Kantin kampus sangat ramai. Di meja tengah, beberapa mahasiswa berkumpul sedang bercakap-cakap tentang mata kuliah yang baru saja selesai. Ada komentar baik dan ada juga yang tidak menyukai mata kuliah itu, entah isi mata kuliahnya yang membosankan atau dosennya yang tidak memiliki metode mengajar yang menarik.
Beberapa menit kemudian, kantin mulai ditinggalkan oleh para mahasiswa yang menuju ke ruang kelas masing-masing, hendak melanjutkan ke mata kuliah berikutnya. Tapi, meja tengah masih ramai.
“Kenyang nih, pengen tidur aja.” ucap seorang gadis berambut kuning kecokelatan panjang.
“Iya, bawaannya ngantuk. Kebanyakan makan aku nih.” Seorang gadis lagi berujar sambil mengelus perutnya yang mengembung.
Ocehan-ocehan kemalasan terus mengumbar dari mulut gadis-gadis itu. Tengah hari setelah makan memang menuntun pada rasa kantuk.
“Udah jam 1 lebih. Yuk!” ajak seorang gadis berpakaian dress putih panjang. Ia pun berdiri dan melangkah ke pintu kantin, diikuti oleh dua gadis lainnya.
“Kalian ga ikut?” tanya gadis berambut pirang ketika satu kakinya sudah di ambang pintu.
“Ga dong, mata kuliah kita ‘kan beda.” jawab gadis berambut pendek yang duduk bersender di kursi.
“Oh, iya, kalian ambil mata kuliah berbeda jam ini ya. Oke, see you tomorrow.” pamit gadis berambut pirang diiringi lambaian tangan kedua gadis lainnya yang telah berdiri di depan kantin.
Kantin kini hanya berisi 4 gadis yang duduk bersender di kursi dengan tatapan tertuju ke ponsel di tangan masing-masing.
“Aku ke aula, ngantuk.” Dengan lesu, gadis berbadan tambun berdiri dan meninggalkan 3 gadis yang masih duduk memandangi ponsel.
Tiba-tiba gadis yang duduk di sampingnya tadi berteriak, “Kamu ga ikut ke kelas?”
“Ga, Pak Cahyono pasti ga masuk ujan gini.”
Pak Cahyono adalah dosen tua yang akan pensiun dalam beberapa bulan. Kesehatannya semakin menurun yang menyebabkan ia jarang ke kampus setahun terakhir ini, terlebih jika cuaca sedang tidak bersahabat seperti saat ini. Hujan terus turun dari pagi tadi yang kadang diselingi angin kencang.
“Iya, ya. Aku ikut.” teriak gadis itu yang segera berlari menyusul gadis tambun yang sudah menghilang di belokan samping kantin.
Tinggallah dua gadis yang masih sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Benar kata Puspa, Pak Cahyono pasti ga masuk.” Gadis yang membelakangi pintu kantin meletakkan ponselnya di meja dan menatap hujan yang turun deras melalui jendela kantin. “Pasti hanya ada beberapa orang di kelas. Kita ke perpustakaan, yuk. Di sana lebih hangat.”
“Yuk.”
Perpustakaan kampus lengang, hanya beberapa orang yang terlihat sedang membaca buku atau sekedar membolak-balik halaman buku seperti sedang melihat komik.
Kedua gadis itu duduk bersampingan di pojok belakang yang lebih sunyi. Keduanya memegang ponsel dan kembali berkutat dengan media sosial masing-masing.
“Tari, mau ga aku kenalin sama saudara aku?” topik yang tidak diduga akan didengar gadis berambut pendek cokelat pirang bernama Mentari.
Mentari memandang gadis di sampingnya dengan alis terangkat selama beberapa saat, kemudian kembali menatap layar ponselnya.
“Aku serius.” Gadis di samping Mentari telah meletakkan ponselnya di atas buku yang terbuka lebar di bawahnya. “Namanya Argan. Dia baru datang dari Jakarta. Keluarganya pindah tinggal di sini.” Gadis itu menatap Mentari, mengharapkan reaksi temannya itu, namun Mentari hanya diam.
