Ketika Jovanka tiba di kampus, Mr Mark memanggilnya ke kantor untuk membicarakan biaya kuliahnya yang sudah menunggak.
"Mr Mark, bukankah Anda memberiku waktu dua bulan? Ini baru dua minggu, bagaimana aku bisa melunasi semuanya? Tolong beri aku waktu, kumohon," pinta Jovanka dengan mata berkaca-kaca, dia bahkan tak memiliki uang sekarang.
"Maaf, Jovanka, kupikir tadinya bisa seperti sebelumnya. Tapi sekarang... aku juga tak bisa melakukan apa-apa. Kau masuk ke universitas ini tanpa sedikit pun biaya, jadi Rektor tak bisa memberimu keringanan lagi. Jika dalam minggu ini kau tidak segera melunasinya, kau tak bisa ikut ujian atau mungkin tidak mendapatkan hasil studimu sama sekali."
Kepalanya terasa ditindih beban ribuan ton mendengar sanksi yang mungkin dia dapatkan. Jovanka sampai lemas tak mampu mengatakan apa-apa.
Dia tak bisa terus memohon sebab kampus sudah sangat banyak membantu sehingga dia bisa berkuliah di sana. Jovanka meninggalkan kantor itu dengan perasaan yang sangat menyedihkan.
Seharusnya dia sadar diri sejak awal tidak perlu bermimpi untuk kuliah. Tak ada satu pun yang mendukung dan pekerjaan paruh waktu tidak mungkin bisa mencukupi biaya kuliah yang begitu besar. Dulu dia berpikir ayahnya mungkin akan mempertimbangkan jika Jovanka berhasil masuk fakultas ternama itu, tapi nyatanya semua hanya harapan yang sia-sia. Sampai mati pun dia tak akan bisa mengetuk hati sang ayah yang sudah membatu.
"Kau terlihat sangat sedih dan lelah, apa mungkin kau kelaparan?"
Queena tiba-tiba datang dari arah lain dengan wajah mengejeknya. Jovanka sedang tak bertenaga, dia tak ingin berdebat dengan adiknya itu dan memilih tetap berjalan.
"Hei! Kau mengabaikanku? Dasar pembawa sial!"
Queen mengutuknya kesal lantas menarik rambut Jovanka dari belakang. Gadis itu tak memiliki semangat bahkan untuk meminta Queen menghentikan aksinya. Semakin kesal diabaikan, Queena menjatuhkan Jovanka sampai gadis itu terduduk di atas lantai.
"Apa yang kau lakukan, itu sakit!" Jovanka menggosok pinggulnya yang beradu dengan lantai, menatap adiknya yang sangat menyebalkan. Kenapa dia selalu mengganggu di mana-mana?
"Oh, ternyata kau merasa sakit juga? Dan aku tidak peduli." Gadis menyebalkan itu memasang gaya angkuhnya menatap Jovanka dengan merendahkan. "Lebih sakit mana itu atau sanksi yang diberikan padamu?"
"Apa katamu?" Jovanka mengerutkan kening untuk memahami ucapan adiknya. "Kau memata-mataiku?"
"Apa? Hahaha!" Queen tertawa sebelum lanjut berkata, "Kau? Aku memata-mataimu? Memangnya, apa yang kudapatkan dari itu?"
Lantas dari mana dia tahu Jovanka akan mendapat sanksi? Kembali dia berpikir sebelum matanya melebar menatap Queen dengan marah.
"Jangan bilang kau penyebabnya."
"Syukurlah kau sadar. Ya, aku yang meminta rektor menghapus keringananmu, agar kau tak bisa berkuliah di sini."
Tak perlu ditanya bagaimana Queena bisa melakukannya. Ayah mereka adalah salah satu penyumbang besar di kampus ini sehingga tak sulit bagi Queen berurusan dengan seorang rektor. Tapi yang tak bisa Jovanka pikrkan adalah, bagaimana bisa Queena tega melakukan hal sekeji itu padanya? Bahkan sepeser pun Jovanka tak pernah meminta biaya kuliah padanya.
