Merayu suaminya? Ya, wanita itu baru saja menuduh Jovanka merayu suaminya. Ini kah yang dikhawatirkan pria itu sehingga mencari Jovanka tengah malam? Mulut Jovanka tergagu tak mampu untuk berbohong atau berkata jujur.
"Nona Jovanka Abigail?" Asisten dokter memanggil dari pintu.
"Ya, kami di sini." Ketua yayasan yang menjawab sembari melihat Cataline. "Ini sudah giliran kita, Nyonya."
"Masuklah, tapi kau masih berutang penjelasan padaku," ucap Cataline, nadanya penuh penuntutan.
Jovanka hanya mengangguk dan pergi mengikuti asisten dokter, dia dibawa ke ruang pemeriksaan untuk dilakukan tes.
Itu sangat banyak dan membosankan. Jovanka hanya patuh pada arahan mereka sembari dokter melalukan Medical Check Up. Dia tidak begitu paham tentang kedokteran, tapi selain pemeriksaan fisik, mereka juga melakukan tes ke rahimnya dengan alet USG berkamera. Selain memastikan Jovanka layak untuk mengandung, semua itu juga demi kesehatan calon bayi yang nanti akan bersarang di rahimnya.
Setelah semuanya selesai, Jovanka dipersilakan keluar. Hasil pemeriksaan akan dikirimkan pada ketua yayasan dan juga calon klien, Jovanka hanya akan mendengar kabarnya saja.
"Jadi, bagaimana itu, Nona Jovanka? Kau belum memberiku penjelasan."
Ternyata Cataline Cullen tidak meninggalkan tempat itu, dia masih menagih jawaban Jovanka atas kecurigaan yang tak berdasar.
"Kenapa kau diam? Kau tak mendengar pertanyaanku?" Cataline bertanya sekali lagi dengan kedua tangan dilipat di dada, menunjukkan betapa tinggi derajatnya.
"Maaf, Nyonya, aku tidak mengerti maksud Anda. Bagaimana mungkin aku dan Tuan Cullen pernah bertemu?" Rich sudah mengaturnya berkata demikian, jadi Jovanka harus berbohong. Dia juga sudah memikirkan jawabannya saat di ruang pemeriksaan tadi sehingga Jovanka tidak tegang seperti sebelumnya.
Wanita itu tersenyum miring seperti tak percaya begitu saja. "Kau tahu? Semua istri sangat mengenal suaminya. Saat suamiku melihatmu, aku merasa tatapannya sudah menunjukkan rasa tak suka. Suamiku sangat jarang membenci seseorang kecuali ada pengalaman buruk dengannya."
Andai Jovanka tengah berbicara dengan Sarah Spencer, dia mungkin sudah tertawa oleh perkataan wanita di depannya. Dia meminta maaf jika sudah memberi kesan buruk saat pertemuan di restoran itu lalu.
"Nyonya, aku hanya gadis miskin yang butuh biaya. Tapi meski begitu, aku cukup sadar diri dengan keadaanku, bagaimana mungkin dengan diriku yang seperti ini berpikir untuk merayu pria kaya? Anda sangat cantik, tak mungkin suami Anda akan terta-"
"Cukup!" Cataline menghentikan gadis itu yang langsung terdiam. "Hanya orang gila yang akan percaya Rich melirik gadis miskin sepertimu, bukan begitu?" lanjutnya.
Kata-katanya sangat merendahkan tapi Jovanka hanya mengangguk.
"Jadi, Anda sudah tenang, Nyonya Cullen? Kalau begitu, kontrak kita akan berjalan jika hasil tesnya lolos?" Ketua yayasan ikut bicara untuk menghentikan ketegangan itu.
"Jangan berlebihan, aku selalu tenang di dalam hidupku!" sahut Cataline cetus. "Kapan hasilnya keluar?"
"Dokter berkata itu membutuhkan waktu beberapa jam, Anda akan menerimanya setelah mereka mendapatkannya.
"Baiklah. Tunggu kabar dariku." Wanita itu berdiri dan berjalan sangat anggun meninggalkan Jovanka dan ketua yayasan tanpa berpamitan.