“Orangnya baik, gaul banget, penampilannya oke, punya mobil juga, jadi kamu ke mana-mana ga bakal kepanasan.”
Mentari memalingkan wajah dari ponselnya ke wajah temannya, “Gempita, aku lagi ga pengen kenal siapa-siapa sekarang.” ucapnya tegas tanpa berkedip.
Gempita, gadis berambut panjang lurus berbadan kurus di samping Mentari memutar badannya menghadap Mentari. “Kenalan aja dulu, oke? Kamu ga bakalan menyesal, aku janji, dia pria yang sempurna buat kamu.”
Mata Gempita menatap lurus ke mata Mentari.
“Ga, Pita.” tegasnya lagi.
Gempita tidak menyerah begitu saja, dia terus melancarkan berbagai kata-kata manis untuk membujuk temannya itu, tapi selalu diakhiri dengan penolakan oleh Mentari. Gempita terus berusaha.
“Ga!” itu jawaban terakhir Mentari dengan nada suara tinggi sampai membuat beberapa mahasiswa di depan mereka melirik.
Mereka berdua terdiam memandang beberapa orang yang masih menatap mereka.
Gempita menarik napas panjang, “Mau sampai kapan kamu mikirin Bira? Dia ninggalin kamu, Tari!” nada suara Gempita tinggi namun diusahakan sepelan mungkin untuk menghindari tatapan pengunjung perpustakaan lainnya lagi.
Mentari memandangi buku tertutup di mejanya. Pikirannya melayang ke pria yang telah meninggalkannya demi wanita lain. Terbersit kesedihan di matanya. Bayangan-bayangan saat pria itu meminta putus tertata jelas di depan Mentari, bahkan ia masih mengingat setiap kata yang diucapkan pria itu di depan kedai makan favorit mereka beberapa bulan yang lalu.
”Mentari, kita putus saja.”
Satu kalimat itu meruntuhkan dunia Mentari hingga 6 bulan kemudian. Ia masih tidak bisa menerimanya. Ia begitu mencintai pria itu, bahkan mereka telah membicarakan tentang pernikahan ketika mereka lulus kuliah nanti. Jadi, kenapa tiba-tiba dia meminta putus? Mereka tidak sedang bertengkar ketika wacana putus itu terlontar dari mulut pria yang telah menjalin hubungan pacaran dengan Mentari selama dua tahun.
Sebulan kemudian, Mentari mendapat berita bahwa mantan pacarnya itu terlihat berdua dengan seorang wanita. Dan itu terus berulang. Beberapa temannya bahkan anggota keluarganya melihat Dani bersama wanita yang sama di beberapa tempat berbeda. Sebulan setelah itu, Mentari mendapat undangan pernikahan Bira dengan wanita itu.
Bira meninggalkan Mentari karena telah menghamili wanita lain.
Dunia Mentari benar-benar hancur saat tahu kenyataan pahit itu. Dia terus membatin dan bertanya-tanya tanpa jawaban, apakah selama mereka masih berpacaran, Bira telah mengkhianatinya dengan wanita itu? Apakah di hari-hari mereka tertawa bersama, menghadiri berbagai kegiatan keluarga dan kampus bersama, Bira telah menjalin hubungan dengan wanita itu. Tidak ada yang perlu mengatakan jawabannya pada Mentari, ia tahu, pasti benar seperti itu. Kalau tidak, bagaimana mungkin wanita itu telah hamil 4 bulan ketika mereka menikah?
Pipi Mentari terasa hangat, air mata mengalir tanpa diinginkannya.
Keheranan Mentari masih berlanjut. Dua hari kemudian Argan menyatakan bahwa dia akan kembali ke rumahnya, rumah orang tuanya. "Di sini juga rumahmu, Argan. Keluargamu juga di sini," kata ibu menyahuti pernyataan Argan. "Istri dan anakmu di sini." Ibu menekankan kata-kata itu. "Aku mendapatkan pekerjaan penting, terlalu jauh dan beresiko kalau harus bolak-balik ke sini." Dengusan Cahya terdengar pelan, seperti hendak disembunyikan. "Proyek jalan tol?" tanya ibu. "Iya, Bu. Ini proyek besar yang memerlukan banyak waktu dan fokusku. Jadi, aku benar-benar harus dalam kondisi terbaikku dan berada dalam lingkungan yang sepenuhnya mendukungku," sahut Argan penuh percaya diri sambil melirik Mentari sebelum memasukkan sesendok ayam bumbu ke dalam mulutnya. Mentari tersindir, namun dia tidak ingin menanggapi. Hanya tersirat keheranan di wajahnya. Apakah mertuanya sudah kembali? "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat itu meluncur begitu saja, padahal dia tidak ingin bicara dengan Ar
Wajah Mentari sepucat kertas putih. Tangkapan matanya seolah tidak dapat diproses otaknya. Matanya mencari-cari ke arah pekarangan rumah. Diapun berjalan maju dengan cepat, berharap motornya ada di pekarangan depan.Kosong.Dia berbalik memandangi kakaknya yang sedang mendekatinya dengan ekspresi bingung."Bu?""Motormu dipinjam Argan, Tari. Ada hal penting yang harus dikerjakannya."Pernyataan ibu menyambar Mentari seperti sebuah petir. Tidak yakin, dia kembali memastikan, "Apa, Bu?""Argan harus menghadiri rapat untuk membahas pelaksanaan proyek jalan tol yang diceritakannya pada kita. Rapat itu mulai jam delapan pagi. Dia hendak meminta izin padamu tadi pagi untuk memakai motormu, tapi kamu masih terlelap, jadi Ibu memberikan kunci motornya."Di telinga Mentari, penjelasan ibu terdengar tidak masuk akal. Setelah yang dilakukan Argan padanya dan motornya seminggu yang lalu, bagaimana mungkin ibu masih meminjamkan motor itu pada Argan?Mulut Mentari menganga, hendak melontarkan keber
"Dia memang harus ke dokter. Dokter jiwa," seloroh Cahya saat dia mencuci piring. "Kepalanya terbentur, pasti pikirannya terganggu, semakin parah dari sebelumnya."Sindiran Cahya mengundang tatapan tajam ibu. Namun tatapan itu segera teralihkan oleh bayangan Mentari yang muncul dari balik pintu."Ayo, duduk. Ibu ambilkan nasi."Dengan patuh, Mentari duduk sambil berusaha menekan perutnya yang mulai menimbulkan bunyi."Ini rumahmu, Tari. Jangan bodoh dengan membiarkan dirimu kelaparan di rumahmu sendiri."Sigap, Cahya mengeluarkan kembali lauk yang telah dimasukkannya ke lemari. Bahkan dia menuangkan segelas air dan meletakkannya di meja depan Mentari. Dari samping kiri, ibu meletakkan sepiring nasi beserta sendok.Mata Mentari menerawangi makanan di depannya. Rasa laparnya membuncah, namun otakknya tidak mengarahkan tangannya untuk meraih sendok.Kembali, Cahya dengan sigap mengambil tangan kanan Mentari lalu menggenggamkannya pada sendok di hadapannya.Seolah tersadar dari lamunan, M
Teriakan Mentari membahana hingga ke kamar ibu dan Cahya yang segera keluar, diiringi Feliz dan Winar sambil menenteng mobil-mobilan yang sedang mereka mainkan."Tari, ada apa?" suara panik ibu menyita perhatian Mentari."Di mana Argan?""Ada apa, Tari?" Ada dugaan pada intonasi suara Cahya saat mendengar pertanyaan Mentari.Seperti seorang anak kecil yang ditarik ibunya, Cahya terseret mengikuti tarikan tangan adiknya."Ka, lihat ini," tunjuk Mentari ke arah motornya.Mata Cahya menangkap beberapa garis di badan motor Mentari. Garis-garis itu tidak beraturan seolah memberikan motif baru pada motor Mentari. Cahya berkeliling dan mendapat garis-garis yang sama di bagian motor lainnya.Tak sanggup berkata-kata, Cahya mendongakkan kepalanya memandang Mentari yang dadanya naik-turun.Ibu yang kini juga memandangi motor Mentari pun terdiam."Apa yang dilakukan Argan dengan motorku?"Tanpa menunggu balasan dari ibu dan