"Kenapa kau selalu menggangguku! Belum cukup perhatian keluarga dan semua kemewahan yang kau dapatkan? Kenapa tak kau biarkan aku mengurus hidupku sendiri!" teriak Jovanka putus asa, matanya ikut menangis sekarang.
Hanya berkuliah jalan yang bisa dia lakukan untuk mengubah hidupnya, sebab tamatan tingkat atas tak mungkin mendapatkan pekerjaan yang layak. Jovanka tidak merugikan siapa pun, dia hanya ingin ketenangan tapi itu tak bisa didapatkan.
"Kau sudah merusak hidupku, Queen... kenapa kau tega melakukannya?" ratapnya putus asa.
"Kenapa katamu? Karena kau selalu ada di mana-mana. Aku muak harus bertemu denganmu setiap hari di rumah, aku muak melihat kau ada di kampus ini, dan aku benci jika seseorang tahu bahwa kau memiliki ayah yang sama denganku. Pergilah dari kampus ini, Sialan, jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di sini. Aku akan mengatakan pada ayah agar tak pernah membantu biaya kuliahmu!"
Apakah itu salah Jovanka? Dia tak pernah berharap memiliki ayah yang sama dengan Queena, dia lah yang lebih dulu lahir. Dia juga tak berpikir akan berkuliah di kampus yang sama sebab dulu Queen berkata akan pergi ke universitas di luar negeri. Lantas, kenapa Queen menuduh seakan Jovanka lah yang mengikutinya ke mana-mana? Bukankah itu terbalik?
Harapan berkuliah sudah pupus oleh ulah adiknya yang sangat menyebalkan itu, Jovanka benar-benar frustasi.
Entah keberuntungan atau nasib sial yang datang bertubi-tubi, teleponnya berdering dan itu dari ketua yayasan.
"Nona Jovanka, selamat atas tesmu, kau dinyatakan lolos. Klien ingin transfer embrio dilakukan besok. Siang ini kau datanglah ke kantor untuk menandatangani kontrak."
"Secepat itu, Nyonya?" tanya Jovanka gugup, menghapus sisa air mata dari pipinya.
"Ya, begitulah orang kaya. Jika mereka ingin melakukan sesuatu, itu tak bisa ditunda-tunda. Ingat, kita sudah melakukan sejauh ini jadi jangan membuatku kecewa."
Baru satu minggu yang lalu Jovanka mendaftarkan diri melalui website mereka dan besok dia akan menerima embrio milik orang lain, untuk dimasukkan ke dalam rahimnya. Jovanka termenung, pikirannya sangat terganggu sekarang. Dia pikir proses bayi tabung itu akan sedikit lebih lama sampai Jovanka benar-benar siap, nyatanya tidak seperti yang diharapkan. Dia belum mengatakan apa pun pada orang rumah dan apakah mereka akan mengijinkannya.
"Apakah itu penting? Bahkan kau mati pun mereka tidak akan peduli, jadi jangan berpikir untuk meminta persetujuan mereka." Jovanka berkata pada diri sendiri.
Lihat sendiri kelakuan adiknya tadi? Queen menggunakan kuasa ayah mereka untuk menghentikan Jovanka kuliah, dan jika pun keluarga mengetahui hal itu, mereka akan tetap membela Queena lalu menyalahkan Jovanka. Lantas, untuk apa dia meminta persetujuan? Semua sudah terlanjur, Jovanka harus mendapatkan uang itu segera.
"Lihatlah, Queen, kau akan semakin muak karena melihatku bertahan di kampus ini dan bisa melunasi biaya kuliahku tanpa bantuan kalian!" Mulutnya bersumpah tak main-main. Tak ada keraguan lagi di hati Jovanka, keputusannya sudah bulat.
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric