“Gimana semalam?”
Kartu mahasiswa di tangan Mentari terjatuh ke ubin putih dekat sepasang sepatu kets hitam saat ia mendengar suara Gempita berbisik tepat di telinganya.
“Dasar kamu, nih. Untung aja bukan gelas yang kupegang.” ucapnyamelangkah hendak mengambil kartu mahasiswa yang terjatuh di lantai. Terdengar suara Gempita berujar, “Kalau gelas yang jatuh, kamu bakal menjadi OB(Office Boy) dadakan.”
Mentari mengulurkan tangannya hendak memungut kartu mahasiswanya, tapi didahului oleh pemilik sepatu kets hitam. Diulurkannya kartu mahasiswa itu pada Mentari tanpa berkata-kata.
“Terima kasih.” Ucap Mentari tulus sambil tersenyum dan kembali ke tempat Gempita berdiri.
“Siapa ‘tuh? Imut juga.” Mata Gempita membesar memperhatikan pria bersepatu kets hitam yang sekarang tengah berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya.
“Mau aku kenalin?” canda Mentari.
“Kamu juga ga kenal gimana mau kenalin?” ia kembali menatap Mentari. “Ke mana kalian semalam?” kali ini matanya dipicingkan, penasaran sekaligus usil.
“Makan terus pulang.”
“Gitu aja?” Gempita tidak percaya.
“Emangnya kamu pikir kita mau ke mana?”
“Yaaa, ke mana kek, ke tempat yang romantis gitu.”
“Mau romantisan di empang?”
“Kalau kecebur dan basah-basahan bisa jadi romantis lho.”
Mentari hanya tertawa mendengarnya.
“Aku senang kamu udah kembali ke Mentari yang dulu.” Ada kelegaan dan bahagia di wajah Gempita.
Mentari menatap Gempita dengan wajah tak berdosa, “Emang sebelumnya aku gimana?” tanyanya sembari melangkah meninggalkan loket antrian yang telah kosong.
“Kayak orang bego, terus sedih, terus diam, ga mau ngapa-ngapain kalau diajakin. Ga asyik diajak kulineran, makannya dikiiit.” Gempita menekan kata terakhir dan memperagakannya dengan jari telunjuk dan jempol.
“Sekarang?”
“Sekarang kamu udah ketawa lagi, udah bercanda lagi. Aku senang kamu yang gitu.” Dipeluknya Mentari.
Berbagai ocehan keluar dari mulut Gempita tentang betapa tidak menyenangkan sikap Mentari beberapa bulan terakhir setelah putus dari Bari.
“Semalam aku ketemu Bari.”
Berita itu membuat Gempita kaget. “Apa?” hanya itu yang terucap dari mulutnya. “Maksudku....”
“Kami bertemu di restoran saat hendak pulang.”
Cerita Mentari terus berlanjut tentang bagaimana ia terdiam tak sanggup bereaksi apapun ketika pertemuan yang tak terduga dengan Bari terjadi semalam. Mentari dan Argan sedang menuju ke mobil Argan ketika ia melihat Bari bersama seorang wanita baru keluar dari sebuah mobil. Mentari terdiam membeku di tempatnya memandangi sepasang pengantin baru itu. Bari yang awalnya tidak melihat Mentari, sedang bercakap-cakap dengan wanita itu, hingga akhirnya ia melihat Mentari dan ikut terdiam. Namun Bari lebih bisa mengontrol emosinya setelah terdiam sejenak, ia menyapa Mentari, “Hai, Mentari.”
Mentari tidak sanggup berkata-kata, ia berusaha tapi tidak ada suara apapun yang keluar dari mulutnya yang setengah terbuka. Setelah Bari dan wanita itu lebih dekat, Bari memperkenalkan wanita di sampingnya yang adalah istrinya.
Mentari tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Argan tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Mentari dan bertanya, “Temanmu?”
“He-eh.” Itu yang sanggup diucapkan Mentari.
“Kenalin, aku Argan, teman Mentari, teman dekat.” Nada tegas dan percaya diri di dalam suaranya membuat Bari terperangah. Ia tidak menduga Mentari sudah memiliki seseorang yang dekat dengannya setelah Bari.
Kecanggungan dalam suasana itu membuat perkenalan itu hanya berlangsung sebentar saja.
Pikiran Mentari tidak karuan, apalagi perasaannya. Tak ada satupun ucapan Argan yang didengarkannya lagi dalam perjalanan pulang. Argan mengerti. Gempita telah menceritakan kisah cinta Mentari dan Bari padanya sebelumnya.
”Untung aja ada Argan, kalau ga, kamu udah mati kutu di situ.” kata Gempita setelah Mentari selesai bercerita.
“Iya.” Senyumnya berat. “Semalam aku tidak bisa tidur memikirkan semua itu, tapi sekarang aku merasa lebih baik.”
Gempita menatap temannya iba dan sayang. Ia tahu bagaimana sakitnya Mentari melewati itu semua, Gempita adalah saksinya.
“Aku merasa seperti bebanku terangkat setelah melihat Bari dan ...” ada keheningan, “istrinya.” Mentari membasahi bibirnya dan melanjutkan, “Kalau mungkin aku hadir saat pernikahannya, sakit itu tidak akan terasa perih hingga selama ini, 6 bulan.” Ia tersenyum pahit.
“Mungkin waktu itu kamu belum siap, mungkin kamu memang butuh enam bulan untuk siap.”
Mentari memandang Gempita.
“Aku tahu, aku tahu.” Gempita mengibas-ngibaskan tangannya, “Aku memang bijak, kan?”
Suara tawa Mentari memenuhi ruang kelas yang masih kosong. Mereka telah tiba di ruang kelas besar untuk ikut mata kuliah umum.
“Entah di mana kamu mengutip kata-kata itu. Itu benar-benar bukan Gempita.” Tawanya masih berlanjut.
Dalam beberapa menit, ruang kelas mulai terisi, mereka pun berhenti berbicara dan bersiap mengikuti kuliah. Berharap bisa mendapatkan nilai bagus dengan duduk diam dan memperhatikan dosen di depan kelas sambil sesekali menahan kantuk.
Saat keluar dari ruangan, ponsel Mentari berbunyi pendek, ada pesan masuk, dari Argan.
Ayo jalan nanti malam. Aku jemput jam 6.
Gempita yang berjalan di belakang Mentari, mengintip dari balik bahu.
“Ooh... ada yang mau kencan nih. Cieee....”
Mentari terus diberondong ledekan-ledekan usil Gempita sepanjang jalan menuju kantin yang hanya dibalas dengan candaan oleh Mentari.
Ada perasaan hangat di dada Mentari memikirkan akan keluar dengan Argan malam ini. Malam ini akan menjadi kedua kalinya mereka keluar hanya berdua saja setelah beberapa kali sebelumnya mereka selalu keluar jalan bertiga bersama Gempita. Semalam mereka hanya keluar makan sebentar, karena Argan harus mengurus beberapa hal terkait keluarganya, jadi tidak banyak yang mereka bicarakan. Malam ini bisa menjadi malam mereka semakin mengenal. Mentari memiliki banyak pertanyaan di kepalanya untuk Argan. Dia telah menanyakannya pada Gempita, tapi temannya itu berdalih dengan, “Tanyakan langsung sama orangnya.” disertai senyum jahil di wajahnya.
Sesuai janjinya, Argan menjemput Mentari tepat jam 6. Sebenarnya, ia telah tiba sejak 15 menit sebelumnya, tapi dia pikir lebih baik menunggu dulu di mobil.
Mereka mengunjungi taman kota yang ramai dengan bermacam-macam orang yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sibuk berjualan, ada juga yang sedang berfoto dengan berbagai pose di segala titik yang dianggap estetik, ada juga yang sedang tidur di bangku panjang, bahkan ada bermain kejar-kejaran di antara pohon dan bunga-bunga yang menyebabkan tangkai bunga patah di beberapa bagian.
Semua itu tidak mengalihkan fokus Argan dan Mentari. Keduanya asyik berbincang soal kampus maupun film. Malam terasa pendek bagi keduanya. Jam di ponsel Mentari sudah menunjukkan hampir jam sepuluh ketika ada telepon masuk, dari kakaknya.
“Kamu di mana?” suara di ponsel Mentari menggema hingga ke telinga Argan.
“Aku lagi keluar.” Mentari menjawab sekenanya.
“Tahu kamu lagi keluar, tapi di mana? Sudah mau jam sepuluh, kenapa belum pulang?” suara kakak Mentari semakin membahana.
“Memangnya ada apa?” pelan Mentari bertanya agar kakaknya lebih tenang.
“Kamu ga kenapa-napa ‘kan? Kamu udah lama ga keluar sampai selarut ini.”
Tersenyum Mentari menjawab kakaknya yang terdengar kuatir, “Aku baik-baik aja, ini masih sama teman, yang tadi jemput di rumah. Bentar lagi pulang.”
Selama beberapa saat tidak terdengar apapun di seberang, kemudian, “Ya, sudah, jangan terlalu larut pulangnya.” Kakaknya sudah lebih tenang, “Dan hati-hati.” Tambahnya lalu menutup telepon.
“Wah, kakakmu pasti galak. Aku bisa dengar suaranya sampai sini. Untung aja tadi tidak ketemu.” Canda Argan bergidik lucu. “Ayo, pulang. Aku takut nanti dimarahi kakakmu kalau kita pulang lebih larut.”
Jam 10.20 Mentari telah berdiri di depan pintu rumahnya diantarkan Argan yang celingak-celinguk melirik ke bagian dalam rumah Mentari.
“Kenapa?” Mentari bingung.
“Mana kakakmu yang itu?”
“Yang galak tadi?”
“Iya.”
“Mau aku panggilin? Mau kenalan?”
“Eeh, ga deh, lain kali aja. Aku pamit ya.”
Senyum lebar tersungging di bibir Mentari mengiringi kepergian Argan, kali ini tanpa paksaan.
Tiit... tiit....Bunyi klakson motor yang membahana menyadarkan Mentari yang mematung dengan pandangan kosong ke depan. Beberapa motor dan mobil lainnya menyahut bunyi klakson pertama, mengisyaratkan Mentari untuk menggerakkan motornya yang diam di barisan paling depan. Lampu lalu lintas telah berubah hijau sejak beberapa detik lalu dan suara protes kendaraan yang merasa terhalang di belakang Mentari semakin menjadi.Setelah beberapa kali mengerjapkan mata seolah terbangun dari mimpi, Mentari pun ikut dalam rombongan kendaraan yang bergerak maju. Kecepatannya kali ini jauh lebih pelan dari kecepatan 'siput'-nya yang biasa. Pikirannya tidak menentu ditambah kegelapan malam yang pekat di kala di beberapa titik jalan lampunya telah padam, membuat Mentari menambah kewaspadaan berkendara."Tari, kenapa kamu lama sekali?" sambut Cahya kuatir keluar dari pintu samping. Kedua tangannya dipenuhi busa dan tangan kanannya memegangi baskom yang dibalut sisa minyak makanan"Gelap, Kak," ucap Menta
Tidak ada keterangan mendetail yang diberikan Gempita tentang situasi keluarga Argan. Yang diketahui Mentari hanya bahwa papa Argan sedang sakit, beberapa hari yang lalu sempat dilarikan ke rumah sakit. Mentari masih ingin bertanya, namun Gempita segera mematikan teleponnya, karena harus kembali bekerja."Haruskah aku menelepon Argan?" Mentari bimbang, mondar-mandir di dalam kamarnya. "Bagaimana kalau tidak direspon seperti terakhir kali?"Dia pun memutuskan untuk mengirimkan pesan saja. Centang satu. Statusnya masih sama saat Mentari hendak beranjak tidur. Keesokan paginya, hal pertama yang diperiksanya adalah pesan dari Argan. Tidak ada, tapi sudah centang dua.Seperti biasa, hari senin merupakan hari yang sibuk di toko. Mentari bahkan tidak sempat memeriksa ponselnya kala makan siang, oleh karena dia buru-buru harus bergantian dengan karyawan lainnya. Toko cukup ramai, tidak ada waktu santai.Ketika hendak pulang, dia melihat panggilan dua tidak terjawab dari Argan. Diapun segera m
Kasus itu seperti hilang ditelan bumi. Mentari telah mencari berita terkait proyek itu di internet, namun hasilnya nihil. Dia pun tidak mendapatkan berita lanjutan lagi dari Bunga. Informasi final yang diperolehnya hanya dari kakak iparnya yang mengatakan bahwa proyek itu telah selesai diselidiki dan akan dilanjutkan kembali minggu depan. Menurut Feri, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa tidak ada penyelewengan dana sama sekali, hanya kekeliruan dan kesalahpahaman dari salah seorang pekerja junior, maka proyek kembali bisa dilanjutkan.Meskipun Mentari tampak cuek, namun dia memiliki harapan besar bahwa Gempita akan memberitahukannya suatu informasi akurat yang dapat diterimanya. Yang disampaikan Feri tampak tidak masuk akal baginya. Namun, sahabatnya itu begitu sulit dihubungi, pekerjaannya telah menyita banyak waktunya.Di toko pun yang berisi segelintir karyawan dari berbagai lokasi, tidak seorang pun pernah membahas perihal itu, seolah itu memang tidak pernah terjadi. Benarkah itu
Tiga huruf itu seolah menjawab semuanya, tapi Mentari tidak ingin menyimpulkan. Di pikirannya sudah tertulis 'Kamu terlibat?', namun tidak sanggup diubahnya dalam bentuk tulisan."Bagaimana situasinya?" balas Mentari, berharap pertanyaan itu tidak diartikan sebagai serangan di mata Argan.Tak ada balasan. Kali ini tidak ada balasan sama sekali. Pertanyaan-pertanyaan penuh asumsi memenuhi benak Mentari. "Sudah kamu tanyakan pada Argan?" serbu Cahya melihat Mentari keluar dari kamarnya. Keripik pisang masuk kembali ke dalam mulutnya setelah melontarkan pertanyaan itu."Dia membenarkan, Kak, namun tidak memberikan penjelasan." Lirikan mata Mentari menangkap bungkus keripik di tangan kakaknya. Salah satu kesamaannya dengan kakaknya adalah sama-sama menyukai keripik pisang. Namun, di mata Mentari, kali ini keripik itu tampak seperti keripik jengkol, salah satu makanan yang tidak disukainya."Aneh." Kepala Cahya menggeleng-geleng dengan mata disipitkan seperti seorang yang menaruh curiga.
Hal pertama yang dilakukan Mentari saat bangun pagi ini adalah menelepon Gempita, namun ponsel sahabatnya itu sedang tidak bisa dihubungi. 'Mungkin dia masih tidur,' pikir Mentari, namun beberapa detik kemudian pikiran lain merasukinya, 'Jangan-jangan dia menghindariku?'Lelah berasumsi, tepat pukul 07.30, Mentari menelepon Argan. Sebelum terlelap semalam, pikirannya telah merancang kata-kata yang akan diucapkannya. Tapi, sepupu Gempita itu pun tidak bisa dihubungi.Mentari tidak menyerah, beberapa kali lagi dia mencoba meskipun hanya terdengar suara manis seorang wanita yang memintanya meninggalkan pesan di kotak suara. Dia ingin mendengarkan penjelasan langsung dari mulut Argan, makanya dia tidak mengirimkan pesan sama sekali. Dia juga tidak ingin memberikan waktu bagi Argan untuk memikirkan jawabannya terlebih dahulu dengan melihat pesannya beberapa waktu sebelum membalas.Siang harinya Mentari kembali menelepon Argan, namun Argan tidak menjawab dan tidak mencoba meneleponnya kemba
Pertemuan itu mengubah hari-hari Mentari selanjutnya. Sekarang dia lebih sering tersenyum dan ikut tertawa dalam candaan-candaan garing rekan-rekan kerjanya di toko, membuat beberapa orang merasa heran."Mentari, kamu sedang jatuh cinta?"Dalam hati, Mentari merenungkan pertanyaan rekan kerjanya itu ketika sedang menunggu lampu berubah hijau dalam perjalanan pulang. 'Aku bahkan tidak tahu lagi rasanya jatuh cinta. Bukankah ada yang bilang, saat telah menikah kita akan jatuh cinta dengan pasangan kita setiap hari?'Pertanyaan itu dijawabnya sendiri ketika sedang mengeringkan rambutnya yang basah setelah keramas sesampainya di rumah, "Semua itu bohong belaka."Tak ingin terus merenungkan hal itu, Mentari memutuskan menelepon Bunga. Dalam sekejap, dia telah terlibat dalam percakapan seru tentang pengalaman seru Bunga yang hampir beradu mulut dengan tukang parkir di sebuah minimarket sore tadi."Bu, Cekal?" Tangan mungil Feliz memegang tangan Mentari yang terjuntai bebas."Ini ibu Sekar,