Hasil dari pemeriksaan dokter pada kaki Argan adalah dia sudah sembuh total. Begitulah penuturan ibu berdasarkan ucapan dokter. Itulah inti yang ingin didengar Mentari, bukan kronologi pemeriksaan Argan yang disertai bumbu-bumbu pemanis yang berkesan sombong. Argan hanya keseleo, itulah yang tersimpan di benak Mentari sejak mendengar berita Argan kecelakaan.Tak ada lagi bangun tengah malam untuk mengantarkan Argan ke toilet dan tidak ada lagi peran asisten rumah tangga yang harus selalu siap melayani tuan besarnya.Begitulah sangka Mentari."Tari, besok aku ke rumah temanku, ada bisnis yang harus kami diskusikan. Kamu tahu 'kan Dani?"Setengah hati Mentari mendengarkan. Dia baru saja selesai mengoleskan pelembab di wajahnya dan hendak bersiap untuk makan malam.Ketika Mentari dengan acuhnya melangkah ke arah pintu, Argan menghentikannya dengan sebuah berkata, "Kamu harus mengantarkanku."Mentari melirik Argan."Kamu tahu sendiri mobilku tidak di sini, jadi kamu yang harus mengantarka
"Maaf mendadak, Pak. Iya, benar. Iya, Pak. Iya." Mentari meletakkan ponselnya di meja dapur setelah dengan patuh menerima ceramah penuh konsekuensi dari kepala toko akan ketidakhadirannya hari ini. Kepala Cahya menyembul dari balik pintu dapur. Tangannya ditarik Winar hendak menuju kamar "Kamu dimarahi?" Hanya anggukan sebagai jawaban dari Mentari. "Apa kata kepala toko?" Sebenarnya Mentari tidak ingin membahasnya, tapi dia mengerti benar kalau pertanyaan kakaknya menuntut jawaban. "Gajiku dipotong," kata-kata itu berat mengalir dari mulut Mentari. "Berapa?" Dahi Cahya mengernyit. "Ibu, ayo cepat, nanti kita terlambat." Kali ini tarikan keras dari Winar melenyapkan wajah Cahya dari balik pintu. Ada kelegaan hinggap di wajah Mentari. Namun, dalam hati dia meringis. Dua ratus ribu. Tatapan jengkel Mentari melepas kepergian Argan bersama ibu. Tak henti-hentinya dia menyalahkan Argan akan keputusan sembrono kepala toko. 'Keputusan apa itu? Bagaimana mungkin gajinya dipotong du
"Antarkan aku ke dokter besok." Bukan permintaan, tapi sebuah perintah yang keluar dari mulut Argan membuat darah mengalir deras ke kepala Mentari. Mentari hendak beranjak keluar kamar untuk berangkat kerja, namun langkah kakinya terhenti ketika telinganya menangkap kata-kata Argan. Setelah menghela napas, Mentari berbalik menghadap Argan yang sedang duduk di tepi ranjang berusaha mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam kantong celananya. "Aku tidak bisa." Jawaban singkat Mentari disambut amarah oleh Argan. "Pikirmu aku bisa sendirian ke dokter?" Suara bungkus rokok menyentuh kasur terdengar cukup keras. "Aku harus kerja." Mentari menambahkan. "Pekerjaan terus yang kamu urusi, suamimu tidak kamu urusi." Argan kini berdiri menghadap Mentari. Seolah telah menunggu saat Argan mengucapkan kalimat ini, Mentari menyahut menyeringai, "Kalau aku tidak bekerja, siapa yang akan membiayai kebutuhan Feliz?" Sebelum menyambung, Mentari melirik rokok yang tergeletak di atas ranjang, "Dan itu,
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq