Masuk“Atas nama Bapak William?” Seorang pelayan wanita menghampiri mereka ketika baru saja masuk ke dalam restoran.
“Benar.” Senyuman diberikan oleh wanita itu. “Mari ikuti saya!” Mereka dipandu oleh pelayan itu ke salah satu ruangan eksklusif di restoran tempat janji temu itu dilakukan. Setelah tiba di ruangan yang dimaksudkan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan itu. Kakaknya Maudy tidak ikut. Hanya pertemuan yang melibatkan anak yang akan dijodohkan dan orang tua saja. Sosok pria yang berdiri di ujung sana sambil menelepon. Kemudian pria itu menutup teleponnya. Begitu berbalik, Maudy melihat raut wajah yang begitu dingin ketika mata mereka bertemu. Dia yakin, kalau pria itu adalah Leon. Orang yang dimaksud oleh William. “Leon, lihat calon istrimu. Dia cantik sekali,” ujar seorang pria yang dia yakini akan menjadi calon mertuanya nanti. Pria itu mempersilakan mereka bertiga untuk duduk. Beberapa menit kemudian hidangan makan malam mereka pun akhirnya tiba. Maudy yang tadinya merasa risih dengan gaunnya, mulai merasa nyaman karena pria itu tidak fokus ke arahnya. Karena gaunnya memang agak terbuka. Dalam benak Maudy. Sedikit terbesit pernikahan ini murni karena bisnis orang tuanya yang bekerja sama dengan orang yang ada di depannya sekarang. Karena tidak mungkin orang tuanya melakukan tindakan yang nekat kalau tidak ada keuntungan seperti ini. Sekalipun dibenci oleh Ana. Namun bukan berarti dia dibenci oleh William. Dalam kasus seperti ini, kemungkinan besar memang berkaitan dengan bisnis orang tuanya yang dijanjikan lebih besar lagi. Tidak ada sesuatu yang gratis di dunia ini. Semua itu harus dibayar dengan sesuai. Apalagi dengan pernikahan, pasti ada hal yang paling masuk akal dijanjikan oleh orang tuanya Leon pada orang tuanya Maudy. “Mari kita bersulang,” ucap papanya Leon sembari mengangkat gelas. Kalau Maudy amati dengan sendiri, tatapan pria yang ada di hadapannya ini juga seperti orang yang bosan berada di tempat seperti ini. Mungkin saja ingin pergi, tapi segan terhadap orang tuanya. Berpikir kalau pernikahan ini mungkin akan berlangsung, tapi dengan syarat yang akan diberikan oleh Maudy kepada Leon. Belum siap untuk menikah, tidak siap juga menjadi ibu rumah tangga dalam waktu yang terbilang singkat. Dalam dunia pernikahan, sangat mustahil baginya untuk tidak memberikan hak suaminya jika nanti mereka resmi menikah. Sudah tidak terhitung berapa kali mata mereka bertemu saat Maudy dengan sengaja melemparkan tatapan dingin ke arah Leon. Pria itu juga memberikan balasan yang setimpal. Memutar gelasnya beberapa kali. Mereka makan malam hingga selesai, obrolan yang membahas tentang prestasi Maudy dari kecil, disusul oleh orang tuanya Leon yang kemudian membanggakan anaknya dengan prestasi yang gemilang. Dalam sekejap mata. Pria tua itu mengatakan. “Leon baru berusia 24 tahun.” Maudy yang tadinya berpikir kalau pria itu mungkin lebih tua dari bayangannya, ternyata usianya jauh lebih muda dari perkiraan. Namun, dia seperti tidak percaya dengan usia di mana calon mempelai pria juga termasuk orang yang masih muda untuk menikah. Mungkin benar kalau dia terkejut setelah mendengar usia calon suaminya. Namun, dia juga tidak percaya kalau dia akan menikah di usia yang sangat muda seperti ini. Bahkan, dia belum selesai kuliah. “Aku baru 20 tahun. Belum selesai dengan kuliahku.” “Tidak