“Aku perhatikan, beberapa hari ini penampilanmu berubah drastis. Begitu juga dengan barang yang kamu gunakan. Mobilmu baru, tasmu mahal. Ponsel baru dan juga laptop baru. Apakah orang tuamu mulai menyayangimu?” ledek Vanesa.
Maudy hanya tertawa mendengar candaan teman baiknya itu. Namun bukan dari orang tuanya. Semua itu berasal dari Leon. Suaminya selalu menuruti apa saja yang diinginkan oleh Maudy. Dengan catatan tidak merepotkan suaminya. Namun, yang dia minta adalah laptop waktu itu. Leon langsung menurutinya dan mengantarnya untuk membelinya. Berbeda halnya dengan mobil dan juga ponsel baru. Semua itu dari suaminya tanpa pernah dia minta sama sekali. Apa pun ditanggung tanpa banyak protes dari suaminya. Semakin Maudy menuruti kemauan suaminya. Semakin mudah juga perjalanan untuk diwujudkan. Maudy yang sedari tadi bengong mendengar pertanyaan temannya. Tiba-tiba dia tersadar. “Maaf, aku barusan memikirkan sesuatu.” “Apa?” “Aku harus memikirkan untuk membeli sepatu baru.” “Bagaimana kalau soal pacar?” Maudy langsung menggelengkan kepalanya mendengar ucapan dari temannya tentang pacar. Dia sama sekali tidak tertarik untuk membahas tentang itu. Karena dia sekarang telah menjadi seorang istri yang tidak seharusnya membahas tentang seorang pria. Terutama dia masih ingat ketika dikenalkan dengan pria lain ketika itu. Dia masih tidak terima ketika dibahas lagi tentang Regan. Helaan napas panjang akhirnya dia lakukan di depan temannya. “Vanesa, aku rasa kamu tidak perlu repot lagi mencarikan kekasih untukku. Kamu harus tahu, orang tuaku memberikan semuanya karena mereka ingin aku fokus ke kuliahku. Aku harus fokus terhadap masa depanku. Mereka tidak mau kalau sampai aku jatuh cinta dan menghancurkan semuanya.” Vanesa menganggukkan kepalanya. Meski semua yang diucapkan oleh Maudy barusan merupakan sebuah kebohongan. Namun juga tidak bisa berkata jujur di depan temannya. Tidak mau kalau sampai dia dicarikan pasangan lagi. Itu juga akan merepotkan suaminya di masa mendatang. Seperti yang sudah dia katakan kalau dia tidak ingin merepotkan Leon ke depannya dan akan fokus pada masa depannya. Pria itu juga sudah mendukungnya dengan baik. Tidak baik juga kalau dia tidak menuruti perkataan suaminya. Ponselnya Maudy berdering. Dia melihat ada nama asisten rumah tangga yang terpampang di sana. “Ya, Bi.” “Kalau sudah pulang kuliah. Langsung pulang, ada mertuanya Nona yang datang.” Wajah Maudy seketika langsung pucat mendengar ucapan itu keluar dari mulut asistennya. “Ah, aku akan segera pulang.” Dia mengambil tas. Kemudian dia beranjak meninggalkan Vanesa sendirian. “Ada sesuatu?” “Ada keluargaku yang datang. Aku harus pulang.” Dia langsung mengeluarkan kunci mobil dari dalam tasnya. Padahal dia tidak pernah mendengar Leon menyinggung tentang kunjungan mamanya. Namun kali ini dia harus benar-benar berhadapan dengan mertuanya. Sampai di rumah, Maudy langsung turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah. Terlihat kalau mama mertuanya sedang duduk di ruang tamu. “Maudy.” “Maaf aku baru pulang dari kampus, Ma.” Mama mertuanya mengangguk. Dia pun duduk setelah bersalaman dengan mertuanya. Suasana canggung itu jelas masih terasa sampai sekarang. Karena dia tidak terlalu mengenal mertuanya. Begitu juga dengan suaminya yang tidak terlalu dia kenal. Namun suaminya memberikan kenyamanan yang berbeda dengan orang lain. Ada rasa yang tidak nyaman ketika dia dikunjungi oleh mertuanya. Seharusnya suaminya ada di rumah ketika dia dikunjungi. Namun Leon belum pulang untuk saat ini. Merasa ingin mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Itu seperti sebuah usaha yang sia-sia karena dianggap tidak sopan ketika nanti dia menghubungi Leon di depan mertuanya. “Tunggu sebentar, Ma. Aku buatkan minum,” ucapnya Maudy ketika dia berhasil kabur dari ruang tamu. Memasuki dapur, sembari menunggu air mendidih. Dia mengirimkan pesan untuk Leon bahwa mamanya berada di sini. Ada rasa gugup ketika dia dikunjungi oleh wanita itu. Takut mendapatkan pertanyaan yang mungkin tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. “Aku akan pulang sekarang,” Leon membalas pesannya. Dia menghidangkan teh chamomile yang sering diminum oleh Leon. Dia menghidangkan itu juga untuk mertuanya. Setelah dia menghidangkan minuman itu untuk mertuanya. Wanita di depannya itu mengangkat gelas itu dan mencium aroma tehnya. “Kesukaan Leon.” Maudy mengangguk ketika mertuanya berkata demikian. “Ya, Ma. Aku belum membeli kopi.” “Tidak masalah. Mama tidak terlalu sering minum kopi.” Maudy menundukkan kepalanya usai mertuanya menjelaskan tentang jarang minum kopi. Berbeda halnya dengan Leon yang setiap pagi harus dihidangkan kopi sebelum berangkat bekerja. Mereka terkadang berangkat di waktu bersamaan namun menggunakan kendaraan yang berbeda. Bagaimanapun juga. Pria itu adalah orang yang pekerja keras dan banyak sekali kesibukan yang harus diurus, tidak selalu mengurus Maudy yang kesibukannya hanya kuliah saja. Dia mendengar suara mobilnya Leon. Tidak lama, pria itu masuk. “Maudy menghubungimu?” tanya mamanya Leon. “Tidak, Ma. Aku kebetulan sudah selesai bekerja. Aku pulang lebih awal untuk hari ini.” Mamanya menganggukkan kepalanya. Ternyata Leon menyelamatkannya kali ini. Tatapan pria itu terlihat sedang memberikan kode untuknya. “Ambilkan aku minuman dingin, Maudy!” “Ah, iya.” Maudy beranjak dari sofa kemudian segera meluncur ke dapur untuk mengambilkan minuman dingin untuk suaminya. Pria itu membuka kaleng minuman dan kemudian meneguknya. “Mama kenapa nggak bilang sama aku kalau Mama mau kunjungan?” “Mama sengaja ke sini. Ternyata tadi Maudy sedang berada di kampus.” Maudy tidak bisa menahan diri lagi di sini. Dia ingin kabur dari tatapan mama mertuanya. “Maudy baru pulang dari kampus. Alangkah lebih baiknya kamu mandi saja dulu. Mama pasti masih lama di sini. Kamu siapkan makan malam!” Dia tersenyum begitu Leon mengatakan demikian. “Aku mandi dulu, Ma. Mama mau disiapin makanan apa?” “Apa saja. Mama tidak terlalu pemilih,” jawab mertuanya sembari melihat ke arah lain. Rasanya dia bisa bernapas dengan lega kali ini. Maudy berhasil kabur dari mertuanya dan juga diselamatkan oleh suaminya. Setelah dia rapi, dia kemudian ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk suami dan juga mertuanya. Setidaknya dia tidak berada di tempat yang sama dengan mertuanya. Takut kalau nanti mertuanya bertanya sesuatu yang tidak masuk akal. Sangat lama berada di dapur. Maudy akhirnya selesai dengan masakan untuk makan malam mereka. Keluar dari dapur untuk menyapa dua orang yang ternyata masih mengobrol di ruang tamu. “Makan malam sudah selesai,” beritahunya Maudy. Mertuanya juga bangkit dari sofa setelah diberitahu. Mereka bertiga makan malam jauh lebih awal dibandingkan dengan biasanya. Ini juga mungkin tidak biasa bagi Leon. Namun pria itu yang menyuruhnya untuk menyiapkan semuanya tadi. “Kamu masak setiap hari, Maudy?” “Maudy selalu memasak untukku. Bukan hanya untuk makan malam. Dia juga menyiapkan sarapan untukku.” Mamanya mengangguk, padahal yang ditanya adalah Maudy. Namun Leon yang terus menjawab. Sampai makan malam selesai. Mamanya Leon pun akhirnya pulang. Membereskan meja makan berdua. Leon membantunya tanpa diminta. “Lain kali, hubungi aku lebih awal saat mama datang.” “Apakah ada masalah?” “Mama tidak menyukai pernikahan kita. Mama memiliki kandidat lain. Aku menolaknya karena papa menginginkan aku menikah denganmu.”“Aku perhatikan, beberapa hari ini penampilanmu berubah drastis. Begitu juga dengan barang yang kamu gunakan. Mobilmu baru, tasmu mahal. Ponsel baru dan juga laptop baru. Apakah orang tuamu mulai menyayangimu?” ledek Vanesa. Maudy hanya tertawa mendengar candaan teman baiknya itu. Namun bukan dari orang tuanya. Semua itu berasal dari Leon. Suaminya selalu menuruti apa saja yang diinginkan oleh Maudy. Dengan catatan tidak merepotkan suaminya. Namun, yang dia minta adalah laptop waktu itu. Leon langsung menurutinya dan mengantarnya untuk membelinya. Berbeda halnya dengan mobil dan juga ponsel baru. Semua itu dari suaminya tanpa pernah dia minta sama sekali. Apa pun ditanggung tanpa banyak protes dari suaminya. Semakin Maudy menuruti kemauan suaminya. Semakin mudah juga perjalanan untuk diwujudkan. Maudy yang sedari tadi bengong mendengar pertanyaan temannya. Tiba-tiba dia tersadar. “Maaf, aku barusan memikirkan sesuatu.” “Apa?” “Aku harus memikirka
“Apa yang kamu inginkan dari hadiah perpisahan kita suatu saat nanti, Maudy?” Pertanyaan itu terlontar dari mulutnya Leon beberapa hari lalu. Hari ini, mereka berdua telah berdiri di sini sebagai sepasang suami istri yang sedang melangsungkan pernikahan. Hari di mana dia resmi menjadi istri untuk sementara waktu. Bersanding dengan pria yang mungkin terdengar asing sekali di telinganya. Pernikahan yang begitu singkat sekali persiapannya. Namun mampu membuat Maudy yakin kalau dia bisa merasa jauh lebih tenang ketika berhadapan langsung dengan Leon. Membahas tentang hadiah yang diinginkan Maudy. Waktu itu dia telah memikirkan bahwa dia menginginkan rumah sebagai hadiah dari perpisahan mereka. Maudy mungkin sudah bisa mandiri ketika diceraikan oleh suaminya nanti. Memang waktunya tidak ditentukan, namun pastinya tidak akan berjalan dengan singkat. Leon yang memiliki kehidupan super sibuk untuk sekarang. Mungkin juga Maudy bisa memaklumi itu. Tidak kalah dengan dirinya yang sibuk kulia
“Pernikahan kita tinggal menghitung hari.” “Lalu?” Leon melepaskan sabuk pengaman ketika mereka tiba di rumah yang akan mereka tempati. “Di pernikahan nanti. Setidaknya kita berciuman.” “Berciuman?” tanya Maudy dengan panik. “Ya, tentu saja itu akan terjadi. Tidak mungkin kita menikah lalu setelah itu selesai begitu saja. Orang tuaku dan orang tuamu tidak akan percaya dengan pernikahan kita. Mereka akan curiga tentang rencana kita di belakang.” “Kita sudah sepakat kalau kita tidak ada kontak fisik.” Leon menggeleng. “Tidak. Kita hanya sepakat tidak seranjang. Bukan berarti tidak ada kontak fisik seperti ciuman. Ini hanya terjadi saat di pesta pernikahan saja, Maudy.” Maudy tidak dipaksa untuk membahas tentang itu. Juga tidak melanjutkan obrolan tentang ciuman. Mereka turun dari mobilnya Leon. Rumah Leon jauh lebih besar dibandingkan dengan rumah orang tuanya Maudy. “Apakah orang tuamu juga di sini?” “Tentu saja tidak. Ini rumah untuk kita berdua. Orang tuaku tidak tinggal di
“Bareng?” tanya Vanesa ketika mereka keluar dari kelas di saat sudah waktunya untuk jam pulang. Maudy menerima pesan. Dia membuka ponselnya dan melihat ada chat dari nomor baru. “Aku Leon. Di luar kampusmu sudah ada anak buahku yang menjemputmu.” Disusul oleh chat baru yang berisikan foto anak buahnya dan juga mobil yang digunakan. Dia menoleh ke arah Vanesa. “Aku pulang duluan, ya.” Entah bagaimana ceritanya pria itu langsung mengirimkan anak buah begitu saja tanpa persetujuan dari Maudy sendiri. Padahal dia juga belum sempat untuk memberitahu bahwa dia bisa pulang sendiri atau dijemput oleh anak buah papanya. Saat dia keluar, benar saja kalau ada tiga pria yang berdiri di luar mobil sembari mengobrol. Maudy langsung mendekat dan memberikan bukti chat dari Leon barusan. Dia dibukakan pintu mobil dan langsung masuk. “Aku akan di bawa ke mana?” tanya Maudy ketika mobil sudah melaju. “Kita akan pergi ke kantor pak Leon.” Tidak lama setelah anak buahnya Leon memberitahukan. Tem
“Atas nama Bapak William?” Seorang pelayan wanita menghampiri mereka ketika baru saja masuk ke dalam restoran. “Benar.” Senyuman diberikan oleh wanita itu. “Mari ikuti saya!” Mereka dipandu oleh pelayan itu ke salah satu ruangan eksklusif di restoran tempat janji temu itu dilakukan. Setelah tiba di ruangan yang dimaksudkan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan itu. Kakaknya Maudy tidak ikut. Hanya pertemuan yang melibatkan anak yang akan dijodohkan dan orang tua saja. Sosok pria yang berdiri di ujung sana sambil menelepon. Kemudian pria itu menutup teleponnya. Begitu berbalik, Maudy melihat raut wajah yang begitu dingin ketika mata mereka bertemu. Dia yakin, kalau pria itu adalah Leon. Orang yang dimaksud oleh William. “Leon, lihat calon istrimu. Dia cantik sekali,” ujar seorang pria yang dia yakini akan menjadi calon mertuanya nanti. Pria itu mempersilakan mereka bertiga untuk duduk. Beberapa menit kemudian hidangan makan malam mereka pun akhirnya tiba. Maudy yang tadinya mer
“Sorry, aku telat,” Maudy menoleh ketika melihat temannya datang terlambat ketika mereka sudah janjian untuk bertemu. Maudy tidak mempermasalahkan temannya yang datang terlambat. Dia hanya merasa takut sendirian kalau semisal dirinya sendirian di kafe. Vanesa datang meski terlambat. Duduk di depan Maudy kemudian memberikan kode untuk Maudy. “Lihat belakang! Itu orang yang mau aku kenalin ke kamu. Dia yang punya kafe ini.” Matanya Maudy melotot mendengar perkataan Vanesa. Sementara dia telah memiliki calon suami yang sebentar lagi pasti akan dikenalkan oleh orang tuanya. Sebentar lagi dia akan menikah dan menjadi istri orang yang tidak dikenal sebelumnya. “Please, Vanesa! Ini bencana baru buat aku kalau sampai kamu kenalin aku laki-laki lain. Aku sudah punya calon suami.” “Hah?” mata Vanesa melotot mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya Maudy. Meski sebenarnya dia masih ragu soal itu. Namun, perlahan juga akan memberikan penjelasan pada Vanesa. Maudy memberikan anggukkan s