Selama beberapa hari sejak bertengkar dengan Mirna. Herdian kerap memikirkan Kemala. Sebenarnya sebagian besar tempat di hatinya masih diisi oleh Kemala. Sebab mereka dipertemukan oleh cinta dengan proses yang cukup rumit. "Pak, 30 menit lagi Bapak ada meeting dengan klien di Black Pepper Coffee." Seorang staf wanita membuyarkan lamunannya. Rupanya suara wanita itu tak cukup kuat untuk membangunkannya. Air mukanya masih menegang sambil menatap ke arah luar dinding kaca. Hingga wanita yang masih berdiri di samping mejanya itu menambah volume suaranya. "Pak Herdi!" panggilnya, "Pak!" Ia mendekatkan langkahnya. "Iii—ya. Ada apa?" Herdian tersadar, air mukanya tampak terkejut. Wanita muda itu mengulang kembali kalimat pemberitahuan yang tadi sudah ia sampaikan pada atasannya. Setelah mendengar penjelasan staf wanita itu, Herdian beranjak dari tempat duduknya. Ia bergegas untuk pergi menuju ke tempat yang sudah diberitahukan stafnya. Di tengah perjalanan, terpikirkan sebuah rencana
“Bagaimana hasilnya?” Herdian sedikit berbisik ketika Mirna kembali ke sisinya.Wanita itu terdiam dengan wajah sendu, ia duduk di samping Herdian yang masih menatap bingung. Kemudian Dokter menghampiri mereka, lalu menyodorkan sebuah resep obat kepada Mirna. Sepasang suami-istri itu pun segera meninggalkan ruangan. Di sepanjang perjalanan pulang, mereka masih saling membisu. Ada banyak tanya dalam benak Herdian. Namun dia enggan mengutarakannya pada Mirna yang tampak sedih. “Sudah sampai. Beristirahatlah, aku akan pergi ke kantor.” Herdian membukakan pintu untuk istrinya. “Terima kasih, Mas.” Setelah memastikan Mirna masuk ke dalam kamarnya, Herdian meninggalkan rumah dengan perasaan yang masih gamang. Ada apa dengan istrinya? Jika benar Mirna hamil, mengapa wajahnya murung? Situasi demikian berlasung hingga beberapa hari. Suasana rumah terasa membosankan. Mirna berubah, ia cenderung lebih pendiam dan tidak bersemangat. Sesekali Herdian memijit tengkuk wanita itu saat hendak me
Mirna menguatkan diri dari kegelisahannya sendiri. Ia masih dikuasai ketakutan atas kebohongan yang ia ciptakan. Setiap kali menatap wajah suaminya, ia teringat akan rasa bersalahnya. “Bu, ini bubur ayamnya.” Wanita paruh baya itu memasuki kamar Mirna. “Letakkan di atas nakas saja, Bi!” Mirna berseru sambil menoleh ke arah asisten rumah tangganya. Setelah melakukan perintah majikannya, wanita itu berjalan menuju ke luar ruangan. Namun, langkahnya tertahan saat Mirna menanyakan sesuatu. Ia menoleh ke arah Mirna lalu menjawab pertanyaan majikannya. “Pak Herdian tidak mengatakan apa-apa, Bu. Beliau hanya bilang agar saya tidak perlu menyiapkan makan malam.” Wanita itu berkata dengan mimik wajah datar. Sedangkan Mirna tampak tersentak saat mendengarnya. Wanita paruh baya itu pun tak mempedulikan Mirna. Ia segera kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Dan–Mirna hanya mematung. Ia bahkan lupa bahwa perutnya mulai protes . Berbagai prasangka muncul memenuhi
Sebuah nampan berisi dua piring nasi goreng iga langganan Mirna sudah berada di tangan Herdian. Lengkap dengan acar dan kerupuknya. Tersedia juga dua buah gelas berisi teh chamomile hangat yang baru saja dibuat oleh Herdian. Mirna masih merasa bersalah atas semua sikapnya pada Herdian. Ia mengutuki dirinya sendiri. Wajahnya masih tertunduk malu. Terpaksa ia harus menutupi rasa bersalahnya karena Herdian memasuki ruangan. “Mas ... kamu tidak perlu repot-repot begini.” Mirna menghampiri suaminya. “Tidak apa, kamu sedang hamil. Kandunganmu juga lemah, maka aku harus memperlakukanmu dengan baik.” Pria itu meletakkan nampan di atas meja. Mendengar pernyataan itu, Mirna semakin sedih. Penyesalan seakan tak cukup untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Ia masih menatap wajah Herdian tanpa mengatakan apapun. Suaminya pun menyadari gelagat Mirna tetapi ia berpura-pura tidak tahu. Bukan Herdian jika ia tidak pandai merebut hati Mirna. Ia menyodorkan sendok berisi nasi ke hadapan Mirna. Deng