masalah, Maudy. Kami akan menjadi keluarga yang tidak akan permasalahkan pendidikanmu. Setidaknya, kamu bersedia menikah dengan Leon, itu sudah lebih dari cukup.” Leon menatapnya dingin ketika dia berusaha untuk tertawa dengan ucapan orang tua itu barusan. “Aku seperti orang yang tidak laku. Dicarikan jodoh untuk segera menikah,” pria itu menggerutu namun masih bisa didengar oleh Maudy. “Apa yang kamu katakan, Leon?” tanya sang mama. “Tidak ada, lupakan saja!” Leon bangun dari tempat duduknya. “Kamu mau ke mana?” “Aku ingin cari udara segar di luar. Mungkin Maudy bersedia untuk keluar juga,” ucapnya Leon. “Ah benar. Kalian harus lebih dekat.” “Aku bawa mobil sendiri. Dia akan pulang bersamaku.” Diantar pulang oleh pria yang baru saja dia kenal di tempat seperti ini. Perjodohan orang tuanya memang tidak bisa dianggap remeh untuk sekarang. Maudy memang benar tidak siap untuk menikah di waktu yang cepat. Dia masih ingin mengejar banyak hal. Di luar restoran. Ada taman dan juga kolam yang berisikan tumbuhan teratai dan juga lampu-lampu yang menghiasi kolam itu. “Maudy,” panggil Leon. Maudy yang berjalan tepat di belakang pria itu. Seketika mengangkat kepalanya dan menatap pria yang masih membelakanginya. “Ya?” “Aku tahu kalau kamu mungkin tidak akan setuju dengan pernikahan ini. Usia kita memang sama-sama masih muda. Kamu juga pasti punya mimpi.” Dia mengangguk. Lalu Leon berbalik menatapnya. “Ya. Kamu benar. Aku memang punya beberapa keinginan.” “Salah satunya?” “Aku ingin bekerja. Aku ingin menghasilkan uang sendiri tanpa memberatkan orang tuaku. Aku tahu kalau mungkin aku tidak pernah kekurangan uang. Tapi, aku tahu bahwa orang tuaku pasti akan menarik semua fasilitas itu kalau aku menolak menikah denganmu.” Ketika mereka sedang mengobrol berdua. Tiba-tiba Maudy mengangkat satu tangannya ketika hujan perlahan menetes. Mereka menepi dan berteduh di sebuah tempat kecil untuk berteduh. “Aku tidak bisa menghindari pernikahan ini sekalipun aku sendiri tidak setuju. Tidak ada jalan lain untuk menuruti ucapan kedua orang tuaku. Aku tidak akan melarangmu melakukan apa pun, asalkan kamu tidak membuat masalah di luar sana.” “Maksudmu? Kamu bersedia untuk melangsungkan pernikahan ini?” Entah sudah berapa kali terdengar helaan napas dari Leon. Pria itu kemudian mengangguk perlahan ketika Maudy berusaha ingin menjelaskan kalau dia sebenarnya menolak. Tapi ternyata, apa yang terjadi pada mereka berdua benar-benar sama. Mereka tidak bisa menolak. “Tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Menolaknya juga percuma, kuasa orang tuaku lebih tinggi dibandingkan dengan orang tuamu. Setidaknya, aku tidak akan melarangmu melakukan apa pun. Asalkan jangan libatkan aku di dalam masalahmu suatu saat nanti.” Maudy menerima pesan dari orang tuanya. Papanya bertanya di mana dia sekarang. Sedangkan mereka berdua masih terjebak hujan di taman restoran dan sedang berteduh sekarang ini. “Apa orang tuamu tidak mencarimu?” tanya Maudy. “Tidak.” Seolah-olah keluarga pria ini juga sedang tidak baik-baik saja. Meski baru bertemu, dia merasa kalau kehidupan mereka mungkin sama. Kehidupan mereka yang agak sedikit tertekan dan sekarang ini terjebak di dalam perjodohan yang dilakukan oleh orang tua mereka. Cukup lama mereka berada di taman itu, sampai tersisa gerimis kecil dan mereka berdua memutuskan untuk menerobosnya dan kembali ke dalam restoran. Melihat di sana sudah sepi, pelayan muncul dua orang dan memberitahukan. “Tamunya sudah pulang.” Mereka berdua berdiri kaku di depan ruangan itu. Sedangkan pelayan sedang membereskan alat makan mereka. “Oh, baik. Terima kasih.” Leon mengajaknya untuk pulang setelah tahu kalau mereka berdua ditinggalkan begitu saja. Maudy memang benar diantar oleh Leon ke rumahnya. Waktu dia hendak turun, rasanya ada sedikit kaku ketika ingin membuka pintu mobil. Leon menyodorkan ponselnya. “Apa?” “Nomormu.” Maudy langsung merasa malu ketika dia hendak keluar disodorkan ponsel oleh Leon. “Maaf.” Dia pun berpamitan dan meninggalkan Leon. Waktu dia baru masuk ke dalam rumah. Dia baru teringat, tidak menawarkan untuk mampir. “Mana Leon?” tanya William. “Sudah pulang.” “Kamu nggak nawarin dia untuk mampir?” “Dia akan ke sini lain kali. Dia masih ada urusan.”Maudy berkunjung ke rumah neneknya. Dia memang membuat kesalahan tadi pagi dengan cara membuat emosinya Leon meledak. Seharusnya dia tidak membahas itu lebih dulu.Benar kata Leon, jangan pernah menyinggung soal perceraian kalau bukan Leon yang memulai.Padahal pria itu ingin memastikan kalau hidupnya Maudy baik-baik saja.Maudy duduk di taman sendirian sambil main ayunan yang sudah belasan tahun menjadi teman bermainnya.Neneknya juga ada di taman. Duduk di kursi yang tidak jauh dari tempat dia sekarang ini.“Kamu ke sini pasti karena ada masalah.”“Nggak ada, nek. Aku cuman kangen.”“Karena sejak menikah. Kamu ke sini pasti sama suami kamu. Leon nggak penah izinkan kamu datang sendirian.”“Leon sibuk akhir-akhir ini, Nek.”Maudy berkata seperti ini dan tentu saja ada kebohongan. Leon tidak pernah sesibuk itu setiap kali dia ajak pulang
Wanita itu adalah Maudy? Erland tidak habis pikir tentang anaknya memperebutkan satu wanita. Sedangkan bisa dilihat dari raut wajah marahnya Leon. “Semua sudah aku lakukan untuk Papa. Aku harap Papa kali ini bantu aku. Cuman itu permintaanku.” “Itu urusanmu sama, Regan.” “Kalau sampai Regan tahu rencana ini. Berarti Papa yang bocorin.” Dia menatap dingin ke arah anak pertamanya. Memang dia sebenarnya sangat berharap sekali bisa akur dengan Leon seperti dia bisa akur dengan Regan. Anak pertamanya terlalu banyak rasa kecewa yang tidak bisa diobati oleh Erland sendiri. Erland mengulurkan tangannya untuk Leon. “Apa ini?” tanya Leon dengan bingung. “Papa janji tidak akan ikut campur sama urusan kamu dan juga Regan.” Leon membalas uluran tangannya. Erland tahu, semenjak Leon menikah. Sikap anaknya jauh lebih dewasa dibandingkan dulu. Leon seperti anak-anak ketika memberontak. Sekarang lebih bisa diajak bicara seperti ini. Dulu, jangankan untuk makan satu meja seperti ini. Berpapasa
“Kapan kita akan bercerai?” Leon mendapatkan pertanyaan itu dari istrinya dan seketika nafsu makannya langsung hilang. Dia melihat Maudy penuh dengan percaya diri melemparkan pertanyaan itu. Dia menghela napas dan kemudian menjawab. “Kalau kamu ingin pacaran sama pemilik kafe itu. Silakan lakukan saja, Maudy. Sekalipun kita punya perjanjian kalau kita nggak boleh masukin orang baru ke dalam hidup kita.” “Kamu juga punya wanita lain.” Leon ingin mengatakan kalau wanita yang dimaksud oleh Leon adalah Maudy sendiri. Namun selama ini respons yang diberikan oleh Maudy saja tidak menunjukkan ada ketertarikan pada dirinya. Kalau dia mengungkapkan perasaannya dan ditolak oleh Maudy. Itu akan berakhir fatal dan mereka berdua akan asing kembali seperti dulu. Leon tidak mau hubungannya menyedihkan seperti itu lagi dan akhirnya mereka berdua tidak saling sapa seperti dulu. Dia sudah berusaha untuk membangun rumah tangga yang sebaik-baiknya dan mempertahankan semuanya. “Maudy, bisakah kita be
Maudy baru selesai mandi karena dia akan olahraga pagi ini. Memungut pakaian yang berserakan di lantai. Pakaian yang dibuang oleh Leon kemarin. Saat dia sudah mengganti pakaian dan hendak keluar untuk lari pagi. Dia tidak perlu keluar ke mana-mana untuk berolahraga, dia hanya perlu keliling di halaman belakang rumahnya untuk sekadar lari. Dia duduk di tepi ranjang dan melihat suaminya masih terlelap. Semalam setelah percintaan panas mereka. Leon langsung tidur dan Maudy juga begitu. Setelah dia selesai berhubungan. Pasti kualitas tidurnya meningkat drastis. Leon bangun dan kemudian menggeliatkan tubuhnya. “Kamu mau ke mana?” “Aku mau lari pagi di belakang.” “Oh.” Maudy mencium suaminya dan pipinya diusap oleh suaminya. Bagaimana pun dia berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi suaminya. Leon akan tetap bereaksi sama seperti dulu. Tidak ada yang istimewa. Bahkan Maudy ingin sesekali dapat pujian atau sekadar dipanggil sayang oleh suaminya. Itu tidak dia dapatkan sampai s
Regan ngadu ke papa kamu tentang dia suka sama Maudy. Tapi Mama nggak cerita kalau yang Regan maksud adalah istri kamu.Tawa Leon pecah saat dia membaca pesan dari mamanya ketika wanita itu mengatakan bahwa Regan mengadu ke Erland tentang perempuan yang disukai olehnya dan ingin direbut oleh Leon. Bagus kalau sampai itu terdengar ke telinga Erland. Jadi, Leon tidak perlu menjelaskan bagaimana niat busuknya itu untuk menghancurkan adiknya sendiri. Hiburan Leon saat dirinya lelah bekerja ternyata jauh lebih unik dibandingkan dengan dia harus pergi untuk menonton tayangan yang pura-pura menghiburnya. Cukup membaca pesan dari Titian saja sudah membuatnya merasa jauh lebih baik. Leon sudah membalas pesan itu dan mengajak mamanya untuk bertemu. Dia meminta sang mama untuk ke rumahnya. “Bagus kalau kamu sampai sejauh ini, Regan. Aku bahkan sudah membaca kejahatanmu ingin menghancurkanku sejak awal. Aku tidak akan membiarkanmu mencuci otak papa lagi.” Digenggamnya ponselnya dengan er
“Aku akan mulai masuk ke perusahaan, Pa.” Erland terkejut mendengar permintaan dari anak keduanya yang meminta izin untuk masuk ke perusahaan. Sedangkan di sana ada Leon yang tidak bisa dia singkirkan. Bahkan Erland sendiri tidak bisa sedikit saja menggeser Leon. Perbandingan Leon dengan Regan sangat jauh sekali dari segi kecerdasan. Dia diajak bertemu oleh anaknya di luar. Mendengar permintaan itulah yang membuat Erland langsung setuju diajak bertemu oleh anaknya. “Papa sudah dengar dari mama kamu, Regan. Kalau Leon akan mengambil alih kafe kamu kalau kamu berbuat kesalahan. Ingat baik-baik, Leon tidak akan bercanda sama omongannya. Beberapa waktu lalu juga, Papa pernah mendengar kalau kamu memukulnya. Anak buah papa melaporkan kamu menghajar dia di depan umum.” Regan seperti sedang berusaha untuk mencari pembenaran dan anaknya memang terlihat seperti orang yang berbeda sekali. “Regan, Papa tahu kalau Leon membencimu. Sampai detik ini, belum pernah dia membuat kamu menderita. Dia







