Share

Aku Akan Tetap Tegar, Ayah!

Tanpa Kemala sadari, dirinya pun telah sampai di depan rumah ayahnya. Rumah Hartono tampak sepi. Ia pikir ayahnya sedang beristirahat karena biasanya selepas sholat dzuhur, Hartono menyempatkan diri untuk tidur siang.

“Ayah! Ayah!” Kemala memanggil-manggil Hartono karena pintu rumahnya terkunci.

Sesekali dia mengedor-gedor pintu rumah Hartono. Kemala duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumah. Dalam benaknya dia berpikir, “Tidak biasanya Ayah mengunci semua pintu.”

Hatinya merasa tidak tenang sehingga dirinya beranjak pergi ke rumah tetangga sebelah. Kemala bertanya pada tetangga Hartono yang kebetulan pintu rumahnya terbuka. Si pemilik rumah pun sedang menonton acara televisi saat Kemala datang.

Tok! Tok!

“Permisi, Bu Siti!”

“Kemala, ayo masuk!” ajaknya.

“Bu Siti lihat Ayah, tidak?” tanya Kemala, “Dari tadi saya panggil-panggil tidak menyahut. Semua pintu terkunci, biasanya tidak pernah seperti ini.”

“Lho, bukannya Pak Hartono menginap di rumahmu?” wanita yang usianya seumuran Hartono itu balik bertanya padanya.

“Tidak, Bu Siti. Justru saya akan mengunjungi Ayah.”

Kemala semakin panik setelah mendengar perkataan Bu Siti. Tetangga Hartono itu pun mengaku tak melihat pria itu sejak tadi pagi. Bahkan ia mengatakan bahwa rumah ayahnya Kemala memang tertutup rapat.

“Terakhir kami mengobrol itu sehabis sholat maghrib di musholah. Pak Hartono bilang dia sedang tidak enak badan. Saya pun menganjurkan agar dia menginap di rumahmu saja sementara waktu.” Bu Siti mengenang pertemuan terakhirnya dengan Hartono pada hari sebelumnya.

Namun ayahnya tak pernah pergi kemana-mana tanpa memberitahu Kemala. Kecuali jika hanya pergi ke warung atau bertamu ke rumah tetangga. Setiap pagi atau sore hari Hartono selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Kemala. Atau sekedar berbicara di telepon jika memang enggan datang. Sedangkan sejak kemarin, beliau tak melakukannya. Hal itu juga yang menjadi alasan Kemala untuk datang. Kebetulan pesanan kuenya dimundurkan sehingga ia pun punya waktu untuk berkunjung.

“Kamu sudah coba lewat pintu belakang? Biasanya Pak Har jarang mengunci pintu belakang,” saran Bu Siti.

“Baiklah, Bu Siti. Saya akan coba periksa dulu, terima kasih!”

Wanita bertubuh mungil itu pun segera menuju ke bagian belakang rumah ayahnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Bu Siti, pintunya tidak terkunci. Ayahnya hanya menutupnya dengan rapat.

Kemala menerobos masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Kemudian ia menuju ke kamar ayahnya. Benar saja, ternyata beberapa wadah alumunium berserakan di lantai kamarnya. Sedangkan pria berusia lebih dari setengah abad itu sedang berbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya.

“Ayah ....” Kristal beningnya seketika jatuh.

Disentuhnya kening sang Ayah. Suhu badannya tinggi, sepertinya badannya juga lemas. Entah sejak kapan Hartono berbaring sakit seperti itu tanpa ada yang tahu. Kemala segera memanggil dokter langganannya yang tak jauh dari rumah Hartono.

Dokter segera memeriksa kesehatan Hartono. Kemala menunggu dokter selesai memeriksa keadaan ayahnya di ruang tamu. Ia sangat cemas memikirkan kesehatan pria yang sangat berarti dalam hidupnya itu.

“Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?”

“Pak Hartono harus dirujuk ke Rumah Sakit karena beliau kekurangan cairan. Tekanan darahnya 180/90 mmHg sedangkan gula darahnya 200 mg/dL.”

“Baik, Dok. Akan saya bawa ke Rumah Sakit. Terima kasih atas kunjungan Dokter.” Kemala menyodorkan selembar uang untuk biaya periksa Ayahnya.

“Kalau bisa bawa secepatnya. Sementara ini sudah saya berikan suntikan insulin. Dan ini obat untuk menurunkan tekanan darahnya diberikan tiga kali sehari setelah makan.”

Kemala pun mengantar Dokter sampai di pintu rumah. Kemudian kembali ke dalam kamar Hartono untuk melihat kondisinya sekarang. Kemala merasa takut, dia akan menjadi sebatang kara jika ayahnya pergi.

Wanita itu menatap sang Ayah sambil menyeka tubuh rentanya. Sambil terisak, dalam benaknya dia berkata, “Ayah harus sembuh, Kemala tidak punya siapapun lagi di dunia ini.”

Setelah menyeka tubuh ayahnya, ia mengganti pakaian Hartono. Kemudian menyiapkan beberapa pakaian. Setelah itu dirinya keluar rumah menuju ke rumah Bu Siti. Kemala meminta bantuan wanita tua itu untuk menjaga ayahnya sebentar. Sementara dirinya akan pulang untuk mengambil beebrapa barang yang mungkin dibutuhkannya nanti. Kemala akan membawa Hartono ke Rumah Sakit.

“Kamu pergi saja sekarang, biar aku yang menjaganya,” titah Bu Siti.

“Terima kasih, Bu Siti. Saya titip Ayah sebentar,” ucap Kemala.

Dengan langkah cepat dia berjalan menuju rumahnya, berpacu dengan gerakan jarum jam pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Sesekali Kemala menyeka kristal bening yang terjatuh di pipi mulusnya. Ia tak lagi menghiraukan jantungnya yang berdetak lebih cepat karena napas yang berpacu.

Brakkk! Ia segera membuka pintu rumah lalu menuju ke kamarnya. Mengemas beberapa pakaian dan membawa beberapa lembar uang yang disimpannya dari sebagian penghasilannya dari penjualan kue. Setelah memastikan semua sudah masuk dalam travel bag-nya, Kemala duduk sejenak.

Wanita itu terlihat berusaha menenangkan dirinya, ia menarik napas cukup dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Kemala merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Dia berniat menghubungi pelanggannya.

“Maaf, Mbak. Sepertinya saya tidak dapat memenuhi pesanan kuenya, mendadak ayah saya sakit keras. Saya harus menjaganya di Rumah Sakit.” Kemala mencoba menjelaskan masalah yang dihadapinya.

“Oh ... tidak apa, Mbak Kemala. Saya juga baru akan menelpon untuk membatalkannya, ternyata acaranya batal,” ujar suara di seberang sana.

Panggilan telepon diantara mereka berakhir, Kemala bersyukur dia masih punya waktu untuk merawat ayahnya. Ia pun mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Kali ini dia membawa motornya agar lebih mudah pergi jika ayahnya membutuhkan sesuatu selama di Rumah Sakit.

Sementara untuk membawa Hartono ke Rumah Sakit, Kemala meminta bantuan Dokter yang tadi merawat ayahnya agar mendatangkan ambulans. Sebab kondisi Hartono sangat mengkhawatirkan, dia tidak berani membawanya dengan kendaraan lain.

Beberapa Suster menyambut kedatangan Hartono di depan IGD. Mereka mendorong masuk brankar tempat Hartono terbaring lemah. Wajah Kemala masih tampak sendu, rasa cemasnya tidak teratasi. Air matanya pun telah mengering.

“Suster, tolong lakukan apapun untuk menyelamatkan ayah saya.” Kemala memohon denngan wajah sendu.

“Iya, kami pasti melakukan yang terbaik. Sekarang anda tunggu di luar sebentar. Beri kami waktu untuk memeriksa kondisi pasien,” ujar salah seorang perawat.

Kemala pun menurut anjuran perawat tersebut, ia duduk di depan ruang IGD. Dalam hatinya berharap Tuhan masih memberinya kesempatan untuk merawat sang ayah lebih lama lagi. Namun dia kembali teringat nasihat yang kerap kali dikatakan Hartono, ‘jadilah wanita yang kuat apapun yang terjadi, tetaplah tegar agar tak ada yang meremehkanmu!’ itulah kalimat yang senantiasa menguatkan hatinya.

“Jika memang ini terakhir kalinya, Kemala akan berusaha untuk tetap tegar, Yah.” Kemala berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi wanita kuat seperti yang diharapkan Hartono.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status