“Sorry, aku telat,” Maudy menoleh ketika melihat temannya datang terlambat ketika mereka sudah janjian untuk bertemu.
Maudy tidak mempermasalahkan temannya yang datang terlambat. Dia hanya merasa takut sendirian kalau semisal dirinya sendirian di kafe. Vanesa datang meski terlambat. Duduk di depan Maudy kemudian memberikan kode untuk Maudy. “Lihat belakang! Itu orang yang mau aku kenalin ke kamu. Dia yang punya kafe ini.” Matanya Maudy melotot mendengar perkataan Vanesa. Sementara dia telah memiliki calon suami yang sebentar lagi pasti akan dikenalkan oleh orang tuanya. Sebentar lagi dia akan menikah dan menjadi istri orang yang tidak dikenal sebelumnya. “Please, Vanesa! Ini bencana baru buat aku kalau sampai kamu kenalin aku laki-laki lain. Aku sudah punya calon suami.” “Hah?” mata Vanesa melotot mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya Maudy. Meski sebenarnya dia masih ragu soal itu. Namun, perlahan juga akan memberikan penjelasan pada Vanesa. Maudy memberikan anggukkan sebagai tanda bahwa yang dia ucapkan barusan tidak bohong. Ketika masa depan telah dia pikirkan dengan matang-matang, jodohnya justru lebih dulu datang untuk menghampiri. Meski jodohnya datang dengan cara seperti yang tidak diharapkan, itu adalah pilihan terbaik bagi keluarga besarnya Maudy. Orang tuanya memiliki ambisi untuk menikahkan Maudy dengan pria di luar sana. Hanya mengenal lewat nama, tidak pernah bertemu secara langsung. Bayangan seorang pria yang terlihat di sebelahnya. Aroma parfum yang mulai menusuk hidungnya. Aroma maskulin dari seorang pria yang membuatnya menolehkan wajahnya ke samping. “Lama tidak bertemu, Vanesa,” ucap sosok pria itu kemudian mereka berdua bersalaman. Berbeda halnya dengan Maudy yang mulai merasa tidak nyaman dengan kehadiran pria asing sekarang ini. Ketika dia menggeser kursinya beberapa sentimeter dari tempat semula. Pria itu menarik kursi yang ada di sebelah Vanesa kemudian mendekat ke arah Maudy. “Aku tungguin kamu dari tadi.” “Aku sibuk di belakang.” Oh benar saja. Kali ini rasanya ada rasa canggung ketika dia menatap Vanesa dengan bahasa isyarat bahwa dia tidak nyaman dengan apa yang sudah direncanakan oleh Vanesa. Berusaha menerka-nerka kalau ini adalah perkenalan yang direncanakan oleh Maudy untuknya. “Maudy, ini teman yang aku ceritakan tadi. Namanya Regan, sekaligus pemilik kafe ini.” Pria dengan penampilan rapi itu mengulurkan tangannya dan mereka berdua bersalaman. “Maudy.” Tatapan pria itu begitu teduh. Namun tidak bisa berlama-lama berada di sini. Dia takut kalau anak buah William justru menemukannya dalam keadaan seperti ini. Raut wajah sedikit pucat karena panik, rencana yang disusun oleh Vanesa terbilang mengerikan. Sehingga napasnya terasa tercekat di tenggorokan. Temannya tahu kalau risiko itu terlalu besar membiarkan Maudy bersama dengan pria lain. Pria dengan setelan serba hitam berkeliaran di kafe. Salah satu orang yang dikenalnya, tidak lain adalah anak buah dari William. “Vanesa, aku harus pulang. Maafkan aku, Regan.” Dia berdiri dan mengambil tasnya karena merasa ketakutan sekarang. Pasti ke mana saja dia pergi, akan diawasi oleh anak buah sang papa. Tidak mudah untuk melarikan diri dari seorang William yang sudah pasti tidak akan memberikan kesempatan pada anak gadisnya untuk melakukan hal yang diinginkan. Keluar dari kafe tersebut dia mengambil ponselnya dari dalam tas, sebuah mobil sedang berwarna hitam muncul dan berhenti di depannya. Kaca jendela mobil itu diturunkan kemudian menampakkan sosok William. “Masuk!” Setiap kali dia berusaha untuk melakukan tindakan pemberontakan, pasti akan ditemukan dengan sangat mudah oleh William. Di dalam mobil, dia menatap ke arah luar jendela. “Papa menghubungimu berulang kali, Maudy.” “Aku tahu.” “Kenapa tidak menjawab telepon, Papa?” Dia memutar bola mata dengan ekspresi yang terlihat benar-benar bosan. Tidak ingin bicara dengan William mengingat waktu itu dia tidak sempat melawan. Perjodohan itu sudah pasti akan tetap dilakukan meski Maudy tidak setuju. Ada dua hal yang dia inginkan. Pertama, keluar dari rumah itu setelah kuliahnya selesai dan mencari pekerjaan. Kedua, dia ingin keluar dari rumah dengan alasan menikah. Tapi, mengingat banyaknya kasus perceraian, dia justru tidak bisa percaya pada siapa pun. Termasuk dengan orang yang akan dijodohkan dengannya. “Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak aku kenal.” Papanya sibuk dengan tablet yang ada di pangkuannya. “Terserah kamu, Maudy. Yang jelas, keputusan Papa tidak bisa diganggu gugat. Papa akan tetap menjodohkan kamu dengan Leon.” Bagaimana kalau seandainya Leon adalah pria yang tidak baik? Kasar atau bisa mengancam nyawa Maudy. Atau bahkan berbuat seenaknya di luar sana. “Papa yakin kalau dia pilihan terbaik?” “Percaya atau tidak. Keluarga dia juga sudah setuju dengan perjodohan ini, Maudy. Papa tidak suka kamu pergi dengan Vanesa. Kamu menurunkan harga dirimu berteman dengan dia. Juga tentang pemilik kafe yang bernama Regan tadi. Papa tidak menyukainya.” Dalam hatinya Maudy, dia ingin mengumpat atas apa yang dikatakan oleh William barusan. Dari dulu, pria di sebelahnya ini tidak pernah menyukai Vanesa. Padahal, di antara banyak temannya. Orang yang tidak pura-pura berteman baik dengan Maudy adalah Vanesa. Sementara itu, William ingin kalau Maudy memperluas pertemanan dengan orang yang setara dengan keluarga mereka. Maudy cemberut dan tidak mau menoleh ke arah William. Tiba di rumah, seperti biasa. Dia melihat raut wajah Ana yang tidak suka terhadapnya. Meski sebenarnya ada rasa rindu di hatinya Maudy ingin memeluk wanita yang di depannya itu. Selama belasan tahun, dia tidak pernah mengobrol dengan wanita di depannya ini. Melewati Ana dengan begitu cuek. Maudy juga sadar diri betapa tidak diinginkannya dia selama ini oleh wanita yang barusan dia temui di bawah. Sampai di kamar. Dia langsung mandi. Ponselnya berbunyi beberapa kali. Pesan dikirimkan oleh Vanesa untuknya tidak sedikit. Temannya meminta izin untuk memberikan kontak Maudy kepada Regan. Bersamaan dengan kekecewaan yang dia rasakan karena sebentar lagi akan dijodohkan. Selama ini, dia telah berusaha menuruti semua keinginan orang tuanya. Untuk pernikahan, mungkin dia akan sedikit melawan. Tok tok tok “Maudy, kamu sudah selesai mandi?” tanya papanya dibalik pintu. Maudy tidak membalas pesan dari Vanesa dan langsung keluar untuk menemui orang tuanya. “Ya, Pa. Aku akan keluar sekarang.” Perlahan langkah kakinya menuju pintu kamarnya untuk membuka pintu. Begitu dia membuka pintu, melihat pria yang berdiri di depan pintu membawa beberapa kotak hitam yang disusun dengan rapi. “Papa boleh masuk?” Maudy langsung memberikan jalan untuk William. “Aku tidak ingin menikah, Pa. Masa depanku masih panjang.” Kotak itu ditaruh di atas meja riasnya Maudy. Kemudian pria itu berbalik dan menatapnya. “Justru karena masa depan kamu masih panjang. Papa melakukan ini untuk kamu. Demi kebaikan kamu dan juga keluarga kita.” William mengatakan itu demi masa depan Maudy dan juga keluarga. Sedangkan itu hanya untuk keluarga, bukan untuk kebahagiaan Maudy. “Papa ....” “Malam ini, kita akan pergi untuk makan malam di luar. Papa tidak ingin mendengar apa pun alasan kamu. Pakai semua barang yang ada di dalam kotak itu. Pastikan juga kamu pakai perhiasan yang sudah Papa belikan. Jangan terlihat seperti orang gelandangan di depan calon suami dan juga calon mertua kamu.” “Secepat itu?” tanya Maudy. “Daripada kita harus menunda yang tidak perlu ditunda lagi, Maudy. Lebih cepat lebih baik.” “Setidaknya Papa dengarkan keputusanku sekali saja, Pa.” “Kamu tidak berhak menolak, Maudy. Kamu tidak berhak memberikan suara penolakan itu. Keputusan sudah berada di tangan kami sebagai orang tua kamu. Leon sekalipun, dia tidak berhak menolak ini.”“Aku perhatikan, beberapa hari ini penampilanmu berubah drastis. Begitu juga dengan barang yang kamu gunakan. Mobilmu baru, tasmu mahal. Ponsel baru dan juga laptop baru. Apakah orang tuamu mulai menyayangimu?” ledek Vanesa. Maudy hanya tertawa mendengar candaan teman baiknya itu. Namun bukan dari orang tuanya. Semua itu berasal dari Leon. Suaminya selalu menuruti apa saja yang diinginkan oleh Maudy. Dengan catatan tidak merepotkan suaminya. Namun, yang dia minta adalah laptop waktu itu. Leon langsung menurutinya dan mengantarnya untuk membelinya. Berbeda halnya dengan mobil dan juga ponsel baru. Semua itu dari suaminya tanpa pernah dia minta sama sekali. Apa pun ditanggung tanpa banyak protes dari suaminya. Semakin Maudy menuruti kemauan suaminya. Semakin mudah juga perjalanan untuk diwujudkan. Maudy yang sedari tadi bengong mendengar pertanyaan temannya. Tiba-tiba dia tersadar. “Maaf, aku barusan memikirkan sesuatu.” “Apa?” “Aku harus memikirka
“Apa yang kamu inginkan dari hadiah perpisahan kita suatu saat nanti, Maudy?” Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya Leon beberapa hari lalu. Hari ini, mereka berdua telah berdiri di sini sebagai sepasang suami istri yang sedang melangsungkan pernikahan. Hari di mana dia resmi menjadi istri untuk sementara waktu. Bersanding dengan pria yang mungkin terdengar asing sekali di telinganya. Pernikahan yang begitu singkat sekali persiapannya. Namun mampu membuat Maudy yakin kalau dia bisa merasa jauh lebih tenang ketika berhadapan langsung dengan Leon. Membahas tentang hadiah yang diinginkan Maudy. Waktu itu dia telah memikirkan bahwa dia menginginkan rumah sebagai hadiah dari perpisahan mereka. Maudy mungkin sudah bisa mandiri ketika diceraikan oleh suaminya nanti. Memang waktunya tidak ditentukan, namun pastinya tidak akan berjalan dengan singkat. Leon yang memiliki kehidupan super sibuk untuk sekarang. Mungkin juga Maudy bisa memaklumi itu. Tidak kalah dengan dirinya yang sibuk kulia
“Pernikahan kita tinggal menghitung hari.” “Lalu?” Leon melepaskan sabuk pengaman ketika mereka tiba di rumah yang akan mereka tempati. “Di pernikahan nanti. Setidaknya kita berciuman.” “Berciuman?” tanya Maudy dengan panik. “Ya, tentu saja itu akan terjadi. Tidak mungkin kita menikah lalu setelah itu selesai begitu saja. Orang tuaku dan orang tuamu tidak akan percaya dengan pernikahan kita. Mereka akan curiga tentang rencana kita di belakang.” “Kita sudah sepakat kalau kita tidak ada kontak fisik.” Leon menggeleng. “Tidak. Kita hanya sepakat tidak seranjang. Bukan berarti tidak ada kontak fisik seperti ciuman. Ini hanya terjadi saat di pesta pernikahan saja, Maudy.” Maudy tidak dipaksa untuk membahas tentang itu. Juga tidak melanjutkan obrolan tentang ciuman. Mereka turun dari mobilnya Leon. Rumah Leon jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah orang tuanya Maudy. “Apakah orang tuamu juga di sini?” “Tentu saja tidak. Ini rumah untuk kita berdua. Orang tuaku tidak tinggal di
“Bareng?” tanya Vanesa ketika mereka keluar dari kelas di saat sudah waktunya untuk jam pulang. Maudy menerima pesan. Dia membuka ponselnya dan melihat ada chat dari nomor baru. “Aku Leon. Di luar kampusmu sudah ada anak buahku yang menjemputmu.” Disusul oleh chat baru yang berisikan foto anak buahnya dan juga mobil yang digunakan. Dia menoleh ke arah Vanesa. “Aku pulang duluan, ya.” Entah bagaimana ceritanya pria itu langsung mengirimkan anak buah begitu saja tanpa persetujuan dari Maudy sendiri. Padahal dia juga belum sempat untuk memberitahu bahwa dia bisa pulang sendiri atau dijemput oleh anak buah papanya. Saat dia keluar, benar saja kalau ada tiga pria yang berdiri di luar mobil sembari mengobrol. Maudy langsung mendekat dan memberikan bukti chat dari Leon barusan. Dia dibukakan pintu mobil dan langsung masuk. “Aku akan di bawa ke mana?” tanya Maudy ketika mobil sudah melaju. “Kita akan pergi ke kantor pak Leon.” Tidak lama setelah anak buahnya Leon memberitahukan. Tem
“Atas nama Bapak William?” Seorang pelayan wanita menghampiri mereka ketika baru saja masuk ke dalam restoran. “Benar.” Senyuman diberikan oleh wanita itu. “Mari ikuti saya!” Mereka dipandu oleh pelayan itu ke salah satu ruangan eksklusif di restoran tempat janji temu itu dilakukan. Setelah tiba di ruangan yang dimaksudkan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan itu. Kakaknya Maudy tidak ikut. Hanya pertemuan yang melibatkan anak yang akan dijodohkan dan orang tua saja. Sosok pria yang berdiri di ujung sana sambil menelepon. Kemudian pria itu menutup teleponnya. Begitu berbalik, Maudy melihat raut wajah yang begitu dingin ketika mata mereka bertemu. Dia yakin, kalau pria itu adalah Leon. Orang yang dimaksud oleh William. “Leon, lihat calon istrimu. Dia cantik sekali,” ujar seorang pria yang dia yakini akan menjadi calon mertuanya nanti. Pria itu mempersilakan mereka bertiga untuk duduk. Beberapa menit kemudian hidangan makan malam mereka pun akhirnya tiba. Maudy yang tadinya mer
“Sorry, aku telat,” Maudy menoleh ketika melihat temannya datang terlambat ketika mereka sudah janjian untuk bertemu. Maudy tidak mempermasalahkan temannya yang datang terlambat. Dia hanya merasa takut sendirian kalau semisal dirinya sendirian di kafe. Vanesa datang meski terlambat. Duduk di depan Maudy kemudian memberikan kode untuk Maudy. “Lihat belakang! Itu orang yang mau aku kenalin ke kamu. Dia yang punya kafe ini.” Matanya Maudy melotot mendengar perkataan Vanesa. Sementara dia telah memiliki calon suami yang sebentar lagi pasti akan dikenalkan oleh orang tuanya. Sebentar lagi dia akan menikah dan menjadi istri orang yang tidak dikenal sebelumnya. “Please, Vanesa! Ini bencana baru buat aku kalau sampai kamu kenalin aku laki-laki lain. Aku sudah punya calon suami.” “Hah?” mata Vanesa melotot mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya Maudy. Meski sebenarnya dia masih ragu soal itu. Namun, perlahan juga akan memberikan penjelasan pada Vanesa. Maudy memberikan anggukkan s