“Apa yang kamu inginkan dari hadiah perpisahan kita suatu saat nanti, Maudy?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya Leon beberapa hari lalu. Hari ini, mereka berdua telah berdiri di sini sebagai sepasang suami istri yang sedang melangsungkan pernikahan. Hari di mana dia resmi menjadi istri untuk sementara waktu. Bersanding dengan pria yang mungkin terdengar asing sekali di telinganya. Pernikahan yang begitu singkat sekali persiapannya. Namun mampu membuat Maudy yakin kalau dia bisa merasa jauh lebih tenang ketika berhadapan langsung dengan Leon. Membahas tentang hadiah yang diinginkan Maudy. Waktu itu dia telah memikirkan bahwa dia menginginkan rumah sebagai hadiah dari perpisahan mereka. Maudy mungkin sudah bisa mandiri ketika diceraikan oleh suaminya nanti. Memang waktunya tidak ditentukan, namun pastinya tidak akan berjalan dengan singkat. Leon yang memiliki kehidupan super sibuk untuk sekarang. Mungkin juga Maudy bisa memaklumi itu. Tidak kalah dengan dirinya yang sibuk kuliah. Maka, mereka berdua harus saling mengimbangi satu sama lain. Maudy tidak ingin ambil pusing ketika suaminya nanti tidak ada di rumah. Justru, itu adalah kesempatan yang baik baginya untuk belajar secara autodidak. “Leon.” Pria itu sedikit mendekat padanya. “Kamu lelah?” “Tidak. Aku hanya ingin bertanya. Apakah saudaramu dan ibu tirimu hadir hari ini?” “Mereka tidak diundang oleh orang tuaku.” Pernikahan yang megah ini ternyata tidak banyak tamu yang datang. Sesuai dengan prediksi Maudy, kalau mereka menikah memang untuk kepentingan semata. “Pesta sebentar lagi selesai, Maudy. Kita akan berciuman.” Siapa pun bisa mencubit Maudy kali ini. Mengingat bahwa dirinya tidak pernah melakukan itu sebelumnya dengan siapa pun. Ciuman adalah sebuah ucapan keramat yang keluar dari mulutnya Leon. “Aku ....” “Kamu gugup?” “Ya, aku sedikit gugup.” “Hanya sedikit kecupan.” Meskipun sedikit kecupan. Setidaknya itu membuat Maudy agak sedikit gugup dari ucapannya Leon. Mereka berdua berhadapan ketika MC mengatakan kalau itu akan dilakukan segera. Maudy mungkin agak sedikit tertekan dengan ucapannya Leon barusan. “Buka sedikit mulutmu!” ucapnya Leon. Maudy menuruti ucapan suaminya. Seketika lidahnya Leon bermain di dalam mulutnya dan melumatnya. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh Maudy terjadi. Dia pikir itu hanyalah sebuah kecupan biasa. Namun ternyata tidak. Pria itu benar-benar melumatnya dengan sedikit ganas. Suara teriakan yang begitu heboh ketika mereka berciuman. Leon juga membersihkan lipstik Maudy yang menempel di ujung bibirnya. Awalnya dia tidak menyangka kalau ternyata itu ciuman yang agak sedikit panas. Namun suara teriakan itu membuat Leon tersenyum. Seolah sorakan itu menggambarkan bagaimana Leon yang tidak tahan untuk menyentuh Maudy. Padahal mereka berdua sudah sepakat akan pisah kamar setelah ini. Tidak akan ada malam pertama dan selanjutnya. Malam harinya, mereka berdua kembali ke rumahnya Leon usai pesta pernikahan mereka. Tubuhnya memang agak sedikit lelah karena harus meladeni tamu yang menghampiri mereka dan mengucapkan terima kasih karena sudah datang. Sedangkan Maudy, besok dia harus tetap berangkat ke kampus. Tetapi dengan status yang sudah berbeda. Rumah yang ditempatinya bersama dengan Leon ini sangat besar. Bahkan sangat besar sekali untuk penghuni dua orang. Sedangkan asisten rumah tangga hanya bekerja setengah hari. Semuanya juga sudah diberitahu sejak awal oleh Leon agar mereka semua memaklumi tentang pisah kamar ini. Saat dirinya sedang berada di dapur mengambil air minum. Terdengar langkah kaki yang semakin mendekat. Dia menoleh seketika menemukan suaminya yang masuk ke dapur. “Ada apa?” “Aku melihat lampu dapur menyala. Aku pikir bibi lupa mematikan lampu,” ucapnya Leon dengan nada santai. Maudy mengerutkan dahinya setelah melihat suaminya muncul hanya untuk bertanya demikian. “Kamu tidak menungguku?” “Tidak ada anjing yang menggigitmu di tangga.” Dirinya sudah terbiasa mendengar nada sinis dari suaminya. Bahkan dari awal mereka kenal pun. Dia sudah tahu kalau suaminya memang bersikap demikian. Namun bukan berarti Maudy harus mengambil hati tentang ucapan yang baru saja dilontarkan oleh suaminya. Usai mengisi air dan kembali ke kamar. Ternyata dia melihat suaminya berdiri di depan pintu. “Ada apa?” Leon mengeluarkan sesuatu dari saku celana berwarna hitam dan menggantungkannya. Ternyata itu adalah kunci mobil. Dia masih merasa sedikit bingung. “Aku bisa naik kendaraan umum.” “Jangan membuatku seperti pria yang tidak bertanggung jawab, Maudy. Mulai besok, kamu berangkat pakai mobil ini. Mobilnya sudah aku sediakan. Aku tidak bisa menyuruh sopirku untuk menjemputmu lagi. Karena aku masih punya banyak pekerjaan. Pastikan kamu tidak membuat masalah di luar sana.” “Besok kamu akan langsung bekerja?” “Ya, aku akan langsung bekerja seperti biasanya. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bekerja. Kalau orang lain bertanya tentang malam pertama kita, itu melebihi batas. Jadi, jangan ditanggapi.” “Kamu pulang jam berapa?” “Tidak tahu.” “Oh.” Maudy mengayunkan kaki kanannya karena merasa sangat canggung sekali dengan suaminya. Meski mereka sebenarnya masih butuh waktu untuk saling mengenal lagi. Namun dia juga harus mengerti situasi ini. Leon memperlakukannya dengan sangat baik, meski terkadang dia harus mendengar ucapan yang agak menyakitkan dari suaminya. Tapi bukan berarti dia harus membuat itu sebagai masalah besar. Dia akan terbiasa dengan itu dan suatu saat nanti pasti akan menjadi hal yang tidak asing lagi baginya. “Karena asisten pulang siang hari. Jadi, aku akan masak untuk makan malammu.” Leon masih berdiri di depannya. Maudy sedikit takut untuk sekadar mengangkat kepalanya. Mengingat adegan tadi ketika di pesta ketika Leon melumat bibirnya dan napasnya terasa akan habis. Rasa malu sekaligus dia merasa ciuman pertamanya dirampas oleh suaminya secara brutal itu. Tidak ada kelembutan yang diberikan oleh Leon. “Aku tidak janji akan makan setiap kali kamu masak.” “Kalau begitu, aku akan bertanya setiap hari tentang kamu sudah makan atau belum.” “Hmm.” “Kamu keberatan?” Leon menggeleng. “Tidak.” Perkenalan singkat yang akhirnya membawa dia ke dalam kehidupan yang jauh lebih baik sekarang ini. Maudy yang dulunya tersiksa setiap hari, kali ini akan berhadapan dengan suami dan juga kehidupan yang jauh lebih baik dibandingkan yang dulu. Setidaknya, dia dan suaminya benar-benar sepakat menjalani pernikahan tanpa merugikan siapa pun. Leon menikahinya demi harta yang tidak ingin kalau adiknya mendapatkan semuanya. Sementara Maudy, dia ingin keluar dari rumah