Sedikit lega, Jovanka menarik napas sembari menatap kepergian calon kliennya.
"Halo, Nona Jovanka, bagaimana kabarmu? Maaf baru memiliki waktu untuk kita berbincang."
Dia mengalihkan wajahnya ke kiri untuk melihat ketua yayasan. "Tak mengapa, Nyonya. Aku mengerti kesibukan Anda."
"Dengar, jika tesmu lolos dan kau mendapatkan job ini, ingatlah untuk tetap profesional dalam bekerja. Jangan membuat kesalahan karena calon klienmu bukan orang sembarangan. Nyonya Cullen bisa melakukan apa saja jika kau berani melakukan yang tidak dia senangi. Bukan hanya dirimu, tapi yayasan juga diriku akan dirugikan jika kau melakukannya."
Mungkin ini pesan entah sebuah peringatan, Jovanka hanya mengangguk. Dia tak berniat apa pun selain melakukan tugasnya dan mendapatkan uang untuk kuliah, jadi dia menyanggupinya dengan tenang.
"Baik, Nyonya, aku akan terus mengingatnya."
Setelah itu dia kembali ke rumah sebab hari sudah sore. Jovanka meminta ijin tidak masuk berkerja di toko kue, dia lelah dan ingin beristirahat.
Ketika memasuki halaman luas rumah keluarganya, Jovanka dihadiahkan pemandangan yang... sangat membahagiakan. Ya, tentu saja itu bagi Queena, bukan untuknya. Entah kapan mobil barunya datang itu tak penting, tapi Queena terlihat sangat gembira memamerkannya melalui panggilan video.
"Sebentar, ya, nanti aku hubungi lagi." Queena menutup panggilan dan mendatangi Jovanka yang akan masuk rumah.
"Tidur di mana kau malam tadi? Benarkah kau di rumah temanmu? Setahuku, kau tidak memiliki teman kecuali Sarah Spencer, kau tak mungkin menginap di sana kan?" selidiknya.
Memangnya itu penting? Karena ulang tahunnya lah Jovanka disuruh tidak pulang, kenapa sangat mau tahu di mana Jova menginap?
"Itu tak penting, selagi ulang tahunmu tidak terganggu." Jovanka menjawab asal dan beranjak meninggalkannya, tapi Adriana sudah menunggu di depan pintu.
"Mau ke mana kau?"
Memangnya ke mana lagi? Tentu saja ke kamar berukuran kecil itu, mengurung diri.
"Kau tak melihat taman itu sangat berantakan? Semua orang sibuk, jangan berpikir untuk tidur enak-enakan. Sana, kau bantu mereka agar pekerjaannya cepat selesai!" perintah ibu tirinya.
Selain tak dianggap bagian keluarga, Jovanka juga sama halnya seperti pelayan di rumah ini. Ya, untuk bagian kebersihan jika di rumah ada acara. Harapan bisa beristirahat harus dia urungkan dan ikut bergabung dengan para pelayan, membersihkan taman.
"Bukankah pestanya sangat meriah? Aku pikir itu hanya malam, ternyata sampai siang." Para pelayan bercerita tentang pesta ulang tahun Queena yang sangat meriah dan mereka terlihat ikut merasakan kebahagiaan itu.
"Ah... aku berharap di kehidupan berikutnya bisa terlahir di keluarga kaya, sehingga bisa seperti Nona Queen. Dia sangat beruntung."
"Kau percaya ada kehidupan berikutnya?"
"Entahlah... aku hanya melihatnya di film-film."
"Jika reinkarnasi bisa nyata, apa menurutmu Nona Jovanka akan terlahir di keluarga ini lagi?"
"Entahlah. Tapi aku rasa lebih baik dia lahir dari keluarga miskin di desa, setidaknya itu cocok untuknya."
"Hahaha. Kau ini ada-ada saja."
Mereka terus berbisik-bisik tanpa menyadari orang yang sedang dibicarakan juga berada di dekatnya. Jovanka memilih menutup telinga dan terus menyusun botol-botol minuman di bawah meja.
"Tapi benar 'kan? Daripada lahir di keluarga kaya tetapi statusnya tidak diakui, bukankah itu jauh lebih menyedihkan?"
"Benar. Aku tak mengerti kenapa dia masih bertahan di rumah ini. Gadis itu sangat tak tahu malu, kenapa dia tidak pergi saja?"
"Kau ingin memberiku tempat tinggal sehingga menyarankan itu? Mungkin aku bisa membantu mencari uang untuk keluarga miskinmu!" sahut Jovanka sarkas, sangat kesal dia mendengar pelayan itu terus membicarakannya.
Mereka semua terdiam dan melanjutkan pekerjaannya tanpa meminta maaf, seakan tidak pernah mengatakan hal buruk tentang Jovanka. Sangat membuat muak. Karena ulah Adriana, bahkan pelayan di rumahnya pun tak bisa menghormati Jovanka.
"Jika kau miskin, bekerjalah dengan benar. Jangan membicarakan yang bukan ranahmu!"
Rich turun terburu-buru dari mobilnya dan meraih tangan Cataline. Istri yang bertengkar dengannya tempo hari segera ditarik masuk ke dalam mobil. "Apa yang kau lakukan di sini, Kate? Kau memata-matai aku?" tanya Rich, menatap inti mata istrinya menjadi penjelasan. Namun, mata itu menunduk sendu, sebelum akhirnya menitikkan buliran hangat yang kemudian mengalir di kedua pipi. Cataline menangis? Sebuah pemandangan yang sangat jarang terjadi! Bingung. Begitulah isi kepala Rich sekarang. Mengingat yang terjadi di dalam rumah tangga mereka, seharusnya Cataline datang dengan amarah seperti yang sudah-sudah. Tapi kenapa kali ini dia menangis? "Kate, ada apa? Kenapa kau menangis?" tanya Rich sekali lagi. Bukannya menjawab, tangis Cataline semakin besar bahkan dia sesenggukan sekarang. Apakah istrinya sudah memikirkan kembali kenapa Rich menikahi Jovanka? Bagus jika itu benar. Setidaknya Cataline tahu kenapa Rich harus menikahi gadis itu. Tapi... bagaimana jika sesuatu yang buruk
"Halo, Sayangku." "Kau di mana, Brengsek! Kau sengaja menjauhiku?" Sejak tadi malam Cataline mencoba menghubungi pria itu, tetapi hanya layanan operator yang terdengar mengatakan nomornya tidak bisa dihubungi. Dia langsung mengumpat begitu Liam Nelson mengangkat panggilannya. "Hei, kenapa kau sangat marah? Aku baru kembali dari perjalanan bisnis," terang Liam, masih dengan suaranya yang tenang. Cataline semakin kesal oleh jawaban Liam, dia sudah menunggu di rumahnya sejak pagi tapi pria itu belum juga pulang. "Aku di rumahmu, Brengsek. Kau pulang ke mana? Ke hotel menemui gadis-gadismu?" "Benarkah? Aku baru saja memasuki gerbang, kau akan melihatku jika benar kau di rumahku," kata Liam.Cataline langsung berdiri melihat ke jendela, benar saja mobil Liam sedang memasuki garasi terbuka yang ada di sudut kanan. Gadis itu menutup telepon dan menunggu Liam masuk. Kemarahan atas perlakuan Rich masih terus membuatnya tak tenang. Cataline menenggak beer kaleng yang dibelinya saat di pe
[Tuan Rich, Anda marah padaku? Aku sangat menyesal sudah membuatmu tersinggung.]Jovanka membaca ulang pesan yang diketiknya, dan kembali ragu untuk menekan tombol pengirim. Dia menghapus lagi pesan itu dan mengganti dengan yang lain.[Aku hanya bercanda, Tuan Rich, tolong jangan marah padaku.]Sekali lagi, dia hapus pesan itu dan berpikir keras kalimat yang benar untuk meminta maaf."Tapi kenapa aku harus meminta maaf? Dia memang melakukannya," kata gadis itu menggeleng, egonya ikut bermain.Rich sendiri yang lebih dulu menyinggung Jovanka. Pria itu patut mendapat balasan karena sudah menyebut Jovanka sebagai gadis yang tidak menarik."Tapi dia tidak berkata demikian, Jova... dia hanya berkata mempertimbangkan."Kembali Jovanka berkata sendiri.Bisa saja maksud Rich mempertimbangkan bukan karena menganggap Jovanka tidak menarik. Mungkin dia mempertimbangkan karena pria itu adalah suami orang lain sehingga tak seharusnya tidur dengan Jovanka. Apalagi dengan perjanjian pra nikah merek
Jovanka mengganti bajunya untuk ke sekian kali, dan melemparkan baju terakhir ke atas ranjang. Dia menatap tubuhnya yang hanya mengenakan dalaman, di pantulan cermin."Astaga... semua terasa tidak cocok," keluhnya kecewa.Baru berapa hari yang lalu dia berbelanja pakaian yang sangat banyak, tapi karena tidak teliti, Jovanka melakukan kesalahan. Semua pakaian itu dia beli dengan ukuran dirinya yang belum mengandung, tanpa mencoba terlebih dulu. Bagaimana bisa sesuai? Memang tidak menjadi sempit, hanya saja... perutnya yang mulai membuncit menjadi sedikit terlihat. "Ayolah, Jovanka... kenapa kau pikirkan itu? Ini belum seberapa, bobotmu akan bertambah berkali lipat lagi."Dia akhirnya mengenakan kembali pakaian itu, membuang rasa tak nyaman di kepalanya. Bagaimana pun semua orang di kampus juga akan tahu dirinya sedang mengandung. Hanya menunggu waktu saja.Tak lupa Jovanka memoles wajahnya dengan sedikit riasan, yang ikut dibeli tempo hari. Hanya bedak dan lipgloss tentu saja, sebab
Lihat lah pria itu berdiri dari duduknya. Tentu saja Cataline yang selalu menjadi pemenang. Mendengar istrinya bunuh diri, Rich pasti membujuk dan memohon agar Cataline tidak melompat dari jendela. Kesempatan itu tidak akan Cataline sia-siakan untuk lepas dari semua kejahatannya. Ya, Cataline sudah sering membalikkan kesalahan menjadi kemenangan untuknya, dan Rich selalu mengalah. Tak ubahnya hari ini, Cataline tahu suaminya akan kembali mengalah. Rich pasti memohon, bersujud demi bayi yang sudah lama diidamkan."Jangan mencegahku! Jika kau tidak meninggalkan gadis itu dan menggugurkan bayinya, maka kau akan kehilangan aku dan bayi kita!" Sekali lagi dia mengancam, menatap Rich yang berdiri di sana.Rich tidak bergeming, tetap diam di tempatnya berdiri. Cataline tidak sabar melihat Rich berjalan ke arahnya dan memohon. Tapi sialnya, kenyataan tidak sesuai dengan yang Cataline harapkan."Aku tahu kau hanya mengancam, Kate, sudahlah, kau sudah terlalu sering melakukannya padaku," kata
"Astaga, sudah berapa aku tertidur di sini?"Dia mengenakan pakaian buru-buru untuk mengusir rasa dingin di sekujur tubuh. Jovanka tidak ingat sejak kapan dia tertidur di dalam bath up itu, sehingga telapak tangan dan kakinya sudah mengeriput. Ketika keluar dari kamar mandi, semakin terkejut dia melihat jam digital yang menunjukkan hari sudah sore."Kenapa dia tak membangunkanku?" kata Jovanka menggerutu, mengingat meninggalkan Rich di balkon kamarnya. Mengatahui Jovanka tidak juga keluar, bukankah seharusnya Rich menggedor pintu? Dia keluar untuk mencari Rich di kamar sebelah, tapi pintunya sudah terkunci.Apa Rich sedang tidur? Jovanka mencoba mengintip dari lubang kunci, hanya gelap yang terlihat mata."Apa yang Anda cari, Nona?"Suara Kenrick memaksa Jovanka kembali berdiri, wajahnya sangat terkejut bercampur malu."Eh, itu... Anda melihat Rich, Tuan Ken?" tanya Jovanka, kemudian mengetuk kepala pelan.Sudahlah ketahuan mengintip, sekarang juga dia berkata jujur tengah mencari Ric