Mentari duduk memandangi anak-anak yang saling melemparkan bola di trotoar depan. Mereka masih memakai seragam putih merah, lengkap dengan tas di punggung berbeda warna. Tiap anak berteriak meminta bola dioper ke arahnya.
Mobil merah memasuki area parkir restoran cepat saji dan parkir di samping pintu masuk. Seorang pria turun dengan percaya diri. Kepalanya terangkat, dengan kacamata hitam besar, dia melirik kanan-kiri mencari tukang parkir yang tidak bisa ditemukannya.
Pria itu melangkah masuk ke dalam restoran sambil menekan kunci mobil di tangan kanannya. Bunyi mobil terkunci terdengar.
“Argan!” suara panggilan Gempita menarik pandangan pria itu ke arah kiri restoran. Ia melihat dua wanita sedang duduk berdampingan menghadap ke arahnya. Wanita satunya dia kenal tentu saja, itu saudara sepupu jauhnya. Wanita satunya lagi tidak bisa dikatakan dikenalnya, ia hanya melihat fotonya dan mendengar berbagai cerita tentangnya dari Gempita.
‘Itu pasti Mentari. Hmm....’ batin Argan. ‘Cantik juga.’ Sambil mendekati meja di mana kedua wanita itu duduk, ia terus memperhatikan Mentari yang masih memandangi anak-anak di trotoar jalan.
“Argan, ini Mentari.” Gempita menunjuk Mentari yang pandangannya tidak bergeser. Gempita menepuk pundak Mentari, “Hei!”
Sontak Mentari terkejut ringan dan mengalihkan pandangan. Ia menatap Gempita dengan polosnya, “Kenapa?”
“Ya, ampun, kamu liatin apaan sih dari tadi?” Gempita agak jengkel, “Kenalin nih saudara aku.” Tunjuknya Argan yang masih berdiri. Merasa tidak sopan duduk sebelum mengenal pemilik meja.
Mentari menengadah dan menatap Argan, “Oh, Mentari.” ucapnya singkat sambil bangkit berdiri menyambut tangan Argan yang terulur dengan senyuman manis. Mentari tidak ikut tersenyum, hanya sedikit menarik bibirnya berharap dianggap sedang tersenyum.
“Argan.” balas Argan, “Akhirnya kita bertemu.”
Ucapannya tidak ditanggapi Mentari, dia masih berusaha menarik garis bibirnya. Dia benar-benar sedang tidak ingin mengenal siapa pun saat ini. Bukannya dia tidak suka berteman. Mentari seorang wanita yang supel, mudah bergaul dengan siapa saja, mudah berbasa-basi dengan siapa saja dengan topik apapun. Namun, sekarang bukan waktu yang tepat. Belum.
“Kalian sudah lama?” Argan menatap Gempita.
“Belum, kok. Santai.”
“Maaf, tadi macet banget di jalan. Tahulah gimana jalanan jam-jam segini. Orang-orang pada nyari makan siang.” Argan berusaha menjelaskan keterlambatannya setelah melirik jam tangan bermerknya. Mereka janjian bertemu jam satu siang, tapi Argan tiba hampir jam setengah dua.
“Kalian sudah pesan makan?”
“Belum. Kita nungguin kamu.”
Argan mengangkat tangan kanannya memanggil pelayan yang berdiri dekat pintu masuk. Pelayan itu melangkah ke meja kasir, mengambil buku menu, kertas dan pulpen dan melangkah menuju meja ketiga orang itu duduk.
Gempita dan Argan membolak-balik buku menu lalu memberitahu pesanan mereka kepada pelayan yang langsung mencatatnya di kertas yang dibawanya.
Argan menyodorkan buku menu ke Mentari yang disambutnya dengan tarikan bibir seperti sebelumnya. Argan terus memperhatikan Mentari.