sejak lama. Mengetahui bahwa Leon sejalan dengannya, rasanya tidak akan berat. Terutama ketika Leon mengatakan bahwa mereka tidak boleh membawa pasangan masing-masing. Leon juga tidak memiliki kekasih, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan suatu saat nanti. Maudy membalik tubuhnya untuk kembali ke kamar. “Maudy.” “Ya?” “Tentang rumah yang kamu inginkan setelah kita berpisah nanti. Aku belum menyiapkan itu. Kita juga masih lama akan terus pura-pura seperti ini.” “Jangan buru-buru!” “Kamu tidak keberatan?” Maudy menggelengkan kepalanya. “Aku masih merasa baik-baik saja. Jangan lakukan semuanya dengan buru-buru.”Ketika memasuki halaman rumah papanya. Maudy yang pulang karena dihubungi lagi oleh Marcel mengenai William yang sakit. Sampai di sana, dia melihat papanya terbaring lemah di atas ranjang. Menyaksikan pria tua itu tidak berdaya untuk sekarang. Infus dipasang di tangan kirinya. Maudy duduk di sebelah dan memegang tangan kanan papanya. “Dokter bilang Papa sakit apa?” Tanya Maudy ke Marcel yang sudah mengurusnya. “Papa selalu memaksakan diri.” “Kakak kenapa nggak ambil alih perusahaan sih? Mau sampai kapan kakak bakalan gini terus? Di rumah dan nggak pernah ada usaha sama sekali. Nggak mau bantuin papa buat urus perusahaan.” Dia beranikan diri untuk memarahi kakaknya karena selama ini sang kakak memang agak santai soal masa depan. Mengingat perusahaan butuh penerus dan pastinya yang paling diandalkan adalah Marcel. “Kali ini Mama ke pihaknya Maudy, Marcel. Mama nggak bisa biarin Papa kamu terus sakit begini.” Maudy tidak pernah ingin dibela oleh Ana. Dia hanya kasihan melihat Wil
Di ruangannya yang begitu dingin karena pendingin ruangan yang bertiup sejak tadi. “Tuan, ada tamu,” ucap sekretarisnya. “Suruh masuk!” Leon berdiri setelah dia mendapatkan kabar kalau ada tamu yang berkunjung. Mengambil kembali jasnya dan mengenakannya. Saat dia melihat siapa yang datang. Leon hanya tersenyum. “Papa ada urusan apa kemari?” Tanya Leon pada Erland yang baru saja masuk. Sekarang ada mereka berdua di ruangan ini tanpa ada orang lain lagi yang mendengar pembicaraan mereka berdua nantinya. Erland duduk setelah Leon mempersilakan. “Papa tidak ada maksud apa pun, Leon. Hanya memberitahu kalau mungkin Regan akan memberontak ke kamu.” Leon menuangkan air untuk papanya dan mendorongnya lebih dekat dengan Erland. Mendengar ucapan itu, dia mendongakan kepalanya dan duduk sejajar sekarang. “Anak kecil itu tidak tahu apa-apa.” “Papa takut ini akan merusak nama baikmu.” “Aku tidak melakukan apa pun.” “Fotomu beberapa tahun lalu yang sedang di kelab malam, memangku seorang
“Pa, aku bakalan gabung sama perusahaan.” Erland yang sedang sibuk dengan tabletnya tiba-tiba menoleh ke anak keduanya. Dia membuka kacamata dan meletakkan tablet itu di atas meja. “Kamu terlambat untuk mengatakan itu, Regan.” Marsha muncul. “Nggak ada yang terlambat kalau kamu peduli sama anakmu.” “Dari awal aku peduli dan memanjakan dia. Sekarang, dia tidak berguna sama sekali. Aku pikir, dengan cara memanjakan dia dan meninggalkan Leon. Dia bakalan lebih maju. Justru Leon yang lebih maju dibandingkan dengan dia.” “Membandingkan kedua anakmu itu saja sudah salah, Pa.” “Tidak ada yang salah, Ma. Kamu memanjakan dia dan sekarang lihat hasilnya. Dia meninggalkan proyek setengah jadi dan membiarkan Leon mengerjakan sisanya. Dia kabur begitu saja. Bahkan Leon waktu itu bersyukur tidak ngamuk di sana.” “Dia sebagai seorang kakak seharusnya membimbing adiknya.” “Tanyakan pada Regan. Apakah Leon diam selama Regan di sana?” Regan diam ketika Erland sendiri tahu bahwa anak pertamanya
