Share

Hanya Status

"Dan...satu hal lagi, jika kamu ingin mengakhiri semua ini, kapanpun kamu mau. Aku tidak keberatan. Tapi aku minta padamu jangan membuat malu!"

 

Lagi, Shaila menunduk. Pernikahan ini hanyalah status, seandainya dia tidak memulai dengan pura-pura dekat saat didepan Indira, mungkin tidak akan sampai ke titik ini. Ia merasa hatinya sudah hancur berkeping. 

 

"Oke, aku setuju. Begitu juga denganmu. Kalau kamu menemukan wanita yang ingin kamu nikahi, beritahu aku kapan saja. Aku berharap sebelum bercerai, kita bisa saling menjaga."

 

Shaila tersenyum menahan seluruh  kepahitan yang sudah menggunung. 

 

Tanpa berpamitan Shaila berbalik meninggalkan Ezra. Dia tak mau menunjukkan kesedihan di depan Ezra. 

 

Dia pikir, Ezra adalah laki-laki yang baik dan berhati mulia, tapi pikirannya itu salah besar. 

 

"Mau kemana?" Tanya Ezra santai. 

 

"Aku harus pulang. Aku harus menjelaskan semuanya kepada orang tuaku."

 

"Jangan! Jangan pulang sendiri! Biarkan aku menemanimu bertemu mereka. Akupun bertanggung jawab atas ini. Insya alloh nanti menunggu waktu yang tepat kita beritahu mereka."

 

Ezra menghentikan langkah Shaila yang sudah beranjak beberapa meter darinya. 

 

"Untuk saat ini pulanglah dulu ke rumah Mama. Dia sudah menunggumu."

 

***

 

Di ruang makan mereka sudah mnunggu Shaila. Tapi kali ini tidak ada Fauzan dan Alyne. 

 

"Mama menungguku?" 

 

"Mama menunggu kalian." Indira tersenyum lembut sambil merangkul Shaila. 

 

"Duduk sayang! Makan dulu."

 

"Kita sudah makan Ma." Jawab Ezra yang berlalu menaiki tangga. 

 

"Tunggu Zra! Mama mau bicara sama kalian."

 

"Hmmmh" Ezra berbalik sambil mendesah kasar. 

 

"Mama sudah berdiskusi dengan Papa. Sebaiknya Ezra mengajakmu bulan madu  sayang."

 

Shaila terdiam membeku. 

 

"Ta... Tapi Ma... " 

 

Belum selesai Shaila berbicara, Indira sudah memotong perkataannya. 

 

"Jika kamu tidak pergi, orang lain akan berpikir Mama tidak memperlakukan menantu Mama dengan baik."

 

Jelas-jelas tadi Ezra sudah menjelaskan, dia tidak mau berdekatan dengannya. Tapi Mama Indira memaksa untuk pergi bulan madu. 

 

"Aku dengar, Ezra sangat sibuk Ma. Jadi kita bisa bulan madu lain kali." Shaila tersenyum sambil melirik Ezra. 

 

"Jangan memikirkan Perusahaan terus! Perusahaan Ezra masih bisa di selamatkan tanpa Dia harus pergi ke kantor. Biar Papa utus karyawan Papa untuk mengontrol perusahaan Ezra." Tiba-tiba Dirga bersuara. Tatapannya dingin. 

 

Shaila hanya bisa terdiam dan menatap Ezra. 

 

Mendengar permintaan kedua orang tuanya, mata Ezra berubah suram. Apakah ini keinginan Papa? Perusahaanku baru saja berada di titik puncak dan banyak proyek. Jika aku pergi. Apa Papa ingin mengacak-ngacak kantorku? 

 

Ini pasti ada hubungannya dengan niat Papa yang tidak ingin Perusahaanku melampaui Perusahaan Papa. 

 

Shaila tiba-tiba berpikir, apakah ada niat lain dari Papa Dirga? 

 

"Ma, sepertinya untuk saat ini Perushaan lebih penting bagi Ezra." Shaila mencoba merayu lagi. 

 

Tiba-tiba Ezra mengulurkan tangannya menepuk punggung Shaila. 

 

"Oke Ma, kita akan pergi bulan madu. Soal pekerjaan biar Sekertarisku yang handle. Aku juga bisa mengontrol dari kejauhan." 

 

Shaila menatapnya. 

 

"Apa dia setuju?" Hatinya bertanya. 

 

"Mama tahu, kamu pasti memahami Mama." Indira memeluk Ezra. 

 

"Jangan khawatir! Mama bisa datang mengontrol kantormu sesekali."

 

Shaila berusaha tersenyum dan beranjak meninggalkan ruangan bersama Ezra. 

 

"Jadi, kita akan pergi bulan madu?"

 

Ezra meliriknya tanpa menjawab apapun.  Dia berlalu memasuki kamar mandi meninggalkan Shaila yang masih menunggu jawaban. 

 

Sedangkan Shaila masih berkutik dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di dalam pikirannya. 

 

Ezra kembali, tapi dia tetap dingin tanpa berbicara. 

 

"Tolong, beritahu aku tentang dirimu sedikit saja. Bagaimana bisa Papa Dirga mengusirmu empat tahun lalu? " Tiba-tiba pertanyaan itu muncul dari mulut tipis Shaila. 

 

"Demi apa kamu bertanya itu, apa kamu mulai khawatir kepadaku?" 

 

Lalu Ezra berjalan dan membuka lemari pakaian. 

 

"Kemarahan papa sudah menjadi makanan sehari-hari bagiku. Aku yang sekarang adalah akibat kemarahan Papa empat tahun lalu. Meski Papa mengusriku, Dia juga yang mendorongku hingga aku bisa membangun Perusahaan sendiri sampai posisi seperti ini."

 

Dari sedikit penjelasan Ezra, Shaila bisa mengerti betapa pedihnya hati Ezra. 

 

"Ah, sudahlah itu hanya salah satu kenangan pahit."

 

"Salah satu?" Mata Shaila membelalak. Ingin sekali dia memeberi pertanyaan lain kepada Ezra. 

 

Tiba-tiba Ezra membungkuk memegang perut. Mukanya meringis seperti menahan sakit. 

"Tolong bantu aku!"

 

Shaila yang melihat itu, langsung berdiri dan membopong Ezra. 

 

"Tidak, tidak usah! Aku masih bisa." Kemudian dia duduk diatas kasur. 

 

"Tolong ambilin obat di laci." 

 

Shaila segera beranjak mengambil obat dan memberikannya pada Ezra. 

 

"Kamu sakit? " Tanya Shaila khawatir. 

 

"Tidak, aku baik-baik saja." Ezra kembali berdiri dan beranjak keluar. Tapi usahanya sia-sia dia masih belum bisa berdiri tegak. Akhirnya ia menubruk Shaila yang dengan sigap menahannya. 

 

"Maaf!" Dia menatap Shaila yang sedikit menahan tubuhnya agar tidak jatuh. 

 

Aroma parfum vanila, berpadu dengan aroma lavender menusuk hidungnya. Shaila mulai tidak ingin beranjak, dan tetap menatap Ezra dengan tatapan bodohnya. 

 

Dia tidak pernah sedekat ini dengan Fauzan. Sebenarnya apa yang diinginkan Ezra. 

 

Dia menatapnya dengan tatapan konyol.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status