Setelah mereka memesan, percakapan dua arah terus mengalir. Gempita jengkel karena Mentari hanya diam atau sesekali tersenyum.
“Kamu lagi sariawan, ya?” ketus Gempita menatap Mentari yang menatapnya lugu.
“Tari, kamu satu jurusan sama Gempita, kan? Kok bisa milih jurusan itu?” Argan berusaha mengajak Mentari bicara yang diberi anggukan senang oleh Gempita.
“Iya. Suka aja.” Jawaban singkat Mentari membuat Gempita kembali jengkel.
Sebelum Gempita sempat mengajukan protes, Argan kembali bertanya, “Kapan kamu lulus?”
Mentari terkejut dengan pertanyaan itu. Mengapa seorang pria yang baru dikenalnya beberapa menit menanyakan pertanyaan seperti itu? Seperti sok kenal saja. Dia kesal, tapi tidak menunjukkannya, hanya membalas dengan, “Kenapa?”
“Kalau kamu sekarang semester 6, tahun depan sudah bisa lulus dong.”
Mentari memandang Argan dengan penuh pertanyaan. Lalu kenapa kalau aku lulus tahun depan? Itu bukan urusanmu.
“Ga kenapa-kenapa, hanya ingin tahu saja.”
Mentari ingin bertanya perihal itu, tapi pelayan sudah datang membawakan minuman mereka dan diikuti makanan mereka. Mentari merasa sudah melewati waktu yang tepat untuk bertanya.
Makan siang itu berlalu dengan lambat bagi Mentari. Dia hanya ingin pulang dan rebahan di kamarnya. Atau mungkin bermain dengan anak-anak tetangga. Membuat pikirannya lebih tenang dan teralih dari bayangan-bayangan Bira.
“Ada rencana setelah ini?” tanya Argan ketika mereka sudah keluar dari restoran dan berdiri di jalan masuk.
“Ga ada. Kamu mau ke mana?” Gempita seperti memberikan kode pada Argan.
“Gue juga ga ada rencana lain. Usul dong.” jawab Argan dengan gaya anak metropolitan.
“Biasa aja dong, ga usah pake gue-gue segala.” Gempita tertawa renyah mendengar logat Argan.
“Belum terbiasa.” tawa Argan, “Di Jakarta biasanya gue-loe, di sini pake aku-kamu.”
“Lama-lama juga biasa. Makanya sering-sering jalan sama kita.” usul Gempita masih memberikan kode.
“Oke. Aku mau aja. Sekarang kita ke mana?”
“Gimana kalau nonton? Aku sama Mentari udah lama ga ke bioskop. Akhir-akhir ini banyak tugas di kampus. Nonton asyik juga kali, ya.”
“Aduh, aku udah nonton semua film di bioskop. Maklumlah anak Jakarta mainnya ke mall. Kalau gak shopping, nongkrong di kafe atau nonton. Gitu aja tiap hari sampe security mall hafal.” Dengan bangganya Argan menceritakan semua kegiatannya.
“Iya juga ya.” sahut Gempita agak kecewa. “Kita ke mana dong? Tari, ada usul?”
“Ga apa-apa, sih, yuk nonton aja. Aku penasaran mall di sini kayak apa. Aku belum sempat main ke mall sejak tiba di sini. Sibuk, ngurusin pindah kampus.” Dipencetnya kunci mobil lalu masuk ke kursi sopir.
Gempita tersenyum lebar. Dengan semangat, ditariknya lengan Mentari, “Ayo! Kamu duduk di depan, ya.”
Di bioskop, Mentari duduk di antara Gempita dan Argan. Argan tidak memperhatikan film yang sedang tayang di layar besar di depannya, dia terus-menerus melirik Mentari di sampingnya. Bahkan tidak berhenti menatapnya ketika Mentari bereaksi terkejut menonton film horor di depan mereka.