“Nes,” Vanesa yang sedang bermain ponsel seketika menoleh. “Apa?” “Aku bingung terhadap Leon. Dia sekarang memberikan kebebasan untukku. Waktu itu dia melarangku main ke kafenya Regan. Sekarang, dia memberikan aku kebebasan ke sana. Dan beberapa kali dia juga membelikan kue untukku.” “Tanpa sebab?” “Dia tahu aku menyukai kue di sana. Terus dia memperbolehkanku. Waktu aku bilang kerjain skripsi di sana, dia nggak bolehin. Tapi beberapa waktu lalu dia bilang boleh ke sana. Itu mencurigakan nggak sih?” Vanesa memutar tubuhnya dan sekarang sedang tengkurap di sebelahnya. Di kamarnya Vanesa, mereka berdua sedang berbincang. “Hmmm, bisa dibilang mencurigakan. Tapi bisa dibilang juga kalau dia sudah mulai tertarik.” “Kami sekarang sudah sekamar. Setahun sebelumnya, kami tidur di kamar terpisah.” “Hah?” tanya Vanesa dengan heran melihat Maudy. “Ya, kami berdua pisah kamar. Dan seperti yang kamu bilang, aku berusaha menggodanya dan membiarkan dia menyentuhku.” “Bagaimana responsnya?”
Usai pembicaraan tentang warisan. Seluruh perusahaan dimenangkan oleh Leon karena berasal dari istri pertama. Memang sikap Erlan tidak pernah adil dia dapatkan. Tapi sikap Erland pada Leon kali ini berbeda sekali dan bisa berpihak padanya. Dia pun akhirnya mengerti kenapa selama ini dia berjuang mati-matian untuk perusahaan yang akhirnya bisa dia dapatkan juga. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Erland barusan. Bahwa apa pun yang keluar dari rekeningnya Erland pasti akan diawasi juga oleh orang perusahaannya Leon. Karena sudah masuk ke warisan yang menyeluruh. Kafe yang dibuat oleh Regan itu juga hasil dari keuntungan perusahaan yang kemudian diberikan oleh papanya untuk Regan. “Regan, kalau kamu siap untuk menikah. Papa harap bisa mencarikan kamu istri seperti istrinya kakak kamu.” “Aku sudah punya kandidat sendiri, Pa.” Dia membenci Regan sekaligus melihat adinya mencari pembelaan pada Regan kali ini. Tapi sayangnya tidak mendapatkan itu semua. Regan tidak dapat dibela oleh
“Tuan, ada makan malam bersama keluarga,” baru saja Leon melepaskan jasnya. Dia baru saja tiba di kantor setelah rapat di luar. Lalu sekretarisnya mengatakan itu kepadanya. “Sama papa?” “Benar, Tuan. Ada adik Anda juga.” Leon berhenti sejenak setelah mendengar ucapan serketarisnya kalau Regan hadir di makan malam mereka nanti. “Oke, konfirmasi ke papa kalau aku akan datang.” “Baik,” ucap sekretarisnya. Tidak biasanya kalau sampai Leon datang ke acara makan malam dan juga dihadiri oleh Regan sendiri. Orang yang sudah sejak lama sekali membuat hatinya kesal. Karena merasa bahwa adiknya itu tidak berguna sama sekali. Pekerjaan yang diselesaikan oleh Leon lebih awal dari biasanya. Dia menutup berkas yang baru saja selesai dibacanya dan sudah memberika tanda di sana, ada beberapa hal yang perlu direvisi oleh bawahannya. Leon mengambil jasnya dan mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Mencoba menghubungi Maudy dan memberitahukan istrinya bahwa dia akan pulang lebih larut malam ini