendok. “Karena … kebetulan saja saya suka spaghetti juga.” “Saya bener-bener ga menyangka selera kita sama.” Netra Belinda berbinar-binar memandang sekeliling ruang makan yang tidak kalah indah dengan milik rumah keluarga tirinya. “Omong-omong, bapak beneran tinggal sendirian di rumah gede begini?” “Iya, soalnya saya males tinggal sama keluarga saya.” “Ish enak amat bapak punya banyak duit jadinya bisa beli rumah segede istana!” Brandon melipat kedua tangan di dada. “Sebenarnya tujuan saya ajak kamu ke sini bukan buat pamer rumah. Tapi saya mau diskusikan sesuatu denganmu setelah makan.” Usai makan malam, Belinda dan Brandon duduk bersebelahan di sofa ruang tamu. Suasana kembali menegangkan, tetapi justru penampilan Brandon yang sedikit kusut membuat Belinda salah fokus. Lengan kemeja disisingkan karena cuci piring ditambah kancing kemeja dilepas satu, hanya karena itu saja sudah membuatnya jinak. “Mengenai persiapan pernikahan, biar saya saja yang atur semuanya. Kamu fokus kuliah saja,” ucap Brandon dengan nada tegas. Belinda menaikkan alis kanan. “Kenapa sih bapak suka atur saya? Memang sih usia saya dan bapak lumayan jauh. Tapi bukan berarti bapak bertindak seperti bos saya.” Brandon memasang tatapan menyeringai sambil menggeserkan tubuhnya mendekati tunangannya. “Kamu yakin bisa bantu saya? Hal kecil begini saja kita sudah berantem. Lagi pula, kamu kan masih bocil!” “Ish saya bukan bocil! Sudah kepala dua nih!” “Saya ga peduli, karena di mata saya kamu masih bocil.” Brandon menjulurkan lidah. “Lagi pula, tingkahmu tadi yang ajak berantem beneran kayak bocil lagi ngambek.” “Padahal bapak sendiri yang mulai dulu sejak jemput saya tadi. Sebenarnya bapak ini kenapa sih?” Brandon melingkarkan lengannya pada pinggang ramping tunangannya sambil memajukan kepalanya mendekati bibir merah di hadapannya. Belinda memasang tatapan melotot sambil berusaha melepas tangan sang dosen tampan. Merasa tubuhnya seperti diikat, apalagi ditambah dosen ini mulai menunjukkan sisi brutal meraba ujung kepala. “Belinda, kamu sudah punya pacar?”Bicara soal perayaan tahun baru, sewaktu masih kecil Belinda merayakan tahun baru bersama keluarga Brandon. Meskipun saat itu mereka baru berteman baik, Brandon langsung memperkenalkan Belinda ke orang tuanya. Memperkenalkan bukan berarti dengan tujuan pernikahan, mengingat usia Belinda saat itu masih kurang dari sepuluh tahun.“Wah, ternyata kalau dilihat secara langsung, Belinda sangat manis ya!” puji Yenny dengan pandangan berbinar-binar mengelus pipi mungil Belinda.Brandon memutar bola mata. “Manis-manis tapi aslinya nakal!”Belinda mendengkus dan menendang kaki Brandon di bawah meja. “Padahal kakak juga nakal! Aku mau minta beli cokelat, tapi kakak ga kasih aku kemarin.”“Lama-lama kan gigimu bisa berlubang kalau keseringan makan cokelat!” “Dasar kakak ga ngaca!”Para orang tua hanya bisa menggeleng-geleng menatap tingkah anak mereka seperti tom and jerry. Terutama Yenny mengelus dada, tidak menyangka sikap putranya juga kekanak-kanakan padahal sudah remaja.“Maaf ya kalau putr
Tiga belas tahun lalu… Sejak bertemu Brandon pertama kali di perpustakaan, Belinda menjadi semakin rajin pergi ke perpustakaan setiap hari. Terutama sengaja menempati kursi yang ditempati Brandon supaya Brandon bisa menjadi guru les matematika setiap ada PR. Apalagi hari ini Belinda mendapatkan banyak PR lagi, sudah pasti ia mengincar pangeran tampan mendatanginya untuk membantu mengerjakan PR. Sudah bermenit-menit menunggu sambil mengayunkan kaki dengan gesit, tetapi tidak ada tanda-tanda dosen itu akan mendatanginya, sehingga membuat bibirnya memanyun. “Kok kak Brandon lama amat ya datangnya? Padahal aku mau dia yang kerjain PR.” Pada saat bersamaan, Brandon menampakkan batang hidung sambil membawa sebuah paper bag berukuran besar. Senyumannya terlihat sumringah, berbeda dari biasanya membuat Belinda penasaran apa yang ada di benak Brandon. “Benar tebakanku. Pasti hari ini kamu pergi ke perpustakaan lagi dan duduk di tempatku,” ucap Brandon sambil menaruh paper bag di meja
Tidak terasa sang buah hati akhirnya hadir dalam kehidupan rumah tangga Belinda dan Brandon. Mereka dikaruniai bayi perempuan diberi nama Gabriella. Brandon sangat bersyukur memiliki anak perempuan, karena ia masih trauma melihat putranya William selalu berbuat onar yang menyebabkan William dan Isabella berdebat karena masalah anak hampir setiap hari. Namun, mengurus anak tentunya bukan hal yang mudah bagi mereka juga. Walaupun sebelumnya sempat percaya diri ingin punya anak perempuan, yang namanya masih bayi pasti susah diurus juga, apalagi mereka tidak mau punya pengasuh. Sejak sudah punya anak, Belinda memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan dan ingin fokus mengurus anak saja. Lagi pula, tidak mungkin terus bekerja di bawah suaminya sedangkan dirinya sendiri masih punya perusahaan perlu diurus. Perusahaan milik orang tuanya yang kini diserahkan pada semua saudara sepupunya. Selama menjadi ibu rumah tangga, Belinda bangun lebih awal demi mengurus
Saat memasuki usia kandungan tujuh bulan, Belinda tidak diperbolehkan bekerja oleh Brandon. Selain itu, untuk menemani istrinya di rumah, Brandon juga berinisiatif bekerja dari rumah kalau tidak ada agenda penting agar istri tidak cepat bosan dan tidak ada jadwal mengajar di kampus. Sejak mengajar mata kuliah akuntansi, Brandon semakin sibuk mereview tugas mahasiswa. Tidak seperti dulu hanya mengajar mata kuliah strategi manajemen yang tugasnya hanya menjawab pertanyaan di buku teks dan membuat materi presentasi. Akibat lagi banyak pekerjaan kantor belakangan ini, Brandon memiliki ide usil setiap mahasiswanya berbuat ulah di kelas. Sering mengadakan ujian tiba-tiba dengan memberikan soal ujian yang sulit, sehingga para mahasiswa di kampus semakin membencinya.Sekarang pekerjaannya semakin bertumpuk di rumah. Baru memeriksa sebagian tugas mahasiswa sudah membuat kepalanya sakit. Rambut terlihat tidak beraturan akibat keseringan mengacak-acak rambutnya.
Sejak Belinda memasuki masa mengandung anaknya, sikap Brandon sebagai suami dan bos semakin ketat. Ia tidak membiarkan istrinya pulang malam atau diberikan pekerjaan kantor yang berlebihan. Bahkan ia sudah memperingatkan semua pegawainya untuk tidak membuat Belinda merasa repot selama bekerja. Akibat sikap Brandon yang sangat berlebihan, selama bekerja di kantor Belinda cepat bosan. Tidak seperti saat sebelum hamil, ia diberikan pekerjaan cukup banyak, sedangkan sekarang pekerjaan banyak itu dilimpahkan ke Yena. Belinda merasa segan karena secara tidak langsung menghambat Yena yang ingin berkencan dengan Daniel setiap pulang kerja. Selain itu, setiap pulang kerja, Brandon berinisiatif mendatangi Belinda bermaksud untuk mengajak pulang bersama. Tidak peduli semua pegawainya iri melihat sikapnya yang romantis pada istri, nomor satu dalam pikirannya adalah memastikan istri selalu sehat di matanya. Gara-gara setiap hari dimanjakan suami, Belinda semakin ing
Urusan ingin memiliki sang buah hati, Belinda tidak ingin mengambil pusing lagi. Entah akan ditanyakan seperti apa, tidak peduli. Apalagi tidak melakukannya hanya sekali. Hanya bisa berharap keajaiban mendatangi kehidupan rumah tangga mereka walaupun sudah berbulan-bulan berlalu. Namun, entah kenapa Belinda merasakan tubuhnya sejak bangun tidur seperti ingin memuntahkan seisi perutnya. Meskipun begitu, tetap berusaha tegar di hadapan Brandon supaya diperbolehkan pergi bekerja hari ini. Seperti biasa, Brandon selalu memanjakannya. Tidak enak badan sedikit langsung dibilang tidak usah bekerja. Walaupun diberikan nasi omelet merupakan makanan favoritnya, Belinda ingin memuntahkan seisi perutnya. Terpaksa menghabiskan nasi omelet buatan suaminya, entah nanti berakhir di kamar mandi atau tidak, daripada menyinggung perasaan suami di pagi hari. Sebenarnya Brandon mulai curiga melihat sikap Belinda belakangan ini tidak seperti biasanya. Padahal biasanya sarapa