Hari yang membahagiakan bagi Argan. Dengan mudah dia merasa jatuh cinta kepada Mentari. Jatuh cinta dengan senyumnya, jatuh cinta dengan cara Mentari berjalan yang kadang berjingkat-jingkat lucu, jatuh cinta dengan cara dia makan pasta seperti makan mie, bahkan jatuh cinta dengan selera tas Mentari yang berumbai-rumbai.
Bagi Mentari hari itu biasa saja. Dia merasa seperti keluar jalan bersama teman-temannya yang biasa. Tapi, dia mengakui kalau dia tidak memikirkan Bira sepanjang bersama Gempita dan Argan.
***
“Tari, Argan ngajakin kita ke pasar malam besok. Tapi, sebelumnya kita makan dulu biar bisa puas main di sana. Jam 5 Argan jemput, ya.” bisik Gempita di sela-sela kuliah.
Mentari yang duduk di depan Gempita tidak bereaksi. Gempita menyodokkan pulpennya ke punggung Mentari yang membuatnya berteriak, “Aduh!”
Dosen wanita berkacamata bulat berhenti berceramah dan menatap ke arah mereka. Mereka berdua membeku di kursi. Bukan dosen yang bisa diajak bercanda, mereka tidak ingin mendapat nilai D di mata kuliah ini.
“Dandan yang cantik nanti sore, oke?” pamit Gempita melompat naik angkot pulang setelah semua mata kuliah mereka berakhir.
Jam 5 kurang Gempita sudah berdiri di ruang tamu rumah Mentari.
“Kepagian!” seru Mentari yang berjalan memasuki ruang tamu
Gempita memandanginya dari ujung kepala hingga kaki. “Hmmm...” ia menimbang-nimbang, “Okelah, oke.” Dia mengangkat jari telunjuknya menilai setiap senti penampilan Mentari yang menurutnya tidak sesuai seperti harapannya. Ia berharap Mentari akan mengenakan baju yang lebih modis dari penampilannya yang hanya mengenakan kaos ketat dipadu celana kulot dan kets. Di bahunya pun hanya terselempang tote bag cokelat yang biasa dipakainya ke kampus. Rambutnya pun hanya dikuncir satu seperti penampilan sehari-harinya.
“Ada yang salah?” tanya Mentari melihat ekspresi di wajah temannya.
“Ga, ga ada yang salah. Sempurna. Aku hanya berharap kamu akan memakai dress putih kamu dengan sedikit aksesoris di kepala, telinga dan tangan.” ujarnya menunjuk setiap bagian tubuh Mentari yang diucapkannya.
“Kita ke pasar malam atau ke pesta?” pertanyaan Mentari membuat Gempita tertawa, Mentari pun tersenyum.
Selama berkeliling pasar malam, Argan terus menempel di samping Mentari. Dia bahkan menabrak seorang Bapak yang sibuk menjejeri anaknya yang terus berlarian, tidak mau terlepas dari Mentari. Dia juga hampir menabrak meja dagangan mainan karena terus berusaha mengimbangi langkah Mentari.
Bagi Argan, Mentari adalah dunianya saat ini.
Keheranan Mentari masih berlanjut. Dua hari kemudian Argan menyatakan bahwa dia akan kembali ke rumahnya, rumah orang tuanya. "Di sini juga rumahmu, Argan. Keluargamu juga di sini," kata ibu menyahuti pernyataan Argan. "Istri dan anakmu di sini." Ibu menekankan kata-kata itu. "Aku mendapatkan pekerjaan penting, terlalu jauh dan beresiko kalau harus bolak-balik ke sini." Dengusan Cahya terdengar pelan, seperti hendak disembunyikan. "Proyek jalan tol?" tanya ibu. "Iya, Bu. Ini proyek besar yang memerlukan banyak waktu dan fokusku. Jadi, aku benar-benar harus dalam kondisi terbaikku dan berada dalam lingkungan yang sepenuhnya mendukungku," sahut Argan penuh percaya diri sambil melirik Mentari sebelum memasukkan sesendok ayam bumbu ke dalam mulutnya. Mentari tersindir, namun dia tidak ingin menanggapi. Hanya tersirat keheranan di wajahnya. Apakah mertuanya sudah kembali? "Papa dan Mama sudah pulang?" kalimat itu meluncur begitu saja, padahal dia tidak ingin bicara dengan Ar
Wajah Mentari sepucat kertas putih. Tangkapan matanya seolah tidak dapat diproses otaknya. Matanya mencari-cari ke arah pekarangan rumah. Diapun berjalan maju dengan cepat, berharap motornya ada di pekarangan depan.Kosong.Dia berbalik memandangi kakaknya yang sedang mendekatinya dengan ekspresi bingung."Bu?""Motormu dipinjam Argan, Tari. Ada hal penting yang harus dikerjakannya."Pernyataan ibu menyambar Mentari seperti sebuah petir. Tidak yakin, dia kembali memastikan, "Apa, Bu?""Argan harus menghadiri rapat untuk membahas pelaksanaan proyek jalan tol yang diceritakannya pada kita. Rapat itu mulai jam delapan pagi. Dia hendak meminta izin padamu tadi pagi untuk memakai motormu, tapi kamu masih terlelap, jadi Ibu memberikan kunci motornya."Di telinga Mentari, penjelasan ibu terdengar tidak masuk akal. Setelah yang dilakukan Argan padanya dan motornya seminggu yang lalu, bagaimana mungkin ibu masih meminjamkan motor itu pada Argan?Mulut Mentari menganga, hendak melontarkan keber
"Dia memang harus ke dokter. Dokter jiwa," seloroh Cahya saat dia mencuci piring. "Kepalanya terbentur, pasti pikirannya terganggu, semakin parah dari sebelumnya."Sindiran Cahya mengundang tatapan tajam ibu. Namun tatapan itu segera teralihkan oleh bayangan Mentari yang muncul dari balik pintu."Ayo, duduk. Ibu ambilkan nasi."Dengan patuh, Mentari duduk sambil berusaha menekan perutnya yang mulai menimbulkan bunyi."Ini rumahmu, Tari. Jangan bodoh dengan membiarkan dirimu kelaparan di rumahmu sendiri."Sigap, Cahya mengeluarkan kembali lauk yang telah dimasukkannya ke lemari. Bahkan dia menuangkan segelas air dan meletakkannya di meja depan Mentari. Dari samping kiri, ibu meletakkan sepiring nasi beserta sendok.Mata Mentari menerawangi makanan di depannya. Rasa laparnya membuncah, namun otakknya tidak mengarahkan tangannya untuk meraih sendok.Kembali, Cahya dengan sigap mengambil tangan kanan Mentari lalu menggenggamkannya pada sendok di hadapannya.Seolah tersadar dari lamunan, M
Teriakan Mentari membahana hingga ke kamar ibu dan Cahya yang segera keluar, diiringi Feliz dan Winar sambil menenteng mobil-mobilan yang sedang mereka mainkan."Tari, ada apa?" suara panik ibu menyita perhatian Mentari."Di mana Argan?""Ada apa, Tari?" Ada dugaan pada intonasi suara Cahya saat mendengar pertanyaan Mentari.Seperti seorang anak kecil yang ditarik ibunya, Cahya terseret mengikuti tarikan tangan adiknya."Ka, lihat ini," tunjuk Mentari ke arah motornya.Mata Cahya menangkap beberapa garis di badan motor Mentari. Garis-garis itu tidak beraturan seolah memberikan motif baru pada motor Mentari. Cahya berkeliling dan mendapat garis-garis yang sama di bagian motor lainnya.Tak sanggup berkata-kata, Cahya mendongakkan kepalanya memandang Mentari yang dadanya naik-turun.Ibu yang kini juga memandangi motor Mentari pun terdiam."Apa yang dilakukan Argan dengan motorku?"Tanpa menunggu balasan dari ibu dan
Hasil dari pemeriksaan dokter pada kaki Argan adalah dia sudah sembuh total. Begitulah penuturan ibu berdasarkan ucapan dokter. Itulah inti yang ingin didengar Mentari, bukan kronologi pemeriksaan Argan yang disertai bumbu-bumbu pemanis yang berkesan sombong. Argan hanya keseleo, itulah yang tersimpan di benak Mentari sejak mendengar berita Argan kecelakaan.Tak ada lagi bangun tengah malam untuk mengantarkan Argan ke toilet dan tidak ada lagi peran asisten rumah tangga yang harus selalu siap melayani tuan besarnya.Begitulah sangka Mentari."Tari, besok aku ke rumah temanku, ada bisnis yang harus kami diskusikan. Kamu tahu 'kan Dani?"Setengah hati Mentari mendengarkan. Dia baru saja selesai mengoleskan pelembab di wajahnya dan hendak bersiap untuk makan malam.Ketika Mentari dengan acuhnya melangkah ke arah pintu, Argan menghentikannya dengan sebuah berkata, "Kamu harus mengantarkanku."Mentari melirik Argan."Kamu tahu sendiri mobilku tidak di sini, jadi kamu yang harus mengantarka
"Maaf mendadak, Pak. Iya, benar. Iya, Pak. Iya." Mentari meletakkan ponselnya di meja dapur setelah dengan patuh menerima ceramah penuh konsekuensi dari kepala toko akan ketidakhadirannya hari ini. Kepala Cahya menyembul dari balik pintu dapur. Tangannya ditarik Winar hendak menuju kamar "Kamu dimarahi?" Hanya anggukan sebagai jawaban dari Mentari. "Apa kata kepala toko?" Sebenarnya Mentari tidak ingin membahasnya, tapi dia mengerti benar kalau pertanyaan kakaknya menuntut jawaban. "Gajiku dipotong," kata-kata itu berat mengalir dari mulut Mentari. "Berapa?" Dahi Cahya mengernyit. "Ibu, ayo cepat, nanti kita terlambat." Kali ini tarikan keras dari Winar melenyapkan wajah Cahya dari balik pintu. Ada kelegaan hinggap di wajah Mentari. Namun, dalam hati dia meringis. Dua ratus ribu. Tatapan jengkel Mentari melepas kepergian Argan bersama ibu. Tak henti-hentinya dia menyalahkan Argan akan keputusan sembrono kepala toko. 'Keputusan apa itu? Bagaimana mungkin gajinya dipotong du
"Antarkan aku ke dokter besok." Bukan permintaan, tapi sebuah perintah yang keluar dari mulut Argan membuat darah mengalir deras ke kepala Mentari. Mentari hendak beranjak keluar kamar untuk berangkat kerja, namun langkah kakinya terhenti ketika telinganya menangkap kata-kata Argan. Setelah menghela napas, Mentari berbalik menghadap Argan yang sedang duduk di tepi ranjang berusaha mengeluarkan bungkusan rokok dari dalam kantong celananya. "Aku tidak bisa." Jawaban singkat Mentari disambut amarah oleh Argan. "Pikirmu aku bisa sendirian ke dokter?" Suara bungkus rokok menyentuh kasur terdengar cukup keras. "Aku harus kerja." Mentari menambahkan. "Pekerjaan terus yang kamu urusi, suamimu tidak kamu urusi." Argan kini berdiri menghadap Mentari. Seolah telah menunggu saat Argan mengucapkan kalimat ini, Mentari menyahut menyeringai, "Kalau aku tidak bekerja, siapa yang akan membiayai kebutuhan Feliz?" Sebelum menyambung, Mentari melirik rokok yang tergeletak di atas ranjang, "Dan itu,
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq