Tanpa Kemala sadari, dirinya pun telah sampai di depan rumah ayahnya. Rumah Hartono tampak sepi. Ia pikir ayahnya sedang beristirahat karena biasanya selepas sholat dzuhur, Hartono menyempatkan diri untuk tidur siang.
“Ayah! Ayah!” Kemala memanggil-manggil Hartono karena pintu rumahnya terkunci. Sesekali dia mengedor-gedor pintu rumah Hartono. Kemala duduk di kursi rotan yang terletak di teras rumah. Dalam benaknya dia berpikir, “Tidak biasanya Ayah mengunci semua pintu.” Hatinya merasa tidak tenang sehingga dirinya beranjak pergi ke rumah tetangga sebelah. Kemala bertanya pada tetangga Hartono yang kebetulan pintu rumahnya terbuka. Si pemilik rumah pun sedang menonton acara televisi saat Kemala datang. Tok! Tok! “Permisi, Bu Siti!” “Kemala, ayo masuk!” ajaknya. “Bu Siti lihat Ayah, tidak?” tanya Kemala, “Dari tadi saya panggil-panggil tidak menyahut. Semua pintu terkunci, biasanya tidak pernah seperti ini.” “Lho, bukannya Pak Hartono menginap di rumahmu?” wanita yang usianya seumuran Hartono itu balik bertanya padanya. “Tidak, Bu Siti. Justru saya akan mengunjungi Ayah.” Kemala semakin panik setelah mendengar perkataan Bu Siti. Tetangga Hartono itu pun mengaku tak melihat pria itu sejak tadi pagi. Bahkan ia mengatakan bahwa rumah ayahnya Kemala memang tertutup rapat. “Terakhir kami mengobrol itu sehabis sholat maghrib di musholah. Pak Hartono bilang dia sedang tidak enak badan. Saya pun menganjurkan agar dia menginap di rumahmu saja sementara waktu.” Bu Siti mengenang pertemuan terakhirnya dengan Hartono pada hari sebelumnya. Namun ayahnya tak pernah pergi kemana-mana tanpa memberitahu Kemala. Kecuali jika hanya pergi ke warung atau bertamu ke rumah tetangga. Setiap pagi atau sore hari Hartono selalu menyempatkan diri untuk mengunjungi Kemala. Atau sekedar berbicara di telepon jika memang enggan datang. Sedangkan sejak kemarin, beliau tak melakukannya. Hal itu juga yang menjadi alasan Kemala untuk datang. Kebetulan pesanan kuenya dimundurkan sehingga ia pun punya waktu untuk berkunjung. “Kamu sudah coba lewat pintu belakang? Biasanya Pak Har jarang mengunci pintu belakang,” saran Bu Siti. “Baiklah, Bu Siti. Saya akan coba periksa dulu, terima kasih!” Wanita bertubuh mungil itu pun segera menuju ke bagian belakang rumah ayahnya. Ternyata benar apa yang dikatakan Bu Siti, pintunya tidak terkunci. Ayahnya hanya menutupnya dengan rapat. Kemala menerobos masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang. Kemudian ia menuju ke kamar ayahnya. Benar saja, ternyata beberapa wadah alumunium berserakan di lantai kamarnya. Sedangkan pria berusia lebih dari setengah abad itu sedang berbaring tak berdaya di atas tempat tidurnya. “Ayah ....” Kristal beningnya seketika jatuh. Disentuhnya kening sang Ayah. Suhu badannya tinggi, sepertinya badannya juga lemas. Entah sejak kapan Hartono berbaring sakit seperti itu tanpa ada yang tahu. Kemala segera memanggil dokter langganannya yang tak jauh dari rumah Hartono. Dokter segera memeriksa kesehatan Hartono. Kemala menunggu dokter selesai memeriksa keadaan ayahnya di ruang tamu. Ia sangat cemas memikirkan kesehatan pria yang sangat berarti dalam hidupnya itu. “Bagaimana keadaan ayah saya, Dok?” “Pak Hartono harus dirujuk ke Rumah Sakit karena beliau kekurangan cairan. Tekanan darahnya 180/90 mmHg sedangkan gula darahnya 200 mg/dL.” “Baik, Dok. Akan saya bawa ke Rumah Sakit. Terima kasih atas kunjungan Dokter.” Kemala menyodorkan selembar uang untuk biaya periksa Ayahnya. “Kalau bisa bawa secepatnya. Sementara ini sudah saya berikan suntikan insulin. Dan ini obat untuk menurunkan tekanan darahnya diberikan tiga kali sehari setelah makan.” Kemala pun mengantar Dokter sampai di pintu rumah. Kemudian kembali ke dalam kamar Hartono untuk melihat kondisinya sekarang. Kemala merasa takut, dia akan menjadi sebatang kara jika ayahnya pergi. Wanita itu menatap sang Ayah sambil menyeka tubuh rentanya. Sambil terisak, dalam benaknya dia berkata, “Ayah harus sembuh, Kemala tidak punya siapapun lagi di dunia ini.” Setelah menyeka tubuh ayahnya, ia mengganti pakaian Hartono. Kemudian menyiapkan beberapa pakaian. Setelah itu dirinya keluar rumah menuju ke rumah Bu Siti. Kemala meminta bantuan wanita tua itu untuk menjaga ayahnya sebentar. Sementara dirinya akan pulang untuk mengambil beebrapa barang yang mungkin dibutuhkannya nanti. Kemala akan membawa Hartono ke Rumah Sakit. “Kamu pergi saja sekarang, biar aku yang menjaganya,” titah Bu Siti. “Terima kasih, Bu Siti. Saya titip Ayah sebentar,” ucap Kemala. Dengan langkah cepat dia berjalan menuju rumahnya, berpacu dengan gerakan jarum jam pada arloji yang melingkar di tangan kirinya. Sesekali Kemala menyeka kristal bening yang terjatuh di pipi mulusnya. Ia tak lagi menghiraukan jantungnya yang berdetak lebih cepat karena napas yang berpacu. Brakkk! Ia segera membuka pintu rumah lalu menuju ke kamarnya. Mengemas beberapa pakaian dan membawa beberapa lembar uang yang disimpannya dari sebagian penghasilannya dari penjualan kue. Setelah memastikan semua sudah masuk dalam travel bag-nya, Kemala duduk sejenak. Wanita itu terlihat berusaha menenangkan dirinya, ia menarik napas cukup dalam. Kemudian menghembuskannya perlahan. Kemala merogoh kantong celananya untuk mengambil ponsel. Dia berniat menghubungi pelanggannya. “Maaf, Mbak. Sepertinya saya tidak dapat memenuhi pesanan kuenya, mendadak ayah saya sakit keras. Saya harus menjaganya di Rumah Sakit.” Kemala mencoba menjelaskan masalah yang dihadapinya. “Oh ... tidak apa, Mbak Kemala. Saya juga baru akan menelpon untuk membatalkannya, ternyata acaranya batal,” ujar suara di seberang sana. Panggilan telepon diantara mereka berakhir, Kemala bersyukur dia masih punya waktu untuk merawat ayahnya. Ia pun mengunci semua pintu dan jendela rumahnya. Kali ini dia membawa motornya agar lebih mudah pergi jika ayahnya membutuhkan sesuatu selama di Rumah Sakit. Sementara untuk membawa Hartono ke Rumah Sakit, Kemala meminta bantuan Dokter yang tadi merawat ayahnya agar mendatangkan ambulans. Sebab kondisi Hartono sangat mengkhawatirkan, dia tidak berani membawanya dengan kendaraan lain. Beberapa Suster menyambut kedatangan Hartono di depan IGD. Mereka mendorong masuk brankar tempat Hartono terbaring lemah. Wajah Kemala masih tampak sendu, rasa cemasnya tidak teratasi. Air matanya pun telah mengering. “Suster, tolong lakukan apapun untuk menyelamatkan ayah saya.” Kemala memohon denngan wajah sendu. “Iya, kami pasti melakukan yang terbaik. Sekarang anda tunggu di luar sebentar. Beri kami waktu untuk memeriksa kondisi pasien,” ujar salah seorang perawat. Kemala pun menurut anjuran perawat tersebut, ia duduk di depan ruang IGD. Dalam hatinya berharap Tuhan masih memberinya kesempatan untuk merawat sang ayah lebih lama lagi. Namun dia kembali teringat nasihat yang kerap kali dikatakan Hartono, ‘jadilah wanita yang kuat apapun yang terjadi, tetaplah tegar agar tak ada yang meremehkanmu!’ itulah kalimat yang senantiasa menguatkan hatinya. “Jika memang ini terakhir kalinya, Kemala akan berusaha untuk tetap tegar, Yah.” Kemala berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi wanita kuat seperti yang diharapkan Hartono.Mayang terdiam, ia hanya membatin, ‘Siapa laki-laki ini, berani sekali bertanya tentang pembatalan pernikahan’. Ia mengernyitkan dahi, ingin memaki tapi masih memikirkan Kemala. Ia tentu akan malu sekaligus kecewa jika Mayang membuat keributan di acara pernikahannya. Dua bulan kemudian Mayang tampak sangat sibuk, beberapa hari belakangan, ia harus datang ke kantor polisi memenuhi panggilan sebagai saksi. Awalnya ia tidak mengerti mengapa dirinya harus berurusan dengan petugas penegak hukum. Setelah panggilan pertamanya, ia baru menyadari bahwa selama ini putrinya diam-diam menyiapkan sendiri drama penangkapan Herdian dengan berbagai bukti yang ia kumpulkan. “Jadi, selama ini dia menugaskan kamu untuk melakukan skenario yang telah ia susun sendiri?” tanya Mayang. Mereka keluar dari kantor polisi menuju ke tempat parkir. Sopirnya masih bermuka datar, tanpa mengatakan apapun, hanya mengangguk pelan. Mayang tak perlu penjelasan lagi, meski penasaran bagaimana Mirna dapat melakukan
“Tidak bisa begini!” Herdian berteriak, “KEMALA! Jawab AKU!” Kedua matanya memerah. Kemala masih memilih bungkam, ia sama sekali tidak terpengaruh dengan gertakan Herdian. Sementara sibuk mengatur emosi putranya, Yana membuang muka dari Kemala. Kemala melangkah ke luar, ia membisikkan sesuatu pada Yana. Namun seseorang menarik lengannya dengan sangat kasar sebelum ia mencapai pintu. Tangan yang sejak tadi terasa gatal mendarat keras di pipi mulus Kemala. Air mata Kemala seketika meluap tanpa ia sadari. “Saya bisa melaporkanmu atas tindak kekerasan dan penganiayaan terhadap putri saya.” Mayang memasang badan di depan Kemala. “Penjelasan apa lagi yang kamu butuhkan, Mas?” Kemala memegang pipinya yang terasa perih. “Perceraian itu tidak sah tanpa persetujuan suamimu!” serang Yana. “Saya pikir, anda tidak berhak ikut campur tentang urusan kami. Lagi pula–anda yang paling menginginkan perceraian kami sejak dulu. Lalu, mengapa sekarang justru tidak senang saat keinginan anda terwujud
Seluruh ruangan kehilangan suasana hening, tangisan mereka pecah memenuhi bangsal nomor 237. Petugas medis pun telah melepas alat bantu kesehatan yang sebelumnya melekat di tubuh Mirna. Kemala menenangkan hati Mayang yang sedang hancur. Raga yang telah ditinggalkan ruh milik Mirna pun di bawa ke ruang jenazah. Selanjutnya, mereka membawa tubuh tak bernyawa itu ke rumah kediaman Mayang dengan iring-iringan beberapa mobil pelayat yang ingin mengantarkan Mirna ke peristirahatan terakhirnya. Kemala sudah tak dapat mengeluarkan kristal beningnya lagi, mata sembabnya menjadi saksi kesedihan yang juga ia rasakan. Di tempat lain, Bramantyo dan Ponirah sangat gelisah. Sebab Kemala belum kembali padahal mereka akan menggelar pernikahan 14 jam dari sekarang. Terakhir kali ia mengabarkan kalau Mayang akan mengutus sopirnya untuk mengantar pulang pagi tadi. Namun, ia belum juga dapat dihubungi hingga saat ini. “Coba telepon lagi, Nak!” suruh Ponirah, ia tampak cemas. Bram menuruti perintah Po
“Kamu hanya harus sembuh!” seru Kemala, “Maka, aku tidak perlu menjadi Kakak yang buruk.” Kemala mengusap kepala Mirna.Rasa bersalah yang memenuhi hati Mirna semakin sesak, ia tidak dapat mengerti apa yang ada dalam isi kepala Kemala. Mengapa wanita itu masih bersikap baik padanya? Kira-kira terbuat dari apa hatinya, mati rasa ataukah sudah kebal?Butiran bening mengalir tanpa dapat dihentikan dari kedua netranya, Mirna tidak sanggup membayangkan betapa sulitnya menjadi Kemala. Dia menjalankan perannya tanpa amarah meski sebuah belati berkali-kali menusuknya dalam keadaan sadar. Ia harus menahan perasaan yang sangat luar biasa setiap melihat kebahagiaan Mirna dan Herdian. Tanpa berpikir untuk membalas dendam, ia justru bersikap baik alih-alih memusuhi Mirna.Pagi itu, Kemala telah membersihkan diri sebelum ia pamit untuk menghirup udara segar di sekitar Rumah Sakit, tidak untuk memanjakan pandangannya, ia hanya bu
Keheningan mulai menyusup di antara waktu yang sedang bergulir menuju pergantian hari. Suara derap langkah kaki-kaki yang berat menyisakan kekhawatiran di benak Kemala. Semakin dirinya mendekat ke arah ruang perawatan Mirna, semakin ia merasakan degup kencang yang menghujam dadanya.Sesekali ia mengedarkan pandangan ketika terdengar suara brankar yang berpacu dengan bunyi alas kaki beberapa orang. Jantungnya seakan-akan ingin meloncat, mendengar sayup-sayup suara tangisan dari arah yang lain. Terkadang ia mengintip wajah Mayang yang menyembunyikan kecemasan di balik senyuman.“Mirna pasti sembuh, saya yakin dia kuat.” Kemala meraih tangan Mayang yaang berayun seirama dengan langkah kakinya.Ia tersenyum kecut, lalu berkata, “Kuharap ia melewati masa kritisnya setelah bertemu denganmu.”Pintu kamar bernomor 237 terbuka, Mayang mendorongnya perlahan. Mereka masuk ke dalam ruangan sambil berjinjit agar Mi
“Terima kasih,” ucap Bramantyo. “Aku tidak tahu, apa jadinya tanpa kamu di sisiku.” Bram menatap sendu ke arah wanita di hadapannya. “Tidak perlu berterima kasih, semua yang terjadi dalam hidupmu hampir pasti mengambil bagian di dalam hidupku.” Senyumnya kembali mengembang, semakin meyakinkan Bram tentang ketulusan yang dimiliki Kemala. Mereka kembali memeriksa beberapa hal mengenai persiapan pernikahan yang akan digelar 2 hari mendatang. Bram merasa hidupnya lebih ringan, jalannya semakin mulus tanpa ada yang mengganjal lagi. Kemala memang benar, dendam dan luka saling berhubungan. Luka tidak akan pernah bisa sembuh ketika kita masih memelihara dendam, membiarkannya bertindak sesuka hati, mengambil alih sebagian besar ruangan di dalam hati kita. Setiap kali mendengarkan kalimat bijak yang keluar dari mulut Kemala, keserakahannya atas rasa marah seketika menciut, lalu kehilangan keberanian yang sebelumnya merebut kendali atas pemikirannya. Mereka memang dua manusia berbeda latar b