“Hari yang indah!” Herdian tersenyum samar sambi membuka pintu mobilnya. Senyum sumringah itu masih enggan pergi dari wajah tampannya. Sejak tiba di kantor, ia sudah menahan senyum itu agar tidak terlukis di wajahnya. Sebab banyak mata yang akan memperhatikan gerak-geriknya atas perintah Mayang. Semua pekerjaan segera ia selesaikan karena ia mengejar waktu agar dapat mencari Kemala tanpa pulang terlambat ke rumah. Semangatnya untuk mencari keberadaan Kemala muncul lagi. Dalam benaknya ia berkata bahwa Mirna dan Mayang begitu mudah ditaklukkan. Namun bukan Herdian jika tidak selalu waspada. Memang hari ini ia akan memulai lagi mencari Kemala, wanita yang ia cintai. Ia pun berniat pergi ke tempat proyek terlebih dahulu seperti rencana awal. Ternyata apa yang ia pikirkan benar. Ketika ia akan memarkirkan mobilnya, di sana sudah terparkir mobil ibu mertuanya. Sepertinya wanita itu tidak sepenuhnya percaya pada apa yang ia dengar dan lihat tadi pagi. Dengan langkah santai tetapi tak me
“Mir, kue titipan mama–apakah sudah diambil oleh suamimu?” Suara Mayang terdengar melalui panggilan telepon. “Sudah, Ma. Terima kasih.” Mirna menata beberapa piring dengan tangan kiri memegang ponsel di telinganya. Mayang menyadari bahwa putrinya sedang sibuk. Ia mendengar suara piring yang beradu dengan badan meja. Mayang lantas menyudahi panggilan teleponnya. Mirna hampir selesai menyiapkan makan malam untuk Herdian saat suaminya itu memasuki ruang makan. Ia tampak segar dengan wajah yang tampak lebih teduh dari sebelumnya. Seperti biasa Mirna tidak menanyakan apapun pada Herdian sebelum ia menceritakannya sendiri. “Bibi masih menyiapkan masakannya, kita coba cake ini dulu ya ....” Mirna menyodorkan sebuah piring kecil berisi sepotong ogura ke hadapan suaminya. Seolah sedang dihipnotis oleh istrinya, Herdian pun menuruti perkataan Mirna. Ia menggerakkan sendoknya, memotong cake lembut di hadapannya. Indera perasanya mendeteksi sensasi rasa yang tidak asing. Kemudian ia kembali
Sementara Herdian sedang dalam perjalanan ke Rumah Sakit. Di sebuah ruko dua lantai, Kemala sedang bersiap untuk istirahat. Namun ia tak juga dapat memejamkan kedua matanya. Padahal tubuh lelahnya seakan tak kuasa untuk segera melepas penat. “Kak Kemala belum tidur?” tanya Vita, ia sengaja mengintip Kemala dari sela-sela pintu kamar Kemala yang tidak tertutup rapat “Ehh–Vita. Emm ... sebenarnya lagi bersiap tidur tapi susah sekali mataku terpejam.” Kemala bangun lalu duduk di tepi ranjang menghadap ke arah Vita. Gadis itu melangkah masuk ke dalam kamar Kemala. Kemudian berjalan ke arah ranjang bayi yang berada di samping ranjang Kemala. Ia tersenyum gemas melihat Dylan yang tertidur pulas. “Vita buatkan susu hangat ya, Kak. Mungkin Kak Kemala akan lebih rileks lalu bisa segera istirahat,” tawar Vita. Melihat Kemala mengangguk, ia pun melangkah keluar ruangan menuju ke arah dapur. Hanya selang beberapa menit, Vita datang kembali ke kamar Kemala. Ada segelas susu hangat di tangann
Tangan berjari lentik itu menghentikan Tangan Bram yang masih berusaha memasangkan kalung berliontin hati di lehernya. Pria itu pun mengurungkan niatnya. Ia menggenggam kalung tersebut. Kemudian menatap Kemala, seolah-olah ia berbicara melalui matanya. “Sebaiknya, kamu simpan saja benda itu. Saya tidak bermaksud membuatmu kecewa, Tttapi ....” Kemala menghindari kontak mata dengan pria di hadapannya. “Seharusnya saya sadar diri. Maaf, Kemala!” Bram tersenyum masam, “Tapi–semua yang saya lakukan untukmu dan Dylan, tulus.” Bram masih menggenggam kalung di tangannya. “Saya tahu, hanya saja ada sebuah alasan yang tidak dapat saya katakan.” Kemala semakin tertunduk malu. Bramantyo tidak lagi mengatakan apapun. Ia pun turut menundukkan pandangannya. Ada jejak kekecewaan pada wajahnya. Namun berusaha ia sembunyikan dari Kemala. Setelah menolak pemberian Bram, Kemala membuka pintu. Secara tidak langsung ia mempersilahkan Bram agar segera pergi. Meskipun tak ada kata yang keluar dari mul