Sepertinya Dokter telah menyelesaikan penanganan pertamanya kepada Hartono. Kemala mengintip di balik celah tirai yang menjadi pembatas antar pasien. Seorang perawat menampakkan wajah sendu sementara Dokter pria itu menggelengkan kepalanya.
“Ayah ....” Kemala hanya bisa pasrah.
Wanita itu tetap duduk sambil menahan butiran bening yang hampir jatuh. Ia duduk bersandar pada dinding ruangan yang terasa dingin. Kepalanya seakan tidak dapat ditegakkan. Ia hanya tertunduk sambil berdoa dalam diam.
Seorang pria berjas putih menghampirinya, “Tolong ikut ke ruangan saya sebentar!”
Kemala beranjak meninggalkan ruangan menuju ke ruangan lain, ia mengekor di belakang pria tersebut. Sesampainya di sebuah ruangan, pria yang lebih dulu sampai itu mempersilahkan dirinya untuk duduk. Kemala pun menurutinya.
“Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?” tanyanya lirih.
“Kami, selaku tim medis yang menangani pasien sudah mengusahakan yang terbaik. Kami telah melakukan CT-scan dan rontgen. Ada pembuluh darah yang pecah akibat hipertensi yang diderita pasien. Kami menyarankan agar segera dilakukan operasi untuk menyedot darah yang bocor.”
Kemala tak dapat berkata-kata. Ia sedang berusaha menguasai perasaannya sendiri. Bingung dan sedih sudah pasti. Namun seperti yang ia tahu, manusia wajib berikhtiar, maka biarkan Tuhan yang menentukan hasilnya.
“Saya setuju, Dok!” Tanpa berpikir panjang lagi, Kemala pun mengisi surat pernyataan agar segera dilakukan operasi.
“Silahkan anda bawa formulir pernyataan ini ke bagian administrasi, kami akan segera mempersiapkan meja operasi begitu mendapat konfirmasi dari pihak Rumah Sakit. Semoga keputusan yang anda ambil adalah keputusan yang tepat.”
Kemala keluar dari ruangan dokter sambil membawa formulir yang sudah dia isi menuju ke bagian administrasi. Sejujurnya, dirinya belum tahu bagaimana cara mendapatkan biaya untuk operasi. Ia hanya bermodalkan tekad yang kuat.
“Ya Tuhan, mudahkan segala urusan demi kesembuhan ayahku.” Ia berdoa dalam hati dengan langkah yang gontai.
Pihak administrasi telah memeriksa formulir persetujuan tindakan operasi. Kemala sangat berharap keputusannya adalah langkah yang tepat. Meskipun dalam keadaan bingung tetapi Kemala berusaha untuk tetap terlihat tegar.
“Sepertinya kami mengalami kendala dalam memproses pembiayaan BPJS pasien. Jika anda ingin operasi segera dilaksanakan, tolong segera siapkan tiga puluh persen dari total biaya operasi beserta perawatan pasca operasi.”
“Tiga puluh persen? Berapa tepatnya?”
“Totalnya lima belas juta rupiah, jadi anda hanya perlu menyiapkan empat juta lima ratus ribu rupiah, agar kami segera mengkonfirmasi tindakan operasi untuk pasien.”
“Tunggu sebentar!” Kemala membuka resleting tasnya, entah berapa yang dia punya.
Setelah menghitung seluruh uang yang dia bawa, jumlahnya hanya ada dua juta seratus lima puluh ribu. Dengan perasaan gamang, dia kembali bertanya, “Apakah saya bisa membayar dua juta dulu? Sisanya akan saya usahakan secepatnya.”
“Pihak Rumah Sakit sudah memberi kompensasi, kami tidak dapat memberikan kelonggaran lagi.” Petugas administrasi menjelaskan peraturan yang berlaku kepadanya, “Anda punya waktu sampai besok agar pasien tidak terlambat untuk diselamatkan.”
Kalimat terakhir yang dia dengar sangat membuatnya terpukul. Dia bingung harus melakukan apa, lalu dia berpikir sesuatu, “motor.”
Akhirnya Kemala memutuskan untuk pulang. Dia melajukan motornya menuju ke rumah teman yang menelponnya tempo hari. Meskipun segan, dia berusaha untuk tetap mengutarakan maksudnya.
“Kemala, ayo masuk!”
“Terima kasih,” ucap Kemala, ia memasuki ruang tamu dengan perabotan mewah di dalamnya.
“Ngomong-ngomong, aku tidak pernah melihatmu setiap kali lewat di depan rumahmu. Hanya Herdian yang sering kulihat bersama wanita yang lebih muda, apakah itu adiknya?” selidik teman lamanya.
“Aku memang tidak tinggal di rumah itu. Dan yang mungkin kamu lihat bersama Herdian bukanlah adiknya,” ujar Kemala.
Wanita pemilik rumah mengernyitkan dahinya, lalu dia pun kembali bertanya pada Kemala, “Maksud kamu ... apakah kalian bercerai?”
Kemala hanya menggelengkan kepala tanpa mengatakan apapun. Membuat wanita di hadapannya semakin bingung. Sehingga Kemala pun menceritakan masalah yang terjadi pada teman lamanya.
“Sebenarnya, aku punya tujuan lain datang kemari,” ungkap Kemala, ia menarik napas lalu menundukkan wajahnya karena merasa malu.
“Apa itu?” tanya teman lamanya, “Kemala ... maaf aku tidak tahu tentang kondisi rumah tanggamu.” Wanita itu merasa tidak enak.
Sebenarnya Kemala sangat malu untuk mengatakan tujuannya. Dia masih bungkam karena ragu itu adalah solusi terbaik. Namun, dia sendiri tidak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa? Hingga dia pun mengumpulkan tekad untuk mengutarakan maksud kedatangannya.
“Aku butuh bantuanmu, itu juga jika kamu tidak keberatan. Maaf jika permintaanku terlalu lancang,” ucapnya.
“Kemala, kita sudah lama berteman. Dulu kamu sering membantuku saat aku kesulitan dalam memahami materi kuliah. Sekarang jika kamu meminta bantuan dariku, maka aku akan membantu dengan senang hati selama aku bisa.”
Perasaan malu berkecamuk hebat menyesakkan dadanya. Ia tak pernah menunjukkan bahwa dirinya lemah kepada siapapun selama ini. Dan kali ini dia terpaksa melakukannya. Kemala mengatakannya dengan terbata-bata, “Aku–ingin menggadaikan, emm...”
“Katakan Kemala, apa yang dapat aku bantu?” desak teman lamanya.
“Dapatkah aku menggadaikan motorku kepadamu?” Pada akhirnya wanita itu tak lagi dapat menahannya sebab dia harus secepatnya memberikan uang itu untuk biaya operasi Hartono.
“Apakah kamu butuh uang?”
“Maaf, tapi aku terpaksa ....” Kemala semakin malu, “ayahku harus segera dioperasi. Pihak Rumah Sakit telah memberi kompensasi dari total biaya.”
Setelah mendengar cerita Kemala, wanita dihadapannya itu beranjak. Ia masuk ke dalam kamarnya. Kemudian membawa sebuah amplop cokelat. Ia menyodorkan amplop itu kepada Kemala.
“Pakailah uang ini, kamu tidak perlu menggadaikan motormu. Aku tahu kamu akan membutuhkannya selama di kamu berada di Rumah Sakit.”
Wanita yang sedang bersusah payah menahan kristal bening itu pun merasa lega. Tuhan mendengarkan doanya. Meski untuk saat ini dirinya belum tahu bagaimana caranya membayar uang tersebut. Namun dia bertekad untuk bekerja keras agar bisa mengembalikan uang itu sesegera mungkin.
“Terima kasih, aku akan berusaha mengembalikannya secepat mungkin.”
“Tidak perlu terburu-buru, Kemala. Itu uang simpanan pribadiku. Aku percaya sama kamu karena itu aku meminjamkannya.”
Kemala segera kembali ke Rumah Sakit. Ia pun menyerahkan uangnya kepada petugas administrasi. Tak lama kemudian perawat membawa ayahnya masuk ke dalam ruang operasi. Kemala menunggu nya sambil berdoa pada Tuhannya agar operasinya berjalan lancar.
Selama hampir lima jam, tim dokter melakukan tugasnya di meja operasi. Tak henti-hentinya Kemala memanjatkan doa kepada Tuhan. Dirinya sampai melewatkan waktu makannya. Lidahnya seakan mati rasa, nafsu makannya hilang.
Seseorang membuka pintu ruang operasi dari dalam. Pria itu tak lain adalah Dokter yang memimpin jalannya operasi. Kemala segera menghampiri Dokter yang baru saja keluar dari ruang operasi itu. Ia bertanya tentang keadaan Hartono, “Bagaimana operasinya, Dok? Apakah ayah saya masih dapat diselamatkan?”
“Operasinya berjalan dengan lancar.” Dokter yang masih mengenakan pakaian bedah itu pun berlalu dari hadapan Kemala. Kemala menarik napas lega, dia harap ayahnya semakin membaik setelah ini. Tidak sia-sia dirinya mengusahakan biaya untuk operasi. Semua itu tak akan ada artinya dibandingkan dengan kesehatan Hartono. Setelah perawat menyiapkan kamar perawatan, Hartono dipindahkan dari ruang operasi. Kemala tak pernah jauh dari sisi ayahnya. Meskipun Hartono belum sadarkan diri, tapi dirinya ingin selalu ada jika mungkin dibutuhkan sewaktu-waktu. Sudah dua hari sejak selesai dioperasi, Hartono berangsur-angsur mulai membaik. Tentu hal itu membuat Kemala senang. Tak ada keluhan yang dirasakannya. Hanya saja mereka harus menunggu kondisinya stabil. Sebab saat ini Hartono masih menggunakan alat bantu pernapasan melalui mulut. Menurut dokter, pernapasannya masih lemah. Meskipun ia sudah dapat menggerakkan anggota tubuhnya. “Ayah, bagaimana keadaan Ayah hari ini?” tanya Kemala lembut. H
Kemala menghempaskan map berisi dokumen tersebut ke tubuh suaminya. Ia tak menghiraukan gertakan Yana, dirinya segera masuk ke dalam mobil mini bus berwarna putih itu bersama Bu Siti. Sopir melajukan mobil perlahan melintasi jalanan kampung bersama iring-iringan pelayat. Kini mereka sudah berada di tempat pemakaman. Beberapa orang turun ke dalam liang lahat untuk menangkap jasad Hartono yang akan diletakkan di dalam peristirahatan terakhirnya. Serangkaian prosesi pemakaman telah selesai dilaksanakan. Para pelayat pamit satu per satu meninggalkan tanah pemakaman. Tak terkecuali Bu Siti, tetangga Hartono yang membantu Kemala. “Aku pamit pulang dulu, Kemala. Kamu harus ikhlas agar ayahmu tenang,” ucapnya. “Iya, Bu Siti. Terima kasih sudah membantu Kemala mempersiapkan semuanya.” Kemala menatap wanita yang seumuran ayahnya itu dengan tatapan sendu. Sekarang hanya ada dirinya dan gundukan tanah yang masih basah di hadapannya. Kemala merasa belum percaya bahwa ayahnya akan pergi secepa
“Kamu lihat tadi, istri pembawa sialmu itu semakin sombong.” Yana tampak sedang kesal. “Sudahlah, Bu. Semua yang ibu inginkan sudah Kemala turuti, bahkan ia tidak melawan.” Yana semakin naik pitam begitu mendengar putranya membela Kemala. Sedangkan pria muda di sampingnya hanya bersikap biasa saja. Terkadang Herdian merasa hidupnya dikendalikan Yana sepenuhnya. Namun, ia tidak punya pilihan. Ia hanya ingin menjadi anak yang berbakti. Sebab, Yana tidak punya siapapun lagi selain dirinya. Sementara itu, Kemala sedang membersihkan rumah. Beberapa perabotan tampak berantakan karena sudah hampir sepuluh hari rumah itu dibiarkan begitu saja. Setelah ruang tamunya bersih, ia beralih ke kamar mendiang Hartono yang tak kalah berantakan. Kurang lebih pukul 5 sore, ia menyelesaikan aktivitasnya membersihkan rumah mendiang orang tuanya. Selanjutnya, ia pergi ke rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Bukan untuk pulang, melainkan ingin mencicil memindahkan barang-barangnya ke rumah
Seorang wanita yang juga memiliki andil dalam usaha bakery-nya datang. Ia menghampiri Kemala yang tengah sibuk melayani pembeli. Sementara perutnya mulai membesar. Wanita itu terus saja melihat ke arah Kemala. “Biar saya saja.” Wanita itu menyerobot secarik kertas pesanan pengunjung. Kemala tentu merasa tidak enak hati, sebab wanita yang lebih ia anggap seperti ibunya itu sudah banyak membantu dirinya. Meskipun sebenarnya ada yang Kemala sembunyikan darinya. Harapan Kemala, wanita itu tidak terseret dalam cerita masa lalunya. Ia belum siap jika nanti hubungan mereka renggang hanya karena permasalahan masa lalunya. “Bu, biar saya saja.” Kemala menahan Mayang. “Bu Mayang duduk saja, saya siapkan choco latte ya, Bu.” Ia menyiapkan beberapa pesanan dari secarik kertas yang ia dapatkan dari wanita yang masih menatapnya itu. “Terima kasih. Echo Bakery selalu di hati.” Kemala menyodorkan sebuah paper bag berisi kue pesanan salah seorang pengunjung. Setelah pengunjung itu keluar dari Echo
Echo Bakery baru saja tutup, Kemala berjalan kaki ke arah rumahnya. Kebetulan jarak Echo Bakery dan rumahnya tidak terlalu jauh. Kemala lebih suka berjalan kaki daripada naik motor. Selain sambil menikmati pemandangan malam hari, ia juga merasa lebih senang karena sekaligus berolahraga. Mengingat selama membuat kue dan melayani pelanggan, dirinya hanya duduk dan sesekali saja berdiri. Terkadang ia merasakan sakit di area punggungnya. Terlebih sekarang dirinya sedang hamil tua, pinggangnya sering kali terasa ngilu. Malam itu, Kemala membawa sebuah kotak berisi dua potong brownies masing-masing varian keju dan original. Ia mengetuk pintu rumah Siti, sebelum dirinya masuk ke dalam rumahnya. Mereka memang tinggal bersebelahan. “Kemala ....” Siti membukakan pintu untuknya. “Ayo masuk!” ajaknya. “Tidak usah, Bu Siti. Saya hanya ingin memberikan ini.” Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam paper bag-nya, lalu menyodorkannya pada Siti. Siti merasa segan, setiap hari wanita muda itu sel
Mayang bergegas masuk ke dalam ruko miliknya. Dengan bantuan Vita, gadis yang baru saja bekerja di Echo Bakery, ia mengangkat tubuh Kemala ke dalam mobil. Selanjutnya, Mayang melarikan Kemala ke Rumah Sakit. Sementara itu ia menyuruh Vita untuk tetap membuka toko. Wanita yang sudah menganggapnya seperti anak sendiri itu sangat gelisah. Ia merasa khawatir dengan keselamatan Kemala dan juga janin yang dikandungnya. Sosok Kemala memang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Kisah hidup mereka juga hampir sama. Mayang juga pernah mengalami masa-masa sulit seperti Kemala. Beberapa orang berpakaian serba putih mengerumuni mobilnya yang baru saja sampai di depan IGD Rumah Sakit. Mereka segera menyiapkan brankar dan membawa Kemala masuk ke dalam ruang IGD. Dalam hatinya, Mayang tidak berhenti mendoakan keselamatan dua nyawa tersebut. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi Mayang sangat menyayangi Kemala. “Dokter, tolong berikan perawatan terbaik padanya.” “Baik, Bu. Kami pa
Wajahnya masih muram, ia belum menjawab pertanyaan Mayang. Namun, air bening itu tiba-tiba mengalir. Mayang semakin bingung melihat Kemala, ia pikir wanita muda itu bersikap aneh. Mayang mencoba menghalau pikiran buruknya. Ia melihat wajah malang bayi laki-laki Kemala. “Maaf, Bu. Bayinya harus di bawa ke ruang bayi dulu.” Mayang memundurkan langkahnya dari suster yang menggendong bayi laki-laki itu. Kemudian ia beralih ke wanita muda yang terbaring di hadapannya. Air matanya sudah mengering, tetapi tatapannya masih kosong. Seolah-olah ada yang ia pikirkan. Kekhawatirannya muncul saat melihat Kemala yang tampak hancur. Ia memberanikan diri untuk mendekat ke sisi ranjang. Dengan lembut, Mayang mengusap kepala Kemala. Wanita itu masih menatap kosong ke langit-langit ruangan. Mayang mencoba mengatakan sesuatu padanya, “Ada apa Kemala? Tersenyumlah, bayimu sehat dan tampan.” Kini hatinya mengeras, dadanya terasa sesak. Ia teringat akan sebuah tujuan. Seketika itu ia bersikap lunak pad
“1 ogura pandan, 5 Donat mini dan 1 brownies original,” gumam Kemala lirih, masih memegang secarik kertas pesanan pelanggan. Wanita itu menyiapkan tiga kotak untuk masing-masing jenis kue yang tertulis dalam pesanan. Sementara Vita membersihkan meja yang baru saja ditinggalkan pelanggan. Di tengah kesibukan mereka, seorang pria masuk. Sepertinya pria itu belum pernah datang ke echo bakery sebelumnya. “Selamat datang!” sapa Vita ramah. “Silahkan lihat daftar menunya! Kami akan segera menyiapkan sesuai pesanan.” Vita menyodorkan selembar daftar menu. Pria itu masih tidak mengatakan apa-apa. Ia membaca daftar menunya. Kemudian menunjuk salah satu jenis kue dan minuman. Sementara Vita mencatat pesanan pada buku kecil yang ia bawa. Setelah memastikan pesanan pelanggan barunya, ia pergi menyerahkan secarik kertas pada Kemala. Vita pun menginput data pesanan pada layar monitor lalu membuat tagihan atas pesanan tersebut. Pria itu terkesan dingin. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari